Anda di halaman 1dari 15

KAFALAH DAN ISTISNA’

Luthfia Chairunnisa 21108040024


Fitriani Syahrir 21108040025
KAFALAH

Menurut Istilah Menurut bahasa


• Jaminan yang diberikan oleh • al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban),
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dan za‟mah (tanggungan)
yang memeneuhi kewajiban pihak kedua
atau yang ditanggung. Dalam pengertian
lain kafalah juga berarti mengalihkan
tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab
orang lain sebagai penjamin.
Dasar Hukum Kafalah
Dasar hukum menurut al-Quran .1
‫قَا َل لَ ْن اُرْ ِسلَ ٗه َم َع ُك ْم َح ٰتّى تُ ْؤتُ ْو ِن َم ْوثِقًا ِّم َن هّٰللا ِ لَتَأْتُنَّنِ ْي بِ ٖ ٓه آِاَّل اَ ْن يُّ َحاطَ بِ ُك ۚ ْم فَلَ َّمٓا ٰاتَ ْوهُ َم ْوثِقَهُ ْم قَا َل‬
‫هّٰللا ُ َع ٰلى َما نَقُ ْو ُل َو ِك ْي ٌل‬
Artinya: “Dia (Ya’qub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi)
bersama kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa
kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kamu dikepung
(oleh musuh).” Setelah mereka memberikan janji kepadanya, dia (Ya’qub)
berkata, “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.” (QS. Yusuf:66)
2. Dasar hukum menurut as-Sunnah
Rasulullah SAW banyak menyebutkan mekanisme al-kafalah dalam beberapa
sabdanya. Sabda Beliau adalah sebagai berikut: “Bahwa Nabi SAW tidak mau shalat
mayit pada mayit yang masih punya hutong, maka berkata Abu Qatadah: “shalatlah
atasnya ya Rasulullah, sayalah yang menanggung hutangnya, kemudian Nabi
menyalatinya.” (HR. Bukhari). 3. Ijma’ Ulama
Syaikh Musthofa Al-Khin dan Syaikh Mustofa Al-Bugha menyebutkan dalam kitabnya,
Al-Fiqh Al-Manhaji, bahwa ulama dan seluruh kaum muslimin di seluruh tempat dan
zaman telah bersepakat (berijma’) atas bolehnya akad al-kafalah (Al-Khin., et all.,
2012). Hal ini dibuktikan oleh kutipan dan pembahasan tentang al-kafalah dalam
semua kitab-kitab fikih baik yang tradisional maupun kontemporer. Aplikasi al-kafalah
juga telah lama diterapkan oleh kaum muslimin di berbagai lembaga keuangan,
maupun dalam transaksi sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
• Kafil atau za’im, yaitu orang yang menjamin. Dalam hal ini orang
Rukun dan yang menjamin disyaratkan sudah baliqh, berakal, tidak dicegah
menjalankan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendak

Syarat-Syarat •
sendiri.
Madmun ‘alayh (orang yang berpiutang), syrat-syarat orang yang
berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Orang yang
tentang Kafalah menjamin disebut juga makful lahu, orang yang berpiutang
disyratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam
hal tuntunan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
Rukun Kafalah • Madmum ‘anhu atau makful ‘anhu (orang yang berutang). Dalam
a.Kafil atau za’im, yaitu orang yang hal ini orang yang berutang disyaratkan baligh, berkal, memiliki niat
menjamin. yang baik dan berbuat baik untuk memenuhi tangung jawabnya
b.Madmun ‘alayh (orang yang kepada orang yang menjamin.
berpiutang)
• Madmun bih atau makful bih (benda/barang atau orang). Benda atau
c.Madmum ‘anhu atau makful ‘anhu orang disyaratkan dapat diketahui dab tetap keadaanya.
(orang yang berutang).
• Sight atau lafal, disyaratkan keadaan lafal itu dengan kata-kata
d.Madmun bih atau makful bih menjamin, tidak digantungkan pada susunan atau tidak jelas dan
(benda/barang atau orang) tidak berarti sementara.
e.Sight atau lafal
Macam-Macam Kafalah
• 1. Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa atau kafalah al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin (kafl, damin atau za’im)
untuk menghadirkan orang yang ia tanggung pada yang ia janjikan tanggungannya. Jaminan yang bekaitan dengan
manusia hukumnya diperbolehkan. Orang yang ditanggung tidak pasti mengetahui permasalahanya, karena kafalah
mengangkut bahan/manusia bukan benda/harta penanggungan tentang hak allah swt. Seperti hukuman meminum
khamer dan hukum zina tidak boleh ada orang yang menganti sebagai jaminannya, tetpi hukuman itu harus
dilaksanakan oleh orangya sendiri. Di samping itu, mengugurkan dan menolak had adalah masalah syubhat. Oleh
karenanya, tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dijadikan acuan dalam maslah syubhat dan tidak mungkin had
(hukuman) dapat dilaksanakan kecuali orang yang melakukan perbuatan. Menurut mazhab Syafi’i bahwa kafalah
dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang dimaksud (penjamin) karena berkaitan dengan hak manusia,
seperti hukuman qisas (sepadan) dan qadf (menuduh zina). Kedua macam hukuman tersebut menurut Syafi‟iyah
termasuk hak yang biasa berlaku, apabila terkait dengan hukuman had (yang sudah di tetapkan), maka masalah
seperti ini tidak sah dengan kafalah.
2. Kafalah dengan harta
Kafalah dengan yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh damin atau kafil (penjamin) dengan
pembayaran (pemunahan) berupa harta. Kafalah harta dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
 Kafalah bin al-dayn (jaminan utang), yaitu keharusan membayar utang yang menjadi beban
orang lain. Dalam hadis salamah bin adwa bahwa nabi saw. Tidak menyalatkan mayat yang
mempunyai kewajiban membayar utang, kemduian Qatadah ra. berkata: “shalatkanlah dia dan
saya akan membayar utangnya, rasulullah kemudian menyalatkannya”. Dalam kafalah utang
disyaratkan sebagai berikut:
• Hendaknya nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti uang
qirad, upah danmahar, seperti seorang berkata; “juallah benda itu kepada A dan aku
berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”. Sehingga harga penjualan benda
tersebut jelas. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bependapat boleh menjamin sesuatu
yang nilainya belum ditentukan.
• Hendaknya barang yang dijamin diketahui, menurut Mazhab Syafi’i dan Ibn Hazm bahwa
seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui. Sebab perbuatan tersebut adalah
gharar (tipuan). Sementar Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boeh
menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
 Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyarahkan benda-benda tertentu yang ada
di tangan oaring lain, seperti mengembalikan barang yang di ghasab (pinjam tidak memberitahu)
dan menyarahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut dijamin untuk asil,
seperti dalam ghasab. Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
 Kafalah dengan ‘aib (cacat), maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan
dapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama ataun karena hal-hal lainnya, sehingga ia
(pembawa barang) sebagain jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika yerbukti
barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.
ISTISHNA’
Istishna’ adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual beli salam jika ditinjau dari sisi
bahwa objek (barang) yang dijual belum ada. Barang yang akan dibuat sifatnya
mengikat dalam tanggungan pembuat (penjual) saat terjadi transaksi. Dalam istilah para
fuqaha, istishna’ didefinisikan sebagai akad meminta seseorang untuk membuat sebuah
barang tertentu dalam bentuk tertentu. Atau dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan
dengan seseorang untuk membuat barang tertentu dalam tanggungan. Maksudnya akad
tersebut merupakan akad membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seseorang. Dalam
istishna’ bahan baku dan pembuatan dari pengrajin. Jika bahan baku berasal dari
pemesan, maka akad yang dilakukan adalah akad ijaroh (sewa) buka istishna’.
Dasar Hukum Istishna’
1. Dasar hukum menurut al-Quran
‫وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع‬
ۘ ‫ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّر ٰب‬
َ ِ‫سِّ ٰذل‬ ۗ ‫اَلَّ ِذي َْن يَأْ ُكلُ ْو َن ال ِّر ٰبوا اَل يَقُ ْو ُم ْو َن اِاَّل َكما يَقُ ْو ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰط ُن ِم َن ْالم‬
َ َ
ۤ ‫هّٰللا‬
‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُد ْو َن‬ ِ َّ‫ك اَصْ ٰح ُب•الن‬
ٰ
َ •ِ‫ف َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن َعا َد فَاُول ِٕٕى‬ َ َ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َم ْو ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَاْن•تَ ٰهى فَلَ ٗه َما َسل‬
ۗ ۗ ‫َو َح َّر َم ال ِّر ٰب‬
Artinya: “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali
seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena
mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari
Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu
menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi
riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275)
2. Dasar hukum menurut as-Sunnah
“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan
kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau
pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau" (HR. Muslim)
3. Dasar hukum al-Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat
merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan
sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk melarangnya.
Rukun dan Syarat Jual Beli Isthisna’
a) Shani’ (orang yang membuat/produsen) atau penjual, dan mustashni’ (orang yang
memesan/konsumen), atau pembeli.
b) Ma’qud ‘alaih, yaitu ‘amal (pekerjaan), barang yang dipesan atau objek yang ditransaksikan.
Mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat bahwa objek transaksi adalah barang produksi dan bagi
orang yang memesan produk mempunyai hak khiyar ru’yah. dan harga atau alat pembayaran.
c) Shighat (Ijab qabul) adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang
meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul
adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya
itu. Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan
maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu
pihak untuk menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang istishna’.
Syarat-syarat istishna’
a) Produk yang dipesan jelas, yaitu dengan menjelaskan jenis, macam, dan bilangan (jumlah).
b) Produk yang dipesan biasa berlaku di masyarakat karena sesuatau yang belum biasa berlaku di
masyarakat diqiyaskan kepada jual beli salam dengan keseluruhan hukumnya.
c) Tidak dibatasi tenggang waktunya. Jika dibatasitenggang waktu, maka menjadi jual beli salam
karena syarat tenggang waktu adalah salah satu syarat salam. Tidak ada ketentuan mengenai waktu
tempo penyerahan barang yang dipesan. Apabila waktunya ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah,
akad berubah menjadi salam dan akan berlaku syarat-syarat salam. Seperti penyerahan alat
pembayaran (harga) di majelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu yusuf dan Muhammad, syarat ini
tidak diperlukan. Dengan demikian menurut mereka, istishna’ itu hukumnya sah, baik waktunya
ditentukan atau tidak, karena menurut adat kebiasaan, penentuan waktu ini biasa dilakukan dalam
akad istishna’.
Jenis-Jenis Istishna’
Istishna’ yang akad jual belinya Istishna’ paralel adalah suatu
dalam bentuk pemesanan bentuk akad Istishna antara
pembuatan barang tertentu dengan pemesan (pembeli/mustashni’)
kriteria dan persyaratan tertentu dengan penjual (pembuat/shani’),
yang disepakati antara pemesan kemudian untuk memenuhi
(pembeli/mustashni') dan penjual kewajibannya kepada mustashni’,
(pembuat/shani'). penjual memerlukan pihak lain
sebagai shani’.
SEKIAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai