Anda di halaman 1dari 19

Disusun Oleh :

1. Adesia Argita D (418002)

2. Adi Saputro (418003)

3. Ana Fitriah M (418005)

DUR(Drug Utilization 4.

5.
Angela Putri A (418006)

Any Moneta S (418007)

Evaluation) 6.

7.
Atik Vitriya R (418008)

Aurell Deva P (418009)


LATAR BELAKANG
Infeksi Merupakan Salah Satu Penyebab Utama Timbulnya Penyakit Di Daerah Tropis Seperti Indonesia
Karena Keadaan Udara Yang Banyak Berdebu, Temperatur Yang Hangat Dan Lembab Sehingga Mikroba
Dapat Tumbuh Subur. Keadaan Tersebut Ditunjang Dengan Kemudahan Transportasi Dan Keadaan Sanitasi
Yang Buruk Sehingga Memudahkan Penyakit Infeksi Semakin Berkembang (Kuswandi, 2001).
Sebagai Upaya Penanggulangan, Penyakit Infeksi Dapat Diatasi Melalui Pengobatan Menggunakan
Antibiotika (Naim, 2003). Obat Yang Digunakan Untuk Membasmi Mikroba Penyebab Infeksi Pada Manusia
Ditentukan Harus Memiliki Sifat Toksisitas Selektif Setinggi Mungkin. Artinya Obat Tersebut Haruslah Bersifat
Sangat Toksik Untuk Mikroba, Tetapi Relatif Tidak Toksik Terhadap Hospes (Setiabudy Dan Gan, 1995). Agen
Antibakteri Yang Optimal Untuk Pengobatan Suatu Infeksi Adalah Antibakteri Yang Mempunyai Spektrum
Aktivitas Yang Paling Sempit, Dengan Efek Samping Dan Toksisitas Minimal (Shulman Dkk., 1994).
Antibiotik Dapat Mempengaruhi Kesehatan Manusia Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung. Secara Langsung Antibiotik Memiliki Sifat Toksik Bagi Manusia, Sebagai
Contoh Kloramfenikol Memiliki Efek Samping Yang Cukup Serius, Yaitu Penekanan
Aktivitas Sumsum Tulang Yang Berakibat Gangguan Pembentukan Sel-sel Darah
Merah. Risiko Lain Bagi Kes
ehatan Manusia Secara Tidak Langsung Dalam Penggunaan Antibiotik Adalah
Terjadinya Resistensi Mikroba (Naim, 2002).
Menurut Asalnya Antibakteri Dapat Dibagi Menjadi Dua, Yaitu Antibiotik Dan Agen
Kemoterapetik.Antibiotik Merupakan Zat Kimia Yang Dihasilkan Oleh Mikroorganisme
Yang Mempunyai Kemampuan Dalam Larutan Encer Untuk Menhambat Pertumbuhan
Atau Membunuh Mikroorganisme, Contohnya Penisilin, Sefalosporin, Kloramfenikol,
Tetrasiklin, Dan Lainlain.Antibiotik Yang Relatif Non Toksis Bagi Pejamunya Digunakan
Sebagai Agen Kemoterapetik Dalam Pengobatan Penyakit Infeksi Pada Manusia,
Hewan Dan Tanaman.Istilah Ini Sebelumnya Digunakan Terbatas Pada Zat Yang
Dihasilkan Oleh Mikroorganisme, Tetapi Penggunaan Istilah Ini Meluas Meliputi
Senyawa Sintetik Dan Semisintetik Dengan Aktivitas Kimia Yang Mirip, Contohnya
Sulfonamida, Kuinolon Dan Fluorikuinolon (Setiabudy, 2011; Dorland, 2010).
Antibiotika Golongan Β-laktam Merupakan Antimikroba Pilihan Untuk
Mengendalikan Infeksi Oleh Staphylococcus Aureus. Namun Dewasa Ini, Kasus
Resistensi Staphylococcus Aureus Terhadap Obat Golongan Β-laktam Ini Makin
Meningkat. Banyak Isolat Staphylococcus Aureus Yang Ditemukan Mengalami
Resistensi Terhadap Obat Golongan Tersebut, Yang Biasa Disebut
Methicillinresistant Staphylococcus Aureus, MRSA. Resistensi Terjadi Akibat Adanya
Perubahan Sifat Pada Protein Pengikat Β-laktam Di Membran Selnya (Jawetz Et Al.,
2002). Menyebutkan Bahwa Hampir 30% Staphylococcus Aureus Yang Diisolasi Dari
Infeksi Nasokomial Merupakan Strain MRSA
Vancomycin Merupakan Obat Pilihan Kedua Jika Penderita Alergi Atau Terjadi Resistensi Terhadap
Antibiotika Golongan Β-laktam. Vancomycin Juga Menjadi Obat Standard Yang Efektif Digunakan Untuk
Mengendalikan. Namun, Vancomycin Mempunyai Beberapa Kelemahan, Antara Lain :
1) Penggunaan Vancomycin Dalam Waktu Yang Lama Mempunyai Berbagai Efek Samping Yang Berat,
Antara Lain : Kerusakan Organ Vestibuler Dan Organ Cochlear, Hilangnya Pendengaran, Tinnitus,
Kerusakan Nefron Pada Ginjal.
2) Rendahnya Penetrasi Vancomycin Ke Paru-paru Pada Penderita Pneumonia Yang Disebabkan Oleh
Staphylococcus Aureus.
3) Penggunaan Vancomycin Secara Terus Menerus, Telah Memicu Timbulnya Vancomycin Intermediate
S. Aureus (VISA). Kelemahan-kelemahan Ini Memacu Kalangan Medis Mencari Antibiotik Alternatif
Lainnya Guna Memperkaya Ragam Pilihan Antibiotik Untuk Pencegahan Terjadinya Resistensi.
KASUS JURNAL 1
Dalam Jurnal Yang Berjudul “Drug Utilization Evaluation Of Vancomycin
In A Referral Infectious Center In Mazandaran Province” Pasien Dengan
Keluhan Demam Dan Sesak Napas Dengan Pengobatan Vankomisin. Dengan
Diagnosis Umum Infeksi Kulit, Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Dan
Septikmia. Usia Pasien Rata-rata 53,4 Tahun Dengan Lama Rawat Inap 14,5
Hari. Pengambilan Sampel Dilakuakan Hampir Sepertiga Pasien Yang
Mengalami Keluhan Dan Diagnosa Tersebut. Sampel Yang Digunakan Adalah
Darah, Dahak Dan Urin Dengan Metode Mikrobiologi.
KASUS JURNAL 1

Pada Kasus Ini Ditemukan Ketidakseimbangan Penggunaan Vankomisin Yang


Tinggi Di Pusat Infeksi. Lebih Dari 40% Pasien Menerima Pengobatan
Vankomisin Tanpa Memenuhi Kriteria HICPAC (Healthcare Infection Control
Practices Advisory Comitte). Dalam Kasus Ini Tingkat Ketidakpatuhan Pasien
Dengan Rekomendasi Standar Dengan Pengguaan Empiris Tingkat Tinggi
Tanpa Mengikuti Kultur Atau Sensitivitas Pasien. Tingkat Kepatuhan
Terhadap Rekomendasi HICPAC Lebih Rendah.
KASUS JURNAL 1
Pada Kasus Ini Sebagian Besar Pasien Menerima Vankomisin Sebagai Terapi
Empiris Dan Tingkat Kultur Dan Sensitivitas Sangat Rendah Yaitu Sebesar
30,1% Dari Temuan Yang Diamati Dalam Penelitian Lain. Sebagian Besar
Pemberian Vankomisin Di Pusat Ini Digunakan Pada Infeksi Kulit. Karena
Peneliti Tidak Memiliki Data Tentang Hasil Kultur, Diagnosis Klinis
Dipertimbangkan Untuk Menunjukkan Jenis Infeksi. Jadi, Tidak Jelas
Apakah Keterlibatan Kulit Itu Hanya Kolonisasi Atau Benar Infeksi.
KASUS JURNAL 1

Pada Beberapa Infeksi Yang Mengancam Jiwa, Seperti Yang Disebabkan Oleh
Streptococcus Pneumonia Yang Resisten Methicillin, MRSA Dan MRSE,
Vankomisin Bisa Menjadi Antibiotik Yang Menyelamatkan Jiwa. Penggunaan
Vankomisin Yang Tidak Rasional Dapat Menyebabkan Perkembangan
Mikroorganisme Resisten. Beberapa Alasan Telah Diajukan Untuk
Penggunaan Umum Vankomisin Di Rumah Sakit Termasuk Kurangnya
Perhatian Terhadap Indikasinya, Dan/Atau Kurangnya Kemanjuran Obat-
obatan Lama
KASUS JURNAL 1

Nefrotoksisitas Vankomisin Adalah Salah Satu Komplikasi Yang Paling


Umum, Sehingga Pemantauan Harian Kreatinin Serum Dan Perkiraan
Clearance Kreatinin Selain Untuk Memastikan Dosis Obat Yang Tepat, Dapat
Efektif Dalam Mencegah Toksisitas Ginjal. Durasi Maksimum Pengobatan
Dengan Vankomisin Adalah 48 Hari Dan Periode Minimum 1 Hari. Sebagian
Besar Infeksi Termasuk Bakteri Gram-positif Yang Resisten Terhadap Beta-
laktam, Harus Dilanjutkan Sampai Munculnya Neutrofil Dan Juga Durasi
Pengobatan Dengan Vankomisin Untuk Endokarditis Dan Osteomielitis
Adalah Periode 8 Minggu
KASUS JURNAL 1

Pada Kasus Ini Dapat Disimpulkan Bahwa Vankomisin Digunakan Secara


Tidak Rasional Pada Sebagian Besar Pasien. Kelemahan Utama Yang Diamati
Adalah Penggunaan Vankomisin Secara Empiris Tanpa Penyesuaian Yang
Lebih Lanjut Dari Agen Antimikroba Menurut Data Kultur Dan Sensitivitas.
Kurangnya Perhatian Yang Cukup Pada Penyesuaian Dosis Berdasarkan
Perhitungan Clearance Kreatinin Adalah Kesalahan Lain Yang Ditemukan
Dalam Penelitian Ini.
Informasi yang dikumpulkan dari rekam medis,riwayat pasien, perintah medis,
laporan keperawatan dan hasil eksperimental yang tersedia di catatan pasien.
Parameter yang dicatat meliputi : durasi penggunaan vankomisin, riwayat alergi
obat ,diagnosis pertama dan terakhir, jenis administrasi, pemantauan kebutuhan,
regimen dosis, mikrobiologis pengujian kultur atau sensitivitas dan terjadinya efek
sampingreaksi obat. Indikasi
KASUS JURNAL 2

Dalam jurnal yang berjudul “Drug Utilization Evaluation of Vancomycin in a


Teaching Hospital in Tabriz-Iran” Pasien dengan pengobatan antibiotik yang
resisten terhadap metisilin. Usia pasien paling muda 9 tahun dan paling tua 104
tahun. dengan lama rawat inap 9 hari. Pengambilan sampel dilakukakan pada
pasien penyakit serebrospinal (15 kasus), infeksi pasca operasi (14 kasus),
osteomielitis (7 kasus) , buatan dan selulitis (4 kasus) , artritis septik (3 kasus) ,
stenosis tulang belakang (2 kasus) dan osteoartritis (2 kasus).
KASUS JURNAL 2
Pada kasus ini pasien yang yang resisten staphylococcus terhadap metisilin telah menjadi
masalah kesehatan utama. vankomisin sering diberikan untuk tujuan profilaksis sebelum dan sesudah
operasi. Pasien yang menerima profilaksis vankomisin yang tidak tepat adalah untuk pra dan pasca
operasi ortopedi dan bedah saraf. Sesuai dengan pedoman untuk penggunaan vankomisin sebagai
profilaksis sebelum dan sesudah operasi, pada pasien yang memiliki faktor risiko untuk infeksi
MRSA atau pasien memiliki alergi terhadap Beta laktam, dengan tidak adanya kondisi yang
disebutkan cefazolin ditawarkan untuk profilaksis.
KASUS JURNAL 2

Dalam 13 kasus penggunaan vankomisin yang tidak tepat untuk


osteomielitis, meskipun satu dari 5 kasus memiliki osteomielitis
kronis, tetapi sesuai dengan pedoman pengambilan sampel dari
pelepasan tulang harus dipertimbangkan dan pengobatan harus
dimodifikasi berdasarkan hasil kultur atau sensitivitas. vankomisin
adalah pilihan yang tidak tepat karena batasan usia dan kepekaan
terhadap cloxacillin. Dalam kasus ini, meskipun kultur Gram-positif
resisten terhadap antibiotik beta-laktam. 5 pasien menunjukkan
infeksi dengan strain Gram-negatif, yang dalam kasus ini pengobatan
vankomisin tidak memiliki indikasi yang tidak sesuai.
KASUS JURNAL 2

Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar pasien menerima vankomisin


secara tidak tepat. Karena, penggunaan vankomisin yang tidak tepat dapat
meningkatkan risiko perkembangan penyakit patogen yang resisten terhadap
vankomisin seperti staphylococcus yang resisten terhadap vankomisin.
KESIMPULAN KASUS 2

Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa


penggunaan vankomisin yang tidak tepat dapat
meningkatkan risiko perkembangan penyakit
patogen yang resisten terhadap vankomisin seperti
staphylococcus
DAFTAR PUSTAKA

Fahimi F, Baniasadi SH, Behzadnia N, Varahram F and Ghazi Tabatabaie L.


Enoxaparin Utilization Evaluation: An Observational Prospective Study in
Medical Inpatients. Iranian J Pharm Res2008;7:77-82
Nightingale J, Chaffe BW, Colvin CL, Alexander MR, Rice T, Ross MB.
Retrospective evaluation of vancomycin use in a university hospital. Am J
Hosp Pharm 1987;44:1807-1809
Stolar M. Drug use review: operational defenitions. Am J Hosp Pharm
1978;33:225-230.

Anda mungkin juga menyukai