BAB 3

MEKANIKA KOMPOSIT
 SIFAT MEKANIK MATERIAL (TEGANGAN, REGANGAN, DEFORMASI)

LOGAM KOMPOSIT
HOMOGEN (TDK TERGANTUNG POSISI/LETAK) TDK HOMOGEN ( TERGANTUNG POSISI/LETAK)
ISOTROPIK (TDK TERGANTUNG ORIENTASI) NONISOTROPIK (TERGANTUNG ORIENTASI)

PENDEKATAN UNTUK MENENTUKAN SIFAT MEKANIK KOMPOSIT

 MIKROMEKANIK: BERHUBUNGAN DENGAN INTERAKSI ANTARA MATERIAL
PENYUSUN KOMPOSIT
 MAKROMEKANIK: RESPON MATERIAL KOMPOSIT THD BEBAN MEKANIK DAN
TERMAL

3.1. INTERAKSI SERAT-MATRIK DALAM KOMPOSIT LAMINA SERBA SEARAH

(UNIDIRECTIONAL LAMINA)

ASUMSI DASAR :
 SERAT DIDISTRIBUSIKAN SERBA SAMA SEPANJANG MATRIK
 IKATAN SERAT-MATRIK SEMPURNA
 MATRIK BEBAS VOID
 BEBAN DITERAPKAN SEJAJAR/TEGAK LURUS ARAH SERAT
 LAMINA BEBAS DARI TEGANGAN SISA
 SERAT DAN MATRIK BERKELAKUAN SEBAGAI MATERIAL LINIER ELASTIS
 SERAT
MATRIK

Gbr. 3.1. KOMPOSIT LAMINA SERBA SEARAH

3.1.1. BEBAN TARIK LONGITUDINAL

A. CONTINUOUS PARALLEL FIBER (SERAT PANJANG SEJAJAR)

PADA KOMPOSIT LAMINA DIBAWAH BEBAN LONGITUDINAL

(GAMBAR 3.2), BESARNYA MODULUS LONGITUDINAL (HULL, 1990)
E L  E f v f  Em (1  v f ) (3.1)

dimana, EL = Modulus longitudinal komposit.

Ef = Modulus elastis serat,
Em = Modulus elastis matrik
vf = Fraksi volume serat
 P Tegangan
( ) serat

Komposit

f matrik
c
serat

m

P f,m,c fu
REGANGAN ()

Gbr. 3.2. Komposit lamina serat serba searah dibawah pembebanan longitudinal

Kekuatan tarik longitudinal komposit tergantung pada regangan patah

matrik serta serat dan dua kondisi yang mungkin terjadi yaitu,
 Regangan patah matrik (m* ) lebih besar dari regangan patah serat(f*).
Bila vf > vfcrit :

 L   f v f   mf vm   f v f   mf 1  v f 
* * *
(3.2)
 * *
Bila vf < vfcrit :  L   m (1  v f ) (3.3)

Dimana besarnya nilai fraksi volume serat kritis dapat dihitung dengan persamaan,

 m *   mf (3.4)
v fcrit 
 f
*
  mf

Tegangan
serat
σf P

σL Komposit (vf > vfcrit)

σm Komposit (vf < vfcrit)

matrik
σL
σmf
P
εf εm
(a) (b)
Gambar 3.3. (a) Grafik hubungan tegangan-regangan pada kondisi εm >εf
(b) Model kegagalan serat
 Regangan patah matrik (m* ) lebih kecil dari regangan patah serat(f*).

 L   fm v f   m 1  v f 
* *
Bila vf < vfmin : (3.5)

L  f vf
* *
Bila vf > vfmin : (3.6)

Besarnya fraksi volume serat minimum dapat dihitung dengan persamaan,

*
m
v f min  * * (3.7)
 f   mf   m

Teganga n
Serat
σf P

σfm

σf Komposit

σm Matrik
P

εm εf Regangan

(a) (b)
Gambar 3.4 (a) Grafik hubungan tegangan-regangan pada kondisi ε f >εm
(b) Model kegagalan matrik
 B. DISCONTINUOUS PARALELL FIBER (SERAT PENDEK SEJAJAR).

