- pancasila era kemerdekaan - pancasila era orde lama
Frans Tambunan, S.S.T.Han., S.IP.,S.H.,M.H.
Nilai Pancasila Pada Kerajaan Majapahit Negarakertagama dan Sutasoma Ada dua buku yang terkenal di zaman Kerajaan Majapahit, kedua buku itu adalah Negarakertagama dan Sutasoma. Buku Negarakertagama dibuat oleh Mpu Prapanca, sedangkan buku Sutasoma ditulis oleh Mpu Tantular. Mereka berdua hidup di masa Kerajaan Majapahit. Pancasila yang saat ini menjadi dasar negara Indonesia ternyata berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya lima batu karang atau lima prinsip moral. Pancasila juga ada di dalam buku Nagarakertagama dan buku Sutasoma. Jadi, Pancasila sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Memiliki Lima Nilai Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia memiliki lima nilai. Ternyata, pancasila yang ada di buku Sutasoma juga memiliki lima nilai, Kelima nilai itu adalah: 1. Tidak boleh melakukan kekerasan 2. Tidak boleh mencuri 3. Tidak boleh berjiwa dengki 4. Tidak boleh berbohong 5. Tidak boleh mabuk dan minuman keras Era Pra Kemerdekaan Pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat. Sebagai ketua BPUPKI, beliau menanyakan tentang dasar negara. Akhirnya, beberapa orang memberikan usulan tentang dasar negara, salah satunya adalah Soekarno. Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara pada tanggal 01 Juni 1945. Rumusan Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno berbunyi seperti ini: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan Lanjutan... Setelah mendapat beberapa usulan, BPUPKI kemudian membentuk tim yang terdiri dari 9 orang untuk merumuskan kembali rumusan Pancasila yang dicetuskan Soekarno. sembilan orang itu adalah Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Rumusan Panitia Sembilan
Sembilan orang itu kemudian mulai mengubah rumusan
Pancasila versi Soekarno, menjadi: 1 . Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini kemudian diganti “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” 2 . Perikemanusiaan yang adil dan beradab 3 . Persatuan Indonesia 4 . Kerakyatan 5 . Kesejahteraan Sosial Rumusan hasil Panitia Sembilan itu diserahkan ke BPUPKI dan diberi nama "Piagam Jakarta" tgl 22 Juni 1945. Lanjutan... Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu sebagai bentuk diskusi sila pertama pada piagam Jakarta. Oleh karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk menghapus "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", pada sila pertama. Rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini, yaitu: 1 Ketuhanan yang Maha Esa 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 3 Persatuan Indonesia 4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan 5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Era Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Bangsa 17 Agustus 1945, Isi Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada Era Kemerdekaan Indonesia, Pancasila secara de jure (hukum)
dijadikan dasar negara Indonesia yg dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Era Orde Lama Pancasila masih eksis sebagai Dasar Negara dan dijadikan sebagai bagian dari GBHN dan dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS 1960 tentang GBHN. Saat itu, permasalahan ketatanegaraan lebih dikarenakan gejolak politik khususnya tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959.