Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK 2 PBAK

NAMA KELOMPOK:
1.VIOLA HASMI
2.NESSA HURIYAH
3.LALA ETSARI
4.REREN FEBRI YOLANDA
5.NINI SYAFUTRI
6.BELINDA EFRIN
PIDANA KORUPSI DALAM PERUNDANG
UNDANG
Pembentukan hukum dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam
negara hukum. undang-undang menjadi dasar legalitas bagi seluruh elemen negara,
khususnya bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola negara .
Untuk itu, idealnya undang-undang merupakanformalisasi atau kristalisasi norma dan
kaidah yang dikehendaki atau sesuaidengan aspirasi masyarakat. Lebih lanjut Jimly
Asshiddiqie mengungkapkan setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan antara nilai
kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity, billijkheid), dan kebergunaan (utility).

Gustave Radbruch menyatakan bahwa di dalam hukum terdapat 3 nilai dasar yang saling
bertentangan satu dengan yang lainnya yakni kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan bagi masyarakat. Apabila dalam pembuatan hukum lebih mengutamakan
kepastian hukum yang tercermin dalam pasal-pasalnya yang bersifat rigid, maka nilai
keadilan yang menjadi dambaan masyarakat dalam berhukum akan tergeser bahkan sulit
untuk dilacak jejak keberadaannya. Bersamaan dengan hilangnya nilai keadilan karena
lebih mengutamakan kepastian hukum sebagaimana tertulis dalam undang-undang maka
akan hilang pula rasa kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Hukum merupakan gambaran/refleksi dari masyarakat dimana hukum itu berlaku.
Hukum yang berlaku di Indonesia akan menjadi efektif apabila hukum itu berasal dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang selanjutnya mengkristal dan
mewujud menjadi hukum yang tercipta dan berlaku di tengah-tengah masyarakat hukum
Indonesia. Kongkritnya, Pancasila hendaknya menjadi pedoman dasar pembentukan dan
pembaharuan hukum Indonesia. Politik hukum tertinggi terdapat dalam UUD Tahun 1945
yang memuat arah kebijakan hukum yang harus dijalankan sesuai dengan tujuan nasional
yang hendak dicapai dan berdasarkan pada Pancasila yang termaktub dalam pembukaan
UUD Tahun 1945.
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang bermacam-macam
antara lain:
a. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa.
Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan mengetahui
arah mana tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang dan
memecahkansegala persoalan yang dihadapinya secara tepat, sehingga tidak terombang-
ambing dalam menghadapi persoalan tersebut, mengapa? Karena pancasila adalah
merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan
berakar pada budaya bangsa, maka akan dijunjung tinggi oleh warganya.
b. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila dalam kedudukan ini sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah
negara (philosohische Gronslas) dari negara, ideologi negara (staatsidee).
Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala
peraturan perundang-undangan negara dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai
Pancasila. Karena itu Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Kedudukan Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam


pembukaan UUD 1945 alenia ke IV, ketetapan MPRS NO XX/MPRS/1966 jo TAP No.
V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978.

c. Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Bangsa Indonesia.


Ideologi negara pada hakekatnya merupakan asas kerokhaniahan, merupakan sumber
cita-cita, harapan nilai-nilai serta norma-norma yang dianggap baik, sehingga pancasila
pada hakekatnya sebagai ideologi bertujuan mewujudkan kesejahteraan hidup bagi
bangsa Indonesia. Ketentuan tentang ideologi Pancasila ini dapat ditemukan dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke 4.
d. Pancasila Sebagai ideologi terbuka.
Pancasila sebagai ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup namun bersifat terbuka,
aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan
masyarakat, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan
masalah-masalah baru dan aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan tuntutan
zaman.
Dalam praktiknya, penerapan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut masih menyisakan beberapa permasalahan antara lain :
Pertama, masih adanya beberapa perbuatan yang seharusnya dipandang sebagai perbuatan korupsi
belum tercakup di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Hal ini menyebabkan
sering diterapkannya penafsiran yang ekstensif bahkan cenderung akrobatik. Oleh karena itu diperlukan
rumusan delik yang lebih luas tetapi ketat (strict).
Kedua, Adanya kekeliruan yang mendasar seperti pengaturan delik yang diatur dua kali, contoh Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 11C UU 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang sama-sama mengatur mengenai pegawai
negeri yang menerima suap. Selain itu, juga terdapat pasal yang kontradiktif mengenai masalah
ancaman pidananya, yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Ketiga, adanya kesalahan rumusan mengenai beban pembuktian terbalik dalam Pasal 12B UU No. 20
Tahun 2001. Dengan adanya kekeliruan tersebut, rumusan yang seharusnya dibuat untuk pengaturan
beban pembuktian terbalik, akan tetapi dalam pelaksanaannya menjadi proses pembuktian biasa.
Selain itu, apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam UNCAC, maka ketentuan-ketentuan dalam UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 sudah tidak sesuai dalam UNCAC. Isu-isu antar negara yang diakomodir
dalam UNCAC, tidak dapat diterapkan di Indonesia, apabila Indonesia masih menggunakan undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang lama. Oleh karena itu, dengan telah diratifikasinya
UNCAC oleh Indonesia dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption 2003, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian produk hukum nasionalnya dengan UNCAC.
Adapun arti penting ratifikasi UNCAC bagi Indonesia adalah:
a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita,
dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik
c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;
d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan
bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.

Pada dasarnya ketentuan yang terdapat dalam UNCAC bersifat memberi kewajiban bagi negara-
negara yang meratifikasi UNCAC untuk mengatur dalam produk hukumnya mengenai hal-hal yang
telah ditentukan dalam UNCAC. Rumusan bunyi dalam pasal diserahkan kepada masing masing
negara, dengan catatan bahwa susbtansi yang ditentukan dalam UNCAC telah tercakup di
dalamnya. Rambu-rambu yang harus dipegang oleh perancang undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang baru adalah berpegangan bahwa hokum (aturan) yang akan dibuat dan
akan diterapkan harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu menganut asas lex certa (jelas, pasti dan
tidak meragukan), menganut keseimbangan antara hak dan kewajiban sesuai dengan HAM, serta
memegang teguh prinsip transparansi, akuntabilitas dan menjaga adanya partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaannya di lapangan.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai