Anda di halaman 1dari 28

AKHLAQ DALAM ISLAM

M.Gistha Alevio.F
5311421086
Teknik Elektro
A. Konsep Akhlaq
1. Pengertian Akhlaq
2. Sumber Akhlaq
3. Ruang Lingkup Akhlaq
4. Kedudukan Akhlaq dalam Islam
5. Ciri-ciri Akhlaq dalam Islam

MARI KITA SIMAK MATERI INI BERSAMA


SAMA
Pengertian Akhlaq
Kata akhlaq (Bahasa Arab) secara etimologis adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan
khalqun (penciptaan)
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq
(Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Dengan perkataan lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya
baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki apabila perilaku manusia itu didsarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan
Secara terminologis (istilah), akhlaq atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara
spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Menurut Imam Al Ghozali dalam “Ihya’ Ulum ad-din”, “Akhlaq adalah sebuah keadaan yang tetap dalam jiwa yang darinya lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran lagi.” Artinya, perbuatan itu terjadi secara refleks karena
persinggungan antara dimensi batiniah dari pelaku.
Akhlaq yang dalam istilah filsafatnya sering disebut sebagai “etika” merupakan pelaksanaan kewajiban seseorang dan pemberian hak
yang harus diberikan kepada mereka yang berhak.
Dari keterangan dan ilustrasi di atas jelaslah bahwa akhlaq itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.
Akhlaq bukan sekadar sopan santun dan tata krama yang bersifat lahiriah dari seseorang kepada orang lain . Akhlaq Islam memiliki
karakteristik diantaranya sesuai dengan fitrah manusia. Manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki apabila mengikuti
nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh Alquran dan As- sunnah, sebagai sumber akhlaq dalam Islam.
Sumber Akhlaq
Sumber akhlaq yang dimaksud di sini adalah standar yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercelanya perilaku
manusia.
Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, berdasarkan Alquran dan Sunnah sebagai
acuannya. Misalnya sifat sabar, syukur, pemurah, pemaaf, jujur dan sebagainya dinilai baik, karena syara’ menilai bahwa sifat-
sifat yang demikian adalah baik.
Sekalipun demikian, Islam tidaklah begitu saja menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarakat sebagai ukuran
dalam menentukan baik dan buruk. Dalam bahasa Alquran, hati nurani atau fitrah adalah anugerah Allah yang memiliki
kecenderungan untuk bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum 30:30).
Begitu juga dengan akal fikiran dan pandangan masayarakat, akal hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk
mencari dan menilai kebaikan atau keburukan berdasarkan pengalaman empiris, yang sudah barang tentu memiliki keterbatasan.
Keputusan akal hanya bersifat spekulatif, tentatif dan subyektif. Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran
tentang baik dan buruk, tetapi jusa bersifat relative, tergantung sejauhmana kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan
pikiran mereka dapat terjaga.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ukuran yang pasti, obyektif, universal dan komprehensif
untuk menentukan baik buruk hanyalah Alquran dan Sunnah.
Ruang Lingkup Akhlaq
Akhlaq Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Dengan
demikian pembahasan akhlaq meliputi wilayah yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara
vertikal dengan Allah Swt. maupun secara horisontal dengan sesama ciptaan-Nya.
Dalam tulisan ini cakupan pembahasan akhlaq meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Akhlaq Terhadap Allah Swt.


2. Akhlaq Terhadap Rasulullah saw.
3. Akhlaq Pribadi
4. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia
5. Akhlaq Terhadap Lingkungan
Kedudukan Akhlaq dalam Islam
Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlaq menempati kedudukan yang sangat istimewa dan penting. Bahkan Rasulullah saw.
menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Baihaqi).
Kedudukan akhlaq dalam agama Islam cukup identik dengan pelaksanaan agama Islam itu sendiri dalam segala aspek
kehidupan. Berakhlaq Islami, berarti melaksanakan ajaran agama Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam seluruh lini kehidupan,
baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi ini.
Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah saw. pernah mendefinisikan agama itu dengan
akhlaq yang baik (husn a-l-khulq). Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw:
“Ya Rasulullah, apakah agama itu? Beliau menjawab: (Agama adalah) Akhlaq yang mulia). Pemaknaan agama (Islam)
dengan akhlaq yang baik tersebut sebanding dengan pemaknaan ibadah haji dengan wuquf di ‘Arafah. Rasulullah saw.
menyebutkan, “Haji adalah wuquf di ‘Arafah.” Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wuquf di ‘Arafah.
Kedudukan akhlaq dalam kehidupan adalah sebagai barometer/ukuran kualitas keimanan seseorang. Rasulullah saw.
mengaitkan antara rasa malu, adab berbicara serta sikap terhadap tamu dan tetangga, misalnya dengan eksistensi dan kualitas
iman seseorang. Hal ini terlihat misalnya dalam haditshadits di bawah ini:
a. Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaqnya” (HR. Tirmidzi).
b. Rasulullah bersabda: “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana
lenyap salah satunya hilang pulalah yang lain” (HR. Hakim dan Thabrani)
c. Rasulullah bersabda: “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah
dia tidak beriman! Seorang sahabat bertanya: “Siapa dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulullah?
Belau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Bukhori)
d. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklan ia
berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah Swt. Misalnya shalat,
puasa, zakat dan haji. Di dalam Alquran banyak terdapat ayat yang berhubungan dengan akhlaq, baik berupa
perintah untuk berakhlaq yang baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mematuhi
perintah itu, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang-orang yang melanggarnya. Hal
ini bisa dilihat dari beberapa keterangan di bawah ini:
a. Yang artinya : “…dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar” (Q.S. Al- ‘Ankabut 29: 45).
b. Sabda Rasulullah saw: “Bukanlah puasa itu hanya menahan makan dan minum saja, tapi puasa itu menahan diri
dari perkataan kotor dan keji. Jika seseorang mencaci atau menjahilimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku
sedang berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah).
c. Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka…” (QS. At-Taubah 9: 103)
d. Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi
yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…”
(QS. Al-Baqarah 2: 197).
Banyaknya ayat Alquran yang berhubungan dengan akhlaq ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan
akhlaq dalam Islam.
Ciri-ciri Akhlaq dalam Islam
Akhlaq Islam, di samping memiliki kedudukan dan keistimewaan juga memiliki ciri-ciri yang khas diantaranya:
(1) Rabbani, (2) manusiawi, (3) universal, (4) seimbang, dan (5) realistik.
Akhlaq Rabbani maksudnya bahwa akhlaq Islam bersumber dari wahyu Allah yang termaktub dalam Alquran
maupun Sunnah dan memiliki nilai kebenaranan yang mutlak, bukan situasional dan kondisional serta bertujuan
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akhlaq Rabbani mampu megnhindari kekacauan nilai moralitas dalam hidup manusia. Firman Allah :
ّ ٰ ‫سبِ ْيلِ ٖه ٰۗذلِ ُك ْم َو‬
‫صى ُك ْم بِ ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْو َن‬ َ ‫سبُ َل فَتَفَ َّر‬
َ ْ‫ق ِب ُك ْم َعن‬ ُّ ‫ستَقِ ْي ًما فَاتَّبِ ُع ْوهُ ۚ َواَل تَتَّبِ ُعوا ال‬
ْ ‫اط ْي ُم‬ ِ ‫َواَنَّ ٰه َذا‬
ِ ‫ص َر‬
Wa anna hāżā ṣirāṭī mustaqīman fattabi'ụh, wa lā tattabi'us-subula fa tafarraqa bikum 'an sabīlih,
żālikum waṣṣākum bihī la'allakum tattaqụn

Artinya: “Inilah jalan-Ku yang lurus, hendaklah kamu mengikutinya, jangan kamu ikuti jlan-jalan lain, sehingga
kamu bercerai-berai dari jalan-Nya. Demikian diperintahkan kepadamu, agar kamu bertaqwa” (QS. Al-An’am 6:
153).
Manusiawi, artinya akhlaq Islam sejalan dengan tuntutan fitrah manusia yaitu bertujuan untuk memperoleh
kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan yang semu. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang benar-benar memelihara
eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
Universal, artinya ajaran akhlaq dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup segala
aspek kehidupan manusia, baik yang berdimensi vertikan maupun horizontal. Misalnya Alquran meyebutkan
bermacam-macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setiap orang, yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada
orang tua, membunuh anak karena takut miskin, berbuat keji baik secara terbuka maupun secara tersembunyi,
membunuh orang tanpa alasan yang sah, makan harta anak yatim, mengurangi takaran dan timbangan, persaksian
tidak adil, menghianati janji dengan Allah, dan sebagainya (QS. Al-An’am 6: 151-152).
Seimbang, artinya akhlaq Islam memenuhi tuntutan segala kebutuhan manusia secara seimbang, yaitu antara
kebutuhan jasmani dan ruhani, kebutuhan pribadi dan social serta kebutuhan untuk memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat
Realistik, ajaran akhlaq dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun manusia memiliki
kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya, namun ia juga memiliki kelemahan dan kekurangan.
Kekurangankekurangan yang bersifat manusiawi itu memungkinkan manusia untuk melakukan pelanggaran dan
kesalahan- kesalahan.
Oleh karenanya Islam memberi kesempatan kepada manusia yang melakukan kesalahan itu untuk memperbaiki
diri dengan jalan bertaubat.
Dari uraian singkat di atas bisa dipahami bahwa akhlaq Islam tidak akan pernah bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal dan justru dengan akhlaq Islam akan terbangun sebuah kehidupan yang bermartabat,
sesuai dengan fitrah manusia.
B. AKHLAQ DAN AKTUALISASINYA DALAM KEHIDUPAN

1. Akhlaq Terhadap Allah Swt


2. Akhlaq terhadap Rasulullah saw
3. Akhlaq Pribadi
4. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia
5. Akhlaq Kepada Lingkungan Hidup

MARI KITA SIMAK MATERI INI BERSAMA


SAMA
Akhlaq Terhadap Allah Swt
Dalam menjalani kehidupan ini manusia dianugerahi kenikmatan oleh Allah Swt. yang tiada ternilai harga dan
jumlahnya. Diantara kenikmatan itu adalah nikmat iman, nikmat kesehatan, nikmat akal fikiran, dan sebagainya.
Dengan potensi nikmat itu manusia bisa melakukan aktivitas untuk meraih tujuan hidup yang dicita-citakan.
Sebagai hamba-Nya yang baik maka sudah semestinya manusia memiliki kesadaran untuk berinteraksi sebaik
mungkin dengan Allah Swt.
Di dalam Alquran dan Sunnah banyak ditemukan informasi mengenai bagaimana pola hubungan yang harus
dibangun antara manusia dengan Allah Swt.
Pola hubungan antara manusia dengan Allah Swt. itu diantaranya adalah :
1. Mentauhidkan Allah, yaitu mengesakan-Nya baik dalam zat, asma’ was- shiffat maupun af’al (perbuatan-Nya) serta
menjauhkan diri dari perbuatan syirik yang bisa menghancurkan sendi-sendi moral dan kehidupan manusia.
2. Bertaqwa, yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala larangan-
Nya Seorang yang bertaqwa akan hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya tidak meninggalkannya.
Hati-hati menjaga larangan Allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat selamat hidup di dunia dan
akhirat. Firman Allah Swt.
3. Cinta dan Ridha, Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah Swt. Allah lebih
dicintainya daripada segala- galanya. Seseorang dikatakan dikatakan mencintai Allah jika dia selalu berusaha
melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya, dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak disukai atau dibenci-Nya.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman:
‫ص ِّدقًا لِّ َما بَ ْي َن يَ َد ْي ِه َواَ ْن َز َل التَّ ْو ٰرىةَ َوااْل ِ ْن ِج ْي ۙ َل‬ َ ‫نَ َّز َل َعلَ ْي َك ا ْل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِا ْل َح‬
َ ‫ق ُم‬
Nazzala 'alaikal Kitaaba bilhaqqi musaddiqal limaa baina yadaihi wa anzalat Tawraata wal Injiil

Artinya :  Dia menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan (kitab-kitab)
sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil (Q.S Ali Imran : 3).

seorang mukmin yang mencitai Allah, mencintai Rasul dan jihad di jalanNya berarti dia sudah bisa meraih cinta utama.
Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan dan segala macamnya adalah
cinta menengah, yang harus berada di bawah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula sesuai dengan syari’at-Nya.
4. Ikhlas
Dalam bahasa popular, ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih, hanya semata mata mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas adalah
syarat diterimanya seuatu amalan, baik yang menyangkut amalan dunia maupun amalan akhirat.
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Swt. menyukai, bila seseorang beramal, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya…” (HR. Baihaqi).
Lawan dari ikhlas adalah riya, yaitu melakukan pekerjaan bukan karena Allah melainkan karena ingin dipuji atau karena
pamrih lainnya. Pada asalnya, seorang yang riya adalah orang yang ingin memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dia
lakukan. Riya akan menghapus pahala amalan seseorang Rasulullah saw. menamai riya dengan syirik kecil, dan beliau paling
mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi pada umatnya, Sabdanya:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil”. Sahabat bertanya: “Apakah syirik
kecil itu ya Rasulullah?” Rasul menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman:
“Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa yang melakukan amalan yang menyekutukan Aku dengan yang
lain, mka Aku berlepas diri darinya, maka amalan itu untuk sekutu itu” (HR. Muslim).
5. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan segala
keputusan hanya kepada Allah Swt. Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar).
Rasulullah dan kaum muslimin generasi awal telah memberi contoh tentang praktek tawakal ini. Mereka adalah para pekerja
keras dalam berbagai lapangan kehidupan, misalnya perdagangan, pertanian, perindustrian, keilmuan dan sebagainya
Rasulullah juga mengajarkan bagaimana kita harus berusaha melakukan upaya preventif untuk menghindari suatu bahaya
dan penyakit, dengan sabdanya:
“Matikan lampu-lampu di waktu malam sebelum kamu tidur. Ikatlah pundit-pundi air dan tutuplah makanan dan minuman”
(HR. Bukhori)
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hukum sebab akibat, tetapi sekalipun demikian kita tidak boleh
tawakal dengan ikhtiar (usaha) yang kita lakukan. Misalnya, kita sembuh dari sakit setelah berobat ke dokter. Sembuhnya kita dari penyakit itu
bukan karena pengobatan dari dokter semata, melainan pengobatan itu hanya sebagai sebabnya. Allah sematalah yang sesungguhnya memberi
kesembuhan itu.
Sikap tawakal sangat bermanfaat ntuk mendapatkan ketenangan batin. Ketika seseorang berhasil dalam usahanya maka dia tidak lupa
bersyukur, tidak sombong dan tidak membanggakan diri, sebaliknya jika mengalami kegagalan atau musibah dia tidak akan putus asa dan tetap
bersabar.
Orang yang bertawakal akan selalu dicukupkan oleh Allah segala keperluannya, Firman Allah:
“…Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At- Thalaq 65:3).
6. Syukur
Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu hati, untuk
ma’rifah dan mahabbah, lisan untuk memuja dan menyebut asma Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai
sarana untuk taat kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah Swt. bukanlah untuk kepentingan Allah itu sendiri, karena Allah tidak memerlukan apa-apa
dari alam semesta ini, melainkan justru untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana Firman-Nya :

‫س ٖ ۚه َو َمنْ َكفَ َر فَاِنَّ هّٰللا َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬ ْ َّ‫ش ُك ْر هّٰلِل ِ َۗو َمنْ ي‬
ْ َ‫ش ُك ْر فَاِنَّ َما ي‬
ِ ‫ش ُك ُر لِنَ ْف‬ ْ ‫َولَقَ ْد ٰاتَ ْينَا لُ ْقمٰ َن ا ْل ِح ْك َمةَ اَ ِن ا‬
Walaqad aatainaa luqmaanal hikmata aniisykur lillahi waman yasykur fa-innamaa yasykuru linafsihi waman kafara fa-
innallaha ghanii-yun hamiidun.
Artinya: “…Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan
barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Luqman 31:12)

َ َ‫کمۡ َو لَئِ ۡن َکفَ ۡرتُمۡ اِنَّ َع َذابِ ۡی ل‬


‫ش ِد ۡی ٌد‬ ُ ‫َو اِ ۡذ تَاَ َّذ َن َر ُّب‬
َ ‫کمۡ لَئِ ۡن‬
ُ َّ‫ش َک ۡرتُمۡ اَل َ ِز ۡی َدن‬
Wa-idz taadz-dzana rabbukum la-in syakartum aziidannakum wala-in kafartum inna ‘adzaabii
lasyadiidun

Artinya: “Dan ingatlah, ketika Tuhannu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7).
7. Muraqabah
Muraaqabah berakar dari kata raqaba yang berarti menjaga, mengawal, menanti dan mengamati. Semua pengertian ini
tersimpul dalam satu kata yaitu pengawasan.
Muraqabah yang dimaksud di sini adalah kesadaran seorang muslim bahwa dia selaluberada dalam pengawasan Allah Swt.
Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah Swt dengan sifat ‘ilmu, basher dan sama’ (mengetahui, melihat dan
mendengar) Nya mengetahui apa saja yang dia lakukan kapan dan di mana saja.
Dia mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh hamba-Nya. Tidak ada satupun dari aktivitas manusia yang luput dari
pengawasan-Nya. Firman Allah:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang baik, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun
dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”

ُّ ‫ٕٮنَةَ ااۡل َ ۡعيُ ِن َو َما تُ ۡخفِى‬Žِِٕ ‫يَ ۡعلَ ُم َخٓا‬


‫الصد ُۡو ُر‬
Ya'lamu khaaa'inatal a'yuni wa maa tukhfis suduur

Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada. (Q.S Ghafir : 19)
8. Taubat
Taubat adalah sebuah kebijakan Allah untuk menerima kembali hambaNya yang telah menjauhkan diri dari-Nya dan
menginginkan untuk kembali ke jalan yang benar setelah melakukan kesalahan-kesalahan.
Bertaubat kepada Allah memiliki makna kembali menuju ketaatan setelah melakukan kemaksiatan, kembali dari segala yang
dibenci oleh Allah menuju yang diridhaiNya, kembali pada Allah setelah meninggalkn-Nya dan kembali taat setelah menentang-
Nya.
Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan akan tetapi orang yang baik adalah orang yang bersegera minta
maaf setelah melakukan kesalahan-kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang diperbuatnya serta melakukan kebiakan untuk
menghapus keburukan itu. Firman Allah :

َ ٰ ‫َاب َو َءا َم َن َو َع ِم َل‬


‫صلِ ًحا ثُ َّم ٱ ْهتَ َد ٰى‬ َ ‫َوإِنِّى لَ َغفَّا ٌر لِّ َمن ت‬
Wa innī lagaffārul liman tāba wa āmana wa 'amila ṣāliḥan ṡummahtadā
Arti: Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.
(Q.S Thaha : 82)

Allah Swt. Maha penerima taubat. Betapapun besarnya dosa seorang manusia, apabila dia bertaubat, Allah pasti
mengampuninya.
2. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW
Akhlaq terhadap Rasulullah adalah cara kita beinteraksi secara tidak langsung kepada Rasulullah saw. yang meliputi tata cara kita
bersikap kepada beliau dan tata cara kita berinteraksi dengan segala sesuatu yang dibawanya.
Contoh akhlaq terhadap Rasulullah diantaranya adalah mencintai dan memuliakannya. Mencintai Rasulullah juga berarti mencintai
orang- orang yang dicintai oleh beliau dan membenci orang-orang yang dibencinya, lebih khusus lagi mencintai dan memuliakan
keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah melarang umatnya mencela sahabat-sahabat beliau.
“Janganlah kamu cela sahabat-sahabatku. Andaikata seseorang diantara kamu memberikan infaq emas sebesar gunung Uhud, tidak
akan sampai menyamai satu mud (infaq) salah seorang diantara mereka, bahkan setengah mud pun tidak.” (HR. Bukhori).
Sesudah mencintai Rasulullah, kita juga berkewajiban menghormati dan memuliakan beliau, lebih daripada menghormati dan
memuliakan tokoh manapun dalam sejarah umat manusia.
Para sahabat, jika diajukan pertanyaan di dalam majlis yang dihadiri Nabi, mereka tidak mau mendahului beliau menjawab, apabila
dihidangkan makanan mereka tidak akan memulai makan sebelum Nabi memulainya, kalau berjalan bersama Nabi mereka tidak akan
berada di depan.
Para sahabat, karena sangat hati-hatinya menjaga jangan sampai mendahului Rasulullah saw, apabila ditanya oleh Rasulullah biasanya
mereka menjawab dengan mengatakan “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu” sekalipun sebenarnya mereka tahu jawabannya.
Demikianlah sikap para sahabat memuliakan dan menghormati Rasulullah saw. Bagi kita sekarang, Di mana secara fisik Rasulullah
tidak lagi hadir bersama kita, tidak mendahului beliau dimanifestasikan dengan tidak menetapkan suatu perkara sebelum membahas
dan menelitinya terlebih dahulu dalam Alquran dan Sunnah sebagai dua warisan beliau yang harus selalu dipedomani.
Sekalipun kita sudah tidak berjumpa dengan Nabi secara fisik, yaitu dengan tidak mengeraskan suara di hadapan para ulama pewaris
Nabi, dalam majlis yang sedang dibacakan atau diajarkan warisan Nabi (Alquran dan Sunnah), dan juga masjid Nabawi lebih khusus
lagi di kuburan Nabi.
Sikap atau akhlaq kita terhadap Rasulullah yang lain adalah mengikuti dan mentaati segala yang diajarkan kepada kita. Mengikuti
Rasulullah adalah salah satu bukti kecintaan seorang hamba terhadap Allah SWT.
Ketaatan kepada Rasulullah saw. Bersifat mutlak, karena taat kepada beliau merupakan bagian dari taat kepada Allah swt.
Mengikuti dan mematuhi Rasulullah berarti mengikuti segala aturan yang dibawa oleh Rasulullah yang terlembagakan dalam Alquran
dan Sunnah yang merupakan dua warisan yang ditinggalkan Rasulullah untuk umat manusia sebagai pedoman hidup menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perintah untuk bershalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dalam ayat diatas menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya
kedudukan beliau di sisi Allah Swt. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam
kepada Nabi bukanlah karena Nabi membutuhkannya.
Ucapan shalawat dan salam dari orang-orang beriman, disamping merupakan bukti penghormatan kepada beliau, juga untuk kebaikan
kita sendiri. Sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan bershalawat
kepadanya sepuluh kali.” (HR. Ahmad).
“Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku.”
(HR. Tirmidzi).
Sebaliknya Nabi menyatakan bahwa orang yang tidak bershalawat ketika mendengar nama beliau disebut adalah orang yang bakhil.
“Yang benar-benar orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.”
(HR. Tirmidzi dan Ahmad).
3. Akhlaq Pribadi
Menurut Imam Al Ghozali, “akhlaq adalah sebuah keadaan yang tetap dalam jiwa yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan
mudah tanpa membutuhkan pemikiran lagi”. Perilaku seseorang akan mencerminkan akhlaq yang baik manakala selalu dilandasi
dengan nilai-nilai yang secara universal sudah diterima baik dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan Allah Swt.
Nilai-nilai itu diantaranya shidiq, amanah, istiqamah, iffah, tawadhu’, malu, sabar, pemaaf dan sebagainya.
a. Shidiq, Shidiq artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong.
b. Amanah, Amanah artinya dipercaya, seakar dengan kata iman.
c. Istiqamah. Secara etimologis, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sikap teguh pendirian
dan selalu konsekuen.
d. Iffah, Secara etimologis, iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu- ‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Juga
berarti kesucian tubuh.

e. Tawadhu’, Tawadhu’ artinya rendah hati, kebalikan dari sombong atau takabur.
f. Malu, Malu atau dalam bahasa Arab al-hayaa-u, adalah sikap menahan segala kecenderungan berbuat keburukan, kedzaliman, kekejian,
kesewenang-wenangan dan tindak kemaksiatan lainnya.
g. Sabar, Sabar, secara etimologis berarti menahan dan mengekang. Sedangkan secara istilah, sabar bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang
tidak disukai karena mengharapkan ridha Allah.

h. Pemaaf, Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa harus menunggu orang yang bersalah meminta
maaf kepada dirinya.
4. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia
Ajaran Islam selain mengatur interaksi manunia dengan Allah Swt. juga mengatur interaksi antara manusia dengan manusia.
Diantara bentuk- bentuk interaksi itu adalah interaksi antara anak dengan kedua orang tua, interaksi dengan keluarga dan interaksi
dengan masyarakat.
a. Akhlaq kepada Ibu Bapak
Ajaran Islam menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati
posisi yang sangat mulia dan sebaliknya durhaka kepada keduanya menempati posisi yang sangat hina. Secara khusus Allah juga
mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat dan mendidik anak-anaknya.
Dalam Islam, bentuk konkret hubungan baik antara anak dengan kedua orang tua disebut dengan “Birrul walidain”. Birrul
walidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru atau al-birru artinya kebajikan dan al-walidain artinya dua orang tua atau ibu
bapak. Jadi, birrul walidain.
Istilah Birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad saw., sebagaimana sabdanya: “Diriwayatkan dari
AbuAbdirrahman Abdullah ibn Mas’ud ra. Dia berkata: Aku bertanya kepada Nabi saw.: Apa amalan yang paling disukai oleh
Allah Swt? Beliau menjawab: “Salat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: “Birrul
Walidain”. Kemudian aku bertanya lagi: Seterusnya apa? Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Birrul walidain menempati kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Perintah ihsan kepada ibu –bapak diletakkan oleh
Allah Swt. setelah perintah beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana Firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji
dari Bani Israil yaitu: “Janganlahkamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. (QS. Al-Baqarah 2:
83).
b. Akhlaq kepada Keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk
komonikasi. Komunikasi dalam keluarga diungkapkan dalam bentuk perhatian baik melalui kata-kata, isyarat-isyarat maupun prilaku.
Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin, keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan
menghapuskan kesenjangan diantara mereka.
Pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga akan menjadi ukuran utama bagi anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada
mereka diluar rumah. Dengan dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjaring segala pengaruh yang datang kepadanya.
Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali nilai dari rumah, jiwanya kosong dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar
rumah.
c. Akhlaq terhadap Masyarakat
Menurut Alquran, manusia secara fitri adalah makhluk sosial, dan hidup bermasyarakat merupakan merupakan suatu keniscayaan bagi
mereka. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal.
Pada dasarnya, tidak ada bedanya antara tata cara pergaulan bermasyarakat sesama Muslim dengan non-Muslim. Kalaupun ada
perbedaan, hanya terbatas dalam beberapa hal yang bersifat ritual keagamaan.
Untuk terciptanya hubungan baik bagi sesama Muslim dalam masyarakat, setiap orang harus mengetahui hak dan kewajibannya
masing-masing sebagai anggota masyarakat. Hal ini tercermin dalam sebuah hadits Nabi saw:
“Kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jnazah,
memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR. Khamsah).
Dari hadits yang singkat ini, Rasulullah saw. telah menerangkan beberapa hal yang terkait dengan etika hubungan antara
seorang muslim dengan Muslim lainnya.
Tujuan digariskannya interaksi anta Muslim oleh Rasulullah ini tidak lain kecuali agar hubungan mereka terjalin dengan baik
dan kokoh, sehingga terciptalah kasih sayang, kedekatan dan cinta kasih mendalam di antara mereka. Ini sebagaimana tergambar
dalam hadits Nabi:
“Perumpamaan arang-orang Muslim dalam cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti halnya stu tubuh. Kalau
salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh juga merasa panas dan pening”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Salah satu etika yang juga patut diperhatikan dalam berinteraksii dengan sesama Muslim adalah melakukan amar ma’ruf dan
nahi munkar. Hal ini adalah kewajiban yang melekat pada setiap muslim ketika melihat kemunkaran di tengahtengah kehidupan
kita. Sabda Nabi saw:
“Barangsiapa salah satu diantara kamu melihat kemunkaran hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya, dan kalau tidak
mampu hendaknya dengan lisannya, dan kalau tidak mampu, hendaknya dengan hatinya, dan mengubah dengan hati itu adalah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
5. Akhlaq Kepada Lingkungan Hidup
Manusia dianugerahi Allah Swt karunia yang melimpah di seluruh penjuru bumi ini berupa kekayaan alam untuk
dimanfaatkan sebaik mungkin bagii kepentingan dan kesejahteraan seluruh makhluq hidup yang ada di dalamnya. Semua benda
yang ada di bumi pada dasarnya boleh dimakan kecuali yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Swt
Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan
hidup, sebagaimana firman Allah

َ ‫س ْل ٰنَ َك إِاَّل َر ْح َمةً لِّ ْل ٰ َعلَ ِم‬


‫ين‬ َ ‫َو َمٓا أَ ْر‬
Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-'ālamīn

Artinya : Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (Q.S Al Anbiya :
107)
Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagaii khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang
bertugas memakmurkan, mengelola, dan melestarikan alam. Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya alam sehingga
dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi yang subur untuk
disikapi oleh manusia dengan kerja keras.
Kekayaan alam yang berlimpah disediakan Allah untuk disikapi dengan cara mengambil dan memberi manfaat dari dan
kepada alam serta melarang segala bentuk perbuatan yang merusak alam. Pengelolaan alam dan lingkungan dengan baik akan
dapat memberi manfaat yang berlipat-lipat, begitu pula sebaliknya alam yang dibiarkan merana atau hanya diambil manfaatnya
secara berlebihan akan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan itu sendiri.
Dalam Islam ada aturan yang mungkin dapat dianggap sebagai latihan atau cetak biru untuk mengendalikan diri dalam
berinteraksi dengan alam, yaitu ketika sedang melakukan ihram, seseorang dilarang mencabuti tumbuhan dan berburu binatang.
Rasulullah pernah menegaskan tidak boleh dirusaknya tumbuhan tanpa ditanam kembali, dan siapa saja yang menanam
pohon untuk kelestarian alam ini atau untuk tempat berteduh manusia, dia akan mendapatkan nilai kebajikan yang begitu besar.
Nabi bersabda: “Tidak seorangpun menanam tanaman kecuali ditulis baginya pahala sesuai dengan buah yang dihasilkan oleh
tanaman itu.” (HR. Ahmad)
Berakhlaq kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Pada intinya, etika Islam terhadap alam semesta hanya mengajarkan satu hal saja yaitu perintah jangan membuat kerusakan di
muka bumi.
Islam mengingatkan, sekalipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia, namun semua yang ada ini adalah milik Allah
Swt. Hal ini akan mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain
kecuali amanat yang harus dipertanggungjwabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang
berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban.
Islam mengingatkan, sekalipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia, namun semua yang ada ini adalah milik Allah
Swt. Hal ini akan mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain
kecuali amanat yang harus dipertanggungjwabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang
berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut
pemeliharaan dan pemanfaatannya” demikian kandungan penjelasan Nabi saw tentang firman-Nya yang berbunyi: “Kamu
sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)” (QS. At-Takatsur 102: 8)
C. TOLERANSI DALAM ISLAM
Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Manusia tidak
bisa hidup sendiri dalam kondisi terasing tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya.
Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang begitu majemuk dan plurall jenis penduduknya, maka sudah menjadi suatu
kenyataan bahwa interaksii dengan orang lain merupakan kebutuhan yang mendesak. Ada beragam suku dan agama yang dianut
oleh masyarakatnya. Dengan toleransi sebagai landasan untuk berinteraksi maka memungkinkan terjalinnya kesatuan dan
kerukunan antar warga di dalamnya.
Demikian juga dengan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas dii Indonesia, tetapi mereka tidak dapat melepaskan
diri dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan agama-agama lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga sebaliknya,
pemeluk agama lain mau tidak mau harus berinteraksi dengan penganut Islam sebagai salah satu sarana untuk memenuhi
kebutuhannya.
Dalam interaksi dengan pemeluk agama lain, Islam telah membuat beberapa garis besar etika yang perlu diterapkan. Dengan
tujuan selain mempertinggi harkat dan martabat Islam itu sendiri, nantinya terwujud hubungan yang harmonis antara para
pemeluk agama.
Sebelum bergerak dalam tindakan etika secara praksis, kiranya perlu dipahami dulu ketentuan Allah tentang adanya pemeluk
agama lain. Alquran banyak sekali menyinggung mengenai pemeluk agama lain selain Islam.
Pluralisme adalah sebuah hukum Tuhan yang diterapkan di alam ini agar tercipta keseimbangan. Tujuan pluralisme itu
sendiri adalah agar manusia saling mengenal satu sama lain.
Hal ini sebagaimana tujuan Rasulullah diutus ke dunia ini, yang tidak hanya diperuntukkan bagi sekelompok manusia saja, melainkan diutus untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam.
1. Bentuk-bentuk Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Lain:
a. Dialog secara Baik dan Saling Menghormati
Prilaku dan dialog yang baik dengan penganut agama lain dilakukan dengan tujuan saling menghormati keyakinan masingmasing
b. Tidak Boleh Menghina Sesembahan Mereka
Persoalan yang bersifat teologis sangat rentan untuk diperdebatkan, karena akan memunculkan konflik antar agama. Islam melarang praktik
penghujatan terhadap sesembahan agama lain, karena justru akan menjadi bumerang bagi penghujat sendiri.
c. Toleransi Pada Keyakinan Masing-masing
Prilaku toleransi atau tenggang rasa terhadap pemeluk agama lain adalah sebuah kemestian, karena kita tidak dapat memaksakan keyakinan agama kita
kepada mereka. Sebab mereka sudah beragama, dan memang di Indoneia tidak diperkenankan untuk menyerukan agama kepada pemeluk agama lain.
d. Tolong Menolong
Tolong menolong dalam urusan sosial harus dilakukan sekalipun kepada orang kafir dzimmi (orang kafir yang hidup berdampingan dengan umat
Islam).
e. Menepati Janji dengan Mereka Selama Mereka Menepati Janji
Rasulullah pernah mengadakan perjanjian dengan pemeluk agama lain yang dikenal dengan “Piagam Madinah” agar di Madinah tercipta iklim
keberagamaan yang kondusif dan harmonis, yang intinya mempertahankan sikap saling menghormati dan tidak saling mengganggu antar pemeluk
agama.
f. Senantiasa Berbuat Adil
Keadilan adalah sesuatu yang mutlak tanpa mengenal agama dan warna kulit.

Anda mungkin juga menyukai