Mohamad Sondan Arfando - Sengketa Pembangunan Jembatan Youtefa Papua
Mohamad Sondan Arfando - Sengketa Pembangunan Jembatan Youtefa Papua
Bidang Konstruksi
SENGKETA PEMBANGUNAN
JEMBATAN YOUTEFA PAPUA
Oleh:
Mohamad Sondan Arfando
Guruh Mahardhika
Kasus ini
dimuat dalam
tabloidskandal.c
om pada 27
Desember 2021
dengan nara
sumber Advokat
Palmer
Situmorang &
Partners, Carine
Situmorang
Jembatan Youtefa (sebelumnya bernama Jembatan
Holtekamp adalah salah satu jembatan di Provinsi Papua
yang menghubungkan Holtekamp dengan Hamadi.
Jembatan Youtefa memiliki panjang 732 meter dengan
lebar 21 meter. Jembatan ini tergolong sebagai jembatan
tipe pelengkung baja yang pertama kali dibangun di
Papua. Jembatan Youtefa telah dilengkapi dengan 29
unit lampu ReachElite Powercore dan dipadukan dengan
Vaya Flood RGB Medium Power sebanyak 125 unit.
Pembangunan Jembatan Youtefa dilakukan oleh
konsorsium kontraktor PT Pembangunan Perumahan,
Tbk, PT Hutama Karya (persero), dan PT Nindya Karya
(persero) dengan total biaya pembangunan sebesar Rp
1,87 Triliun serta dukungan dana khusus APBN dari
Kementerian PUPR senilai Rp 1,3 triliun. Jembatan ini
mulai dibangun bulan Mei 2015.
Kronologi Sengketa
Sengketa terjadi antara dua perusahaan yang terlibat di proyek jembatan
tersebut yaitu PT Waagner Biro Indonesia (WBI) dengan PT Fagioli Lifting
And Transportation Indonesia (Fagioli Indonesia), Hingga saat ini sengketa
tersebut masih belum selesai karena eksekusi putusan yang berkekuatan
hukum tetap belum berjalan baik. Padahal jembatan yang memiliki panjang
732 meter dan lebar 21 meter, sudah diresmikan Presiden Joko Widodo
pada 28 Oktober 2019.
Seperti diketahui, bentangan jembatan besi itu dibuat oleh PT WBI di
Surabaya, Jawa Timur, perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) yang
berpusat di Wina, Austria. Sementara untuk pengangkatan besi jembatan
berbobot 7.000 ton melalui jalur laut dipercayakan kepada PT. Fagioli
Indonesia, perusahaan yang berinduk di Italia (Fagioli S.p.A), namun untuk
di Indonesia saham mayoritas (99%) dimiliki Fagioli Singapura, dan dalam
hal proyek ini ditunjuk sebagai subkontraktor.
Sengketa berawal dari keterlambatan Fagioli Indonesia menyelesaikan
pemasangan konstruksi jembatan. Yakni, tak sesuai isi kontrak
(wanprestasi).
Penyelesaian Sengketa
PT. WBI berpendirian bahwa denda tidak ada limit
(sesuai kerugian riil) sesuai kontrak, sedangkan
pihak Fagioli Indonesia berpendapat kerugian pada
limit tertentu, inilah titik soal yang menjadi
sengketa karena limit kerugian seperti dimaksud
Fagioli Indonesia tidak tertuang dalam kontrak,
namun kedua pihak sudah sepakat penyelesaian
secara arbitrase dan menyebut lembaga
BADAPSKI sebagai arbitrase penyelesaian
sebagaimana tertera dalam kontrak induk maupun
notulen kesepakatan saat perundingan setelah ada
sengketa
Putusan Sengketa
Dalam hal selama proses persidangan arbitrase, pihak Fagioli Indonesia
tak pernah hadir, hingga akhirnya pada 7 Januari 2020 perkara diputus
oleh Arbiter.
Putusan Arbitrase No. 809/II/P.ARB-BDS/2019 menghukum Fagioli
Indonesia mebayar kerugian materil dan uang paksa setiap hari lalai
melaksanakan putusan. Sekalipun aturan dalam UU disebutkan putusan
arbitrase bersifat final dan mengikat namun, putusan itu digugat ke
Pengadilan Negeri (PN) Batam oleh Fagioli Indonesia, pengadilan Batam
dalam putusannya membatalkan putusan BADAPSKI (arbitrase).
Atas putusan PN Batam tersebut, PT WBI pun menempuh upaya hukum
dengan mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA). Dan putusan
banding MA No: 126 B/Pdt.Sus-Arbt/2021 yang dibacakan pada 08
Februari 2021, isinya membatalkan putusan PN Batam, serta menguatkan
putusan arbitrase. Dalam amar putusan disebutkan, Fagioli Indonesia
dihukum membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp. 11.321.000.000 -
dan juga uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 25 juta untuk setiap hari
keterlambatan.
Analisa Sengketa
Setiap proyek konstruksi, pelaksanaan pekerjaan dan pembayaran yang dilakukan oleh
para pihak —pemberi kerja, kontraktor, insinyur, dan manajer konstruksi—merupakan
suatu hubungan kontraktual, dimana hubungan hukum dan komersial di antara para
pihak tersebut didasarkan oleh dokumen kontrak. Kontrak jasa konstruksi itu harus
memuat klausul-klausul penting seperti lingkup kerja, masa pertanggungan, hak dan
kewajiban, mekanisme pembayaran, serta tanggung jawab apabila salah satu pihak
melakukan wanprestasi.
