Anda di halaman 1dari 15

TEORI-TEORI HUKUM

DISUSUN OLEH
MUHAMMAD YUSRAN
B022182029
Teori Theokrasi
Teori Theokrasi dikemukakan oleh
Friederich Stahl (Jerman). Teori ini
menganggap bahwa hukum itu adalah
kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari
kekuatan hukum adalah kepercayaan kepada
Tuhan. Tinjauan tentang hukum dikaitkan
dengan kepercayaan dan agama, dimana
perintah-perintah Tuhan tersebut ditulis di
dalam kitab-kitab suci. Teori Theokrasi ini di
Barat diterima sampai zaman Renaissance
Teori Perjanjian Masyarakat
(ContractSocial) / Teori Kedaulatan Rakyat

Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau


memperkenalkan teorinya yang disebut Perjanjian
Masyarakat (ContractSocial) atau Kedaulatan
Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar
terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang
diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk
mendirikan suatu negara. Dalam bukunya yang
berjudul “Le contractsocial” (1972), Rosseau
mengemukakan bahwa negara bersandar atas
kemauan rakyat, demikian pula halnya semua
peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan
Penganut dari teori ini diantaranya Thomas
Hobbes, Montesquieu, dan John Locke. Hobbes
menambahkan bahwa keadaan alamiah sama sekali
bukanlah keadaan yang aman, adil dan makmur.
Namun sebaliknya, keadaan alamiah merupakan
suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum
yang dibuat manusia secara sukarela, tanpa
pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar
individu. Dalam keadaan yang demikian, yang
berlaku adalah hukum rimba dimana yang terkuat
adalah yang menang. Manusia seakan-akan
merupakan binatang yang senantiasa berada dalam
keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya
dan menjadi mangsa bagi manusia yang
mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya.
Teori Kedaulatan Negara
Tokoh-tokoh teori Kedaulatan Negara adalah
Jellineck (Jerman), Paul Laband (Jerman), dan Hans
Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19
dan menentang teori Perjanjian Rakyat. _Hukum
adalah kehendak negara.
_Hukum bukan kemauan bersama anggota
masyarakat, dan negara mempunyai kekuatan tak
terbatas;
_Hukum ditaati orang karena negara
menghendakinya.
Teori Kedaulatan Hukum muncul pada
TeoriKedaulatanHukum.

abad ke-20 dan menentang teori Kedaulatan


Negara. Tokoh-tokohnya adalah Cruot
(Perancis), Duguit (Perancis), dan Krabbe
(Belanda). Teori ini berpendapat bahwa:
_Hukum berasal dari perasaan hukum
yang ada pada sebagian besar anggota
masyarakat;
_Hukum mewujudkan perasaan hukum
sebagian besar anggota masyarakat;
Teori Filsuf Ionia

Teori ini adalah bagian dari para filsuf


pertama Yunani sebelum abad ke-6
masehi. Generasi ini dikenal sebagai filsuf
Ionia, seperti Anaximander, Thales,
Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai
generasi filsuf awal, mereka sangat lekat
dengan kosmologi alam(-iah) dan mistis
yang melahirkan pandangan bahwa
kekuatan merupakan inti tatanan alam
Teori ini adalah mengenai hukum sebagai
kekuatan, benar-benar merupakan strategi ‘tertib
hidup’ dari manusia zaman itu yang memilih
adaptasi terhadap alam. sesuai tingkat peradaban
masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak
analisis. Ketika itu, alam dipahami sebagai jagad
penuh kuasa yang hanya tersusun dari benda-
benda materi (manusia juga dianggap benda
materi). Karena bangunan benda materi-materi
belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral
sebagai panduan kehidupan.
Oleh karena itu praktis alam dikuasai oleh ‘logika’
dasarnya, yakni kekuatan. dalam logika kekuatan
itulah, manusia sebagai bagian dari alam
menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari. Di
sinilah hukum survive berlaku, yakni ada atau
lenyap. Terjadilah seleksi alam. Siapa yang kuat dan
cerdik, ia survive. Dan siapa yang mampu survive,
dia berkesempatan menjadi sumber hukum.
Logislah, bila dalam konteks ini, hukum menjadi
‘rumus-rumus’ orang kuat untuk tetap survive. Ya,
hukum menjadi tatanan kekuatan (orang kuat) untuk
tetap survive.
Teori Kaum Sofis
Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia
(manusia memiliki jiwa dan raga), filsuf Sofis tidak lagi
memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia
materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama:
Logos yang dimiliki manusia. Dunia berpusat pada manusia yang
punya logos itu, sehingga pun hukum pun juga berpusat pada
manusia yang memiliki logos itu.
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam
yang telanjang per se. Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral
alam’, yakni logos –semacam roh ilahi yang memandu manusia
pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam
tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala
sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis di dalam polis (negara
Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Ya kepatutan yang
dapat diterima akal sehat orang-orang waras. Nomos
menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta
mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung
moral logos, maka pelanggar terhadap nomos perlu dihukum
karena dianggap melakukan kesombongan. Nomos ini menurut
Protagoras (salah satu eksponen Sofis), bisa tampil dalam
bentuk kebiasaan, dan juga dalam bentuk undang-undang. Oleh
karena itu, dalam tradisi Yunani, hukum (nomos) dan UU
(nomoi) sangatlah penting untuk menata polis.
Teori Socrates
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum
merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan
kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang
dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia),
bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra
kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk
mencapai kebajikan dan keadilan umum.
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam kkonteks pemikiran
etisnya eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates
adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu menurut Socrates adalah
kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan
obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif.
Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang
oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam
Teori Plato
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Sokrates, Plato
sang murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan
dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak
menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi
individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan kebijaksanaan
dengan tipe ideal Negara polis di bawah pimpinan kaum
aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan
asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi
Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai
kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak
percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan
individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah
kendali para guru moral, para pimpinan yang bijak, para mitra
bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut Popper, model Plato
Teori Aristoteles
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum
dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan
alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan
pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato.
Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu
sebagai warga Negara (polis). Berdiri sendiri lepas
dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai
‘bencana’, tetapi juga akan cenderung lardan tak
terkendali karena bawaan alamiah Dionysian-nya.
Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang
diperlukan untuk mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang
rasional. Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah
memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan
hidup (summumbonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua
pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada
pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta
serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik
bagi hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan
praksis. Untuk yang pertama, Aristoteles menggunakan kata Sophia
yang menunjuk pada kearifan. Untuk yang kedua digunakan akta
phronesis yang dalam terminologi Skolatik abad pertengahan disebut
prudentia (prudence). Moral sendiri menurut Aristoteles, memandu
manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang
berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan. Moral memandu
pada sikap moderat, sikap yang dalam bahasa sansekerta disebut

Anda mungkin juga menyukai