Anda di halaman 1dari 15

Pendidikan Agama Islam

Kelompok 7
Anggota Kelompok :
1.Chela Aprilia (2048401023)
2.Chikita Restu Amanda (2048401024)
3.Destia Agriyanti (2048401026)
4.Dinda Nurjanna (2048401027)

Materi : Syariah Fiqih dan Hukum Islam


Pengertian Syari’ah
Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ ‫ ) شرـيـعـة‬berasal dari kata syara’a ( ‫ ) شـرع‬yang berarti jalan
menuju mata air.
Dalam istilah Islam, syari’ah berarti jalan besar untuk kehidupan yang baik, yakni nilai-nilai agama yang dapat memberi
petunjuk bagi setiap umat manusia.
Firman Allah dalam surat al-Jaatsiyah ayat 18:

“kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariah itu dan
janganlah kamu ikuti hanya nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”

Kata syariat dalam beberapa ayat Al-Qur’an mengandung arti jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup.

Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/‫) ال ّدـيـن‬. Karena hanya agamalah yang dapat
membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pengertian Fikih
Secara lughawi (semantis), kata fikih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ ‫فـــهـ‬
‫ قـ‬bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya
dengan baik. Di beberapa tempat, al-Qur`an menggunakan kata ”faqiha/ ‫فـــهـ‬ ‫ ” قـ‬yang berarti pemahaman.
Sedangkan menurut istilah fiqh berarti sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.
Fikih secara istilah mengandung dua arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan dan perkatan mukallaf (mereka yang sudah
terbebani menjalankan syariat agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash Al-Qur’an
dan as sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukum-hukum yang berasal dari interpretasi hukum syara itu sendiri.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama fikih sesuai dengan masanya (sesuai dengan perkembangan arti
fikih tersebut), yaitu:

a. Menurut Imam Abu Hanifah, fikih adalah ma'rifat an-nafs ma laha wa ma 'alaiha (pengetahuan tentang diri terhadap segala
yang berkaitan dengan akidah maupun amaliyah). Definisi meliputi aqidah, akhlak, ibadah dan mu'amalah.
b. Menurut Imam Syafi'i, fikih adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang 'amaliyah yang diperoleh dari
dalil-dalil yang terperinci.
c. Menurut al-Baji, fikih itu adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
Perbedaan syari’ah dan fikih
1. Syari’ah identik dengan wahyu Allah, sedangkan fikih adalah produk fuqaha atau mujtahid
2. Syari’ah memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan fikih sebagai produk memiliki kebenaran relatif dan zanni (bersifat
perkiraan)
3. Syari’ah adalah sasaran untuk dipahami dalam rangka untuk dipraktekan, sedangkan fikih sebagai proses adalah upaya
memahami syari’ah untuk dipraktekan
4. Syari’ah tidak akan berubah, sedangkan fikih bisa berubah sesuai kebutuhan ummat dalam konteks perkembangan waktu
dan tempat
5. Pembuat syari’ah adalah Allah disebut syari’ sedangkan pembuat fikih adalah fuqaha yang merupakan manusia
Hukum Islam
Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab, tetapi dalam al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini
secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, tidak pernah menggunakan kata hukum Islam.
Ungkapan yang digunakan biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan fikih.
Satu waktu hukum Islam berarti syaria’h, di waktu yang lain hukum Islam berarti fikih. Meskipun demikian, istilah hukum
Islam biasanya digunakan untuk makna fikih, bukan syari’ah.

Secara leksikal, kata hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm ( A‫ ) حكم‬yang berarti menolak. Dari sinilah terbentuk kata al-
hukm ( A‫حكم‬AA‫ ) لا‬yang, antara lain, berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.

Dalam bahasa Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya:
 peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat
 undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat
 keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan)
Sejarah perkembangan hukum islam
1. Hukum Islam periode nabi dan sahabat
Masa nabi muhammad saw merupakan masa turunnya Al-Qur’an dan tumbuhnya Sunnah
2. Hukum Islam periode pertumbuhan dan perkembangan madzhab
a. Pengertian madzhab
Madzhab adalah jalan. Berarti juga pendapat, kepercayaan, ideologi, doktrin, paham, ajaran dan aliran. Sedangkan madzhab menurut
istilah adalah kumpulan hukum yang mencakup berbagai masalah dan disertai seperangkat mode dalam menemukan dan menggali
hukum dari sumbernya.

b. Munculnya ulama-ulama pendiri madzhab


Dalam sejarah perkembangan hukum islam terdapat dua fase perkembangan madzhab dengan kecenderungan yang berbeda. Pertama,
fase dimana madzhab bersifat kedaerahan. Artinya umat islam mengikuti ulama yang ada di tempat masing-masing. Kedua, fase dimana
madzhab bersifat ketokohan atau perseorangan. Artinya umat islam tetap percaya pada ulama anutannya meski ulama ada di tempat yang
berbeda.
Ada lima madzhab fikih yang mendominasi dunia Islam saat ini, yaitu:
1. Madhzab hanafi oleh Imam Hanafi
2. Madhzab Maliki oleh Imam Malik bin Anas
3. Madhzab Syafi’i oleh Imam Syafi’i
4. Madhzab Hanbali oleh Imam Ahmad bin Hanbal
5. Madhzab Ja’fari oleh Imam Ja’far al-Shadiq
 1. Hukum Islam dan Fiqih
Dalam catatan sejarah, istilah fiqih mengalami tiga perkembangan makna, yaitu:
a) Fiqh yang berarti paham (fahm). Dalam tingkat ini, fiqh dipakai untuk memahami dan membuat dedukasi dari makna ayat-ayat
Al Quranatau Sunnah Nabi. Dengan demikian identik dengan makna ra’y (pendapat pribadi dari ahli fiqh atau fuqaha’). Dengan
demikian fiqh disini mengacu pada proses memahami atau menafsirkan Al Quran atau Sunnah NAbi.
b) Fiqh yang berarti ilmu agama, mengacu pada pengetahuan. Di sini fiqh identik pada pemikiran tentang agama atau
pengetahuan tentang agama secara umum, seperti ilmu kalam, tasawuf dan lainnya, tidak hanya berkaitan dengan hukum.
Meskipun fiqh di sini juga mencakup aspek-aspek selain hukum, namun terdapat cirri utama yang tetap menunjukkan
karakternya, yaitu berupa intelektual atau pemikiran.
c) Fiqh yang berarti suatu jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam, yakni hanya disiplin hukum Islam. Yang pada
hakikatnya merupakan suatu pengetahuan produk fuqaha’ atau mujtahid. Mengenai produk fuqaha, ada yang membagi menjdi dua
kelompok yaitu, pertama fiqih ijtihadi, yakni materi hukum Islam yang diperoleh dari hasil ijtihad dan fiqih nabawi, yakni materi
hukum Islam yang diperoleh dari ketentuan hukum secara rinci dan mudah dipahami yang disebutkan dengan jelas dalam Al
Quran atau Sunnah Nabi.
Sering kita dengar bahwa fiqh adalah hukum Islam, yaitu hasil ulama atau fuqaha. Denagn begitu, tidak lagi bermakna faham
sesuai dengan arti bahasanya ataupun ilmu agam seperti perkembangannya dalam fase kedua. Namun kenyataanya tidak selalu
demikian, sebab muatan pembahasan dalam fiqih mencakup hampir seluruh aspek kehidupan umat. Ciri fiqih yang adaptif atau
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, yang diformilkan dengan kaidah fiqih tadi, diakui oleh semua pemikir hukum
Islam. Demikian juga mahzhab yang dikenal keras dan kaku bersandar kepada hadits juga mengakui hal tersebut.
Secara lebih popular, fiqih biasanya didefinisikan dengan al-‘ilm bi al-ahkam as-syari’iyyah al-‘amaliyah al-muktasabah min
adillatiha al-tafshiliyyah (ilmu yang mengenai hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan yang didapatkan dari dalil-
dalil yang spesifik). Pengertian dari Abu Ishaq Al-Syirazi yaitu: ma’rifat al-ahkam as-syari’iyyah al-lati thariquha al-ijtihad,
(mengetahui [menemukan] hukum syar’I yang caranya dengan ijtihad). Setelah menjadi disiplin tersendiri, fiqh biasanya diartikan
dengan hukum Islam, namun hukum di sini tidak selalu identik dengan law atau peraturan perundang-undangan. Lebih condong
kepada konsep etika agama (religious ethics). 
 Yakni ciri utamanya adalah terwujudnya kandungan nilai ibadah yang sarat dengan pahala, siksaan dan berkonsekuensi
akhirat.
Dilihat dari aakupannya dengan sarat muatan etika agama, fiqih secara umum dapat diartikan dengan ilmu tentang perilaku
manusia yang landasan utamanya adalah wahyu atau secara singkat Ilmu Islam tentang perilaku manusia.
2. Lahirnya Pemikiran Hukum Islam
Sebagai pemeluk agama Islam jelas akan mengatakan bahwa hukum Islam itu lahir sejak agama Itu sendiri lahir, yaitu sejak
masa kenabian Nabi Muhammad SAW. Dan wujud hukum Islam itu bersumber dari Al Quran, hadits Nabi serta praktik atau
sunnah Nabi sendiri, itu semua dikembangkan dengan sangat menghargai penggunaan akal untuk melakukan ijtihad dan
sangat toleran bahkan juga adaptif terhadap adat kebiasaan lokal atau kedaerahan.
 Berbeda dengan kajian kritis Barat, setidaknya sebagian pemikir atau yang menjadi mainstream dalam dunia kritis di Barat.
Joseph Scacht, ahli hukum Islam dalam tradisi kajian kritis di Barat yang sangat terkenal, mengklaim bahwa hukum Islam
lahir pada waktu akhir abad ke 1 H atau awal abad ke 8 M, ini berarti pada masa abad ke 1 H atau abad ke 7 M, hukum
Islam belum lahir. Dengan kata lain hukum Islam bermula dari akhir pemerintahan dinasti Umayyah dan bukti tentang
tradisi hukum Islam hanya dapat kita dapatkan kembali pada tahun 100 H, artinya selama 100 tahun ke belakang sampai
dengan hijrah Nabi, pemikiran hukum Islam tidak dapat diperoleh buktinya.
Anggapan Schacht tersebut sudah pasti ditolak oleh umat Islam dan ulamanya, bahkan sebagian penulis Barat sendiri juga
menolak tesis Schacht tersebut. Noel J. Coulsun menyebutkan bahwa “the notion of such a vacuum for a century is difficult
to accept” (anggapan adanya kevakuman hukum selama satu abad adalah sulit untuk diterima).
Pada masa Nabi diakui tidak ada pemisahan antar hukum Islam dan hukum masyarakat.
 Kalau kita perhatikan secara seksama, praktik hukum Islam dapat kita ketahui sejak Nabi masih hidup, demikian pula
prktik ijtihad juga berjalan sejak Nabi masih hidup. Nabi sendiri juga sudah biasa melakukan ijtihad, tidak hanya
menunngu wahyu dari Allah dalam memutuskan beberapa kasus, meskipun untuk hal-hal tertentu Nabi selalu menunggu
wahyu. Pada masa khulafa’ rasyidin juga terjadi hal yang demikian, tetap mendasarkan kehidupan yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan dunia pada hukum Islam, namun terjadi pemisahan antara pengembangan pemikiran hukum Islam
dengan praktik pemerintahan, setelah masa khulafa’ rasyidin. Para mujtahid mengembangkan hukum Islam tanpa
memperdulikan hegemoni pemerintahan. Itulah sebabnya tema kampanya dinasti Abassiyah, ketika propaganda untuk
menghancurkan dinasti Umayah, ingin mengembalikan supermasi hukum Islam.
Di sinilah dapat dikatakan bahwa sebenarnya telah terjadi komunitas praktik ijtihad dan pemikiran hukum Islam sejak masa
Nabi sampai dengan masa-masa selanjutnya, kemudian selalu berkembang terutama sekali kebebasan pemikiran secara
individual, sehingga menghasilkan pelbagai bentuk jenis mazhab.
Hukum Islam, jika kita perhatikan dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap
sebagai pendapat yang paling kuat di daerah atau kota tertentu, ketika itulah menjadi mazhab sebuah kota atau daerah, yang
seolah menjadi sebuah consensus (ijma’) dari masyarakat kota atau daerah tersebut. Dalam perkembangan berikutnya,
pendapat perseorangan yang dilengkapi dengan metedologi (manhaj) yang dipakai ini menguat. Sehingga mazhab yang
bernamakn kota atau daerah berubah menjadi mazhab yang dinisbatkan pada nama-nama perseorangan.
Perbedaan pendapat dan juga perbedaan mazhab tersebut ada pengaruh faktor budaya kedaerahan atau yang biasa disebut
dengan urf atau adah (adat kebiasaan), meskipun pengaruhnya tidak semata-mata kepada esensi hukumnya, namun lebih
kepada mujtahid yang kemudian berdampak pada hasil pemikirannya. Oleh karena itu, di Indonesia juga muncul pendapat
untuk menciptakan mazhab ala Indonesia atau setidaknya menemukan hukum Islam yang sesuai dengan sosio-kultural
bangsa Indonesia, yang dalam banyak hal berbeda dengan sosio-kultural masyarakat di negara-negara Arab. Juga sekaligus
untuk mewujudkan pemikiran hukum Islam secara mendasar yang sesuai dengan sosio-kultural bangsa Indonesia.
 3. Produk Fuqaha
Setelah masa khulafa’ rasyidin, terjadi pemisahan antara pemerintahan dan hukum Islam. Meskipun dinasti abassiyah
memproklamirkan akan diterapkannya syariah Islam, namun dalam praktiknya tidak seluruhnya terpenuhi. Penegakan
supermasi syariah semakin lama semakin meredup, sehingga pemisahan antara praktik pemerintahan dengan segala jenis
hukumnya melalui peradilan dan praktik hukum Islam dengan proses pengembangannya benar-benar terjadi. Hal ini dapat
kita pahami dari tidak bersediaanya Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal untuk menjadi hakim yang
diangkat oleh pemerintah. Alasan utamanya adalah mereka khawatir kalau kebebasan berfikirnya mengenai hukum Islam
ternodai oleh cengkramankekuasaan dan kepentingan penguasa.
Sehingga para mujtahid dan bahkan juga para fuqaha itu terus mengembangkan pemikirannya mengenai hukum Islam
dengan bebas dan menampakkan sifat independen atau swasta, tanpa ikatan yang dilakukan oleh penguasa resmi. Dari
sejarah seperti itu, wajar bila hukum Islam itu pada hakikatnya produk ulama(fuqaha/mujtahid), meskipun tetap bersumber
kepada Al Quran dan Hadits Nabi. Dan dalam memahami nash itu, maka diperlukan seperangkat metedologi, seperti qiyas,
istihsan, maslahah dan lain sebagainya, namun yang tetap tampak adalah ciri independensi dan keindividualan para pemikir
hukum Islam tersebut.
Secara garis besar hukum Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum yang berkaitan dengan ibadat dan hukum yang
berkaitan dengan muamalah. Meskipun kalau dikembalikan kepada kenyataan bahwa fiqh adalah produk mujtahid atau
fuqaha, yang secara semantik identik dengan man-made law (hukum buatan manusia), namun yang harus disadari di sini
adalah tetap mendasarkan sumber utamanya pada wahyu. Dengan kata lain, meskipun wujud hukumnya berupa muamalat,
tetaplah mengandung nilai keagamaan meskipun harus disadari bahwa hal itu tidak selalu identik dengan agama itu sendiri.
 4. Pembaruan Hukum Islam
Sudah disadari bahwa nash dari wahyu sangat terbatas, sementara seiring waktu, persoalan dan permasalahan akan selalu
berkembang. Disinalah lalu muncul pembahasan mengenai reinterprasi terhadap nash, ijtihad kembali, redefinisi bermazhab
dan semacamnya. Dengan kata lain, kebanyakan ulama dan pemikir Islam menghendaki tetap adanya hukum Islam yang
mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial.
Inti yang hampir disepakati adalah bahwa hukum Islam pada hakikatnya untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia,
yang harus selalu sesuai dengan tuntunan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad yang baru. Salah satu faktor yang
memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh kemanjuan dan plularisme sosial budaya dan politik
dalam sebuah masyarakat dan negara.
Pemahaman klasik nampak adanya ambivalensi, seperti tidak sahnya perempuan menjadi saksi, namun sah menjadi rawi
hadits Nabi. Padahal, konsekuensi peran rawi jauh lebih besar dari sekedar menjadi saksi. Kesaksian hanya berdampakpada
orang-orang yang mempunyai kaitan dengan kasus yang diberi kesaksian tersebut. Sedangkan meriwayatkan hadis itu pada
hakikatnya juga berarti berperan menjadi saksi, bahkan lebih dari sekedar saksi, oleh karena mempunyai implikasi luas, yaitu
menjadi sumber hukum Islamyang dampaknya akan berpengaruh kepada seluruh umat manusia.
Dengan kondisi sosial budaya yang semakin terbuka dan kesempatan perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan prestasi
juga semakin terbuka, maka sewajarnyalah jika hukum Islam mengenai kedudukan perempuan itu perlu diredefinisi.
Indonesia adalah negar yang memenuhi kriteria keterbukaan kesempatan seperti itu. Di sini hendaknya berorintasi pada
prestasi dan kemampuan menjalankanpekerjaan sebagai amanah, sehingga yang menjadi ukuran adalah profesionalisme,
bukan formalitas jenis kelamin. Ini berarti sudah ada pembaruan hukum Islam dengan menghilangkan diskriminasi terhadap
kedudukan dan perempuan karena ada tuntutan perubahan.
Hukum Islam periode taqlid dan kebangkitan
Periode ini terbagi dalam dua bagian besar. Pertama periode taqlid (ikut-ikutan di belakang), yaitu sejak pertengahan abad
ke-4 Hijriah hingga jatuhnya Daulah Abasiyah. Kedua, periode kebangkitan yaitu sejak jatuhnya Daulah Abasiyah hingga
sekarang.
Arti Definisi Hukum-Hukum Islam
Wajib (Fardlu)
Wajib adalah suatu perkara yang harus dilakukan oleh pemeluk agama islam yang telah dewasa dan waras (mukallaf), di
mana jika dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.
Contoh : solat lima waktu, pergi haji (jika telah mampu), membayar zakat, dan lain-lain.

Wajib terdiri atas dua jenis/macam :


o Wajib ‘ain adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh semua orang muslim mukalaf, seperti sholat fardu, puasa ramadan,
zakat, haji bila telah mampu dan lain-lain.
o Wajib Kifayah adalah perkara yang harus dilakukan oleh muslim mukallaff namun jika sudah ada yang malakukannya
maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain, seperti mengurus jenazah.
2. Sunnah/Sunnat
Sunnat adalah suatu perkara yang bila dilakukan umat islam akan mendapat pahala dan jika tidak dilaksanakan tidak berdosa.
Contoh : sholat sunnat, puasa senin kamis, solat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.

Sunah terbagi atas dua jenis/macam:


-Sunah Mu’akkad adalah sunnat yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW, seperti shalat ied dan shalat tarawih.
-Sunat Ghairu Mu’akad yaitu adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti puasa senin kamis, dan
lain-lain.
3. Haram
Haram adalah suatu perkara yang mana tidak boleh sama sekali dilakukan oleh umat muslim di mana pun mereka berada karena
jika dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di neraka kelak.
Contohnya : main judi, minum minuman keras, zina, durhaka pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.
4. Makruh
Makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika
ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Contoh : posisi makan minum berdiri, merokok (mungkin haram).
5. Mubah
Mubah adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan mendapat dosa dan tidak mendapat pahala.
Contoh : makan dan minum, belanja, bercanda, melamun, dan lain sebagainya.

Perbedaan Hukum Islam dengan Hukum Umum


Hukum umum semata-mata berdasarkan atas pertimbangan akal manusia, hukum islam pertimbangkan akal manusia didasarkan pada wahyu Allah
1. Cakupan hukum Islam sangat luas, hukum dalam pengertian umum tidak memiliki cakupan yang luas
2. Hukum Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, sedangkan hukum umum tidak
3. Hukum Islam erat kaitannya dengan akhlak
4. Hukum Islam menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat serta negara
5. Hukum Islam menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat serta negara

Kaidah-Kaidah Hukum Islam


Al-qawa’id al-fiqhiyah adalah kaidah-kaidah yang menghimpun hukum-hukum yang mirip berdasarkan satu qiyas yang menghimpun hukum-
hukum tersebut. Kelima kaidah tersebut adalah:
6. Al-umur bi Maqasidiha (segala urusan disertai dengan tujuannya
7. La dlarara wa la dlirara (tidak membuat dan menimbulkan kemudaratan)
8. Al-yaqin la yuzalu bi al-syakk (keyakinan tidak lenyap dengan keraguan)
9. Al-masyaqqah tajlibu al-taisir (kesulitan membolehkan kemudahan)
10. Al-’adah muhakkamah (kebiasaan dijadikan rujukan hukum)
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai