Anda di halaman 1dari 38

HUKUM PERKAWINAN

ISLAM
PENGERTIAN HUKUM PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM:

 Hukum perkawinan Islam diatur dalam Syariah yang


dituangkan lebih lanjut dalam bentuk Fiqih Munakahat.

 Pengertian perkawinan dalam hukum Islam adalah:


“Akad yang sangat kuat (MITSAQAN GHALIDHAN)  karena
untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya
MERUPAKAN IBADAH”

 Perintah Allah tersebut terdapat dalam Q.S An-Nisa’ ayat 4,


Ar-Ruum ayat 21, An-Nahl ayat 72, Adz-Dzariyat ayat 49.

 Pengertian tersebut yang kemudian dituangkan dalam KHI.


KONSEP HUKUM PERKAWINAN ISLAM:

Hukum perkawinan dalam


Syariah dibuat aturan untuk
mencapai Maqashid Wajib
Shariah/Tujuan Hukum Islam
yaitu memelihara agama,
jiwa/akal, raga, keturunan dan Sunnah
harta.

Haram
Hukum Perkawinan
dalam konsep Makruh
hukum Islam
merupakan ibadah
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih
Munakahat:

Wajib: jika seorang pria atau wanita sudah ada keinginan menikah maka wajib
baginya untuk menyegerakan menikah, bagi ortunya yg telah mengetahuinya
tidak boleh menghalang-halangi

Sunnah: setiap pria atau wanita Islam boleh memilih mau menikah atau tidak
menikah asalkan ia dapat menahan diri dari godaan dan sanggup menjaga
kehormatannya

Haram: bagi orang-orang yang belum siap menikah baik fisik maupun batin
namun tetap dipaksakan menikah dan menimbulkan keburukan bagi si istri.

Makruh: bagi orang-orang yang belum siap menikah baik fisik maupun batin
namun tetap dipaksakan menikah tetapi tidak menimbulkan keburukan bagi si
istri.
Yang harus diperhatikan dalam
hukum perkawinan Islam:
LARANGA
RUKUN SYARAT
N

sesuatu unsur dan


rangkaian yang Ada 2 larangan
sesuatu unsur dan harus ada dalam perkawinan dalam
rangkaian yang Setiap Rukun yang Hukum Islam :
harus ada dan menentukan sah
Larangan selama-
menentukan sah atau tidaknya unsur-
unsur atau lamanya
atau tidaknya
suatu perbuatan rangkaian dalam Larangan
Rukun untuk perkawinan dalam
hukum
melakukan suatu waktu tertentu
perbuatan hukum
RUKUN PERKAWINAN ISLAM:

CALON SUAMI DAN ISTRI

WALI NIKAH

SAKSI NIKAH

IJAB KABUL (AKAD NIKAH)


SYARAT PERKAWINAN DALAM HUKUM
ISLAM:
1. SYARAT CALON SUAMI DAN ISTRI:
1. Calon suami adalah laki-laki dan calon istri adalah perempuan
2. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
3. Dewasa
4. Kesamaan agama Islam
5. Jelas orangnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya yang jika tidak
diketahui dapat membatalkan perkawinan.
6. Tidak dalam hubungan nasab (hubungan darah)
7. Tidak dalam hubungan rodhoah(hubungan sepersusuan)
8. Tidak dalam hubungan semenda (hubungan perkawinan)
9. Pria tidak boleh memiliki istri lebih dari empat
10.Perkawinan poligami tidak boleh dirangkap yang masih ada hubungan darahnya
diantara istri-istrinya
11.Tidak ada perceraian li’an (perceraian antar suami istri terdahulu karena adanya
sumpah disebabkan suami menuduh istri berbuat serong. Dan haram bagi mereka
untuk menikah kembali)
12.Calon mempelai wanita tidak sedang terikat perkawinan dan tidak sedang dalam
masa iddah.
 Karenapertalian nasab:
a). Dengan seorang wanita yang
melahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya.
b). Dengan seorang wanita keturunan
ayah atau ibu
c). Dengan seorang wanita saudara
yang melahirkannya
 Karena pertalian kerabat semenda:
a). Dengan seorang wanita yang
melahirkan istrinya atau bekas istrinya
b). Dengan seorang wanita bekas istri
orang yang menurunkannya
c). Dengan wanita keturunan istri atau
bekas istrinya kecuali putusnya
hubungan perkawinan dengan bekas
istrinya itu qabla al dukhul
d). Dengan seorang wanita bekas istri
keturunannya
 Karena pertalian sepersusuan:
a). Dengan wanita yang menyusuinya dan
seterusnya menurut garis lurus ke atas
b). Dengan wanita saudara sepersusuan
dan kemenakan sesusuan ke bawah
c). Dengan wanita sepersusuan dan
seterusnya menurut garis lurus ke bawah
d). Dengan wanita bibi sepersusuan dan
nenek bibi sepersusuan ke atas
e). Dengan anak yang disusui oleh bekas
istrinya atau keturunannya.
2. Wali Nikah:

 Fungsi wali nikah adalah sebagai orang yang


melakukan proses ijab qabul (serah terima)
dengan calon mempelai pria.
 Syarat bagi wali nikah:

1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Muslim
4. Mempunyai hak perwalian
5. Tidak terhalang perwalian
Wali nikah terdiri dari:
1. Wali Nasab bertindak sebagai wali nikah
karena hubungan nasab dengan calon istri.
2. Wali Hakim baru dapat bertindak apabila
wali nasab tidak ada, tidak memenuhi syarat
sebagai wali nasab atau tidak mungkin hadir
atau tidak diketahui keberadaannya
Wali Nasab:
 Ada 15 urutan wali nasab :
1. Ayah kandung
2. Kakek (dari garis ayah)
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Saudara laki-laki ayah kandung
10.Saudara laki-laki ayah seayah
11.Anak laki-laki paman sekandung
12.Anak laki-laki paman seayah
13.Saudara laki-laki kakek seayah
14.Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung
15.Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
 Perpindahan wali nasab yang dekat
hub.kekerabatannya ke yang jauh apabila:
1. Wali yang mempunyai urutan dekat tidak ada
sama sekali
2. Wali yang mempunyai urutan dekat tetapi
belum baligh
3. Wali yang mempunyai urutan dekat ada tetapi
pikun karena tua
4. Wali yang mempunyai urutan dekat tetapi
menderita penyakit gila
5. Wali yang mempunyai urutan dekat ada tetapi
tidak beragama Islam sedangkan calon
mempelai wanita beragama islam.
 Perpindahan WALI NASAB ke WALI HAKIM,
apabila:
1. Wali yang mempunyai urutan dekat dan jauh tidak
ada sama sekali
2. Wali yang mempunyai urutan dekat dan jauh ada, tapi
menjadi calon mempelai pria, sementara wali nikah
yang sederajat tidak ada
3. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat dan jauh
ada tapi sedang melakukan ibadah haji
4. Wali nikah yang menpunyai urutan dekat dan jauh ada
tetapi menderita penyakit yang tidak memungkinkan
dirinya mjd wali nikah
5. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat dan jauh
ada tapi sementara berada di penjara
6. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat dan jauh
ada tetapi menolak menikahkan ( wali adlal)
3. Saksi Nikah dalam Hukum
Perkawinan Islam:
1. Minimal 2 orang laki-laki
2. Menghadiri ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Beragama islam
5. Dewasa
4. Ijab Kabul:
 Ijab kabul adalah pernyataan serah terima
antara wali dari calon mempelai wanita
dengan calon mempelai pria, syarat-
syaratnya:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali (ijab)
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon
mempelai pria (qabul)
3. Memakai kata-kata nikah atau semacamnya
4. Antara ijab dan qabul bersambungan
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. Majelis ijab qabul harus dihadiri minimal 4 orang.
KEBERADAAN MAHAR/ MASKAWIN

 Mahar adalah: Pemberian dari calon mempelai pria kepada


mempelai wanita, baik yang berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam

DASAR HUKUM MAHAR DIATUR DALAM Q.S. AN NISAA:4:


“berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai
kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian
daripadanya dengan hati senang, maka makanlah dengan senang
hati”

 Mahar wajib diberikan tetapi mahar bukanlah rukun dalam


perkawinan, apabila ditangguhkan penyerahannya atau salah
menyebutkan jumlah atau jenisnya ketika ijab qabul tidak akan
menyebabkan batalnya perkawinan atau mengurangi sahnya
perkawinan
syarat mahar:
 Harta yang diberikan sebagai maskawin atau mahar
haruslah harta yg diperoleh dengan jujur/ bersih/halal
 Mengenai bentuk, jenis, dan jumlah ditentukan oleh
kedua belah pihak
 Mahar merupakan pemberian wajib yang harus
diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita secara
langsung, dan sejak diberikannya mahar itu menjadi hak
pribadi mempelai wanita
 Penyerahan mahar dapat dilakukan dengan 2 cara:
a. Tunai
b. Ditangguhkan baik seluruhnya atau sebagian, selama
mempelai wanita menyetujuinyamahar ini menjadi hutang
mempelai pria kepada mempelai wanita.
BENTUK-BENTUK PERKAWINAN YANG
DILARANG DALAM HUKUM ISLAM:
1. PERKAWINAN SYIGHAR: perkawinan yang terjadi karena adanya
pertukaran anak perempuan atau saudara perempuannya

2. PERKAWINAN MUHALLIL: perkawinan yang dilakukan seorang laki-


laki terhadap perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya
terdahulu, dengan maksud perkawinan tersebut agar si perempuan
dapat rujuk kembali dengan suaminya yang mentalak tiga

3. PERKAWINAN ISTIBDHA’: perkawinan yang dilakukan semata-mata


untuk mendapatkan keturunan.

4. PERKAWINAN ar-RAHT: perkawinan yang dilakukan oleh sekumpulan


laki-laki terhadap seorang perempuan.
5. PERKAWINAN BADAL: perkawinan dengan tujuan
tukar menukar istri

6. PERKAWINAN MUT’AH: perkawinan yang


dilakukan dengan batas waktu tertentu.

7. PERKAWINAN AL-’URFI: perkawinan yang


dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak diketahui keluarganya,
tidak ada wali, tidak ada saksi, dan tidak
diumumkan.
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

1. PENCEGAHAN PERKAWINAN ADALAH: menghindari suatu perkawinan berdasarkan


larangan hukum islam yang diundangkan. Dikarenakan ada pihak yang tidak
memenuhi syarat menikah.

◦ Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan

◦ Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau istri yang akan melangsungkan
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan TIDAK DIBENARKAN UNTUK
MENIKAH.

◦ PENCEGAHAN PERKAWINAN DILAKUKAN BILA TIDAK TERPENUHI 2 PERSYARATAN:


1. Syarat Administratif:syarat yg berkaitan dng pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan
yg sdh diuraikan

2. Syarat Materiil: syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yg meliputi calon
mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus diperhatikan
 
◦ Yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah: Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
atau ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-
pihak yg berkepentingan
2. PEMBATALAN PERKAWINAN ADALAH: Pembatalan
hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad
nikah. Dikarenakan adanya syarat-syarat yang tidak
terpenuhi

 PEMBATALAN PERKAWINAN DIKARENAKAN:


a. Salah satu pasangan masih terikat dengan perkawinan yang belum
terputus persoalannya bagaimana bila perkawinan dan putusnya
perkawinan tidak tercatat?
b. Perkawinan dilangsungkan oleh wali nikah tidak sah, atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 org saksi
c. Apabila perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman maka dapat
dimintakan pembatalan perkawinannya (Pasal 27 ayat (1) UU
Perkawinan)
d. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila salah satu pasangan
pada waktu perkawinan berlangsung telah salah sangka mengenai salah
satu pasangannyakasus identitas palsu.

 Pembatalan perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum


antara anak dengan ortunya
HARTA PERKAWINAN:
1. Pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri

2. Harta milik masing-masing menjadi dan dikuasai penuh oleh pemilik


masing-masing harta

3. Harta bawaan yang diperoleh dengan cara warisan atau wasiat atau
hibah adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan

4. Suami istri berhak sepenuhnya melakukan perbuatan hukum atas


harta masing-masing berupa hibah, wasiat, hadiah, shadaqah,dll

5. Harta yang berupa nafkah dari suami kepada istri menjadi milik istri
 Dalam hukum Islam tidak dikenal dengan
percampuran harta bersama antara suami dan istri
karena perkawinan.

 Dalam fiqih perkawinan tidak dikenal harta


bersama kecuali dengan syirkah, persekutuan
”syirkah”, persetukuan/ kongsi yang sebenarnya
tidak hanya berlaku bagi penyatuan harta bersama
perkawinan tetapi berlaku untuk semua kegiatan
muamalahaturan umum dalam prinsip syariah

 Berbeda dengan sistem hukum perdata, (Burgerlijk


wet boek) yang dikenal adanya percampuran harta
bersama antara suami dan istri karena perkawinan.
 Harta bersama dapat berupa:
◦ Harta berwujud baik berupa benda bergerak, benda tidak
bergerak dan surat berharga
◦ Harta tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban

 Pasal 93 KHI:
(1). Pertanggungjawaban thd utang suami atau istri dibebankan
pada hartanya amsing-masing
(2). Pertanggungjawaban thd utang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga dibebankan pada harta bersama
(3). Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta
suami
(4). Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan
kepada harta istri.
PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 45 KHI

Perjanjian Lain yang


Perjanjian Taklik tidak bertentangan
Talak dengan Hukum
Islam
 Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan, atau
saat perkawinan dilangsungkan dan selama
perkawinan masih berlangsung kedua pihak atas
persetujuan bersama mengadakan perjanjian dalam
perkawinan

 Perjanjian tsb tidak dapat disahkan bilamana


melanggar batas-batas aturan dalam hukum islam

 Perjanjian tsb berlaku sjk perkawinan


dilangsungkan

 Perjanjian taklik talak saat ijab kabul tidak sama


dengan perjanjian dalam perkawinan
PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA
PERKAWINAN

Yang dimaksud putusnya perkawinan adalah:


Ikatan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita sudah putus, bisa dikarenakan
salah satu atau keduanya meninggal dunia,
antara keduanya telah bercerai, atau salah satu
telah meninggalkan tempat kediaman tanpa
diketahui lagi keberadaanya dan sudah
diputuskan oleh pengadilan.
Putusnya perkawinan karena
perceraian:
 Perbuatan Halal Yang Dibenci Allah (H.R.Abu
dawud, Ibnu Majah, dan Al Hakim)dari hadits
tersebut dapat kita lihat perceraian merupakan
jalan terakhir dari penyelesaian konflik rumah
tangga.

 Tatacara perceraianUU Perkawinan dan KHI:


1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah pengadilan berupaya mendamaikan
2. Perceraian harus memiliki alasan yang kuat.
3. Gugatan perceraian diajukan ke pengadilan
Macam-macam berakhirnya perkawinan
bukan karena kematian/meninggal:
Talak: ikrar suami diahadapan sidang Pengadilan Agama yang menyebabkan
putusnya perkawinan

cerai gugat: perceraian yang diajukan oleh istri yang menggugat suaminya untuk bercerai
melalui pengadilan,yang kemudian pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud
sehingga putusnya hubungan perkawinan antara penggugat (istri) dengan tergugat (suami)

Khuluk: perceraian yang dilakukan oleh suami atas inisiatif istri agar ia
diceraikan baik-baik dan akan diberikan ganti rugi atau tebusan ( iwadl)

fasakh: pembatalan perkawinan karena syarat-syarat atau rukun perkawinan tidak


terpenuhi, yang dilakukan dengan mengajukan permohonan oleh salah satu pihak.

Li’an:perceraian karena suami menuduh istri berzina sedangkan istrinya menolak


tuduhan itu
 Berdasarkan pelaksanaannya:
1. Talak Raj’i: talak suami kepada istri dengan hak suami
kembali lagi kepada mantan istrinya secara lisan tanpa perlu
melakukan akad baru, yang dilakukan scr talak kesatu dan
atau kedua. Talak ini apabila akan rujuk kembali wajib
memenuhi syarat-syarat: bekas suami istri pernah
berhubungan seksual sebagai suami istri, talak yang
dijatuhkan tanpa uang ganti rugi, hanya dapat dilakukan
dalam masa iddah.

2. Talak Bain: talak yang dijatuhkan suami kepada istri dan


suami tidak boleh langsung rujuk kembali secara lisan
kecuali dengan adanya nikah baru karena telah melewati
masa iddah.
 Talak bain ada 2 macam:
a. Talak bain sughra: talak bain kecil yaitu
pernyataan talak satu dan dua disertakan tebusan
atau uang ganti rugidapat rujuk kembali
dengan pernikahan baru
b. Talak bain qubro: talak bain besar yaitu
pernyataan talak ketiga yang dijatuhkan
suamitidak boleh rujuk kecuali istri setelah
masa iddahnya menikah dengan orang lain
kemudian berakhir perkawinannya baru keduanya
dapat rujuk kembali dengan pernikahan baru.
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

 Akibat putusnya perkawinan menurut KHI


dikelompokkan menjadi 5 karakteristik:
1. Akibat talakQ.S.Al Baqarah ayat 235 dan 236Pasal 149
KHI, bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas
suami wajib:
 Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tsb qabla al-dukhul
 Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak ba’in qubro atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
 Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
qabla al-dukhul (istri belum melakukan hubungan badan dengan
suaminya)
 Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang
belum mencapai umur 21 tahun.
2. Akibat perceraian (cerai gugat)Pasal 156 KHI mengatur mengenai
putusnya perkawinan karena cerai gugat, akibat yang tjd:
a. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak berusia 21 tahun (dapat mengurus
dirinya sendiri).
b. Anak yg belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya kecuali ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh: Wanita dalam garis lurus ke atas
dari ibu, Ayah, Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, Saudara perempuan dari anak
ybs, Wanita dari kerabat sedarah dari ibu, Wanita dari kerabat sedarah dari ayah.
c. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah dan
ibunya
d. Apabila pemegang hadanah ternyata tdk dapat menjamin keselamatan jiwa dan raga
anak, meskipun kebutuhan anak telah tercukupi maka atas permintaan kerabat ybs
dapat meminta pengadilan memindahkan hak hadanah kpd kerabat yg lain yg
mempunyai hak hadanah pula.
e. Bilamana perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf a,b,c, dan d.
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah
biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
3. Akibat Khulu’Pasal 161 KHIakibat hukum dari
perceraian khulu’ dapat mengurangi jumlah talak dan tak
dapat dirujuk.

4. Akibat Li’anPasal 162 KHIakibat hukum dari li’an


adalah:bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus
untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban
memberi nafkahhal ini didasarkan Hadits Nabi
Muhammad yang diriwayatkan Bukhari:
“sesungguhnya Nabi SAW menyaksikan li’an antara seorang
laki-laki dan istrinya, maka laki-laki itu tidak mengakui anak
yang lahir dari istrinya itu, maka beliau memisahkan di antara
keduanya dan menghubungkan nasab anak kepada ibunya.”
Putusnya Perkawinan Karena
Kematian:
 Istri menjalani masa iddah

 Suami/Istri bertanggung jawab thd


pemeliharaan anak (hadanah)

 Suami/Istri mendapat harta warisan dari


suaminya

 Harta bersama menjadi hak istri apabila yang


meninggal suami begitu juga sebaliknya
Hubungan fiqih perkawinan dengan
UU Perkawinan:
1. UU Perkawinan sepenuhnya mengikuti fiqih perkawinanlarangan
perkawinan dan masa iddah
2. UU Perkawinan mengatur hal yang sama sekali tidak terdapat
dalam fiqih perkawinanbatas usia menikah, pencatatan
perkawinan dan pencegahan perkawinan
3. UU Perkawinan mengatur hal yang berbeda dengan fiqih
perkawinan karena UU Perkawinan melakukan re-interpretasi fiqih
dengan melihat manfaatnyakeharusan bercerai di pengadilan dan
izin poligami.

Anda mungkin juga menyukai