Anda di halaman 1dari 45

2.5.

Perencanaan Hidrolis Bendung


2.5.Perencanaan Hidrolis Bendung

Dalam hal ini meliputi kebutuhan tekanan air, bentuk


pelimpah debit dan peredam energi, serta dimensi-
dimensi pintu bilas dan pintu pengambilan.
2.5.1.Elevasi mercu dan tinggi bendung
Tujuan utama dari membendung sungai adalah untuk
menaikkan taraf muka air sungai hingga ke ketinggian
tertentu, agar diperoleh tekanan yang cukup untuk
mengalirkan air sungai secara gravitasi ke seluruh
daerah irigasi yang akan diairi. Sedangkan tinggi
tekanan ini ditentukan oleh elevasi mercu dari
bendung.
elevasi mercu bendung yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan
menjumlahkan semua kehilangan energi sepanjang pengaliran
terhadap tinggi muka air di sawah, sebagai berikut :
• Tinggi bendung adalah selisih tinggi antara elevasi mercu
dengan elevasi dasar sungai setempat. Jadi tinggi bendung ,
lihat Gambar 2.4 ; p = el. mercu -el. dasar sungai.Dalam hal ini
belum ada ketentuan yang tegas tentang batas harga p. Tetapi
secara empiris, ditinjau dari segi stabilitas tubuh bendung,
maka dianjurkan agar p ini maksimum diambil 4.00 m.
• (Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
• Gambar 2.4 Posisi Intake dan Tinggi Bendung
2.5.2.Lebar bendung
Lebar bendung adalah jarak antara kedua pangkal
bendung (abutment). Lebar bendung sebaiknya diambil
sama dengan lebar rata-rata sungai. Di bagian hilir ruas
sungai, lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit
penuh (bankfull discharge), sedangkan pada bagian
hulu sungai atau daerah pegunungan/dataran tinggi,
sering kesulitan untuk menentukan debit penuh ini.
Dari segi pembuatan peredam energi, agar tidak terlalu
mahal, maka lebar bendung sebaiknya diambil dengan
membatasi besar debit persatuan lebar yang besarnya
antara 12 -14 m3/dt/m, atau yang memberikan beda
energi tidak lebih dari 4.5 meter.
2.5.3.Tinggi air banjir
Menentukan tinggi air banjir sangat diperlukan untuk
memperhitungkan pengaruh banjir tersebut baik terhadap
konstruksi bendungnya sendiri, maupun pengaruh
genangannya terhadap bantaran sungai di hulu bendung.
2.5.3.1.Banjir di Hilir Bendung
Tinggi banjir di hilir bendung ini sama dengan tinggi banjir di
dalam sungai sebelum adanya bendung. Tinggi banjir ini dapat
dihitung dengan mempergunakan rumus-rumus hidrolika
pengaliran, yaitu :
Q=AxV ,
dimana :
Q = debit (m3/dt)
A = luas penampang aliran (m2)
V = kecepatan aliran (m/dt).
Sedangkan kecepatan aliran dapat dihitung dengan rumus Chezy
dan Bazin, sebagai berikut:

Keterangan:
C= Koefisien kecepatan
R= Jari-jari hidrolis
I= Kemiringan dasar sungai
γ= Koefisien kekasaran dinding
P= Keliling basahUntuk sungai, harga γ dapat diambil 1.5 –1.75.
Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara h dan Q, seperti
terlihat pada Gambar 2.7. Dari grafik, pada debit rencana
(Qd), diperoleh tinggi air banjir rencana (hd) yang ditetapkan
sebagai tinggi MA B rencana. Sedangkan elevasi M AB = el.
dasar sungai rata-rata di tambah dengan hd. Perhitungan
dilakukan dengan tabelaris sebagai berikut:

Tabel 2.1. Perhitungan lengkung debit


2.5.3.2.Banjir di Hulu
BendungUntuk memperhitungkan tinggi banjir di hulu
bendung, terlebih dahulu harus ditentukan beberapa
parameter pengaliran yang mempengaruhi, antara lain, lebar
efektif, bentuk mercu, jenis pengaliran dan sebagainya
2.5.4.Lebar Efektif
Tidak semua lebar bendung dapat berfungsi secara
efektif untuk melewatkan banjir. Hal ini disebabkan
adanya pilar-pilar untuk bangunan penguras, pengaruh
kontraksi pada dinding, baik pilar maupun tembok
pangkal (gbr. 2.8). Mercu bendung untuk melewatkan
debit. Dengan memasukkan faktor-faktor pengaruh
tersebut maka lebar efektif bendung dapat dihitung
sebagai berikut:
Be = B-2(n. Kp+Ka) H1
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02
Gambar 2.8. Lebar efektif bendung
Dimana :
Be = Lebar efektif bendung.
B = Lebar mercu yang sebenarnya, yakni jarak antara
pangkal-pangkal bendung
n = Jumlah pilar.
Kp = Koefisien kontraksi pilar
Ka = Koefisien kontraksi pangkal bendung.
H1= Tinggi energi di hulu bending (m)
Harga-harga koefisien Ka dan Kp diberikan pada Tabel
1.2.
2.5.5.Bentuk Mercu.
Bentuk mercu suatu pelimpah sangat menentukan
kemampuannya untuk melewatkan debit banjir dan
ketahanannya, terutama terhadap bahaya kapitasi. Di Indonesia
pada umumnya perencanaan bendung menggunakan mercu tipe
Ogee dan Tipe Bulat, lihat Gambar 2.9. Kedua bentuk mercu dapat
digunakan baik untuk konstruksi beton, maupun pasangan batu
kali. Kemiringan maksimum bidang hilir adalah 1 : 1, sedangkan
bidang hulu dapat dibuat vertikal atau miring sampai 3 : 1.

(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)


Gambar 2.9. Bentuk -bentuk mercu
Mercu Bulat.
Bendung dengan mercu bulat mempunyai harga koefisien debit yang jauh
lebih besar (44 % lebih besar ) dibandingkan dengan bendung ambang
lebar. Hal ini akan sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi tinggi
air banjir di hulu bendung. Rumus Pengaliran adalah sebagai berikut:

Keterangan :
Q = Debit (m3/dt)
Cd = Koefisien debit ( = C0 . C1 . C2 )
H1 = Tinggi energi di atas mercu,m.
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
b = lebar mercu (m)
C0, C1, dan C2 berturut-turut diambil dari Gambar 2.10, 2.11 dan 2.12. Untuk
aliran tenggelam, maka rumus debit di atas harus dikaitkan dengan faktor
koreksi, f, yang merupakan fungsi perbandingan tenggelam, lihat Gambar
1.14.
• Gambar 2.12. Koefisien C2 untuk Mercu Ogee dengan muka hulu melengkung (USBR, 1960)
• Mercu Ogee
Tipe mercu ini pertama kali diperkenalkan oleh US
Army Corps of Engineers. Pembentukan mercunya
didasarkan pada persamaan berikut, lihat Gambar 2.14.

Keterangan :
X dan Y = Koordinat permukaan hilir.
Hd=Tinggi muka air diatas mercu
K dan n = Parameter yang tergantung dari kemiringan bidang hulu,
lihat Tabel 1.3Koefisien debit, diambil sebagai berikut:
C0 = Konstanta = 1,30
C1 = Fungsi dari p / hd dan H1/ hd
C2 = Faktor koreksi bidang hulu
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
Gambar 2.15 Faktor koreksi untuk selain tinggi energi rencana pada bendung
MercuOgee (Ven Te Chow, 1959, Berdasarkan Data USBR dan WES)
2.5.6.Kolam peredam energi
Akibat dibuatnya bendung pada aliran sungai, baik pada palung
maupun pada sodetannya, maka disebelah hilir bendung tersebut
akan terjadi aliran turbulen (bergelombang) dengan kecepatan
yang tinggi akibat terdapat energi aliran yang sangat besar,
setelah melewati mercu bendung yang ditunjukkan oleh adanya
loncatan air (water jump) pada titik tersebut. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya gerusan setempat (local scouring) dihilir
bendung yang akhirnya akan mengganggu stabilitas tubuh
bendung. Oleh karena itu,hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi.
Untuk menenangkan kecepatan yang tinggi ini, maka dibagian hilir
itu dibuatkan suatu bangunan peredam energi (kolam olakan).
Aliran air di kaki hilir bendung, akibat perubahan aliran yang
mendadak dan pertemuan dengan air di sebelah hilir, dapat
menunjukkan berbagai perilaku terhadap kedalaman air yang ada
disebelah hilir.
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
Gambar 2.16. Faktor pengurangan aliran tenggelam sebagai fungsi p2 / H1 dan H2/H1
(Disadur dari US Army Corps of Engineers Waterways Experimental Station)
• Kasus A, menunjukkan aliran tenggelam, kondisi ini hanya menimbulkan
sedikit saja gangguan di permukaan, berupa timbulnya gelombang
kecil.
• Kasus B, menunjukkan loncatan tenggelam, tinggi loncatan air lebih
kecil dari tinggi muka air hilir.
• Kasus C, adalahkeadaan ketikatinggi loncatan air sama dengan tinggi
muka air hilir.
• Kasus D, adalah keadaan ketikatinggi loncatan air lebih besar dari tinggi
muka air hilir.
Dari keempat macam kondisi ini,
kasus C tidak dianjurkan karena berada pada kondisi kritis dan
kasus D tidak boleh terjadi, karena keadaan ini menunjukkan energi air
yang belum teredam sehingga dapat membahayakan stabilitas bendung.
Jadi dalam perencanaan suatu bendung, harus diusahakan agar keadaan
loncatan air di hilir bendung selalu berada seperti pada kondisi B atau A,
untuk semua besar debit, minimal sampai dengan debit rencana.
a.Kolam olakan loncatan air.
Untuk menentukan keadaan terbaik bagi kolam olakan, maka
semua debit dicek terhadap muka air hilirnya, sehingga semua
kondisi debit yangakan terjadi, loncatan air selalu berada
dibawah muka air hilir. Tinggi loncatan air hilir dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
y1= Kedalaman air di awal loncatan (m)
y2= Tinggi loncatan air di atas dasar kolam (m)
Fr = Bilangan froude.

Besar bilangan froude pada kaki kolam adalah :

Keterangan:
V1= kecepatan awal loncatan, m/dt.
g = percepatan gravitasi, m/dt2
Besar kecepatan awal loncatan, mula-mula dapat diperkirakan dengan rumus berikut ini:

Keterangan:
H1= Tinggi energi di atas ambang (mercu) bendung,
m.
z= Tinggi terjunan, m.
Untuk selanjutnya kecepatan tersebut dicek dengan rumus :

q = debit persatuan lebar, m3/dt.


b. Dimensi kolam olakan
Menurut USBR, dimensi dan bentuk kolam olakan ditentukan
oleh besarnyabilangan froude di kaki bendung, yang
mempengaruhi besarnya loncatan air. ntuk memantapkan
aliran biasanya di bagian ujung hilir dari dasar kolam dipasang
ambang ujung (end sill), lihat Gambar 2.20. Dalam hal ini
panjang lantai ditentukan sebagai berikut.
Lj = 5 ( n + y2)
Keterangan:
Lj= panjang lantai kolam (m)
n= tinggi ambang ujung (m)
y2= tinggi loncatan air (m)
Tipe kolam olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan
bergantung pada energi air yang masuk, yang dinyatakan dengan
bilangan Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak.
Tipe kolam olak yang akan direncanakan di sebelah hilir
bangunan bergantung pada energi air yang masuk, yang
dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan
konstruksi kolam olak.
Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan-
pengelompokan berikut dalam perencanaan kolam :
1.Untuk Fru ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak; pada saluran
tanah, bagian hilir harus dilindungi dari bahaya erosi; saluran
pasangan batu atau beton tidak memerlukan lindungan
khusus.
2.Bila 1,7 < Fru ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam
energi secara efektif. Pada umumnya kolam olak dengan
ambang ujung mampu bekerja dengan baik.
3.Jika 2,5 < Fru ≤ 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit
dalam memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak
terbentuk dengan baik dan menimbulkan gelombang sampai
jarak yang jauh di saluran.
Gambar 2.20. Dimensi kolam olakan USBR Type
I

(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)


Gambar 2.21. Hubungan percobaan antara Fr, y2/y1dan n/y1untuk ambang ujung pendek
(Forstei dan Skrinde, 1950)
• Kolam olakan tipe vlughter
Salah satu tipe kolam olakan yang sudah umum dipakai di
Indonesia adalah kolam olakan Vlughter, Gambar 2.26. Akan
tetapi belakangan telah diketahui, bahwa kolam olakan ini
tidak handal lagi pada tinggi air hilir di atas dan di bawah
tinggi muka air yang sudah diuji di laboratorium. Atau kurang
cocok pada keadaan debit yang mempunyai fluktuasi yang
besar.
2.6.Bangunan Pengambilan dan Pembilas
Pengambilan sebaiknya ditempatkan sedekat mungkin dengan
as bendung. Pengambilan dapat dibuat di sebelah kiri
bendung apabila sawah yang akan diairi terletak di sebelah
kiri, atau sebaliknya di sebelah kanan bendung, atau kedua-
duanya, tergantung dengan kebutuhan. Apabila pengambilan
pada salah satu sisi (kiri atau kanan) relatif kecil, maka dapat
disatukan pada salah satu sisi saja yang pengambilannya lebih
besar. Pengambilan yang lebih kecil ditempatkan pada pilar
bangunan pembilas dan dialirkan melalui pipa yang
ditempatkan di dalam tubuh bendung sampai keseberang sisi
lainnya.
2.6.1. Bangunan pengambilan
Bangunan pengambilan (intake) berfungsi untuk menyadap air sungai yang
telah dibendung, sesuai dengan kebutuhan air untuk irigasi. Oleh karena
itu,ukurannya tergantung dari kapasitas debit rencana saluran induk.
Kecepatan aliran pada pintu pengambilan dibuat sedemikian rupa,
sehingga disatu pihak material berbutir kasar tidak ikut tersadap dan dilain
pihak tidak boleh terjadi endapan.
Untuk menentukan perkiraan kecepatan tersebut, dapat digunakan rumus
berikut :

Dalam kondisi umum, rumus tersebut dapat disederhanakan menjadi ;


Dimana : v = kecepatan rata-rata (m/dt) h = kedalaman air (m)
d = diameter butir (m)

Dalam perencanaan normal dapat diambil kecepatan rata-rata antara 1.00 s.d. 2.00 m/dt
untuk dapat membatasi butiran-butiran berdiameter 0.01 –0.04 m tidak ikut tersadap.
Kapasitas pengambilan.
Dimensi bangunan pengambilan harus direncanakan dengan
kapasitas sekurang-kurangnya 120 % dari debit kebutuhan
saluran induk. Besar debit pengambilan dapat dihitung
sebagai berikut, lihat Gambar 2.27:

dimana:
Q = debit (m3/dt) μ= koefisien debit (0,8)
b = lebar bukaan, (m) a= tinggi bukaan (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt2) z = kehilangan energi (m)
Rumus di atas masih dapat dipergunakan bila ujung bawah pintu tenggelam
sampai dengan 20 cm di bawah muka air hulu.
Elevasi ambang pengambilan ditentukan dari dasar sungai (bendung), dengan
ketentuan sebagai berikut:
❑0.50 m bila sungai mengangkut lanau.
❑1.00 m bila sungai mengangkut pasir.
❑1.50 m bila sungai mengangkut batu-batu bongkah
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
Gambar 2.28. Geometri Bangunan Pengambilan.

2.6.2. Bangunan pembilas


Bangunan pembilas berfungsi untuk mencegah tertumpuknya material
(lumpur, kerikil dan lain sebagainya) di depan pintu pengambilan. Secara
periodik pintu bilas dibuka untuk membersihkan tumpukan material tersebut,
sehingga ruang aliran di depan pengambilan selalu terjaga kebersihannya.

lebar bangunan pembilas dapat ditentukan sebagai berikut:


❑Lebar bangunan pembilas, termasuk tebal pilar, sebaiknya diambil antara 1/6 s.d 1/10
dari lebar bendung, untuk sungai yang lebarnya kurang dari 100 m.
❑Lebar pembilas sebaiknya diambil 60 % dari lebar total pengambilan, termasuk pilar-
pilarnya
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
Gambar 2.29. Geometri Bangunan Pembilas

Dimensi-dimensi dasar pembilas bawah, dapat dilihat pada


Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02
2.6.3 Daun pintu
Baik bangunan pengambilan maupun pembilas dilengkapi dengan daun
pintu sorong (umumnya), yang dapat dibuat dari bahan kayu atau baja.
Untuk pengoperasiannya (menutup dan membuka) daun pintu tersebut
dilengkapi dengan sistem roda gigi yang dihubungkan dengan stang
pengangkat.
Bahan daun pintu dapat dibuat dari kayu kelas satu atau pelat baja yang
dilengkapi dengan rusuk-rusuk pengaku.
Daun pintu kayu terdiri dari susunan balok-balok kayu yang dirangkai dengan
besi pelat atau siku. Tekanan air diteruskan ke sponing, sehinggadaun
pintu harus direncanakan sedemikian rupa sehingga masing-masing balok
kayu mampu menahan beban dan meneruskannya ke sponing. Akan
tetapi, pada pintu baja, beban tersebut dipikul oleh balok rusuk yang
biasnya dibuat dari baja profil. Balok yang menerima gaya terbesar adalah
balok paling bawah dan karena itu maka balok inilah yang dipakai sebagai
dasar perhitungan didalam menentukan dimensi daun pintu.
Daun pintu direncanakan agar mampu menahan gaya hidrostatis setinggi air
banjir.
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
Gambar 2.30 -Pembilas Bawah
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02)
Gambar 2.31. Daun pintu pengambilan / pembila
Sekian dan terima kasih

Anda mungkin juga menyukai