Anda di halaman 1dari 41

Stabilitas Bendung

2.7. Stabilitas Bendung


Akibat adanya bendung , maka terjadi perbedaan
tinggi muka air antara bagian hulu dan hilir
bendung tersebut, yang menyebabkan terjadinya
beda teakanan (energi) antara kedua bagian
tersebut. Salah satu akibatnya adalah timbulnya
aliran rembesan dibawah tubuh bendung
(pondasi), lebih-lebih bila tanah dasarnya bersifat
porus. Rembesan ini akan menimbulkan tekanan
baik terhadap butir-butir tanah, maupun terhadap
konstruksi bendung itu sendiri, yang disebut daya
angkat (uplift pressure).
2.7.1. Tekanan rembesan
Apabila tekanan rembesan seperti tersebut di atas cukup besar, maka
akan dapat mendesak dan membongkar butir-butir tanah,
khususnya pada bagian hilir dari kolam olakan yang disebut dengan
bahaya sufosi (piping), lihat Gambar 2.32, yaitu terbongkarnyabutir-
butir tanah pada titik tersebut.
Dalam pengalirannya, rembesan air ini mendapat hambatan-hambatan
terutama karena gesekan. Oleh karena itu,air cenderung mencari
jalan dengan hambatan yang paling kecil yaitu pada bidang kontak
antara bangunan (fondasi) dan tanah dasar, yang disebut jalur
rembesan (creep line). Semakin pendek jalur yang ditempuh air
semakin kecil hambatannya dan akibatnya semakin besar tekanan
yang ditimbulkan pada ujung hilir kolam olakan, dan sebaliknya.
Ada beberapa teori atau metode untuk menentukan besarnya tekanan
rembesan, antara lain Metode Flownet, Khosla, Bligh dan Metoda
Lane.
• Metoda Bligh dan Lane, karena dua metoda ini lebih praktis dan sudah
umum dipakai.

Gambar 2.32 Jalur rembesan dan bahaya sufos

a. Metoda Bligh.
Menurut Bligh, besarnya beda tekanan di jalur rembesan adalah
sebanding dengan panjang jalur rembesan dan dinyatakan sebagai
berikut, lihat Gambar 2.33:
∆H = I/C
dimana: ∆H = bedatekanan
l = panjang jalur rembesan. C = creep ratio
Harga C tergantung dari jenis tanah dasar di bawah bendung.

Gambar 2.33. Teori Bligh


Bila panjang jalur rembesan total = L (dari titik A-H) dan beda tekanan total = ∆H, maka
rumus diatas menjadi:
∆H = L/C
Supaya konstruksi aman terhadap bahaya sufosi ini, maka haruslah
dipenuhi:
∆H ≤ L/C atau → L ≥ ∆H x C
Dengan demikian apabila jalur rembesan yang ada kurang dari
panjang jalur ( L ) yang dibutuhkan, maka panjang jalur tersebut
harus ditambah (diperpanjang).
Ada dua cara untuk memperpanjang jalur rembesan tersebut,
pertama dengan memasang lantai hulu dan kedua dengan dinding
halang (sheet pile) dibawah tubuh bendung, atau gabungan dari
keduanya.

b.Metoda Lane
Prof. Lane telah memberikan koreksi terhadap teori Bligh, dengan
menyatakan bahwa energi yang dibutuhkan oleh air untuk
melewati jalur yang vertikal (lv) lebih besar dari pada jalur
horizontal (lh), dengan perbandingan 3 : 1. Oleh karena
itu,dianggap bahwa lv= 3xlh, untuk suatu panjang yang sama,
sehingga Rumus Bligh tersebut berubah menjadi:
sehingga syarat panjang jalur rembesan menjadi : L = Lv + 1/3 Lh ≥ C x ∆H
Keterangan: Lv = jumlah panjang jalur rembesan vertikal.
Lh = jumlah panjang jalur rembesan horizonta
c.Tebal lantai
bahwa akibat adanya rembesan di bawah tubuh bendung, maka setiap
titik pada konstruksi akan menerima tekanan, baik ke atas maupun
ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift pressure). Pada
lantai hulu, karena diatasnya selalu ada air, minimal setinggi mercu
yang akan mengimbangi tekanan ke atas, di samping tekanan pada
daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada
daerah ini tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Oleh karena itu,
lantai hulu ini tidak perlu terlalu tebal, kedap air dan tidak mudah
pecah.
Pada lantai hilir (kolam olakan), kondisinya lebih berbahaya, terutama
karena tekanan rembesan pada daerah ini relatif lebih besar dan
diatas lantainya sering kosong (tidakada air), atau lapisan airnya
relatif tipis. Oleh karena itu,maka tebal lantai kolam ini harus
diperhitungkan agar jangan sampai terdorong ke atas, yang harus
diimbangi oleh berat lantai itu sendiri.
Gambar 2.34. Ilustrasi daya angkat akibat tekanan rembesan di bawah fondasi bendung

Besar tekanan pada titik X, sebagai berikut:Px = Hx –lx/L.∆H


Dimana : Px= Daya angkat pada titik X (t/m2)
Hx= Tinggi energi di hulu bendung sampai titik X (m)
lx = Panjang jalur rembesan sampai dengan titik X (m)
L= Panjang jalur rembesan total (m)
∆H= Beda tinggi energi total (m)
Untuk mengetahui apakah tebal lantai kolam olakan aman atau tidak,
maka ditinjau pada dua titik/potongan, masing-masing pada titik H
dan I, pada Gambar 2.34. Pada saat air normal, di atas lantai dianggap
tidak ada air. Maka tekanan ke atas adalah pH, sedangkan tekanan ke
bawah adalah berat lantai pada titik yang bersangkutan, atau
Gb = tH . Γp
Supaya lantai tidak terangkat, haruslah dipenuhi, Gb>Ph atau tH p>pH.
tHmin > PH/γp
Keterangan:
tH = Tebal lantai pada titik H (m)
PH = daya angkat pada titik H (t/m2)
γp = berat isi pasangan (t/m3)

Dengan cara yang sama, juga dapat dikontrol tebal lantai pada titik I.
Selanjutnya perhitungan juga dilakukan terhadap kondisi air banjir,
dan ukuran tebal terbesar adalah yang menentukan.
2.7.2 Stabilitas tubuh bendung
Bendung yang direncanakan harus dapat bertahan dan berfungsi
dengan baik selama umur rencananya. Untuk dapat berfungsi
dengan baik, maka konstruksi bendung,khususnya tubuh
bendung, harus mampu bertahan terhadap semua
kemungkinan gaya yang bekerja atau timbul, tanpa mengalami
perubahan-perubahan, baik posisi, elevasi maupun bentuknya
(stabil).
a. Syarat-syarat stabilitas
Tubuh bendung dapat dikatakan stabil apabila terpenuhi kriteria-
kriteria sebagai berikut:
1.Tubuh bendung tidak boleh berputar atau terguling. Momen
penahan harus lebih besar dari pada momen guling
2.Tubuh bendung tidak boleh bergeser, gaya penahan harus
lebih besar daripada gaya geser yang timbul
3. Tubuh bendung (fondasi) tidak boleh turun, tegangan yang
timbul tidak boleh melebihi tegangan tanah yang diizinkan
4. Setiap titik pada seluruh konstruksi tidak boleh terangkat
oleh gaya ke atas (uplift pressure)
5. Pada tubuh bendung yang terbuat dari pasangan batu tidak
boleh terjadi tegangan tarik.
Untuk menyederhanakan masalah, dalam peninjauan terhadap
stabilitas tubuh bendung,
maka diambil anggapan-anggapan sebagai berikut, lihat Gambar
2.35. Konstruksi tubuh bendung akan patah pada potongan-
potongan yang terlemah, yaitu potongan I dan II.
Tubuh bendung akan terguling ke arah hilir dengan titik O sebagai
titik guling. Bagian hulu bendung terisi lumpur setinggi mercu.
Peninjauan gaya-gaya dilakukan pada dua kondisi, yaitu kondisi
air normal dan banjir. Pada kondisi air normal, di bagian hulu
mercu terdapat air setinggi mercu dan di sebelah hilir dianggap
tidak ada air. Perhitungan ditinjau untuk setiap satu meter lebar
bendung.

Gambar 2.35. Anggapan pada peninjauan stabilitas bendung


b. Gaya dan momen
Secara keseluruhan, pada umumnya, gaya-gaya yang bekerja pada suatu
tubuh bendung
terdiri dari :
1. Berat sendiri tubuh bendung
2. Gaya gempa
3. Tekanan air
4. Tekanan lumpur
5. Reaksi fondasi

Perjanjian arah gaya dan momen ditentukan sebagai berikut:


Gaya horizontal: ke kiri (-) = negatif adalah gaya penahan
ke kanan (+) = positif adalah gaya geser
Gaya vertikal: ke bawah (-) = negatif adalah gaya penahan
ke atas (+) = positif, adalah gayaangkat/reaksi
Momen:
Berputar ke kiri (-) = negatif adalah momen penahan.
Berputar ke kanan (+) = positif adalah momen guling
c. Berat sendiri
Berat sendiri tubuh bendung tergantung dari jenis bahan yang digunakan,umumnya
pasangan batu kali atau beton. Besarnya gaya berat adalah sama dengan volume
dikalikan dengan berat isi, atau
Gb = V x γp
Dimana:
Gb = Gaya berat (ton)
V = Volume (m3)
γp = Berat isi pasangan (batu atau beton) (t/m3)
Vgb = Gb = Gaya vertikal, ton (-)
Mgb = Gb x l, tm (-)
Keterangan:
Gb = Gaya berat (t)
Mgb = Momen putar (tm)
l = Lengan momen (m)

Karena perhitungan dilakukan untuk setiap 1 m lebar, maka volume sama dengan
luas potongan yang ditinjau. Berat isi pasangan dapat diambil dari Tabel 2.6. Akibat
gaya berat, diperoleh momen dan gaya vertikal, yang besarnya adalah, lihat Gambar
2.36.
Gambar 2.36. Berat sendiri tubuh bendung
• d. Gaya gempa
Besar gaya gempa adalah berat bangunan dikalikan dengan
koefisien gempa, dan diperhitungkan sebagai gaya horizontal
yang bekerja ke arah yang paling berbahaya, dalam hal ini
adalah ke arah hilir bangunan (ke kanan). Jadi besar gaya gempa
adalah ;
Gg = Gb x E
Keterangan:
Gg = Gaya gempa (t)
Gb = Gaya gempa (t)
E = Koefisien gempa
• Harga koefisien gempa tergantung dari faktor letak geografis
suatu daerah di mana bendung direncanakan, dan diambil dari
peta gempa yang dikeluarkan oleh DPMA tahun 1981, yang
disebut “Peta Zona Seismik untuk Perencanaan Bangunan Air
Tahan Gempa”.
Akibat gaya gempa diperoleh momen putar dan gaya horizontal sebagai
berikut, lihat Gambar 2.37. Selanjutnya harga koefisien gempa dapat
dihitung sebagai berikut:
E = ad/g dimana : ad = n ( ac . z ) m
Keterangan:
E = Koefisien gempa.
ad = Percepatan gempa rencana (cm/dt2)
g = Percepatan gravitasi (cm/dt2) (980)
n,m = Koefisien untuk jenis tanah, Tabel 2.7
ac = Percepatan kejut dasar (cm/dt2) Tabel 2.8
z = Faktor gempa
Mgg = Gg x l
Hgg = Gg

Keterangan:
Mgg = momen akibat gempa (tm) ( + ).
Hgg = gaya horizontal akibat gempa (t) ( + )
Gg = gaya gempa (t)
L = lengan momen (m)
Jadi gaya gempa mengakibatkan timbulnya momen guling (+) dan gaya geser (+).
Gambar 2.37. Gaya dan momen akibat gempa
c. Tekanan air
Gaya akibat tekanan air yang bekerja pada tubuh bendung
dibedakan menjadi dua macam,
yaitu tekanan hidrostatis dan tekanan rembesan yang
menimbulkan daya angkat (uplift
pressure). Sedangkan tekanan hidrodinamis tidak perlu
diperhitungkan, karena konstruksi
bendung umumnya relatif rendah. Selanjutnya kedua macam gaya
tekanan tersebut harus
ditinjau terhadap dua kondisi, masing-masing kondisi air normal
dan kondisi air banjir.
Tekanan hidrostatis air normal
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa pada saat air normal,
dianggap bahwa di bagian hulu terdapat air setinggi mercu,
sedangkan di bagian hilir tidak ada air, lihat Gambar 2. 38.

Gambar 2.38. Tekanan air normal


• Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung, dirumuskan sebagai
berikut:
Ga1 = 1/2.γw.a.p2
Ga2 = 1/2.γw.a.p
Gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung menjadi
seperti berikut:
Han = Ga1
Van = Ga2
Man = Ga1xl1 - Ga2xl2
Keterangan:
Han = gaya horizontal, t ( + )
Van = gaya vertikal, t ( - )
Man = momen putar, tm ( + atau - )
Tekanan hidrostatis air banjir
Dalam hal ini dibedakan lagi terhadap jenis pengaliran di
atas mercu, yaitu untuk mercu yang tidak tenggelam dan
mercu tenggelam. Untuk mercu tidak tenggelam, lihat
Gambar 2.39, pada saat air banjir sebenarnya di atas mercu
ada lapisan air yang mengalir. Tetapi karena lapisan ini relatif
tipis dan disang itu kecepatannya besar, serta untuk
keamanan maka lapisan ini tidak perlu diperhitungkan.
Untuk mercu tenggelam, lihat Gambar 1.40, lapisan air di
atas mercu sebaiknya diperhitungkan. Perhitungan gaya dan
momen identik dengan perhitungan pada mercu tidak
tenggelam.
Gambar 2.39. Tekanan hidrostatis air banjir untuk mercu tidak tenggelam
Besar tekanan adalah sebagai berikut:
Besar tekanan adalah sebagai berikut:
Ga1 = 1/2. .γw
Ga2 = h.p.γw
Ga3 = 1/2.a.p.γw
Ga4 = a.h.γw
Ga5 = 1/2. .b.γw
Ga6 = 1/2. . γw
Sehingga gaya-gaya dan momen yang bekerja pada tubuh
bendung adalah:
Hab = Ga1+Ga2-Ga6 -----> ( + atau -)
Vab = -Ga3-Ga4-Ga5 ------> (-)
Mab = ΣGaxl ------> (+ atau -)
Gambar 2.40. Tekanan Hidrostatis Air Banjir Untuk Mercu Tenggelam
Daya angkat ( Uplift pressure )
Bangunan tubuh bendung mendapat tekanan air bukan hanya pada
permukaan luarnya, tetapi juga pada dasarnya dan dalam tubuh bangunan
itu sendiri yang disebut daya angkat
(uplift pressure) yang menyebabkan berkurangnya berat efektif bangunan
di atasnya.
Daya angkat ini akan menimbulkan gaya guling terhadap tubuh bendung
dan pecahnya lantai kolam olakan. Pengembangan dari teori Bligh dan
Lane akan memperoleh
persamaan yang menyatakan besarnya daya angkat pada setiap titik sebagai
berikut, lihat Gambar 2.41.
Px= Hx – Lx/L . ∆H

Keterangan:
Px = Gaya angkat pada titik x.
L = Panjang total creep line →A-B-C-D-E-F-G.
Lx = Panjang creep line sampai titik x → A-B-C-D-X.
∆H = Beda tinggi energi total
Hx = Tinggi energi hulu sampai titik x.
Gambar 2.41 Gaya angkat pada tubuh bendung; a...; b....
Dengan demikian besar gaya angkat pada setiap bidang dapat
ditentukan, seperti terlihat pada Gambar 2.41 b. Gaya PDE yang
bekerja pada bidang DE akan menimbulkan gaya guling
terhadap tubuh bendung. Seperti halnya pada bahaya sufosi,
gaya daya angkat ini juga dapat dikurangi dengan
memperpanjang creep line dengan pemasangan lantai hulu
atau dinding halang (sheet pile). Lokasi pemasangan dinding
halang tidak berpengaruh terhadap besarnya bahaya sufosi,
sedangkan untuk gaya angkat penempatan ini akan
berpengaruh, khususnya terhadap lantai kolam olakan. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut, lihat Gambar 2.42. Kita tinjau
bidang CD dari Gambar 1.42. Kondisi pertama dinding halang
dipasang pada titik C dan kondisi kedua dipasang pada titik D.
Terlihat bahwa penempatan dinding halang pada titik C atau D,
akan memberikan panjang creep line total yang sama untuk
panjang dinding yang sama ( A-B-C-C1-C-E-F = A-B-D-D1-D-E-F).
Akan tetapi,
panjang creep line pada titik C dan D dari kedua kondisi
tersebut berbeda, kondisi pertama
lebih besar dari pada kondisi kedua. Dengan demikian, bila
digunakan Rumus 5.29, akan
diperoleh bahwa tekanan pada bidang CD pada kondisi
pertama lebih kecil dari pada
kondisi kedua, yang berarti pemasangan dinding halang pada
titik C lebih menguntungkan
dari pada pemasangan di titik D. Oleh karena itu dalam
perencanaan bendung, bila
digunakan konstruksi dinding halang untuk mengatasi tekanan
rembesan perlu
diperhatikan penempatannya terhadap tubuh bendung.
Tekanan Lumpur
Setelah bendung beroperasi beberapa tahun, ada
kemungkinan di bagian hulu bendung
akan tertimbun oleh sedimen, lumpur dan
sebagainya, tergantung material bawaan sungai
bersangkutan. Oleh karena itu dalam meninjau
stabilitas, maka di hulu mercu tersebut
terdapat endapan lumpur setinggi mercu, lihat
Gambar 2.43. Apabila parameter lumpur
diketahui, maka tekanan lumpur dapat dihitung
sebagai berikut:
Gl1 = 1/2 . p2 . γ l . Ka
Gl2 = 1/2 . p . a . γl
sehingga gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung adalah sebagai
beikut:
Hl = Gl1 ------> ( + )
Vl = Gl2 ------> ( - )
Ml = Gl1 . l1 - Gl2 . l2 ------> (+ atau -)
Keterangan:
Gl = gaya akibat tekanan lumpur (t/m2)
Hl = gaya horizontal akibat lumpur (t)
Vl = gaya vertikal akibat gaya lumpur (t)
Ml = momen putar akibat gaya lumpur (tm)
l = lengan momen terhadap titik O (m)
γl = berat isi lumpur (t/m3)
ka = koefisien tekanan tanah.

Gambar 2.43. Tekanan lumpur


2.7.3 Kontrol stabilitas
Seperti dikemukakan di atas, bahwa tubuh bendung yang direncakan tidak boleh,
bergeser, terguling dan ambles (turun) oleh gaya-gaya yang bekerja. Dilain pihak
tidak semua gaya-gaya di atas terjadi dalam waktu yang bersamaan dan kalaupun
ada kemungkinan kejadian yang bersamaan, tapi probabilitasnya tidak sama. Oleh
karena itu, alam mengontrol stabilitas ini dilakukan beberapa kombinasi
pembebanan (gaya) dan sesuai dengan probabilitasnya, maka faktor keamanan
dari masing-masing kombinasi tersebut juga bervariasi. Tabel 2.9 memperlihatkan
kombinasi pembebanan dan kenaikan tegangan izin yang disyaratkan. Sedangkan
Tabel 2.10 memperlihatkan faktor keamanan yang diperlukan terhadap geser dan
guling.
Tabel 2.9. Kombinasi pembebanan dan faktor keamanan terhadap guling dan
geser (PUBI 1982)
Keterangan :
M = Beban mati
H = Beban hidup
K = Beban kejut
T = Beban tanah
Thn = Tekanan air normal
Thb = Tekanan air banjir.
G = Beban gempa.
Ss = Pembebanan sementara
selama pelaksanaan
Ada tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi, yaitu:
1. gelincir (sliding)
a. sepanjang sendi horisontal atau hampir horisontal di
atas pondasi
b. sepanjang pondasi, atau
c. sepanjang kampuh horisontal atau hampir horisontal
dalam pondasi.
2. guling (overturning)
a. di dalam bendung
b. pada dasar (base), atau
c. pada bidang di bawah dasar.
d. erosi bawah tanah (piping).
3. Kontrol daya dukung/ambles
3.7.3.1. Ketahanan terhadap gelincir
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua
gaya, termasuk gaya angkat,
yang bekerja pada bendung di atas semua bidang horisontal,
harus kurang dari koefisien
gesekan yang diizinkan pada bidang tersebut.

di mana:
Σ (H)= keseluruhan gaya horizontal yang bekerja pada bangunan, kN
Σ (V-U)= keseluruhan gaya vertikal (V), dikurangi gaya tekan ke atas yang
bekerja pada
bangunan, kN
θ =sudut resultante semua gaya, terhadap garis vertikal, derajat
f =koefisien gesekan
S = faktor keamanan

Anda mungkin juga menyukai