Anda di halaman 1dari 129

PENYAKIT INFEKSI NOSOKOMIAL

Oleh:
Chumairoh Rumani 6411416016
Indah Ayu Sulistiyawatin 6411416018
Wiji Nurhidayati Karomah 6411416019
Sintia Aprianti 6411416023
Infeksi nosokomial
• adalah infeksi yang didapat seseorang dalam waktu
3x24 jam sejak mereka masuk rumah sakit (Depkes
RI, 2003).
• Infeksi nosokomial diakibatkan oleh pemberian
layanan kesehatan dalam fasilitas perawatan
kesehatan. Rumah sakit merupakan satu tempat
yang paling mungkin mendapat infeksi karena
mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi
dengan jenis virulen yang mungkin resisten
terhadap antibiotik (Perry & Potter, 2005).
Kriteria infeksi nosokomial (Depkes RI, 2003), antara lain:

1. Waktu mulai dirawat tidak didapat tanda-


tanda klinik infeksi dan tidak sedang dalam
masa inkubasi infeksi tersebut.
2. Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 3x24 jam
(72 jam) sejak pasien mulai dirawat.
3. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa
perawatan yang lebih lama dari waktu
inkubasi infeksi tersebut.
4. Infeksi terjadi pada neonatus yang diperoleh
dari ibunya pada saat persalinan atau selama
dirawat di rumah sakit.
5. Bila dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-
tanda infeksi dan terbukti infeksi tersebut
didapat penderita ketika dirawat di rumah
sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta
belum pernah dilaporkan sebagai infeksi
nosokomial.
Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko tinggi
(Depkes RI, 2001).

• pasien dengan karakteristik usia tua


• berbaring lama
• menggunakan obat imunosupresan dan atau
steroid,
• imunitas turun misal pada pasien yang
menderita luka bakar atau pasien yang
mendapatkan tindakan invasif
• pemasangan infus yang lama,
• atau pemasangan kateter urin yang lama
• dan infeksi nosokomial pada luka operasi
Infeksi nosokomial dapat mengenai setiap organ
tubuh, tetapi yang paling banyak adalah
• infeksi nafas bagian bawah
• infeksi saluran kemih
• infeksi luka operasi
• dan infeksi aliran darah primer atau phlebitis
(Depkes RI, 2003).
Epidemiologi
• Studi prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World
Health Organization (WHO) pada 55 rumah sakit di 14
negara yang mewakili 4 wilayah WHO (Eropa,
Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat)
mendapatkan rerata 8,7% pasien rumah sakit
mengalami infeksi nosokomial.
• Dari hasil survei tersebut didapatkan frekuensi tertinggi
infeksi nosokomial dilaporkan oleh rumah sakit di
wilayah Mediterania Timur dan Asia Tenggara berturut-
turut 11,8% dan 10,0%, sedangkan prevalensi di wilayah
Eropa dan Pasifik Barat berturut-turut 7,7% dan 9,0%. Di
Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di
DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8%
pasien rawat inap mendapat infeksi nosokomial.
• Kasus terbanyak infeksi
nosokomial terjadi di negara
miskin dan negara berkembang
karena penyakit-penyakit infeksi
masih menjadi penyebab utama.
• Penelitian oleh yang dilakukan pada
tahun 1997 memperoleh prevalensi
terkecil infeksi nosokomial yang
ditemukan pada beberapa negara di
Eropa dan Amerika berkisar kurang
dari 1%, sedangkan prevalensi
tertinggi ditemukan pada negara di
Asia, Amerika Latin, Afrika bagian
Sahara sebesar 40%.
• Di ruang rawat intensif, infeksi nosokomial
lebih sering terjadi dibandingkan dengan di
bangsal rawat biasa. Secara universal di
seluruh dunia, 5%-10% pasien memperoleh
infeksi nosokomial, 20%-30% pasien tersebut
merupakan pasien yang menjalani perawatan
di unit perawatan intensif (ICU).
• Penelitian dari berbagai universitas di Amerika
Serikat menyebutkan bahwa pasien ICU
mempunyai kekerapan infeksi nosokomial 5-8
kali lebih tinggi.
• Systematic review of the literature conducted by
WHO menyatakan bahwa prevalensi tertinggi infeksi
nosokomial adalah ICU sebesar 28,2%, surgery
sebesar 26,4%, mixed population sebesar 23,6%,
pediatrics sebesar 18,2%, dan other high risk patient
sebesar 3,6%.
• Angka infeksi nosokomial pada bangsal anak terjadi
paling tinggi pada umur kurang dari 1 tahun. Angka
infeksi tertinggi (terutama infeksi sistemik) terjadi di
NICU (neonatal intensive care) karena risiko infeksi
bertambah tinggi (misal pada bayi berat badan lahir
rendah). Bayi prematur 500-1000 gram jika mereka
hidup mempunyai risiko tinggi untuk infeksi.
Etiologi
• Bakteri dibawah ini adalah patogen infeksi nosokomial
yang paling sering dijumpai
• Commensal bacteria
Bakteri ini merupakan flora normal yang terdapat di dalam
tubuh manusia yang sehat, dan dapat dikatakan sebagai
pelindung tubuh yang cukup signifikan. Bakteri ini
berperan untuk mencegah kolonisasi dari mikroorganisme
patogen. Beberapa bakteri komensal dapat menyebabkan
infeksi jika faktor host terganggu. Sebagai contoh,
cutaneus coagulase-negative staphylococci menyebabkan
infeksi intravascular line, dan Escherichia coli merupakan
penyebab umum dari infeksi saluran kemih.
• Pathogenic bacteria Bakteri ini memiliki tingkat
virulensi yang tinggi dan dapat menyebabkan infeksi
baik sporadik ataupun epidemik. Beberapa
cobtohnya adalah:
• Bakteri bentuk batang gram positif, misalnya
Clostridium, menyebabkan gangren
• Bakteri gram positif (Staphylococcus aureus), yang
berkolonisasi di kulit dan hidung baik pada staff
rumah sakit maupun pada pasien merupakan
penyebab berbagai penyakit paru, tulang, jantung,
dan pembuluh darah. Bakteri ini juga sering resisten
terhadap antibiotika.
• Bakteri gram negatif (Enterobacteriacae), seperti
Klebsiella,
Enterobacter, Proteus, Escherichia coli, dan
Serratia
marcescen, akan berkolonisasi saat pertahanan
tubuh menurun dan menyebabkan infeksi serius,
terutama luka operasi dan infeksi perineum.
• Organisme gram negatif seperti Pseudomonas
spp. sering terisolasi dalam air dan tempat yang
lembab, dan dapat menginfeksi saluran
pencernaan pasien rawat inap.
• Bakteri lainnya yang merupakan
penyebab infeksi di rumah sakit misalnya
Legionella sp. yang merupakan penyebab
pneumonia baik sporadik maupun
endemik melalui inhalasi aerosol yang
mengandung air yang telah
terkontaminasi, misalnya pada AC,
shower, bahkan pada terapi yang
menggunakan aerosol.
Virus
• Virus termasuk patogen penyebab infeksi
nosokomial, diantaranya virus hepatitis B dan C
dengan media penularan dari transfusi, dialisis,
suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus
(RSV), rotavirus, dan enterovirus yang ditularkan
lewat kontak tangan ke mulut maupun fecal-oral.
• Rute penularan untuk virus sama seperti
mikroorganisme lainnya, seperti melalui traktus
gastrointestinal, traktus respiratorius, kulit dan
darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi
nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza
virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus.
Parasit dan fungi
• Beberapa parasit seperti Giardia lamblia
ditularkan dengan mudah terutama pada anak-
anak. Jamur dan parasit lain juga merupakan
organisme oportunistik dan dapat menyebabkan
infeksi pada pasien dengan pengobatan
antibiotika spektrum luas dan imunosupresi berat.
• Pencemaran lingkungan rumah sakit oleh
organisme udara seperti Aspergillus spp. yang
berasal dari debu dan tanah terutama selama
pembangunan rumah sakit. Sarcoptes scabies juga
merupakan ektoparasit yang telah berulang kali
menyebabkan wabah di fasilitas kesehatan.
Klasifikasi

Infeksi nosokomial dikelompokan berdasarkan


tempat distribusinya. Tempat-tempat utama
terjadinya infeksi nosokomial dalam tubuh
pasien adalah:
1. Infeksi Traktus Urinarius
• Ini merupakan infeksi nosokomial yang
paling umum dengan prevalensi mencapai
80%. Infeksi ini terjadi akibat penggunaan
kateter urin jangka panjang.
• Dibandingkan dengan infeksi nosokomial lainnya,
infeksi traktus urinarius ini tingkat morbiditasnya
terbilang rendah, namun terkadang infeksi ini
dapat menyebabkan bakteriemia sehingga
berujung kematian. Infeksi ini dibuktikan dengan
kultur urin kuantitatif (≥105 mikroorganisme/ml,
dengan maksimum 2 spesies bakteri terisolasi).
Bakteri tersebut berasal dari flora usus, baik flora
normal seperti Escherichia coli, ataupun yang
diperoleh dari rumah sakit seperti multiresisten
Klebsiella.
2. Infeksi Luka Operasi (ILO)
• Infeksi luka operasi juga merupakan infeksi
nosokomial yang sering terjadi.
Insidensinya bervariasi dari 0,5% sampai
15% tergantung jenis operasi dan status
dasar pasien. Dampaknya adalah
bertambahnya lama perawatan pasca
operasi sekitar 3 sampai 20 hari dan
meningkatnya biaya perawatan yang cukup
banyak.
• Gambaran klinis infeksi ini yaitu, adanya
discharge purulent disekitar luka 13
operasi. Bakteri yang menyebabkan
infeksi ini biasanya didapat selama
operasi berlangsung, baik secara eksogen
(misalnya dari udara, peralatan medis,
dokter bedah, dan staf lainnya), ataupun
secara endogen (misalnya dari flora yang
terdapat di kulit atau di tempat operasi).
3. Nosokomial Pneumonia

• Pneumonia nosokomial terjadi pada


kelompok pasien yang berbeda. Prevalensi
infeksi ini paling sering terjadi pada pasien
dengan ventilator di unit perawatan
intensif. Kolonisasi dari mikroorganisme ini
terjadi di perut, saluran napas bagian atas,
dan bronkus.
• Faktor risiko nosokomial pneumonia ini diketahui
berkaitan dengan jenis dan durasi ventilasi, kualitas
perawatan pernapasan, keparahan kondisi pasien
(ada atau tidaknya kegagalan organ), dan
penggunaan antibiotk sebelumnya. Namun,
terlepas dari penggunaan ventilator, pasien dengan
kejang atau penurunan tingkat kesadaran juga
berisiko terkena infeksi nosokomial, bahkan jika
tidak dilakukan intubasi.
• Viralbrochiolitis (RSV) sangat umum terjani di unit
perawatan pediatric, sedangkan influenza dan
bacterial pneumonia sekunder sering terjadi pada
unit geriatri
4. Nosokomial Bakteriemia
• Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini
terbilang cukup rendah, yaitu hanya sekitar
5% dari total infeksi nosokomial, namun kasu
kematian akibat infeksi ini sangat tinggi
hingga mencapai lebih dari 50%. Infeksi ini
dibagi menjadi dua kategori utama:
• Infeksi pembuluh darah primer (IADP),
muncul tanpa adanya tanda infeksi
sebelumnya, dan berbeda dengan organisme
yang ditemukan dibagian tubuhnya yang lain.
• Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari
infeksi dari organisme yang sama dari sisi tubuh
yang lain.
• Mortalitas yang terjadi pada infeksi ini terutama
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap
antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida.
Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat
seperti jarum suntik, kateter urin, dan kateter
vena sentral (CVC). Faktor utama penyebab infeksi
ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat
dilakukannya prosedur invasif, dan perawatan dari
pemasangan kateter.
Patogenesis dan Patofisiologi
• Infeksi oleh populasi kuman rumah sakit terhadap seseorang
pasien yang memang sudah lemah fisiknya tidaklah
terhindarkan. Lingkungan rumah sakit harus diusahakan agar
sebersih mungkin dan sesteril mungkin. Hal tersebut tidak
selalu bisa sepenuhnya terlaksana, karenanya tak mungkin
infeksi nosokomial ini bisa diberantas secara total
(Yohanes,2010).
• Setiap langkah yang tampaknya mungkin, harus dikerjakan
untuk menekan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Yang paling
penting adalah kembali kepada kaidah sepsis dan antisepsis dan
perbaikan sikap / perilaku personil rumah sakit (dokter,
perawat) (Yohanes,2010).
• Pada pasien dengan daya tahan yang
kurang oleh karena penyakit kronik, usia
tua, dan penggunaan imunosupresan,
mikroorganisme yang awalnya non-
patogen dan hidup simbiosis
berdampingan secara damai dengan 12
penjamu, akibat daya tahan yang turun,
dapat menimbulkan infeksi oportunistik.
Maka infeksi nosokomial bisa merupakan
suatu infeksi oportunistik (Yohanes,2010).
Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial
Reservoir Agen

• Reservoir adalah tempat mikroorganisme


patogen mampu bertahan hidup tetapi dapat
atau tidak dapat berkembang biak.
Pseudomonas bertahan hidup dan
berkembang biak dalam reservoir nebuliser
yang Siklus infeksi nosokomial (Depkes RI,
2007) 14 digunakan dalam perawatan pasien
dengan gangguan pernafasan.
• Resevoir yang paling umum adalah tubuh
manusia. Berbagai mikroorganisme hidup
pada kulit dan rongga tubuh, cairan, dan
keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu
menyebabkan seseorang menjadi sakit. Carrier
(penular) adalah manusia atau binatang yang
tidak menunjukan gejala penyakit tetapi ada
mikroorganisme patogen dalam tubuh mereka
yang dapat ditularkan ke orang lain.
• Misalnya, seseorang dapat menjadi carrier
virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala
infeksi. Binatang, makanan, air, insekta, dan
benda mati dapat juga menjadi reservoir bagi
mikroorganisme infeksius. Untuk berkembang
biak dengan cepat, organisme memerlukan
lingkungan yang sesuai, termasuk makanan,
oksigen, air, suhu yang tepat, pH, dan cahaya
(Perry & Potter, 2005).
Portal keluar (Port of exit)

• Setelah mikrooganisme menemukan tempat


untuk tumbuh dan berkembang biak, mereka
harus menemukan jalan ke luar jika mereka
masuk ke pejamu lain dan menyebabkan
penyakit. Pintu keluar masuk mikroorganisme
dapat berupa saluran pencernaan,
pernafasan, kulit, kelamin, dan plasenta (Perry
& Potter, 2005).
Cara penularan (Mode of transmision)

• Cara penularan bisa langsung maupun tidak


langsung. Secara langsung misalnya;
darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin,
dan secara tidak langsung melalui manusia,
binatang, benda-benda mati, dan udara (Perry
& Potter, 2005).
Portal masuk (Port of entry)

• Sebelum infeksi, mikroorganisme harus


memasuki tubuh. Kulit adalah bagian rentang
terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit
merupakan tempat masuk mikroorganisme.
Mikroorganisme dapat masuk melalui rute
yang sama untuk keluarnya mikroorganisme
(Perry & Potter, 2005).
Kepekaan dari host (host susceptibility)

• Seseorang terkena infeksi bergantung pada


kerentanan terhadap agen infeksius.
Kerentanan tergantung pada derajat
ketahanan individu terhadap mikroorganisme
patogen. Semakin virulen suatu
mikroorganisme semakin besar kemungkinan
kerentanan seseorang. Resistensi seseorang
terhadap agen infeksius ditingkatkan dengan
vaksin (Perry & Potter, 2005).
Penularan Infeksi Nosokomial
Cara penularan infeksi nosokomial antara lain :
• Penularan secara kontak
• Penularan ini dapat terjadi baik secara kontak langsung,
kontak tidak langsung dan droplet. Kontak langsung
terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung dengan
penjamu, misalnya person to person pada penularan
infeksi hepatitis A virus secara fekal oral. Kontak tidak
langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek
perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena
benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh sumber
infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh
mikroorganisme (Uliyah dkk, 2006; Yohanes, 2010).
Penularan melalui common vehicle

• Penularan ini melalui benda mati yang telah


terkontaminasi oleh kuman dan dapat
menyebabkan penyakit pada lebih dari satu
pejamu. Adapun jenis-jenis common vehicle
adalah darah/produk darah, cairan intra vena,
obat-obatan, cairan antiseptik, dan sebagainya
(Uliyah dkk, 2006; Yohanes, 2010).
Penularan melalui udara dan inhalasi

• Penularan ini terjadi bila mikroorganisme


mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga
dapat mengenai penjamu dalam jarak yang
cukup jauh dan melalui saluran pernafasan.
Misalnya mikroorganisme yang terdapat
dalam sel-sel kulit yang terlepas akan
membentuk debu yang 10 dapat menyebar
jauh (Staphylococcus) dan tuberkulosis (Uliyah
dkk, 2006; Yohanes, 2010).
• Penularan dengan perantara vektor
• Penularan ini dapat terjadi secara eksternal
maupun internal. Disebut penularan secara
eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara
mekanis dari mikroorganime yang menempel
pada tubuh vektor, misalnya shigella dan
salmonella oleh lalat. Penularan secara internal
bila mikroorganisme masuk kedalam tubuh
vektor dan dapat terjadi perubahan biologik,
misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau
tidak mengalami perubahan biologik, misalnya
Yersenia pestis pada ginjal (flea) (Uliyah dkk,
2006; Yohanes, 2010).
• Penularan melalui makanan dan
minuman
• Penyebaran mikroba patogen dapat
melalui makanan atau minuman yang
disajikan untuk penderita. Mikroba
patogen dapat ikut menyertainya
sehingga menimbulkan gejala baik ringan
maupun berat (Uliyah dkk, 2006).
Faktor risiko infeksi nosokomial
• A. Faktor endogen
• Sistem imun
• Di dalam tubuh manusia, selain adanya bakteri
yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang
secara mutualistik ikut membantu dalam proses
fisiologis tubuh, dan membantu ketahanan tubuh
melawan invasi mikroorganisme patogen serta
menjaga keseimbangan di antara populasi jasad
renik komensal pada umumnya, misalnya seperti
yang terdapat di dalam saluran cerna manusia.
• Namun pada kenyataannya, pasien di ruang
rawat intensif memiliki sistem imun yang lebih
rendah dikarenakan oleh penyakit yang
mendasari, asupan gizi yang kurang, serta
adanya tindakan invasif yang dilakukan pada
pasien tersebut.
Umur

• Anak-anak sangat rentan terhadap infeksi, baik


endogen maupun eksogen. Berdasarkan studi yang
telah ada, dinyatakan bahwa usia kurang dari 1 tahun
dan lebih dari 40 tahun memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena infeksi, termasuk infeksi
nosokomial.
• Pada anak usia kurang dari 1 tahun sistem imun
belum berkembang secara sempurna, sedangkan
pada usia lebih dari 40 tahun mulai terjadi proses
degenerasi sel sehingga sistem imun mulai menurun.
Penyakit dasar

• Pasien dengan penyakit dasar tertentu yang


bersifat imunosupresan, seperti penyakit
kronis, tumor maligna, leukemia, diabetes
melitus, gagal ginjal dan AIDS memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena infeksi
nosokomial karena sistem imun yang menurun
sebagai akibat dari penyakit atau terapi yang
dijalaninya menurunkan jumlah sel fagosit.

• Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi
rendah seperti leukimia dan pengguna obat
immunosupresan juga perlu diisolasi agar
terhindar dari infeksi. Ruang isolasi ini harus
selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu
menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada
dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang
terjadi kejadian luar biasa dan penderita
melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu
ruangan tidaklah apa-apa selama mereka
menderita penyakit yang sama.
Faktor eksogen

1. Lama rawat inap


• Diantara beberapa faktor risiko yang telah disebutkan
diatas, lamanya waktu rawat inap merupakan faktor yang
paling mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial.
Disebutkan bahwa terdapat hubungan linear antara lama
perawatan dan insiden infeksi nosokomial di ruang rawat
intensif. Panjangnya waktu perawatan di rumah sakit
memungkinkan terjadinya kolonisasi bakteri baik dari
luar 19 pasien (eksogen), maupun oleh bakteri dari
dalam diri pasien yang bersangkutan (endogen).
2. Lama pemakaian antibiotika
• Di ruang rawat intensif, dimana penggunaan
antibiotika lebih sering dan dalam dosis tinggi
dibandingkan dengan area lainnya di rumah
sakit, resistensi antibiotika menjamin
eksistensi beberapa patogen yang
mengakibatkan infeksi nosokomial.
• Meningkatnya resistensi bakteri dapat
meningkatkan angka mortalitas terutama
terhadap pasien yang immunocompromised.
Penggunaan antibiotika spektrum luas di
ruang rawat intensif lebih sering dibandingkan
ruangan lain, hal ini menjadi faktor yang
sangat berpengaruh terhadap terjadinya
resistensi antibiotika.
• Studi mengatakan bahwa pemberian antibiotika yang
tidak adekuat merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya resistensi antibiotika. Penggunaan
antibiotika yang terus-menerus ini meningkatkan
multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten.
Penyebab utamanya karena:
• Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak
terkontrol.
• Dosis antibiotika yang tidak optimal.
• Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang
terlalu singkat.
• Kesalahan diagnosa.
3. Intervensi diagnostik
• Beberapa prosedur diagnostik yang bersifat
invasif seperti kateter urin, kateter vena
sentral (CVC), dan endotracheal-tube (ET)
biasa dilakukan di ruang rawat intensif.
Tindakan tersebut berpengaruh pada kejadian
infeksi nosokomial melalui:
• Central Venous Cathether (CVC)
• Kateter vena sentral atau CVC pada pasien rawat
inap mutlak diperlukan untuk mensuplai beberapa
bahan penting untuk tubuh, diantaranya: cairan
intra vena, obat-obatan serta produk darah, nutrisi
parental yang berkepanjangan, kemoterapi, dan
hemodialisis. Namun, kateter vena sentral ini
memiliki beberapa komplikasi berupa gangguan
mekanis, fisis, dan kimiawi.
Komplikasi tersebut dapat berupa:
• Ekstravasasi infiltrat: cairan infus masuk ke jaringan sekitar
insersi kanula.
• Penyumbatan: infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya
tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain.
• Flebitis: terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri
sepanjang vena.
• Trombosis: terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh
vena yang menghambat aliran infus.
• Septikemia: bila kuman menyebar hematogen dari kanul.
• Supurasi: bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi
kanul.
• Kateter urin
• Penggunaan kateter urin kateter urin yang lama dan
tidak diganti-ganti erat kaitannya dengan terjadinya
infeksi nosokomial di saluran kemih. Sangat sulit
untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme
sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan
kateter. Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1
-2 minggu pemasangan kateter.
• Penyebab paling utama adalah kontaminasi tangan
atau sarung tangan ketika pemasangan dilakukan,
atau air yang digunakan untuk membesarkan balon
kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang gagal dan
teknik septik dan aseptik yang kurang baik.
• Endtracheal tube (ET)
• Komplikasi paling umum yang terjadi pada pasien
dengan Endotracheal intubation jangka panjang
adalah pneumonia nosokomial. Penggunaan
biomaterial sebagai life-support dan monitoring
pasien kritis sangat esensial, tapi penggunaannya
dapat meningkatkan risiko infeksi nosokomial.
Berbagai macam plastik digunakan pada alat yang
mendukung life-support dan monitoring.
Polyvinylchlorida (PVC) yang merupakan bahan
dari Endotracheal tube adalah salah satu bahan
yang paling mudah untuk terjadi adhesi bakteri
4. Kebijakan rumah sakit
• Kebijakan rumah sakit merupakan hal yang tidak
kalah penting dalam penyebaran infeksi nosokomial.
Kebijakan ini mengikat para klinisi kesehatan dengan
aturan-aturan tertentu sebelum melakukan intervensi
medis kepada pasien yang tentunya harus dipatuhi.
• Salah satu contoh yang paling penting adalah perilaku
cuci tangan karena tangan merupakan sumber utama
penularan infeksi nosokomial. Perilaku mencuci
tangan pada para klinisi kesehatan yang kurang
adekuat akan memindahkan organisme – organisme
bakteri patogen secara langsung kepada pasien yang
akan menyebabkan infeksi nosokomial.
5. Peralatan medis
• Peralatan medis yang dimaksud adalah alat yang
digunakan melakukan tindakan keperawatan, misalnya
jarum, kateter, kasa, instrument, dan sebagainya. Bila
peralatan medis tidak dikelola kebersihan dan
kesterilannya maka akan menyebabkan infeksi
nosokomial.
• Penelitian pada tahun 1999 menyimpulkan bahwa
terdapat lebih dari 50% suntikan yang dilakukan di
negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum,
tabung atau keduanya yang dipakai 23 berulang-ulang)
dan banyaknya suntikan yang tidak penting (misalnya
penyuntikan antibiotika).
6. Lingkungan
• Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga
dapat menyebabkan infeksi nosokomial, sebab
mikroorganisme penyebab infeksi dapat
tumbuh dan berkembang pada lingkungan
yang kotor dan lembab. Toilet rumah sakit juga
harus dijaga, terutama pada unit perawatan
pasien diare untuk mencegah terjadinya
infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus
selalu bersih dan diberi disinfektan.
• Pengaturan udara yang baik mutlak diperlukan
dalam fasilitas kesehatan. Jika sekiranya tidak
memungkinkan, usahakan adanya pemakaian
penyaring udara, terutama bagi penderita
dengan status imun yang rendah atau bagi
penderita yang dapat menyebarkan penyakit
melalui udara. Kamar dengan pengaturan
udara yang baik akan lebih banyak
menurunkan resiko terjadinya penularan
infeksi.
7. Hidangan rumah sakit
• Makanan atau minuman yang disajikan kepada
penderita bisa jadi telah terkontaminasi
mikroorganisme patogen. Jika hal ini terjadi, akan
menyebabkan infeksi terutama pada saluran
pencernaan yang sedang mengalami iritasi.
8. Penderita lain
• Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau
ruangan atau bangsal perawatan dapat merupakan
sumber penularan.
9. Pengunjung
• Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat
dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit, atau
sebaliknya, yang dapat ditularkan dari dalam rumah
sakit ke luar rumah sakit.
10. Ulkus Dekubitus

• Ulkus dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan


yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompresi
jaringan lunak diatas tulang menonjol (body prominence)
dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang
lama. Kompresi jaringan tersebut akan menyebabkan
gangguan suplai darah pada daerah yang tertekan.
• Apabila ini berlangsung lama, maka dapat menyebabkan
insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan dan
akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel. Kerusakan
struktur anatomis dan fungsi kulit normal ini tidak sembuh
dengan urutan dan waktu biasa.
Contoh Infeksi Nosokomial
Infeksi Luka Operasi (ILO)

• Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari


paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam
kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut
memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang)
pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat
operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
• Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
• Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
• Ditemukan abses
• Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
• Ada tiga tempat yang memungkinkan terjadi
infeksi luka operasi, yaitu:
• ILO sayatan dangkal (superficial). Infeksi
terjadi hanya di area sayatan kulit.
• ILO sayatan dalam (deep). Infeksi terjadi pada
sayatan di otot.
• Organ atau rongga. Tipe infeksi ini dapat
terjadi di organ dan rongga daerah operasi.
• Penyebab Infeksi Luka Operasi
• Infeksi luka operasi (ILO) umumnya disebabkan oleh
bakteri. Contohnya adalah Staphylococcus, Streptococcus,
dan Pseudomonas. Luka operasi dapat terinfeksi oleh
bakteri-bakteri tersebut melalui berbagai bentuk
interaksi, antara lain:
• Interaksi antara luka operasi dengan kuman yang ada di
kulit.
• Interaksi dengan kuman yang tersebar di udara.
• Interaksi dengan kuman yang telah ada di dalam tubuh
atau organ yang dioperasi.
• Interaksi dengan tangan dokter dan perawat.
• Interaksi dengan alat-alat operasi.
• Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seorang
pasien setelah menjalani operasi untuk mengalami infeksi
luka operasi adalah:
• Menjalani prosedur operasi yang membutuhkan waktu
lebih dari 2 jam.
• Menjalani operasi bagian perut.
• Menjalani operasi segera (cito).
• Orang lanjut usia.
• Menderita kanker.
• Memiliki diabetes.
• Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah.
• Obesitas.
• Perokok.
• Gejala Infeksi Luka Operasi
• Infeksi luka operasi bisa menimbulkan beberapa
gejala, antara lain:
• Ruam kemerahan.
• Demam.
• Rasa sakit.
• Perih.
• Luka terasa panas.
• Pembengkakan
• Proses penyembuhan yang lama.
• Terbentuknya nanah.
• Luka operasi mengeluarkan bau.
• Diagnosis Infeksi Luka Operasi
• Ada beberapa cara yang digunakan seorang
dokter untuk mendiagnosis infeksi luka
operasi, antara lain:
• Mengamati gejala.
• Memeriksa luka.
• Mengambil sampel cairan dari luka operasi
untuk dilakukan kultur pertumbuhan bakteri.
• Pengobatan Infeksi Luka Operasi
• Ada beberapa metode pengobatan yang
digunakan untuk mengobati infeksi luka operasi,
yaitu:
• Antibiotik. Obat ini digunakan untuk mengobati
sebagian besar luka infeksi dan menghentikan
penyebarannya. Lamanya waktu pengobatan
dengan antibiotik bervariasi, namun biasanya
berlangsung paling sedikit 1 minggu. Jika luka atau
area infeksi kecil dan dangkal, maka antibiotik
yang digunakan bisa berbentuk krim,
seperti fusidic acid.
• Antibiotik juga dapat diberikan dalam bentuk suntikan
atau tablet. Beberapa jenis antibiotik yang paling umum
dipakai, antara lain:
– Co-amoxiclav.
– Clarithromycin.
– Erythromycin.
– Metronidazole.
• Beberapa luka yang terinfeksi oleh bakteri methicillin-
resistant Staphylococcus aureus(MRSA) akan tahan
terhadap antibiotik yang umumnya digunakan. MRSA
membutuhkan antibiotik khusus untuk mengobatinya.
• Prosedur operasi invasif.
• Terkadang, dokter bedah perlu melakukan operasi
kembali untuk membersihkan luka. Tindakan tersebut
meliputi:Membuka luka operasi dengan melepas
jahitan.
• Melakukan tes kulit dan jaringan pada luka untuk
mendeteksi jika ada infeksi dan jenis pengobatan
antibiotik apa yang akan digunakan.
• Membersihkan luka dengan menghilangkan jaringan
mati atau terinfeksi pada luka (debridement).
• Membersihkan luka dengan larutan garam atau saline.
• Mengalirkan nanah atau abses jika ada.
• Menutup luka (jika berlubang) dengan kassa steril yang
dibasahi oleh larutan saline
• Komplikasi Infeksi Luka Operasi
• Jika infeksi luka operasi tidak segera diobati, maka
infeksi bisa semakin menyebar dan menimbulkan
komplikasi, seperti:
• Penyebaran infeksi ke jaringan di bawah kulit (selulitis
).
• Infeksi juga dapat menyebar melalui aliran darah ke
seluruh tubuh dan disertai perubahan tanda vital
seperti suhu tubuh, tekanan darah, frekuensi
pernapasan, dan frekuensi denyut jantung (sepsis).
• Menimbulkan jaringan parut.
• Jenis infeksi kulit lainnya, seperti impetigo.
• Munculnya kumpulan nanah atau abses.
• Perkembangan infeksi lebih lanjut yang
disertai tetanus.
• Necrotising fasciitis, yaitu kondisi yang
sangat jarang terjadi ketika infeksi kulit
mengalami kerusakan dan menyebar
dengan cepat ke daerah sekitarnya.
• Pencegahan Infeksi Luka Operasi       
• Jika akan menjalani operasi, tanyakan kepada
dokter apa yang dapat Anda lakukan untuk
mengurangi risiko infeksi luka operasi (ILO).
Ceritakan riwayat kesehatan kepada tim dokter,
terutama jika menderita diabetes atau riwayat
penyakit kronis lainnya.
• Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mengurangi risiko ILO, yaitu:
• Mandilah dengan air dan sabun sebelum operasi.
• Lepas seluruh perhiasan sebelum operasi.
• Jaga agar luka tetap tertutup dan pastikan area di
sekitar luka tetap bersih. Pasien diperbolehkan mandi
dua hari setelah operasi.
• Jika melihat kulit di sekitar luka sayatan menjadi merah
atau terasa sakit, segera hubungi dokter atau perawat.
• Jika penderita merupakan perokok, maka penting
untuk berhenti merokok.
• Pencegahan ILO harus dilakukan, karena jika
tidak, akan mengakibakan semakin lamanya
rawat inap, peningkatan biaya pengobatan,
terdapat resiko kecacatan dan kematian, dan
dapat mengakibatkan tuntutan pasien.
Pencegahan itu sendiri harus dilakukan oleh
pasien, dokter dan timnya, perawat kamar
operasi, perawat ruangan, dan oleh
nosocomial infection control team.
Infeksi Saluran Kemih (ISK )

• Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi pada sistem saluran


kemih akibat pemasangan kateter urin menetap setelah
lebih dari 48 jam, disertai tanda klinis deman dan tidak ada
kaitannya dengan infeksi di tempat lain.
• Bakteri utama penyebab ISK adalah bakteri Escherichia coli
(E. coli) yang banyak terdapat pada tinja manusia dan biasa
hidup di kolon. Wanita lebih rentan terkena ISK karena uretra
wanita lebih pendek daripada uretra pria sehingga bakteri ini
lebih mudah menjangkaunya. Infeksi juga dapat dipicu oleh
batu di saluran kencing yang menahan koloni kuman.
Sebaliknya, ISK kronis juga dapat menimbulkan batu.
• Mikroorganisme lain yang bernama Klamidia
dan Mikoplasma juga dapat menyebabkan
ISK pada laki-laki maupun perempuan,
tetapi cenderung hanya di uretra dan sistem
reproduksi. Berbeda dengan E coli, kedua
bakteri itu dapat ditularkan secara seksual
sehingga penanganannya harus bersamaan
pada suami dan istri.
• Gejala Penderita ISK mungkin mengeluhkan
hal-hal berikut:
• Sakit pada saat atau setelah kencing
• Anyang-anyangan (ingin kencing, tetapi
tidak ada atau sedikit air seni yang keluar)
• Warna air seni kental/pekat seperti air teh,
kadang kemerahan bila ada darah
• Nyeri pada pinggang
• Demam atau menggigil, yang dapat
menandakan infeksi telah mencapai ginjal
(diiringi rasa nyeri di sisi bawah belakang
rusuk, mual atau muntah)
DIAGNOSIS
• Selain menanyakan riwayat kesehatan pasien dan gejala
yang dialami, dokter akan menjalankan beberapa tes
untuk mendiagnosis infeksi saluran kemih, salah satunya
adalah tes urine atau urinalisis. Sampel urine akan dibawa
ke laboratorium, untuk mendeteksi keberadaan sel darah
putih dalam urine, yang bisa menjadi tanda ISK.
• Pada kasus tertentu, tes urine akan diikuti dengan kultur
urine, untuk mendeteksi keberadaan bakteri atau jamur
dalam urine. Kultur urine dapat membantu dokter
menentukan organisme penyebab infeksi dan obat yang
tepat.
PENGOBATAN
• Infeksi saluran kemih umumnya dapat ditangani dengan
pemberian antibiotik. Jenis obat yang diresepkan
tergantung pada kondisi kesehatan pasien, dan jenis
bakteri yang ditemukan di urine.
• Beberapa jenis antibiotik yang biasanya digunakan untuk
ISK adalah fosfomycin, nitrofurantoin, trimethoprim,
dan ceftriaxone. Pada sejumlah kasus, antibiotik
jenis fluoroquinolon seperticiprofloxacin dan levofloxacin,
akan digunakan bila tidak ada pilihan lain. Tetapi
umumnya jenis antibiotik tersebut dihindari, karena efek
sampingnya melebihi manfaat yang bisa didapat.
• Biasanya, gejala akan hilang setelah beberapa
hari mengonsumsi antibiotik. Namun
demikian, pengobatan dengan antibiotik tetap
harus dilanjutkan hingga selesai. Penting bagi
pasien untuk menjalani pengobatan sesuai
petunjuk dokter.
• Komplikasi Infeksi Saluran Kemih
• Infeksi saluran kemih yang dibiarkan tidak tertangani dapat
menyebabkan infeksi ginjal (pielonefritis). Kondisi ini akan
mengakibatkan kerusakan ginjal permanen. ISK juga
berisiko untuk kambuh dalam kurun waktu 6 bulan, atau
hingga empat kali dalam setahun.
• Sejumlah komplikasi lain yang dapat terjadi akibat ISK yang
tidak tertangani adalah:
• Sepsis, yaitu kondisi berbahaya akibat infeksi, terutama bila
infeksi menyebar hingga ke ginjal.
• Striktur uretra (penyempitan uretra pada pria).
• Kelahiran prematur dan bayi terlahir dengan 
berat badan lahir rendah, jika dialami oleh wanita hamil.
Bakterimia
• Bakteremia adalah keadaan dimana terdapatnya
bakteri yang mampu hidup dalam aliran darah
secara sementara, hilang timbul atau menetap.
Bakteremia merupakan infeksi sistemik yang
berbahaya karena dapat berlanjut menjadi sepsis
yang angka kematiannya cukup tinggi.
• Faktor risiko terjadinya bakteremia pada orang
dewasa antara lain lama perawatan di rumah sakit,
tingkat keparahan penyakit, komorbiditas, tindakan
invasif, terapi antibiotika yang tidak tepat, terapi
imunosupresan, dan penggunaan steroid. 
• Bakteremia yang bersifat sementara jarang
menyebabkan gejala karena tubuh biasanya dapat
membasmi sejumlah kecil bakteri dengan segera. Jika
telah terjadi sepsis, maka akan timbul gejala-gejala
berikut:
• Demam atau hipotermia (penurunan suhu tubuh)
• Hiperventilasi
• Menggigil
• Kulit teraba hangat
• Ruam kulit
• Takikardi (peningkatan denyut jantung)
• Mengigau atau linglung
• Penurunan produksi air kemih.
Penyebab Bakteremia

• Bakteri yang masuk ke dalam aliran darah


dapat masuk secara spontan seperti saat sikat
gigi atau melalui makanan yang dimakan. Selain
itu, bakteri tersebut dapat masuk melalui
infeksi di bagian tubuh lain, seperti paru-paru (
pneumonia) atau saluran kemih. Bakteremia
juga dapat terjadi akibat pemasangan alat di
tubuh, seperti kateter urine, atau prosedur
operasi dan perawatan luka.
• Seperti telah dikatakan sebelumnya, bakteremia yang terjadi
sementara tidak menimbulkan infeksi yang serius. Namun,
bakteremia rentan berkembang menjadi infeksi yang serius,
pada:
• Bayi dan orang tua.
• Penderita luka bakar.
• Memiliki kekebalan tubuh yang lemah, misalnya akibat kanker
atau HIV/AIDS.
• Sedang menjalani pengobatan yang dapat melemahkan
sistem kekebalan tubuh, misalnya kemoterapi.
• Baru menderita infeksi, seperti pneumonia.
• Memiliki penyakit kronis, seperti diabetes atau gagal jantung.
• Penyalahgunaan NAPZA suntik.
Diagnosis Bakteremia

• Penetapan diagnosis bakteremia bisa dilakukan setelah


melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dengan melakukan kultur darah, yaitu sampel darah
diletakkan di media tertentu untuk melihat pertumbuhan
bakteri tertentu dalam darah. Sebelum dilakukan
pemeriksaan kultur dapat dilakukan pemeriksaan hitung
sel darah lengkap, laju endap darah, C-reactive
protein (CRP), dan procalcitonin untuk melihat infeksi
dalam tubuh. Di samping pemeriksaan darah,
pemeriksaan urine, feses, dan foto Rontgen juga dapat
dilakukan untuk mencari sumber infeksi.
Pengobatan Bakteremia
• Tujuan utama penanganan bakteremia adalah
menghilangkan sumber berkembangnya bakteri.
Penanganan bisa dilakukan melalui pemberian antibiotik
untuk mengatasi infeksi bakteri. Obat antibiotik dapat
diberikan dalam bentuk oral maupun suntikan.
• Jika sumber bakteremia diduga berasal dari pemasangan
alat di tubuh seperti kateter urine, selain memberikan
pasien antibiotik, dokter juga akan mencabutnya bila
memungkinkan, atau mengganti alat tersebut. Operasi
terkadang juga diperlukan untuk membersihkan abses
atau mengangkat jaringan yang terinfeksi, bila tidak
membaik dengan antibiotik.
Pencegahan Bakteremia

• Pencegahan terjadinya bakteremia perlu


dilakukan, terutama untuk orang yang rentan
mengalami infeksi akibat bakteremia. Upaya
pencegahan yang bisa dilakukan adalah melalui:
• Pemberian antibiotik sebelum operasi, atau
sebelum dilakukan tindakan pada gigi.
• Pemeliharaan kebersihan kateter.
• Imunisasi, misalnya vaksin pneumonia atau
influenza.
Infeksi Saluran Napas (ISN)

• Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah


infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran
napas atas dan infeksi saluran napas bawah.
Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis,
sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis,
tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran
napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus,
alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis,
pneumonia.
• Keadaan rumah sakit yang tidak baik dapat
menimbulkan infeksi saluran napas atas
maupun bawah. Infeksi saluran napas atas bila
tidak diatasi dengan baik dapat berkembang
menyebabkan infeksi saluran nafas bawah.
Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak
terjadi serta perlunya penanganan dengan
baik karena dampak komplikasinya yang
membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan
faringiti
Dampak Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial memberikan dampak sebagai
berikut :
• Menyebabkan cacat fungsional, stress emosional dan
dapat menyebabkan cacat yang permanen serta
kematian.
• Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan
prevalensi HIV/AIDS yang tinggi.
• Meningkatkan biaya kesehatan diberbagai negara yang
tidak mampu dengan meningkatkan lama perawatan
di rumah sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal
dan penggunaan pelayanan lainnya, serta tuntutan
hukum.
Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial
• Pembersihan yang rutin sangat penting untuk
meyakinkan bahwa rumah sakit sangat bersih
dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan
kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen
dari kotoran yang terlihat pasti mengandung
kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur,
pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat
medis yang telah dipakai berkali-kali.
• .
• Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan
di banyak fasilitas kesehatan. Usahakan
adanya pemakaian penyaring udara,
terutama bagi penderita dengan status imun
yang rendah atau bagi penderita yang dapat
menyebarkan penyakit melalui udara.
• Kamar dengan pengaturan udara yang baik
akan lebih banyak menurunkan resiko
terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu,
rumah sakit harus membangun suatu
fasilitas penyaring air dan menjaga
kebersihan pemrosesan serta filternya untuk
mencegahan terjadinya pertumbuhan
bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit
dengan prasarana yang terbatas dapat
menggunakan panas matahari
• Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama
pada unit perawatan pasien diare untuk
mencegah terjadinya infeksi antar pasien.
Permukaan toilet harus selalu bersih dan
diberi disinfektan. Disinfektan akan
membunuh kuman dan mencegah penularan
antar pasien.
Disinfeksi yang dipakai adalah:

• Mempunyai kriteria membunuh kuman


• Mempunyai efek sebagai detergen
• Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat
melarutkan minyak dan protein.
• Tidak sulit digunakan
• Tidak mudah menguap
• Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik
untuk petugas maupun pasien
• Efektif
• Tidak berbau, atau tidak berbau tak enak
Perbaiki Ketahanan Tubuh
• Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen
oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang
ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan
membantu ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik
patogen serta menjaga keseimbangan di antara populasi
jasad renik komensal pada umumnya, misalnya seperti apa
yang terjadi di dalam saluran cerna manusia.
• Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang
sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis
perlu diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat dipakai
dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada
penderita penyakit berat. Dengan demikian bahaya infeksi
dengan bakteri oportunis pada penderita penyakit berat
dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.
Ruangan Isolasi
• Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat
dicegah dengan membuat suatu pemisahan
pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan
terutama untuk penyakit yang penularannya
melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan
SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat.
Penularan yang melibatkan virus, contohnya
DHF dan HIV.
• Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah
eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan
juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi
menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan
kesehatan di dalam ruang isolasi juga sangat penting.
Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi
udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien
berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang
terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi
kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah
apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.
Pencegahan Infeksi nosokomial yaitu dengan:

• Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien


dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung
tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
disinfektan.
• Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
• Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang
adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
• Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan
prosedur invasi
• Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya.
Selain itu Pencegahan Infeksi nosokomial juga dengan
menggunakan Standar kewaspadaan terhadap infeksi, antara lain

Cuci Tangan
• Setelah menyentuh darah, cairan tubuh,
sekresi, ekskresi dan bahan terkontaminasi.
• Segera setelah melepas sarung tangan.
• Di antara sentuhan dengan pasien.
Sarung Tangan
• Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi,
dan bahan yang terkontaminasi.
• Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit
terluka.
• Masker, Kaca Mata, Masker Muka
• Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput
lendir mata, hidung, dan mulut saat kontak
dengan darah dan cairan tubuh.
Baju Pelindung
• Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan
cairan tubuh
• Cegah pakaian tercemar selama tindakan
klinik yang dapat berkontak langsung
dengan darah atau cairan tubuh
Kain
• Tangani kain tercemar, cegah dari sentuhan
kulit/selaput lender
• Jangan melakukan prabilas kain yang
tercemar di area perawatan pasie
Peralatan Perawatan Pasien
• Tangani peralatan yang tercemar dengan baik
untuk mencegah kontak langsung dengan kulit
atau selaput lendir dan mencegah kontaminasi
pada pakaian dan lingkungan
• Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan
kembal
Pembersihan Lingkungan
• Perawatan rutin, pembersihan dan desinfeksi
peralatan dan perlengkapan dalam ruang
perawatan pasien
Instrumen Tajam
• Hindari memasang kembali penutup jarum
bekas
• Hindari melepas jarum bekas dari semprit
habis pakai
• Hindari membengkokkan, mematahkan atau
memanipulasi jarum bekas dengan tangan
• Masukkan instrument tajam ke dalam
tempat yang tidak tembus tusukan
Resusitasi Pasien
• Usahakan gunakan kantong resusitasi atau
alat ventilasi yang lain untuk menghindari
kontak langsung mulut dalam resusitasi
mulut ke mulut.
• Penempatan Pasien
• Tempatkan pasien yang mengontaminasi
lingkungan dalam ruang pribadi / isolasi.
Program Pengendalian Infeksi
Nosokomial Di RS

• Dalam mengendalikan infeksi nosokomial di


rumah sakit, ada tiga hal yang perlu ada dalam
program pengendalian infeksi nosokomial di
rumah sakit, antara lain:
1. Adanya Sistem Surveilan Yang Mantap
• Surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang
sistematik dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit
tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan
tujuan untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian. Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk
menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
• Perlu ditegaskan di sini bahwa keberhasilan pengendalian
infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya
per-alatan yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan
perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan penderita
secara benar (the proper nursing care). Dalam pelaksanaan
surveilan ini, perawat sebagai petugas lapangan di garis
paling depan, mempunyai peran yang sangat menentukan
2. Adanya Peraturan Yang Jelas Dan Tegas Serta
Dapat Dilaksanakan, Dengan Tujuan Untuk
Mengurangi Risiko Terjadinya Infeksi
• Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta
dapat dilaksanakan, merupakan hal yang
sangat penting adanya. Peraturan-peraturan
ini merupakan standar yang harus dijalankan
setelah dimengerti semua petugas; standar ini
meliputi standar diagnosis (definisi kasus)
ataupun standar pelaksanaan tugas. Dalam
pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan
peraturan ini, peran perawat besar sekali.
3. Adanya Program Pendidikan Yang Terus
Menerus Bagi Semua Petugas Rumah Sakit
Dengan Tujuan Mengembalikan Sikap Mental
Yang Benar Dalam Merawat Penderita
• Keberhasilan program ini ditentukan oleh
perilaku petugas dalam melaksanakan
perawatan yang sempurna kepada penderita.
Perubahan perilaku inilah yang memerlukan
proses belajar dan mengajar yang terus
menerus.
• Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan
pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya
juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial ini.
Jadi jelaslah bahwa dalam seluruh lini program
pengendalian infeksi nosokomial, perawat mempunyai
peran yang sangat menentukan.
• Sekali lagi ditekankan bahwa pengendalian infeksi
nosokomial bukanlah ditentukan oleh peralatan yang
canggih (dengan harga yang mahal) ataupun dengan
pemakaian antibiotika yang berlebihan (mahal dan
bahaya resistensi), melainkan ditentukan oleh
kesempurnaan setiap petugas dalam melaksanakan
perawatan yang benar untuk penderitanya.
Pengendalian Infeksi Nosokomial

• Pengendalian infeksi nosokomial bertujuan untuk


menekan dan memindahkan perkembangan infeksi
pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit
ataupun mengurangi angka infeksi yang terjadi di
rumah sakit. Sebagian infeksi nosokomial ini dapat
dicegah dengan strategi yang telah tersedia secara
relatif murah, yaitu:
• menaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan,
terutama kebersihan dan kesehatan tangan serta
pemakaian sarung tangan.
• memperhatikan dengan seksama proses yang telah
terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan
pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,
diikuti dengan sterilisasi atau desinfektan tingkat
tinggi.
• meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan
area berisiko tinggi lainnya sebagaiman kecelakaan
perlukaan yang sangat serius dan paparan pada
agen penyebab infeksi sering terjadi (Linda Tietjen,
2004; Darmadi, 2008).
Program kerja pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial (PPI) tahun 2016

• Tujuan dari program PPI adalah untuk meningkatkan


kualitas pelayanan rumh sakit dan fasilitas kesehatan
lainnya melalui pencegahan dan pengendalian infeksi;
melindungi sumber daya manusia kesehatan dan
masyarakat dari penyakit infeksi yang berbahaya, serta
menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial.
• Ruang lingkup dari Program PPI meliputi Pencegahan
infeksi, pendidikan dan pelatihan, surveilans, dan
penggunaan Obat Antiniotik secara Rasional.
Contoh gambaran program kerja dalam melaksanakan
kegiatan pencegahan dan penegndalian infeksi
nosokomial di Rumah Sakit PKU Muhammmadiyah
Sukoharjo
1. Kegatan pokok dan rincian kegiatan
2. Kegitan pokok
3. Melaksanakan surveilans di Rumah Sakit PKU Muhammmadiyah
Sukoharjo
4. Melakukan investigasi outbreak di Rumah sakit PKU Muhammmadiyah
Sukoharjo
5. Membuat infection control risk assesment (ICRA) di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
6. Monitoring sterilisasi di Rumah Sakit PKU Muhammmadiyah Sukoharjo
7. Monitoring manajemen laundry dan linen di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
8. Monitoring peralatan kadaluarsa, single use menjadi re-use di Rumah
Sakit PKU Muhammmadiyah Sukoharjo
9. Monitoring pembuangan sampah infeksi dan cairan tubuh di Rumah
Sakit PKU Muhammmadiyah Sukoharjo
10. Monitoring penanganan pembuangan darah dan komponen darah di
Rumah Sakit PKU Muhammmadiyah Sukoharjo
11. Monitoring area kamar mayat dan post mortem di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
12. Monitoring pembuangan benda tajam dan jarum di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
13. Monitoring pencatatan dan pelaporan tertusuk jarum di Rumah Sakit
PKU Muhammmadiyah Sukoharjo
14 Monitoring penggunaan ruang isolasi di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
15. Monitoring kepatuhan Hand hygiene di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
16. Monitoring kepatuhan penggunaan APD di Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
17. Melaksanakan pendidikan dan latihan pencegahan pengendalian
infeksi di Rumah Sakit PKU Muhammmadiyah Sukoharjo
Rincian kegiatan
• Pemanauana indikator PPI rumah sakit
(indikator pencegahan dan pengendalian
infeksi) :
• Pengumpulan dan pencatatn indikator
pencegahan dan pengendalian infeksi
rumah sakit
• Pengolahan data dan evaluasi kegiatan
pencegahan dan pengendalian infeksi
rumah sakit
• Membuat laporan kegiatan pencegahan
dan pengendalian infeksi rumah sakit
• Melaksanan tindak lanjut hasil evaluasi
pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit.
• Pelaksanaan Audit
Phlebitis/ISK/IADP/ILO/VAP/ETT/CVL/IVL/UC.
• Peningkatan mutu SDM:
• Sosialisasi kepada pegawai baru tentang program
PPI
• Pelatihan internal dan eksternal rumah sakit
• Pendidikan berkelanjutan
Cara melakukan kegiatan

• Monitoring/surve kegiatan PPI dilakukan


setiap hari oleh IPCN dan IPCLN.
• Melakuakn analisa kegiatan PPI
• Membuat laporan bulanan, triwulan dan
laporan semesteran
• Melakuakn evaluasi tai 3 bulan sekali.
Sasaran kegiatan 
• Pelaksanaan surveilans harian oeleh IPCN dengan dibantu
IPCLN dengan mengisi formulir surveilans setiap hari pada
setiap pasien yang terpasang alat kesehatan (ETT,
CVL,IVL,UC) dan dikirim melalui lan masangger.
• Melaksanakan surveilans bulanan dengan cara
mengumpulkan dta harian dari hasil surveilans harian untuk
di hitung angka kejadian infeksi di ruang rawat inap serta
melakuakan investigasi outbreak Rumah Sakit PKU
Muhammmadiyah Sukoharjo
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar infection control risk assesment (ICRA)
dengan cara meklakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar strelisasi dengan cara melkaukan
audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar manajemen laundry dengan
cara melkukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar peralatan kaduluarsan, single-
use menjadi re-use dengan cara melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar pembuangan sampah infeksi
dan cairan tubuh dengan cara melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar penanganan pembuangan
darah dan komponen darah dengan cara
melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar area kamar mayat dan
post mortem dengan cara melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar pembuangan benda tajam
dan jarum dengan cara melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar pencatatan dan pelaporan
tertusuk jarum dengan cara melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar isolasi dengan cara melakukan
audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan standar kepatuhan Hand hygiene
dengan cara melakukan audit.
• Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam
menjalankan pendidikan dan latihan pencegahan
pengendalian infeksi dengan cara melakukan audit.
• Kegiatan dan pengembangan PPI
• Sarana
• Kondisi keadaan ruangan rawat inap, rawt
jalan dan kamar bedah yang ada pada saat
ini masih cukup baik dan layak, walau masih
ada pembenahan.
Prasarana
• Menginventarisisr alat kesehatan di PPI dan
mengajukan perbaikan atau penggantian
serta penambahan alkes untuk kegiatan di
PPI.
Sistem
• Sistem pendokumentasian administrasi
dengan menggunakan secara komputerisasi
• Melaksanakan koordinasi dan komunikai
dengan rawat inap, rawat jalan dan kamar
bedah
• Melakasanakan evaluasi kinerja anggota PPI
• Mengikut sertakan anggota PPI dalam
pendidikan dan pelatiahan keterampilan INOS
Soft ware
• Melaksanakan SOP yang telah ada
• SDM sub komite PPI
• Kwantitas
• Jumlah pengurus Sub komite sebanyak 6 orang
• Jumlah pelaksana lapangan, terdiri dari :
• IPCN 2 orang (purra waktu 1 orang)
• IPCLN 22 orang
• Kualitas
• Anggota yang sudah megikuti workshop PPI
dasar 6 orang
• Evaluasi pelaksanaan kegiatan
• Evaluasi dan analisis dilakukan tiap 3 bulan, 6
bulan dan 1 tahun oleh Sub Komite Pencegahan
dan Pengendalia Infeksi dan hasi evaluasi
diserahkan kepada Direktur, kemudian
dilakukan tindak lanjut dari hasil yang didapat
• DAFTAR PUSTAKA
• Committee on Identifying Priority Areas for Quality Improvement, Karen Adams,
Janet M. Corrigan (2003). Priority Areas for National Action: Transforming Health
Care Quality. National Academies Press.
• Steven Jonas, Raymond L. Goldsteen, Karen Goldsteen (2007). Introduction to the US
health care system. Springer Publishing Company.
• Riana Infeksi Nosokomial RumahSakit. Dimuat dalam
http://riana-a-hfkm10.web.unair.ac.id/artikel_detail-41324
• ADMINISTRASI%20RUMAH%20SAKIT%20DAN%20PUSKESMAS-Infeksi
%20Nosokomial%20RumahSakit.html
• Departemen Kesehatan RI. (2011). Program Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi
Nosokomial Merupakan Unsur Ptient Safety. Jakarta: Dpkes RI.
• Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah
Sakit, Jakarta: Depkes RI
• Parhusip. Faktor-faktor yang mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial serta
Pengendaliannya di BHG. UPF. Paru RS. Dr.Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU
Medan, Universitas Sumatera Utara
• Departemen Kesehatan (DepKes) Republik Indonesia, 1995. Cara Penularan Infeksi
Nosokomial. Jakarta. www.depkes.go.id
• Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial: Problematika dan pengendaliannya. Jakarta:
Salemba Medika.
•  
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai