Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu setiap orang yang dengan
sengaja secara melawan untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara.
Pola korupsi
01Pola Konvensional 02Pola Kuintansi Fiktif 03Pola Komisi
Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi
alias penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar dijadikan
kecil. Yang ada dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya. Tapi
karena pola ini lebih banyak mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka
menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun pajak, maka ini cenderung sebagai
pola kuitansi fiktif. Disebut kuitansi fiktif karena kuitansinya memang terbukti ada.
Tapi barang atau jasa atau kegiatan yang dibeli/diselenggarakan justru lain dengan
bukti kuitansinya, atau malah sama sekali tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang
umum dilakukan oleh kantor-kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN.
3. Pola Komisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilah sering belanja barang
dalam jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-
proyeknya. Taruhlah kantornya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga
baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, ia
bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajemen di kantornya
jelek, dengan mudah seluruh komisi itu ia makan sendiri.
4. Pola Upeti
Komisi meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun
Baru. Asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai
transaksi yang telah atau akan dilakukan. Upeti ini juga bisa berupa uang maupun
barang datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa macam-macam.
Misalnya saja agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan aman, tidak
digeser atau dimutasikan ke tempat yang “kering”. Supaya “permainan” yang
dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat, aman dan lain-lain.Dalam kondisi
tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang jumlah
upeti yang mesti disetor.
5. Pola Menjegal Order
Misalnya saya bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan konfeksi. Gaji saya Rp 300.000
ditambah persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-tiba saya mendapatkan
order senilai 500 juta rupiah. Persentase yang saya dapat dari kantor sesuai dengan peraturan
pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya
menerima komisi yang lebih besar.
Kalau order ini datangnya dari relasi baru, kemungkinan terbongkarnya kasus ini akan jadi
kecil sekali. Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order tadi saya garap sendiri.
Itulah sebabnya kita lalu sering melihat adanya tenaga sales di sebuah perusahaan percetakan
yang di rumah juga punya mesin cetak sendiri.
Jadi karena pembuktian kasus seperti ini juga tidak sulit, penindakannya secara
administratif maupun hukum juga paling mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum seperti ini
kalau ketahuan akan segera di-PHK. Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli para
tenaga sales. Resepsionis, penjaga toko, tenaga administratif bagian pembuka surat, bahkan juga
satpam penjaga pintu gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan order.
6. Pola Perusahaan Rekanan
Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan
terlalu kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari kantor Anda
sendiri. Kalau Anda bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah Anda punya perusahaan
percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu teman-teman akan ribut lantaran hal itu
kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya lalu banyak oknum pejabat yang memberi modal pada
si keponakan, si saudara sepupu, mertua, istri, anak, dan kerabat dekat lain untuk bikin
perusahaan rekanan. Kepadanyalah kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan
deras.
Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan merupakan barang
baru lagi. Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola oleh sanak famili tadi
kualitasnya sama dengan perusahaan rekanan yang asli, masalahnya sama sekali tidak ada.
Boleh-boleh saja. Tapi biasanya, karena pemberi order itu masih Oom sendiri, masih Pak De
sendiri, dan sebagainya, maka hukum bisnis jadi sering tersendat untuk diterapkan secara lugas.
Terjadilah kemudian penyimpangan kualitas, waktu, anggaran dan sebagainya.
7. Pola Penyalahgunaan wewenang
Pola inilah yang oleh masyarakat banyak lazim disebut sebagai pungli, uang
semir, pelicin, sogok, suap dan lain-lain. Memang selalu ada anjuran untuk tidak
memberi iming-iming pungli kepada para petugas, agar mereka tidak tergoda. Anjuran
ini mirip sekali dengan imbauan untuk beli karcis di loket stasiun dan bukan di calo.
Tapi apa lacur. Karena permintaan jauh lebih besar dari penawaran, jadinya ya tetap
saja calo masih laku keras terutama di saat-saat ramai seperti di sekitar Lebaran.