Anda di halaman 1dari 10

Jamalludin

C1051171044
KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

• PP 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan memiliki visi bahwa
sumber daya alam berupa Hutan, tanah, dan air merupakan kekayaan alam yang
harus tetap dijaga kelestariannya, oleh sebab itu pengelolaan terhadap sumber daya
alam dengan satuan unit Pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara bijaksana,
sehingga dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Maka untuk menjaga kelangsungan fungsi pokok Hutan dan kondisi Hutan, dilakukan
upaya rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi Hutan dan lahan sehingga daya dukung,
produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga.
Kebijakan RHL
• Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung,
produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem
penyangga kehidupan.
• Reklamasi Hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau
memulihkan kembali Kawasan Hutan yang rusak sehingga
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan
vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan
pemeliharaan pada areal bekas penggunaan Kawasan Hutan.
PP no 26 Tahun 2020
Penjelasan Umum
• Penjelasan Umum PP 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan mengatakan bahwa untuk menjaga kelangsungan
fungsi pokok Hutan dan kondisi Hutan, dilakukan upaya rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan yang dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi Hutan dan lahan sehingga
daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga.
Pelaksanaan rehabilitasi
• Menurut pp no 26 tahun 2020, kebijakan RHL perlu
untuk ditegaskan kepada setiap kalangan
• Pendekatan Partisipatif
• Reboisasi, penghijauan
• Partisipasi masyarakat
DASAR HUKUM
• Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
• Pasal 5 ayat (2) Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
Dasar Negara 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Tahun 1945; Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4412);
Kebijakan rehabilitasi
kawasan hutan produksi
Salah satu kebijakan utama Dephut yang mempengaruhi arah program rehabilitasi di kawasan
hutan produksi adalah pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada lahan bekas
penebangan. Pada banyak kasus, pengembangan HTI tidak berhasil dan mengakibatkan banyak
kawasan hutan memiliki status yang tidak jelas. Kebijakan lainnya yang mengakibatkan lahan
bekas penebangan menjadi ‘tanah tidak bertuan’ adalah pelaksanaan sistem silvikultur yang
diamanatkan oleh Dephut kepada HPH. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang dicabut
ijinnya karena gagal melaksanakan sistem silvikultur, namun kemudian tidak ada kelanjutan yang
jelas mengenai status hutan tersebut.
Kebijakan yang mengakibatkan resiko lebih tinggi karena areal bekas
penebangan menjadi ‘tanah tidak bertuan’
a. Ketidakjelasan status kawasan hutan di areal konsesi yang dibatalkan
Pada tahun 1966 Indonesia mengeluarkan suatu kebijakan untuk memberikan hak pengusahaan atas sekitar 60 juta ha
hutan kepada perusahaan swasta (Brown 1999; Barr 2001). Hal tersebut dimungkinkan oleh Undang-undang Pokok
Kehutanan yang menjadi landasan atas pemberian ijin HPH 20 tahun kepada perusahaan negara maupun investor swasta di
kawasan hutan produksi (Barr 2001). Kebijakan rinci yang mengatur tentang hak pengusahaan hutan dapat dilihat dalam PP
No.6/1999, yang menggantikan PP No.7/1990 dan PP No.21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan di hutan produksi.
b. Terputusnya kebijakan rehabilitasi: kasus penyerahan program rehabilitasi kepada badan
usaha milik negara

Pada tahun 1998, Dephut tidak menetapkan anggaran untuk program tersebut, sehingga pada tahun 1999, keputusan resmi
diambil untuk membatalkan penugasan rehabilitasi sebelum akhir tahun 2002/2003 (tanggal penutupan bervariasi di
masing-masing perusahaan) (Dialog pribadi dengan direktur dan staf Inhutani 2004). Dari tahun 1993/1994 hingga 1998
kurang ada kemajuan dalam kegiatan rehabilitasi yang dijalankan oleh perusahaan milik negara tersebut, dan masalah sosial
timbul di beberapa wilayah yang direhabilitasi (Tabel 3-10). Secara keseluruhan, alokasi dana mencapai sekitar Rp. 600 miliar
(US$ 68,3 juta), tanpa adanya estimasi yang pasti mengenai jumlah hutan tanaman yang berhasil dikembangkan (Anonim
2005). Transisi kebijakan pengelolaan hutan dari pusat ke daerah pada tahun 1999 menimbulkan benturan kepentingan dan
ketidakpastian dalam penegakan hukum. Wilayah yang pernah diserahkan kepada Inhutani dikembalikan kepada Dephut,
yang kemudian menyerahkannya kepada pemerintah propinsi untuk dikelola. Tanggung jawab yang diserahkan kepada
pemerintah propinsi tidak disertai alokasi anggaran, sehingga dana dan sumber daya manusia untuk pengawasan tidak
cukup, dan akhirnya wilayah tersebut menjadi tidak bertuan dan rawan terhadap penebangan liar.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai