a. Metoda Bligh.
Menurut Bligh, besarnya beda tekanan di jalur rembesan adalah
sebanding dengan panjang jalur rembesan dan dinyatakan sebagai
berikut, lihat Gambar 2.33:
∆H = I/C
dimana: ∆H = bedatekanan
l = panjang jalur rembesan. C = creep ratio
Harga C tergantung dari jenis tanah dasar di bawah bendung.
b.Metoda Lane
Prof. Lane telah memberikan koreksi terhadap teori Bligh, dengan
menyatakan bahwa energi yang dibutuhkan oleh air untuk
melewati jalur yang vertikal (lv) lebih besar dari pada jalur
horizontal (lh), dengan perbandingan 3 : 1. Oleh karena
itu,dianggap bahwa lv= 3xlh, untuk suatu panjang yang sama,
sehingga Rumus Bligh tersebut berubah menjadi:
sehingga syarat panjang jalur rembesan menjadi : L = Lv + 1/3 Lh ≥ C x ∆H
Keterangan: Lv = jumlah panjang jalur rembesan vertikal.
Lh = jumlah panjang jalur rembesan horizonta
c.Tebal lantai
bahwa akibat adanya rembesan di bawah tubuh bendung, maka setiap
titik pada konstruksi akan menerima tekanan, baik ke atas maupun
ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift pressure). Pada
lantai hulu, karena diatasnya selalu ada air, minimal setinggi mercu
yang akan mengimbangi tekanan ke atas, di samping tekanan pada
daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada
daerah ini tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Oleh karena itu,
lantai hulu ini tidak perlu terlalu tebal, kedap air dan tidak mudah
pecah.
Pada lantai hilir (kolam olakan), kondisinya lebih berbahaya, terutama
karena tekanan rembesan pada daerah ini relatif lebih besar dan
diatas lantainya sering kosong (tidakada air), atau lapisan airnya
relatif tipis. Oleh karena itu,maka tebal lantai kolam ini harus
diperhitungkan agar jangan sampai terdorong ke atas, yang harus
diimbangi oleh berat lantai itu sendiri.
Gambar 2.34. Ilustrasi daya angkat akibat tekanan rembesan di bawah fondasi bendung
Dengan cara yang sama, juga dapat dikontrol tebal lantai pada titik I.
Selanjutnya perhitungan juga dilakukan terhadap kondisi air banjir,
dan ukuran tebal terbesar adalah yang menentukan.
2.7.2 Stabilitas tubuh bendung
Bendung yang direncanakan harus dapat bertahan dan berfungsi
dengan baik selama umur rencananya. Untuk dapat berfungsi
dengan baik, maka konstruksi bendung,khususnya tubuh
bendung, harus mampu bertahan terhadap semua
kemungkinan gaya yang bekerja atau timbul, tanpa mengalami
perubahan-perubahan, baik posisi, elevasi maupun bentuknya
(stabil).
a. Syarat-syarat stabilitas
Tubuh bendung dapat dikatakan stabil apabila terpenuhi kriteria-
kriteria sebagai berikut:
1.Tubuh bendung tidak boleh berputar atau terguling. Momen
penahan harus lebih besar dari pada momen guling
2.Tubuh bendung tidak boleh bergeser, gaya penahan harus
lebih besar daripada gaya geser yang timbul
3. Tubuh bendung (fondasi) tidak boleh turun, tegangan yang
timbul tidak boleh melebihi tegangan tanah yang diizinkan
4. Setiap titik pada seluruh konstruksi tidak boleh terangkat
oleh gaya ke atas (uplift pressure)
5. Pada tubuh bendung yang terbuat dari pasangan batu tidak
boleh terjadi tegangan tarik.
Untuk menyederhanakan masalah, dalam peninjauan terhadap
stabilitas tubuh bendung,
maka diambil anggapan-anggapan sebagai berikut, lihat Gambar
2.35. Konstruksi tubuh bendung akan patah pada potongan-
potongan yang terlemah, yaitu potongan I dan II.
Tubuh bendung akan terguling ke arah hilir dengan titik O sebagai
titik guling. Bagian hulu bendung terisi lumpur setinggi mercu.
Peninjauan gaya-gaya dilakukan pada dua kondisi, yaitu kondisi
air normal dan banjir. Pada kondisi air normal, di bagian hulu
mercu terdapat air setinggi mercu dan di sebelah hilir dianggap
tidak ada air. Perhitungan ditinjau untuk setiap satu meter lebar
bendung.
Karena perhitungan dilakukan untuk setiap 1 m lebar, maka volume sama dengan
luas potongan yang ditinjau. Berat isi pasangan dapat diambil dari Tabel 2.6. Akibat
gaya berat, diperoleh momen dan gaya vertikal, yang besarnya adalah, lihat Gambar
2.36.
Gambar 2.36. Berat sendiri tubuh bendung
• d. Gaya gempa
Besar gaya gempa adalah berat bangunan dikalikan dengan
koefisien gempa, dan diperhitungkan sebagai gaya horizontal
yang bekerja ke arah yang paling berbahaya, dalam hal ini
adalah ke arah hilir bangunan (ke kanan). Jadi besar gaya gempa
adalah ;
Gg = Gb x E
Keterangan:
Gg = Gaya gempa (t)
Gb = Gaya gempa (t)
E = Koefisien gempa
• Harga koefisien gempa tergantung dari faktor letak geografis
suatu daerah di mana bendung direncanakan, dan diambil dari
peta gempa yang dikeluarkan oleh DPMA tahun 1981, yang
disebut “Peta Zona Seismik untuk Perencanaan Bangunan Air
Tahan Gempa”.
Akibat gaya gempa diperoleh momen putar dan gaya horizontal sebagai
berikut, lihat Gambar 2.37. Selanjutnya harga koefisien gempa dapat
dihitung sebagai berikut:
E = ad/g dimana : ad = n ( ac . z ) m
Keterangan:
E = Koefisien gempa.
ad = Percepatan gempa rencana (cm/dt2)
g = Percepatan gravitasi (cm/dt2) (980)
n,m = Koefisien untuk jenis tanah, Tabel 2.7
ac = Percepatan kejut dasar (cm/dt2) Tabel 2.8
z = Faktor gempa
Mgg = Gg x l
Hgg = Gg
Keterangan:
Mgg = momen akibat gempa (tm) ( + ).
Hgg = gaya horizontal akibat gempa (t) ( + )
Gg = gaya gempa (t)
L = lengan momen (m)
Jadi gaya gempa mengakibatkan timbulnya momen guling (+) dan gaya geser (+).
Gambar 2.37. Gaya dan momen akibat gempa
c. Tekanan air
Gaya akibat tekanan air yang bekerja pada tubuh bendung
dibedakan menjadi dua macam,
yaitu tekanan hidrostatis dan tekanan rembesan yang
menimbulkan daya angkat (uplift
pressure). Sedangkan tekanan hidrodinamis tidak perlu
diperhitungkan, karena konstruksi
bendung umumnya relatif rendah. Selanjutnya kedua macam gaya
tekanan tersebut harus
ditinjau terhadap dua kondisi, masing-masing kondisi air normal
dan kondisi air banjir.
Tekanan hidrostatis air normal
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa pada saat air normal,
dianggap bahwa di bagian hulu terdapat air setinggi mercu,
sedangkan di bagian hilir tidak ada air, lihat Gambar 2. 38.
Keterangan:
Px = Gaya angkat pada titik x.
L = Panjang total creep line →A-B-C-D-E-F-G.
Lx = Panjang creep line sampai titik x → A-B-C-D-X.
∆H = Beda tinggi energi total
Hx = Tinggi energi hulu sampai titik x.
Gambar 2.41 Gaya angkat pada tubuh bendung; a...; b....
Dengan demikian besar gaya angkat pada setiap bidang dapat
ditentukan, seperti terlihat pada Gambar 2.41 b. Gaya PDE yang
bekerja pada bidang DE akan menimbulkan gaya guling
terhadap tubuh bendung. Seperti halnya pada bahaya sufosi,
gaya daya angkat ini juga dapat dikurangi dengan
memperpanjang creep line dengan pemasangan lantai hulu
atau dinding halang (sheet pile). Lokasi pemasangan dinding
halang tidak berpengaruh terhadap besarnya bahaya sufosi,
sedangkan untuk gaya angkat penempatan ini akan
berpengaruh, khususnya terhadap lantai kolam olakan. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut, lihat Gambar 2.42. Kita tinjau
bidang CD dari Gambar 1.42. Kondisi pertama dinding halang
dipasang pada titik C dan kondisi kedua dipasang pada titik D.
Terlihat bahwa penempatan dinding halang pada titik C atau D,
akan memberikan panjang creep line total yang sama untuk
panjang dinding yang sama ( A-B-C-C1-C-E-F = A-B-D-D1-D-E-F).
Akan tetapi,
panjang creep line pada titik C dan D dari kedua kondisi
tersebut berbeda, kondisi pertama
lebih besar dari pada kondisi kedua. Dengan demikian, bila
digunakan Rumus 5.29, akan
diperoleh bahwa tekanan pada bidang CD pada kondisi
pertama lebih kecil dari pada
kondisi kedua, yang berarti pemasangan dinding halang pada
titik C lebih menguntungkan
dari pada pemasangan di titik D. Oleh karena itu dalam
perencanaan bendung, bila
digunakan konstruksi dinding halang untuk mengatasi tekanan
rembesan perlu
diperhatikan penempatannya terhadap tubuh bendung.
Tekanan Lumpur
Setelah bendung beroperasi beberapa tahun, ada
kemungkinan di bagian hulu bendung
akan tertimbun oleh sedimen, lumpur dan
sebagainya, tergantung material bawaan sungai
bersangkutan. Oleh karena itu dalam meninjau
stabilitas, maka di hulu mercu tersebut
terdapat endapan lumpur setinggi mercu, lihat
Gambar 2.43. Apabila parameter lumpur
diketahui, maka tekanan lumpur dapat dihitung
sebagai berikut:
Gl1 = 1/2 . p2 . γ l . Ka
Gl2 = 1/2 . p . a . γl
sehingga gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung adalah sebagai
beikut:
Hl = Gl1 ------> ( + )
Vl = Gl2 ------> ( - )
Ml = Gl1 . l1 - Gl2 . l2 ------> (+ atau -)
Keterangan:
Gl = gaya akibat tekanan lumpur (t/m2)
Hl = gaya horizontal akibat lumpur (t)
Vl = gaya vertikal akibat gaya lumpur (t)
Ml = momen putar akibat gaya lumpur (tm)
l = lengan momen terhadap titik O (m)
γl = berat isi lumpur (t/m3)
ka = koefisien tekanan tanah.
di mana:
Σ (H)= keseluruhan gaya horizontal yang bekerja pada bangunan, kN
Σ (V-U)= keseluruhan gaya vertikal (V), dikurangi gaya tekan ke atas yang
bekerja pada
bangunan, kN
θ =sudut resultante semua gaya, terhadap garis vertikal, derajat
f =koefisien gesekan
S = faktor keamanan