Namun, UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 tidak mengatur mengenai nilai,
ukuran, batasan, dan mekanisme ganti kerugian akibat wanprestasi yang dilakukan
kontraktor atau pemberi pekerjaan tersebut atau akibat dari adanya kegagalan
bangunan. Undang-Undang menyerahkannya pengaturan hal tersebut dalam klausul
kontrak kerja konstruksi yang disepakati para pihak. Untuk mendapatkan kepastian
terkait ganti kerugian yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan dalam suatu
kontrak, para pihak seharusnya mengatur hal tersebut dalam kontrak yang mereka buat.
Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, para pihak dapat menentukan nilai kerugian
secara spesifik dalam kontrak yang dikenal dengan klausul liquidated damages, suatu
istilah yang digunakan untuk klausul kontrak yang mengatur besaran ganti kerugian
apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak. Namun para pihak dalam
kontrak harus menentukan terlebih dahulu dengan mengkalkulasikan ukuran kerugian
yang ditetapkan dalam klausul liquidated damages tersebut. Lalu apabila tidak terdapat
klausul liquidated damages dalam kontrak, peran hakim di pengadilan sangat dibutuhkan
untuk menentukan kerugian dari pelanggaran kontrak tersebut.
Sehingga kasus ini disebabkan karena ketidaklengkapan kontrak
(contractual incompleteness) yang berujung pada kerugian salah satu
pihak. Pihak tergugat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 1246 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur bahwa biaya, ganti rugi
dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa
mengurangi pengecualian dan perubahan yang disebut dalam pasal-pasal
selanjutnya. Unsur-unsur yang dapat ditagihkan oleh kreditur kepada
debitur berdasarkan Pasal 1246 itu adalah sebagai berikut:
1) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya
ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
2) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur
akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-
sungguh diderita, misalnya hancurnya barang interior kreditur karena
kegagalan bangunan yang telah dibangun debitur.
3) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai,
kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya, dalam
pembangunan gedung, debitur yang membangun gagal untuk
menyerahkan bangunan yang dibangun sehingga debitur tidak bisa
menyewakannya kepada pihak ketiga.
Selain itu, Pasal 1247 juga mengatur bahwa Debitur hanya diwajibkan mengganti
biaya, kerugian dan bunga, yang diharap atau sedianya dapat diduga pada waktu
perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu
daya yang dilakukannya. Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh
tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang menyebabkan
kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal
yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu. Bahwa
berdasarkan pasal itu, dapat disimpulkan bahwa biaya, kerugian dan bunga dapat
diminta kepada orang yang melakukan pelanggaran kontrak hanya sampai dengan
batasan kerugian yang dapat diduga pada waktu perikatan diadakan. Namun, apabila
wanprestasi itu dilakukan oleh tipu daya pihak yang melakukan wanprestasi, kerugian
itu dapat mencakup kerugian yang tidak diduga pada waktu perikatan namun tetap
dengan batasan merupakan kerugian langsung, bukan kerugian turutan
(consequential damages).
Pasal 1248 KUH Perdata menyebutkan bahwa Jika dalam suatu perikatan ditentukan
bahwa pihak yang lalai memenuhinya harus membayar suatu jumlah uang tertentu
sebagai ganti kerugian, maka kepada pihak lain-lain tak boleh diberikan suatu jumlah
yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu. Pasal 1248 membuka kesempatan
para pihak untuk menetapkan sendiri nilai kerugian dalam kontrak yang mereka buat.
Apabila para pihak berselisih terkait nilai kerugian akibat wanprestasi di pengadilan,
mengacu pada Pasal 1248 tersebut, maka hakim harus memutuskan ketentuan
kerugian berdasarkan kontrak tersebut.
Klausa Kerugian dalam standar FIDIC
Apabila kontrak menggunakan standar FIDIC, telah ada batasan terkait
pertanggungjawaban para pihak:
“Tidak ada satu Pihak Pun yang bertanggung jawab kepada Pihak lain Tanggung
Jawab atas kerugian akibat penggunaan Pekerjaan, kehilangan keuntungan, kerugian
akibat kontrak atau kerugian atau kerusakan secara tidak langsung atau sebagai
akibat, yang mungkin dialami Pihak lain dalam kaitannya dengan Kontrak, selain dari
yang ditetapkan secara khusus dalam Sub-Klausula 8.7 [Denda Akibat Keterlambatan];
Sub-Klausula 11.2 [Biaya Perbaikan Cacat Mutu]; Sub-Klausula 15.4 [Pembayaran
sesudah Pemutusan]; Sub Klausula 17.1 [Pemberian Ganti Rugi atas luka fisik, sakit,
penyakit atau kematian, siapa pun yang timbul dan kehilangan/kerusakan harta benda]
dan Sub-Klausula 17.5 [Hak Kekayaaan Intelektual dan Industrial].”
Dari Pasal tersebut dapat dilihat bahwa tanggung jawab masing-masing pihak dalam
kontrak (akibat tidak dilaksanakannya kontrak secara keseluruhan atau sebagian)
dibatasi pada denda akibat keterlambatan, biaya cacat mutu, pembayaran sesudah
pemutusan, kerugian atas luka fisik, sakit, penyakit atau kematian orang, dan
kehilangan/kerusakan harta benda, dan klaim terkait dengan hak kekayaan intelektual.
Klausul itu juga membatasi setiap pihak untuk menuntut pihak lainnya atas akibat
penggunaan pekerjaan, kehilangan keuntungan, kerugian akibat kontrak atau kerugian
atau kerusakan secara tidak langsung atau sebagai akibat, yang mungkin dialami Pihak
lain dalam kaitannya dengan Kontrak, sepanjang tidak ditetapkan dalam kontrak.
Pembatalan Putusan Arbitrase
Putusan Arbitrase bersifat Final dan mengikat, kendati
demikian Putusan Arbitrase dapat dibatalkan seperti dalam
ketentuan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 AAPS
menyatakan:
"Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan
palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa".
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menyatakan:
"....Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan".