Anda di halaman 1dari 12

ADVANCED

PHARMACY
Kelompok 4
PRACTICE
• Rima Nurul Fauziyah 512332
• Muhammad Yoga Aulia 513332
• Tjang Ricky Chandra 524475
• Citra Kurnia Solihat 525569
KASUS 1
 Seorang ibu membawa bayinya yang berusia 12 bulan ke poli anak RS Kota dengan keluhan
batuk berdahak lebih dari 7 hari dan demam. Setelah ditelusuri sang bayi mulai mengalami
batuk setelah menjenguk kakeknya yang ternyata didiagnosa positif TB dan sementara
mendapatkan terapi OAT. Dokter kemudian menyarankan untuk dilakukan tes mantoux dan
hasilnya positif. Sang bayi kemudian diberikan terapi FDC OAT Anak selama 6 bulan dan
diminta untuk kontrol setiap 2 minggu. Setelah 1 bulan terapi OAT, berat badan bayi mulai
meningkat dan frekuensi batuk menurun. Kemudian Sang ibu memeriksakan bayi ke dokter,
dokter kemudian meminta Sang ibu untuk menghentikan terapi OAT yang sementara berjalan.
Bagaimana tanggapan saudara?
KASUS 1
 Alur diagnosa TB pada anak

(Petunjuk Teknis Manajemen


& Tatalaksana TB pada Anak
Tahun 2016)
KASUS 1
 Sistem skoring

TB Anak di Indonesia
KASUS 1
 Irrational Prescription (Duration)

 Perlu dilakukan komunikasi dengan DPJP alasan penghentian OAT sebelum selesai masa
pengobatan
 Pemberian OAT, tidak boleh diberhentikan, kecuali pasien mengalami efek samping yang berat
(mayor) seperti gangguan penglihatan (etambutol), gangguan pendengaran (streptomycin),
Hepatotoksik (Pirazinamid), dan perlu dievaluasi dan monitoring untuk melihat efektivitas serta
efek samping (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis, 2020)
 Pemberian vaksin BCG dapat memberikan hasil positif pada tes mantoux tetapi pengaruhnya
berkurang seiring waktu paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan
(Nursyamsi dan Rasjid, 2011).
 Apabila terjadi kesalahan diagnosis awal dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan
bakteriologis bila memungkinkan untuk mendapatkan diagnosa yang lebih pasti.
(Nursyamsi dan Rasjid, 2011)

(Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Tatalaksana Tuberkulosis, 2020)
KASUS 2
 Bapak VC (65 thn, 68 kg) masuk IGD karena merasa sangat lemas. Bapak VC terlihat pucat,
letargi dan sulit bernafas. 2 minggu yang lalu ke dokter karena persendian (karena gout) dan
oleh dokter diresepkan allopurinol 3x100 mg dan ranitidine 2x150 mg
 Riwayat penyakit : HT dan DM Tipe 2 (didiagnosis 1 tahun yang lalu)
 Riwayat obat : HTCZ 1x 25 mg; Ramipril 2,5 mg dan Glicazide 2x40 mg sejak 1 tahun yang
lalu

Hasil Normal
Kreatinin 268 mmol/L 60-110 mmol/L
 Dokter mendiagnosis pasien mengalami Drug Induced Kidney Disease
KASUS 2
 Irrational Prescription (Adverse Drug Reactions)

 Obat yang digunakan


 allopurinol 3x100 mg
 ranitidine 2x150 mg
 HTCZ 1x 25 mg
 Ramipril 2,5 mg
 Gliclazide 2x40 mg

1. Tepat Indikasi  Tidak tepat indikasi


Ranitidin : Dapat ditanyakan kepada pasien apakah terdapat gejala atau riwayat sakit pada
lambung
1. Waspada Efek Samping Obat  Kondisi pasien dengan diagnosis DIKD disebabkan oleh
obat-obatan.
 Ramipril dalam jangka panjang mempengaruhi vasokontriksi di arteriola aferen dan
eferen (perubahan hemodinamik pada ginjal)
 Allopurinol menyebabkan akut interstisial nefritis

(Dipiro)

(Shahrbaf and Assadi, 2015)


2. Tepat Dosis
 Harus diperhatikan karena pasien memiliki gangguan ginjal, apakah obat yang diberikan perlu
adjusment dose
 ClCr pasien adalah 23,34 ml/min/1,73m2
 Gliclazide tidak direkomendasikan pada pasien dengan nilai eGFR < 15 ml/min/1,73m2
 Gliclazide diturunkan dosisnya apabila nilai eGFR < 30 ml/min/1,73m2
 atau digantikan dengan obat tanpa adjusment dose : Glipizide, Pioglitazon , Linagliptin

(Alsahli & Gerich, 2015)


3. Tepat Obat
 Ramipril yang merupakan golongan ACEi menjadi salah satu golongan obat penyebab
DIKD, sehingga penggunaannya dapat digantikan ke golongan lain seperti CCB yang
lebih aman

(Robles, Fici & Grassi, 2017).

 Allopurinol sebagai anti hiperurisemia yang menjadi salah satu obat penyebab DIKD
dapat digantikan agen urikosurik yang lain yaitu Probenecid.

(Penatalaksanaan Diagnosis dan


Pengelolaan GOUT, 2018)

(Dipiro)
REFERENSI

 Alsahli, M., & Gerich, J. E. (2015). Hypoglycemia in patients with diabetes and renal disease. Journal of
clinical medicine, 4(5), 948-964.
 DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L. and Ellingrod, V. L. (2020) Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, Eleventh Edition. 11th edn. New York: McGraw Hill.
 Indonesia, P. R. (2018). Pedoman diagnosis dan pengelolaan gout. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 1-24.
 Rahmah, N. F., Mukaddas, A., & Safarudin, S. (2016). Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Gout dan
Hiperurisemia di RSU Anutapura Palu. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy)(e-
Journal), 2(2), 118-123.
 Robles, N. R., Fici, F., & Grassi, G. (2017). Dihydropyridine calcium channel blockers and renal disease.
Hypertension Research, 40(1), 21-28.

Anda mungkin juga menyukai