Anda di halaman 1dari 15

Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal


Nama : Alawiyah
NIM : 201851021

ALLPPT.com _ Free PowerPoint Templates, Diagrams and Charts


UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Jaminan Produk Halal (“JPH”) adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu
produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.[1] Sedangkan sertifikat halal adalah pe
ngakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (“BPJPH”) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majeli
s Ulama Indonesia (“MUI”).[2]

Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal


Penyelenggaraan JPH merupakan tanggung jawab pemerintah[3] yang dilaksanakan oleh
Menteri Agama[4]. Untuk itu, dibentuk BPJPH yang berkedudukan dibawah dan bertanggung ja
wab kepada Menteri Agama.[5]
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

BPJPH memiliki kewenangan sebagai berikut :


1.merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
2.menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
3.menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk;
4.melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri;
5.melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal;
6.melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (“LPH”);
7.melakukan registrasi auditor halal;
8.melakukan pengawasan terhadap JPH;
9.melakukan pembinaan auditor halal; dan
10.melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, BPJPH bekerja sama dengan kement


erian dan/atau lembaga terkait, LPH, dan MUI, termasuk MUI yang ada di Provinsi d
an Majelis Permusyawaratan Ulama (“MPU”) Aceh.[7]

Adapun bentuk kerja samanya adalah sebagai berikut:


1.Kerja Sama BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga Terkait
Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan ses
uai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.[8] Sebagai
contoh, BPJPH dapat bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggaraka
n urusan pemerintahan di bidang perindustrian dalam hal pengaturan serta pem
binaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambaha
n pangan yang digunakan untuk menghasilkan produk halal.[9]
 
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal

2.Kerja Sama BPJPH dengan MUI


BPJPH dengan MUI bekerja sama dalam hal penetapan kehalalan produk.[10] 
Adapun bentuk penetapan kehalalan Produk yang diterbitkan MUI berupa kepu
tusan penetapan halal produk.[11]
 
3.Kerja Sama BPJPH dengan LPH
BPJPH dengan LPH bekerja sama dalam hal pemeriksaan dan/atau pengujian p
roduk.[12] Dalam melaksanakan tugasnya, LPH dapat mengangkat dan membe
rhentikan Auditor Halal[13] yang memiliki tugas sebagai berikut[14]:
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

1.Memeriksa dan mengkaji bahan yang digunakan;


2.Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan produk;
3.Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
4.Meneliti lokasi produk;
5.Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
6.Memeriksa pendistribusian dan penyajian produk;
7.Memeriksa sistem jaminan halal pelaku usaha; dan
8.Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Kewajiban Sertifikat Halal

Pasal 4 UU 33/2014 mengatur bahwa produk yang masuk, beredar, 


dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. M
eski demikian, pemerintah melalui UU Cipta Kerja telah memberikan kem
udahan bagi pelaku usaha mikro dan kecil, yaitu kewajiban bersertifikat hal
al untuk mereka didasarkan atas pernyataan pelaku usaha berdasarkan stan
dar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.[15]

Sedangkan untuk pelaku usaha di luar usaha mikro dan kecil dapat me
ngajukan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH dengan melampirkan
dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bah
an yang digunakan, dan pengolahan produk.[16]
Selain itu, pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib:[17]
1.mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;
2.menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;
3.memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, peng
emasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;
4.memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan
5.melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
 
Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban di atas setelah memperoleh sertifik
at halal dikenai sanksi administratif yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pem
erintah.[18]
 
Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal
Apa sajakah yang termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal? Meru
juk pada Pasal 1 angka 1 jo. Pasal Pasal 4 UU 33/2014, produk yang diwajibkan bers
ertifikat halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, oba
t, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gu
naan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selanjutnya, dalam proses sertifkikasi halal, dikenal istilah Proses Produk Halal (“PP
H”) yaitu rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan
bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyaj
ian produk.[19]
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal
Dalam hal ini, UU 33/2014 mengatur jenis bahan yang halal dig
unakan dalam PPH, baik sebagai bahan baku, bahan olahan, bahan ta
mbahan, dan bahan penolong[20] yaitu yang berasal dari:[21]
1.Hewan
Bahan yang berasal dari hewan pada dasarnya halal, kecuali yan
g diharamkan menurut syariat.[22] Adapun bahan yang berasal dari h
ewan yang diharamkan, meliputi:[23]
2.bangkai;
3.darah;
4.babi; dan/atau
5.hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal
Selain itu, bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain yang telah di
sebutkan diatas ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan fatwa MUI.[24]
 
2.  Tumbuhan
Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabuk
kan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya.[25]
 
3.  Mikroba dan/atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biol
ogi, atau proses rekayasa genetik.
Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses ki
miawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pert
umbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontamin
asi dengan bahan yang diharamkan.[26]
UU Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang dihar
amkan tersebut di atas dikecualikan dari kewajiban mengajukan permohonan serti
fikat halal,[27] namun, diwajibkan untuk mencantumkan keterangan tidak halal
pada produk.[28] Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, pelaku usaha dikenai sanksi ad
ministratif,[29] yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah seba
gaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya.[30]
 
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – ma
ta untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selen
gkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasi
kan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
 
Referensi
Dasar Hukum:
1.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal;
2.Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
[1] Pasal 1 angka 5 UU 33/2014
[2] Pasal 1 angka 10 UU 33/2014
[3] Pasal 5 ayat (1) UU 33/2014
[4] Pasal 5 ayat (2) UU 33/2014
[5] Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014
[6] Pasal 6 UU 33/2014
[7] Pasal 7 UU 33/2014 dan Penjelasan Pasal 48 angka 2 UU Cipta Kerja yang
mengubah Penjelasan Pasal 7 huruf c UU 33/2014
[8] Pasal 8 UU 33/2014
[9] Penjelasan Pasal 8 UU 33/2014
[10] Pasal 48 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 10 ayat (1) UU 33/2014
[11] Pasal 48 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 10 ayat (2) UU 33/2014
[12] Pasal 9 UU 33/2014
[13] Pasal 48 angka 5 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 14 ayat (1) UU 33/2014
[14] Pasal 15 UU 33/2014
[15] Pasal 48 angka 1 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 4A UU 33/2014
[16] Pasal 48 angka 10 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 29 ayat (1)
dan (2) UU 33/2014
[17] Pasal 25 UU 33/2014
[18] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (1) d
an (2) UU 33/2014
[19] Pasal 1 angka 3 UU 33/2014
[20] Pasal 17 ayat (1) UU 33/2014
[21] Pasal 17 ayat (2) UU 33/2014
[22] Pasal 17 ayat (3) UU 33/2014
[23] Pasal 18 ayat (1) UU 33/2014
[24] Pasal 18 ayat (2) UU 33/2014
[25] Pasal 20 ayat (1) UU 33/2014
[26] Pasal 20 ayat (2) UU 33/2014
[27] Pasal 26 ayat (1) UU 33/2014
[28] Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014
[29] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (1) UU 33/2014
[30] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (2) UU 33/2014

Anda mungkin juga menyukai