Anda di halaman 1dari 6

Menurut Shi dan Yu (2014), empat faktor kunci yang dianggap sebagai kunci

keberhasilan transisi dari industri tadisional ke EIP tersebut antara lain adalah:
(i) Ketergantungan lintasan teknologi antar pihak;
(ii) Adanya ruang untuk riset dan eksperimen;
(iii) Pemerintah sebagai pendukung utama; dan
(iv) Keterikatan regional.

Gambar di samping adalah


model sederhana EIP yang
dipakai dalam implementasi di
China.
Berdasarkan gambar 14.5 dapat dijelaskan bahwa:
 Manajer pengembangan industri dan perusahaan penyewa harus:
o Mengoptimalkan air, bahan, dan energi yang tersedia;
o Memaksimalkan pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang
baik di tingkat perusahaan individu dan di tingkat antar-perusahaan;
dan
o Meminimalkan total pembuangan, dan, sebagai upaya terakhir,
membuang limbah ke lingkungan setempat.
 Keberhasilan implementasi Pengembangan Industri Hijau/Eco Industry
Development (EID)/pengembangan Kawasan Industri Hijau bergantung
pada empat elemen utama, yaitu kebijakan dan peraturan, instrumen
ekonomi, sistem informasi, dan peningkatan kapasitas.
Kebijakan dan undangundang baru diperlukan jika proyek EID ingin berhasil dilaksanakan.
Kebijakan harus membantu mengatasi hambatan kelembagaan dalam pemerintahan.
Misalnya, dalam hal pengelolaan air di China, Bidang Perlindungan Lingkungan setempat
bertanggung jawab atas pembuangan air limbah dan pengendalian polusi, Bidang
Infrastruktur bertanggung jawab atas penyediaan air, Bidang Konstruksi bertanggung
jawab atas ekstraksi sumber daya air dan Komite Perencanaan Ekonomi bertanggung
jawab atas perencanaan dan alokasi sumber daya air.

Selain itu, kebijakan harus bisa membantu restrukturisasi industri, seperti membatasi
pengembangan industri besar yang menghabiskan sumber daya dan industri yang
menyebabkan polusi.

Kebijakan lain, seperti kebijakan yang dapat mendorong produksi bersih dan aliran
material (seperti air dan energi) di antara penyewa dan mengoordinasikan hubungan
antara kawasan industri dan masyarakat lokal, juga harus dibangun atau direvisi sesuai
dengan realitas lokal.
Perkembangan Kawasan Industri Hijau di
Indonesia
• Menurut Kwanda (1990), pada awalnya kawasan industri di
Indonesia hanya dikembangkan oleh pemerintah melalui
BUMN sebagai reaksi terhadap meningkatnya jumlah industri
dengan dampak polusi lingkungan yang diakibatkannya,
keterbatasan infrastruktur, dan masalah perkembangan
kawasan permukiman yang berdekatan dengan lokasi industri.
Namun, seiring dengan meningkatnya investasi baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri, pemerintah melalui
Keputusan Presiden No. 53 tanggal 27 Oktober tahun 1989
mengijinkan usaha kawasan industri dikembangkan oleh pihak
swasta.
• Menurut Budihardjo (2013), kawasan industri di Indonesia yang belum
menerapkan konsep Eco Industrial Park salah satunya kawasan industri di
Kota Semarang. Salah satu kawasan industri di Kota Semarang yang
ditelitii, dalam operasionalnya telah melebihi daya dukung lingkungan
(overshoot). Oleh karenanya, kegiatan industri di wilayah ini perlu
menerapkan sistem produksi yang lebih bersih dan industri yang ramah
lingkungan yang mengarah pada pengembangan Eco Industrial Park.

• Menurut Sulaiman (2008), strategi yang paling menjadi prioritas adalah


dengan mengembangkan kawasan industri hijau dan strategi lainnya
seperti membangun sistem penanganan limbah industri terpadu,
menerapkan simbiosis industri sekitar kawasan, serta penerapan CSR
terpadu yang efektif dan tepat sasaran juga perlu diperhatikan. Pelaku
yang paling berperan dalam pengembangan Kawasan Industri Cilegon
menuju Eco Industrial Park adalah pemerintah lalu kemudian diikuti oleh
investor atau pemilik modal kemudian manajemen perusahaan atau
industri selanjutnya perguruan tinggi atau institusi penelitian dan
pembangunan dan Lembaga Swadaya Masyarakat bidang lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai