PERKAWINAN ISLAM
DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN
ISLAM
ASAS ASAS
RUKUN DAN SYARAT
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
• Larangan perkawinan diperjelas dengan perkawinan antara Siti Fatimah binti Muhammad
dengan Ali bin Abi Thalib bin Muthalib (saudara sepupu Rasul dari garis laki-laki).
• Q.S. 4: 4 dan 24, Q.S. 2 : 236, 237 menunjukkan bentuk masyarakat yang dikehendaki
Islam.
HUBUNGAN ANTARA NORMA PERKAWINAN
ISLAM
DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN ISLAM
Asas
Asas Asas Asas Menolak Mudharat &
Untuk selama- Kebolehan/ Kemaslahatan Mengambil Manfaat
lamanya Mubah Hidup
02
Asas Persetujuan
Tidak boleh ada paksaan dalam
melangsungkan perkawinan
Lihat KHI Pasal 16-17!
03
Asas Kebebasan
• Pasal 2 KHI akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan
menjalankan ibadah.
Makru
h
Wajib Haram
Mubah
07
Asas Kemaslahatan Hidup
Ijab
Saksi Qabul
Calon Wali
suami
dan
isteri
Syarat Perkawinan
Syarat Umum Syarat Khusus
1. Calon Suami dan Isteri
Perkawinan tidak boleh
2. Wali
bertentangan dengan
3. Saksi
larangan perkawinan
4. Ijab Kabul
01
Syarat Khusus
Calon Suami dan Isteri
• Beragama Islam
• Menyetujui perkawinan tersebut. Calon mempelai harus bebas
dalam menyatakan persetujuannya. Persetujuan ini hanya
dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berfikir,
dewasa atau akil baligh. (Pasal 16-17 KHI)
• Dewasa jasmani dan rohani dalam melangsungkan
perkawinan (Pasal 15 KHI)
• Tidak terdapat halangan dan larangan perkawinan:
o Bukan mahram pasangannya
o Tidak sedang dalam ihram haji atau umroh.
Syarat Calon Suami dan Isteri
Syarat bagi Calon Suami Syarat bagi calon isteri
a. Terang perempuannya (bukan banci).
a. Terang laki-lakinya (bukan b. Sekurang-kurangnya berusia 16 tahun*
banci) c. Telah memberi izin kepada wali untuk
b. Sekurang-kurangnya berusia menikahkannya.
19 tahun* d. Tidak bersuami, tidak dalam masa
c. Tidak beristeri lebih dari ‘iddah.
e. Belum pernah dili’an (sumpah li’an)
empat.
oleh bakal suaminya
d. Tidak mempunyai isteri yang
haram.
e. Mengetahui bakal isterinya
tidak haram dinikahinya
02 Syarat Perkawinan: Wali
Hadis Rasulullah
“Barangsiapa di antara perempuan yang
menikah tidak dengan izin walinya, maka
pernikahannya batal”
Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni
“Janganlah perempuan menikahkan
perempuan yang lain, dan jangan pula
seorang perempuan menikahkan dirinya
sendiri”
Pasal 19 KHI
Calon isteri harus mempunyai wali yang
bertindak untuk menikahkannya
Syarat-syarat Wali
(Ps 20 ayat (1) KHI)
• Muslim
• Aqil
• Baligh
• Tidak tuli, bisu, atau uzur (Ps 22 KHI)
• Laki-laki,
• Adil
• dan tidak sedang ihram atau umroh.
Macam-Macam Wali Muhakam ialah
seorang laki-laki
bukan keluarga calon
Wali dari penguasa yang Hakam adalah mempelai perempuan
berwenang dalam bidang
perkawinan, biasanya seseorang yang masih dan bukan dari
penghulu atau petugas lain termasuk anggota penguasa, tetapi
dari Departemen Agama. keluarga calon mempunyai
mempelai perempuan pengetahuan agama
Wali hakim baru dapat namun bukan wali yang baik dan dapat
menjadi wali nikah apabila
wali nasab tidak ada , dan nasab dan mempunyai menjadi wali
Wali kerabat dari bila ada penetapan pengetahuan agama perkawinan.
garis keturunan Pengadilan Agama sebagai wali yang
laki-laki cukup.
Muhakam
Pasal 35 KHI
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu Suami yang mentalak isterinya dalam keadaan
sebelum kamu bercampur dengan mereka, qobla dukhul, ia wajib membayar
padahal sesungguhnya kamu sudah setengah mahar yang telah ditentukan
menentukan maharnya itu, maka bayarlah dalam akad nikah
Suami yang meninggal dunia dalam keadaan
seperdua dari mahar yang telah kamu
qobla dukhul, seluruh mahar menjadi hak
tentukan itu” isterinya
(Al Baqarah ayat 237) Perceraian terjadi qobla dukhul dan mahar
belum ditetapkan, suami wajib membayar
mahar mitsil.
Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan
• Pasal 2 ayat (1): perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
• Penjelasan Pasal 2: tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu.
• Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6).
• Harus berusia 16 tahun bagi wanita dan berusia 19 tahun bagi pria (Pasal 7).*
• Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal yang
diizinkan (Pasal 9).
• Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua (Pasal 6 ayat (2)).
• Tidak merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah seperti
tercantum dalam Pasal 8, 9, 10.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.
22/PUU-XV/2017
• MK menilai batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-
laki adalah diskriminasi karena dalam UU Perlindungan Anak, anak-anak adalah
mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sehingga siapa pun yang masih berusia
di bawah 18 tahun masih termasuk kategori anak-anak. Karena itu, Mahkamah
Konstitusi menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
• Kendati demikian, MK tak bisa menentukan batas usia perkawinan yang tepat
bagi perempuan. Hal itu menjadi kewenangan DPR sebagai pembentuk UU.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi juga “memerintahkan” agar DPR dan
Pemerintah melakukan revisi UU Perkawinan paling lambat 3 tahun sejak
putusan dibacakan.
Perubahan Hukum untuk Menikah
(berdasarkan al-ahkam al-khamsah)
Seseorang yang fisiknya telah
Seseorang apabila biaya hidupnya
wajar untuk kawin walaupun
telah cukup dan fisiknya sudah
belum sangat mendesak, dan
sangat mendesak untuk kawin,
belum memiliki biaya hidup
sehingga kalau dia tidak dia akan
sehingga jika ia kawin akan
terjerumus kepada penyelewengan.
membawa kesengsaraan.
UU No. 22 tahun Pasal 1 ayat (1): nikah Pasal 3 ayat (1): yang
1946 yang mulai yang dilakukan menurut melakukan akad nikah
agama Islam diawasi dengan seorang
berlaku di seluruh
oleh Pegawai Pencatat perempuan tidak di
Indonesia pada Nikah (PPN) yang bawah pengawasan PPN
tanggal 2 Nov. 1954 diangkat oleh menteri atau wakilnya, dihukum
melalui UU No. 32 agama atau pegawai denda.
tahun 1954: yang ditunjuk olehnya.
SK Mahkamah Islam Tinggi tahun 1953 No. 23
• Pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu
perkawinan.
• Namun UU Perkawinan menempatkan pencatatan suatu perkawinan pada tempat (kedudukan)
yang penting sebagai pembuktian telah diadakan perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 5-7 menjelaskan bahwa:
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh PPN
sebagaimana diatur dalam UU No 22 tahun 1946 jo.
UU No 32 tahun 1954
• Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan
di bawah pengawasan PPN
• Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN
tidak mempunyai kekuatan hukum.
• Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah
yang dibuat oleh PPN
Wassalam dan Terima Kasih