 BEBAN TARIK DI TRANSFER KE SERAT OLEH MEKANISME GESER SERAT-MATRIK

 MATRIK DENGAN MODULUS (E) LEBIH RENDAH MEMPUNYAI REGANGAN () LEBIH BESAR
DIBANDING SERAT, SEHINGGA AKAN MENIMBULKAN DISTRIBUSI TEGANGAN GESER
ANTARMUKA SERAT/MATRIK (IKATAN DIANGGAP SEMPURNA)
 PADA ANALISA SEDERHANA, NILAI TEGANGAN GESER ANTARMUKA DIANGGAP KONSTAN,

 BESARNYA TEGANGAN NORMAL/LONGITUDINAL KOMPOSIT LAMINA

4 i
f  x (3.8)
df
Dimana, f = Tegangan longitudinal serat
i = Tegangan geser antarmuka (dianggap konstan)
PADA KOMPOSIT LAMINA SERAT DISKONTINU, NILAI TEGANGAN SERAT
NOL DI UJUNG SERAT DAN BERGERAK NAIK SECARA LINIER MENUJU
NILAI MAKSIMUM PADA BAGIAN TENGAH SERAT.

Gambar. 3.5. Kondisi

ideal (a). Tegangan
Longitudinal; (b).
distribusi tegangan
geser.
 NILAI TEGANGAN MAKSIMUM SERAT,

lt
( f ) max  2 i (3.9)
df

Dimana, x = lt/ 2 = panjang pemindahan beban dari tiap ujung serat

 Besarnya panjang serat kritis, untuk diameter serat dan ikatan

antarmuka serat/ matrik tertentu,

 fu
lc  df (3.10)
2 i
Dimana, fu = Tegangan ultimate serat
lc = Panjang serat minimum
 Gambar.3.6. Panjang serat kritis

Dari persamaan (3.9), (3.10) serta gambar 3.6 dapat dilihat bahwa,
1. Untuk lf < lc (Gambar.3.6.a)
Tegangan maksimum serat tidak pernah mencapai kekuatan ultimate serat.
Ikatan antarmuka serat-matrik atau matrik rusak sebelum serat mencapai
kekuatan ultimate.
2. Untuk lf > lc (Gambar.3.6.c)
Tegangan maksimum serat bisa mencapai kekuatan ultimate serat (ada
kelebihan panjang/ jarak lebih dari lc/2 dari ujung serat tidak berarti)
3. Agar penguatan serat efektif, maka lf  lc
4. Nilai lc dapat dikontrol dengan menambah atau mengurangi i
Coupling agent yang sesuai akan menambah i dan mengurangi lc /2
sehingga penguatan efektif dapat dicapai tanpa merubah panjang serat
  KEBERADAAN TEGANGAN NORMAL DIDEKAT UJUNG SERAT YANG LEBIH KECIL
DARI TEGANGAN SERAT MAKSIMUM TIDAK BISA DIABAIKAN, SEHINGGA
TEGANGAN SERAT RATA-RATA,

 
 f   f  max 1  t
l  (3.11)

 2l f 
 Pada lf < lc panjang maksimum untuk transfer beban adalah l f dan pada l f > lc
adalah lc

 PADA lf > lc KEKUATAN TARIK LONGITUDINAL KOMPOSIT SERAT DISKONTINYU

ADALAH,  
  fu 1  c
l v f   m (1  v f )
 Ltu (3.12)
 2l 
 f 

 PADA lf < lc TIDAK ADA KERUSAKAN PADA SERAT, ADA DUA MODE KEGAGALAN,
1. KEGAGALAN IKATAN ANTARMUKA YG DIIKUTI PULLOUT SERAT.
BESARNYA KEKUATAN TARIK LONGITUDINAL KOMPOSIT,
lf
 Ltu   m v f   m (1  v f ) (3.13)
df
dimana, m = Tegangan matrik pada pullout serat
m = Tegangan geser antarmuka serat-matrik
 2. KEGAGALAN TARIK MATRIK.
BESARNYA KEKUATAN TARIK LONGITUDINAL KOMPOSIT,
lf
 Ltu   i v f   mu (1  v f ) (3.14)
df
dimana, mu = kekuatan tarik matrik
C. MODE KERUSAKAN MIKRO PADA TARIK LONGITUDINAL
 PADA KENYATAANNYA KEKUATAN SERAT TIDAK SERAGAM, SEHINGGA BEBERAPA

SERAT PATAH PADA TEGANGAN RENDAH.

 KETIKA SERAT PATAH (GBR. 3.7) MAKA SERAT DISEBELAHNYA AKAN

MENANGGUNG TEGANGAN GESER (GBR. 3.7.b).

GAMBAR.3.7. DISTRIBUSI TEGANGAN

LONGITUDINAL (a). SERAT 3 SEBELUM
PATAH, (b). SERAT 2 DAN 4 SESUDAH SERAT
3 PATAH, (c) SERAT 3 SESUDAH PATAH.
 TEGANGAN YANG MUNCUL DI SEKITAR SERAT PUTUS TERDIRI DARI,
- KONSENTRASI TEGANGAN PADA VOID YANG TERBENTUK AKIBAT SERAT
PATAH.
- KONSENTRASI TEGANGAN GESER YANG TINGGI PADA MATRIK DIDEKAT
UJUNG SERAT.
- PENINGKATAN TEGANGAN NORMAL RATA-RATA PADA SERAT DIDEKATNYA
(GBR.3.7.b).
 SESUAI DENGAN BESARNYA TEGANGAN LOKAL, MAKA BEBERAPA MODE
KERUSAKAN MIKRO YANG TERJADI ADALAH,
- DEBONDING TOTAL DAN PARSIAL (3.10a)
- INISIASI RETAK MIKRO PADA MATRIK (3.10b)
- DEFORMASI PLASTIK MATRIK
- SERAT PATAH AKIBAT TINGGINYA TEGANGAN RATA-RATA DAN kONSENTRASI
TEGANGAN LOKAL (3.10c)

GAMBAR. 3.10. MODE

KERUSAKAN MIKRO
3.1.2. PEMBEBANAN TARIK MELINTANG

P
SERAT
GAMBAR.3.11. KOMPOSIT LAMINA SERAT SERBA
SEARAH PEMBEBANAN ARAH
MELINTANG

PERSAMAAN SEDERHANA UNTUK MEMPREDIKSI KEKUATAN TARIK MELINTANG KOMPOSIT

LAMINA SERAT SERBA SEARAH,
 mu
 Ttu  (3.15)
K
dimana,
1  V f (1  ( E m / E f ))
K  1

1  (4v f /  ) 1  ( E m / E f )
2


3.1.3. PEMBEBANAN TEKAN LONGITUDINAL

MODE KEGAGALAN KOMPOSIT POLIMER DENGAN MODULUS MATRIK RENDAH YANG UTAMA ADALAH
MIKROBUKLING. ADA DUA KEMUNGKINAN MODE MIKROBUKLING YANG BERBEDA YAITU,
A. MODE EKSTENSIONAL (GBR.3.12a).
TERJADI PADA FRAKSI VOLUM SERAT RENDAH (Vf < 0.2) DAN MENIMBULKAN REGANGAN EKSTENSIONAL PADA
MATRIK .
B. MODE GESER (GBR.3.12b)
TERJADI PADA FRAKSI VOLUM SERAT TINGGI DAN MENIMBULKAN REGANGAN GESER PADA MATRIK
 GBR.3.12. MODE MIKROBUKLING SERAT PADA KOMPOSIT
SERAT SERBA SEARAH DIBAWAH PEMBEBANAN TEKAN
LONGITUDINAL

BESARNYA KEKUATAN TEKAN PADA MODE GESER DAPAT DITULIS SEBAGAI BERIKUT,

Gm (3.16)
 Lcu 
1 v f

dimana, Gm = Modulus geser matrik

vf = Fraksi volum serat
3.1.4. Fraksi Volume dan Fraksi berat

 Untuk sejumlah material penyusun (n), jumlah fraksi volume material penyusun harus sama dengan satu
n


i 1
i 1 (3.17)

Dimana,
vi = Vi/Vc = fraksi volume penyusun I
Vi = volume penyusun I
Vc= volume total komposit

 Dalam banyak kasus persamaan disederhanakan menjadi,

 f  m  v  1 (3.18)
Dimana,
vf = fraksi volume serat
vm = fraksi volume matrik
vv = fraksi volume void

 Persamaan fraksi berat,

n

w
i 1
i 1 (3.19)

dan

w f  wm  1 (3.20)
 Substitusi densitas dan volume untuk berat dalam persamaan 3.19 dan 3.20, dan pemecahan untuk densitas
komposit akan diperoleh “rule of mixture”,
n
 c    i i (3.21)
i 1

atau

 c   f  f   m m (3.22)

Dimana,
f = densitas serat
m = densitas matrik
c = densitas komposit
 Dengan cara yg sama persamaan 3.17 dan 3.18 dapat disusun sebagai berikut,

1
c 
 w f /  f    wm /  m  (3.23)

 Persamaan 3.18 dapat disusun, sehingga fraksi volum void dapat dihitung dengan persamaan ,

  1
W f /  f   Wc  W f  /  m
(3.24)
Wc /  c
 Jika diasumsikan bahwa jarak antar serat (s), dan diameter serat (d), dan tidak berubah sepanjang serat,
maka besarnya fraksi volume serat diperoleh dengan membagi bagian luas serat dalam bujur sangkar
dengan luas bujur sangkar (lihat gambar. 3.13.a),
(3.25)
2
 d 
f    (3.26)
4s
 Besarnya fraksi volume serat maksimum secara teori akan terjadi pada saat s=d,


 f max   0.785 (3.27)
4
serat

s
s
d
d
s s

a) b)
Gbr. 3.13. Representative luas elemen a).bujur sangkar, b). segitiga
 Dengan cara sama untuk susunan segitiga (Gbr.3.13.b),
2
 d 
f    (3.28)
2 3 s
 Dan ketika s=d, besarnya fraksi volume serat maksimum,


 f max   0.907 (3.29)
2 3
 3.2. KARAKTERISTIK KOMPOSIT LAMINA SERAT SERBA SEARAH
3.2.1. DASAR TEORI
A. SUMBU KOORDINAT.
PADA LAMINA TIPIS, ADA 2 JENIS SISTEM KOORDINAT (GBR.3.13) YAITU ,

 SISTEM 1-2-z
- Sumbu 1-2 adalah bidang dalam lamina dan merupakan arah utama material, dan sumbu z adalah
normal thd bidang dalam lamina.
- Sumbu 1 adalah sumbu searah serat dan merupakan arah longitudinal lamina.
- Sumbu 2 adalah sumbu normal serat dan merupakan arah melintang lamina


Gambar.3.13. Sumbu utama material

dan sumbu pembebanan sebuah
lamina
 SISTEM x-y-z
- Sumbu x dan y menggambarkan arah pembebanan
- Sudut antara sb.x positif dan sb.1 adalah sudut orientasi serat (), arah sudut tergantung dengan sistem
koordinat tangan kanan (gambar.3.14)
- Jika sumbu z vertikal keatas terhadap bidang lamina,  adalah positif ketika membentuk putaran
berlawanan jarum jam diukur dari sumbu x positif. (3.14.a)
- jika sumbu z vertikal kebawah terhadap bidang lamina,  adalah positif ketika membentuk putaran searah
jarum jam diukur dari sumbu x positif. (3.14.b)

Gambar.3.14. Sistem koordinat tangan kanan

B. NOTASI
Sifat serat dan matrik dinotasikan dengan huruf f dan m, sedangkan tegangan/ regangan/
poisson ratio/modulus dinotasikan dalam 2 cara :
1. Arah pembebanan
2. Arah sifat yang ditinjau
Komponen tegangan xx, yy, dan xy disebut tegangan intralaminar.
Komponen tegangan zz, xz, dan yz disebut tegangan interlaminar

Gambar.3.15. Komponen tegangan normal dan tegangan geser.

 C. TRANSFORMASI TEGANGAN
Analisis tegangan lamina ortotropic dengan sudut orientasi serat , biasanya ditransformasikan
dari arah xy terhadap arah 12.
 11   xx cos2    yy sin 2   2 xy cos sin 
 22   xx sin 2    yy cos 2   2 xy sin  cos (3.17)
 12  ( xx   yy ) sin  cos   xy  cos 2   sin 2  
Dimana;
xx, yy dan xy adalah arah tegangan yang bekerja
11, 22 dan 12 adalah tegangan transformasi arah 12.
Persamaan yang sama dapat pula ditulis untuk transformasi regangan dengan mengganti 
dengan  dan  dengan ½  pada persamaan 3.17.
Contoh 1.
Tegangan normal xx = 10 MPa di aplikasikan pada lamina unidirectional pada sudut 30 o thd sumbu x, seperti pada gambar
dibawah :

Jawaban :
yy = xy = 0 persamaan transformasi menjadi
11 = xx cos2  = 10 cos2 (-30) = 7.5 MPa
22 = xx sin2  = 10 sin2 (-30) = 2.5 MPa
12 = -xx sincos = - 10 sin(-30)cos(-30) = 4.3 MPa
Material isotropic, anisotropic dan orthotropic

 Material isotropic memiliki sifat yang sama pada seluruh arah atau memiliki
jumlah tak terhingga bidang dengan sifat material simetri.
 Material anisotropic, sifat material berbeda pada seluruh arah, sehingga material

tidak mempunyai bidang dengan sifat material simetri.

 Material orthotropic mempunyai 3 bidang tegak lurus (orthogonal) dengan sifat

material simetri (gambar 3.16).

Gambar 3.16 Tiga bidang simetri material orthotropic

 Perbedaan perilaku isotropic, orthotropic dan anisotropic digambarkan pada gambar 3.17.
- Material isotropic, tegangan normal yang bekerja pada salah satu arah material
isotropic akan mengakibatkan perpanjangan pada arah pembebanan dan penyusutan
pada dua arah melintang.
- Material orthotropic, tegangan normal yang bekerja pada arah sumbu utama akan
mengakibatkan hal yang sama seperti pada material isotropic. Akan tetapi jika tegangan
normal diterapkan pada arah yang lain akan menghasilkan deformasi geser dan
perpanjangan.
- Pada material anisotropic, kombinasi deformasi geser dan perpanjangan akan
dihasilkan oleh tegangan normal yang bekerja pada salah satu arah material.
Fenomena ini disebut extensional – shear coupling.

Gambar 3.17 Perbedaan material isotropic, orthotropic dan

anisotropic pada pembebanan tarik dan geser
 Gambar 3.18 Komponen tegangan normal yang sejajar dan tegak lurus arah serat akibat pembebanan;
a) tegangan geser positif , b) tegangan geser negatif

Perbedaan sifat lainnya adalah

1. Karakteristik tegangan-regangan material isotropis terdiri dari 3 konstanta elastis, yaitu
modulus young (E), poisson ratio () dan modulus geser (G). Sedangkan pada material
anisotropic ada 21 konstanta elastis independent dan pada material orthotropic ada 9
konstanta elastis independent. Konstanta material orthotropic terdiri atas E 11, E22, E33, G12,
G13, G23, 12 ,13 ,23.
2. Pada material isotropis, aturani arah tegangan geser dan arah regangan geser tidak
menimbulkan adanya aturan baru yang signifikan. Sifat mekanik tidak tergantung pada arah
tegangan geser. Sedangkan pada material orthotropic dan anisotropic, arah tegangan dan
regangan mempunyai aturan yang lebih lanjut (seperti pada gambar 3.18)
 3.2.2. SIFAT ELASTIS LAMINA
A. Lamina Serat Kontinyu 00 Unidirectional
Sifat elastis lamina serat kontinyu 00 unidirectional dapat dituliskan sbb :
- Modulus longitudinal (3.19.a)
E11  E f v f  Emvm (3.18)
- Poisson ratio mayor
12   f v f  m vm
(3.19)
- Modulus melintang (3.19.b)
E f Em
E22  (3.20)
E f vm  Emv f
- Poisson ratio
minor
21 
E22
12 (3.21)
E11

- Modulus geser (3.19.c)

G f Gm (3.22)
G12 
G f vm  Gmv f

a b c

Gambar 3.19 Aplikasi a) gaya longitudinal b) Gaya transverse c)Gaya Geser

 Gambar 3.20 Variasi modulus longitudinal
dan melintang lamina serat
kontinyu 00 unidirectional thd fraksi volum

Sesuai persamaan sebelumnya (3.18 s/d 3.22) maka :

 Nilai E11  E22

 Kontribusi serat terlihat pada modulus longitudinal, sedangkan kontribusi matrik terlihat

pada modulus melintang.

 12 lebih besar daripada 31

 Pada kasus E22, kontribusi matrik lebih besar pada G12 daripada serat.

B. LAMINA SERAT KONTINYU BERSUDUT (ANGLE PLY)

Persamaan sifat elastis lamina serat kontinyu bersudut (angle ply);
B. LAMINA SERAT KONTINYU BERSUDUT (ANGLE PLY)
Persamaan sifat elastis lamina serat kontinyu bersudut (angle ply);
1 cos 4  sin 4  1  1 2  (3.23)
     12  sin 2 2
Exx E11 E22 4  G12 E11 

1 sin 4  cos 4  1  1 2  (3.24)

     12  sin 2 2
E yy E11 E22 4  G12 E11 

1 1 212 1  1 212 1 1  2
         cos 2 (3.25)
Gxy E11 E11 E22  E11 E11 E22 G12 

 1 1 2 1 1  2 
 xy  E11  12    12    sin 2 
(3.26)
 E11 4  E11 E11 E22 G12  
E yy
 yx 
E xx
 xy (3.27)

Dimana nilai E11, E22, G12, 12 yang digunakan menggunakan persamaan 3.18 sampai 3.22.
Gambar 3.21 memperlihatkan pengaruh perubahan sudut terhadap konstanta elastis. Dari
sini dapat dibuat hubungan sbb ;
E11 E11
 G12  (3.28)
21  12  2 E11 / E22  12 
 Gambar 3.21. Hubungan antara konstanta
elastis dengan sudut orientasi serat

C. LAMINA SERAT DISKONTINYU 0 0 UNIDIRECTIONAL

Gambar 3.22. Lamina serat diskontinyu

unidirectional
 Sifat elastis lamina seperti ini dapat dituliskan sbb :
 Modulus longitudinal :
1  2 l f / d f  L v f
E11  Em (3.29)
1   Lv f

 Modulus melintang
1  2T v f
E22  Em
1  T v f (3.30)
 Modulus Geser
1  G v f
G12  E21 
1  G v f
Gm (3.31)

 Poisson ratio mayor

12   f v f   mvm (3.32)

Dimana

L 
E f / Em   1
T 
E f / Em   1
G 
G f / Gm   1
E / E m   2 l f / d f  E / Em   2 G / Gm   1 (3.33)
f f f

Persamaan (3.29 – 3.32) diturunkan dari persamaan Halpin Tsai dengan asumsi ;
1. Penampang melintang serat adalah lingkaran
2. Serat terpasang secara segiempat
3. Serat terdistribusi merata dalam matrik
4. Matrik bebas void
D. LAMINA SERAT DISKONTINYU ORIENTASI ACAK
Pada lamina jenis ini (ukuran tipis) perhitungan hampir mendekati material isotropis. Dimana
sifat material dianggap sama pada segala arah bidang. Jadi persamaan modulus tarik dan
geser menjadi sbb ;

3 5
Erandom  E11  E22 (3.34)
8 8
1 1
Grandom  E11  E22 (3.35)
8 4
Erandom
 random  1 (3.36)
2Grandom

Gambar 3.21 Variasi modulus longitudinal lamina

diskontinyu acak terhadap rasio panjang-
diameter serat.

Gambar 3.22 Lamina serat diskontinyu acak

3.2.3 Hubungan Tegangan-Regangan pada Lamina Tipis
A. Isotropic Lamina
Kondisi plane stress terjadi pada lamina tipis, dimana zz = xz = yz = 0. Jadi hubungan
tegangan regangan dapat ditulis sbb :
1
 xx  ( xx   yy )
E
1
 yy  ( xx   yy )
E
(3.45)
1
 xy   xy
G

Gambar 3.30 Kondisi tegangan bidang pada lamina

isotropic

Dimana E, G, dan  adalah modulus

young, modulus geser dan poisson ratio.
B. Orthotropic Lamina
Pada kondisi plane stress untuk lamina orthotropic, dimana zz = xz = yz = 0. Hubungan tegangan regangan
dapat ditulis sbb :
 xx  yy
 xx    yx  m x xy (3.46)
E xx E yy
 xx  yy
 yy   xy   m y xy (3.47)
E xx E yy
 xy
 xy   m x xx  m y yy  (3.48)
G xy
 1 1  1 2 1 1 
m x  sin 2  12    cos 2    12    (3.49)
 E11 E 22 2G12  E11 E 11 E 22 G12 
 1 1  1 2 1 1 
m y  sin 2  12    sin 2    12    (3.50)
 E11 E 22 2G 12  E11 E 11 E 22 G12 