Anda di halaman 1dari 18

HIV/AIDS NOFRIS MANTO 102008170 Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2012 Jl. Arjuna Utara No.

6 Jakarta Barat 11510 Email : nofriz_xfile@yahoo.com

Pendahuluan

Dewasa ini, Acquired Immune Deficiency (AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian dunia. WHO meramalkan bahwa jumlah penderita AIDS dan kematian akibat AIDS seluruh dunia akan meningkat 10 persen dalam waktu 8 tahun mendatang, yaitu dari satu setengah juta saat ini menjadi 12-18 juta pada tahun 2000.1 Penyakit ini memang mempunyai angka kematian yang tinggi dimana hampir semua penderita AIDS meninggal dalam waktu lima tahun sesudah menunjukkan gejala pertama AIDS.
1

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS ( Acquired Immuno Deficiency Syndrome). AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat infeksi virus HIV sehingga system kekebalan tubuh manusia lemah atau hilang sama sekali, maka akan memudahkan perkembangan beberapa penyakit infeksi dan kanker yang mematikan. Dalam waktu sepuluh tahun, setidaknya 54% persen pasien dengan HIV diperkirakan akan mengalami infeksi lebih lanjut yaitu AIDS tersebut.2 Demikian pula dengan penurunan berat badan yang sering terjadi pada orang terinfeksi HIV, khususnya ketika penyakit tersebut berjalan terus dari infeksi asimtomatik hingga menjadi infeksi simtomatik dan munculnya penyakit AIDS tersebut.3 Manisfestasi klinis infeksi HIV bervariasi dari keadaan laten atau asimtomatik sampai AIDS dengan gejala klinis lanjut. Manifestasi dari penyakit ini dapat berupa munculnya berbagai infeksi oportunistik oleh karena bakteri, virus, dan jamur serta keganasan seperti Kaposi Sarcoma.4 Masa inkubasi HIV bervariasi

dari beberapa bulan sampai 17 tahun dengan median 10 tahun.5 Penyebab kematian pada penderita AIDS adalah infeksi oportunistik.

Anamnesa Kondisi yang penting untuk diketahui praktisi klinis yang dapat diperoleh dari anamnesa, yaitu: 1. Identitas pasien yang meliputi nama, usia, tempat lahir, perkejaan, alamat beserta riwayat perpindahan tempat tinggal. 2. Riwayat perilaku seksual 3. Riwayat infeksi menular seksual 4. Riwayat pekerjaan 5. Penggunaan NAZA (narkotika dan zat adiktif) 6. Keluhan yang mendasari pasien datang berobat 7. Menanyakan kepada pasien beberapa gejala yang berhubungan dengan gejala klinik infeksi HIV/AIDS.

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik harus dperhatikan penuh terhadap gambaran klinis yang mengindiksasikan gejala infeksi HIV, yaitu limfadenopati, demam, berkeringat malam,

penurunan berat badan tanpa sebab, diare dan ruam kulit atau gejala penyakit lanjut yaitu kesulitan bernapas, nyeri pada pembengkakan dan gangguan visual. Pemeriksaan HIV meliputi antara lain: Suhu Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak

ada gejala lain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis penyakit infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada orang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah .

Berat Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan 10% atau lebih dari berat badan Anda mungkin akibat dari sindrom wasting,

yang merupakan salah satu tanda-tanda AIDS, d a n yang paling parah Tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan tambahan gizi yang cukup jika Anda telah kehilangan berat badan. Mata Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Halini terjadi lebih sering pada orang yang memilikiCD4 jumlah kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL). Mulut Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada

orang yang terinfeksi HIV. Kelenjar getah bening Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selaludisebabkan oleh HIV. Kulit Kulit merupakanmasalah yang umum untuk penderita HIV. pemeriksaan yang teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium sangat besar perananya dalam menetapkan diagnosis dan gambaran perjalanan penyakit serta dalam menentukan tindakan pengobatan, karenadalam banyak hal tidak dapat memberi petunjuk terhadap perkembangan penyakit khususnya pada masa asintomatik laten. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan antigen atau antibody terhadap HIV didalam darah. Untuk itu digunakan pemeriksaan dengan tes Elisa (Enzim linked immunosorbent assay) sebagai pemeriksaan penyaring, yang apabila positif lebih lanjut dikonfirmasikan dengan pemeriksaan Westren Immunoblot (WB). Baru-baru ini diperkenalkan dengan satu cara pemeriksaan yang lebih akurat yaitu tes PCR atau Polymerase Chain Reactions.5
3

Metode untuk mendiagnosa HIV terdapat beberapa cara :

Test HIV antibody Menggunakan EIA (Enzyme Immuno Assay) disebut juga ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). EIA mendeteksi antibody yang diproduksi sebagai respond terhadap infeksi HIV. Dalam tes EIA ketika darah ditambahkan, antibodi HIV melekat pada antigen HIV. Kompleks antigenantibodi kemudian dideteksi menggunakan anti human IgG antibodi yang di konjugasikan ke sebuah enzim seperti alkaline fosfatase. Kemudian ditambahkan substrat yang nantina akan memberi warna sebagai hasil produksi enzim. Test positif bila terdapat warna dan negative bila tidak terdapat warna. Test ini mempunyai kemungkinan false positif yang besar. False positif dapat terjadi pada keadaan misalnya : imunisasi, DNA virus infeksi ( misalnya Epstein Barr virus) Bila ini terjadi harus dikonfirmasi dengan western blot.

Western blot Lebih spesifik dari tes EIA dan apabila terjadi false positif EIA tes, tes ini dapat memastikan apakah orang tersebut terinfeksi atau tidak. Tes ini dilakukan dengan memisahkan HIV antitgen dengan elektroforesis, lalu di transfer ke kertas nitroselulosa dan disusun, protein yang lebih besar ada di atas dan protein yang lebih kecil ada di dasar. Lalu serum sampel ditambahkan. Jika terdapat HIV antibody, maka akan berikatan dengan spesifik antigen virus yang ada di kertas. Sebuah enzim dan substrat lalu ditambahkan untuk menghasilkan warna seperti pada tes EIA. Jika tidak ada warna makan tes ini negative dan jika tes ini positif akan terlihat kombinasi warna. Saat hasil tes dengan EIA menunjukkan hasil yang positif dan western blot positif orang tersebut positif menderita HIV sedangkan apabila hasil EIA positif sedangkan western blot negative orang tersebut tidak menderita HIV. PCR Merupakan tekhnik untuk mendeteksi HIV DNA. PCR mendeteksi kehadiran dari virus bukan antibodi terhadap virus seperti yang dites oleh EIA dan western blot tes.
4

ORA sure test, home HIV testing kit ORA sure test menggunakan sebuah kapas swab, yang di masukkan ke dalam mulut selama 2 menit, kemudian kapas itu ditempatkan dalam sebuah media transport dan dikirim ke lab untuk dilakuakn EIA dan western blot tes.

Kriteria Diagnosis Seorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfesi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.5

Working Diagnosis Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan terhadap pasien pada skenario, dapat dibuat dugaan sementara pasien menderita AIDS. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium lainnya seperti Western Blot dan PCR.

Differential Diagnosis Leukimia Leukemia adalah jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Seperti semua sel-sel darah, sel-sel leukemia mengalir ke seluruh tubuh. Tergantung pada jumlah sel-sel yang abnormal dan tempat sel-sel ini terkumpul, pasien leukemia mempunyai sejumlah gejala umum antara lain:

Demam atau keringat malam Infeksi yang sering terjadi Merasa lemah atau letih Sakit kepala Mudah berdarah dan lebam (gusi berdarah, bercak keunguan di kulit, atau bintik-bintik merah kecil di bawah kulit)

Nyeri di tulang atau persendian


5

Pembengkakan atau rasa tidak nyaman di perut (akibat pembesaran limpa) Pembengkakan, terutama di leher atau ketiak Kehilangan berat badan

Pada leukimia tes darah laboratorium akan memeriksa jumlah sel-sel darah. Leukemia menyebabkan jumlah sel-sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan jumlah trombosit dan hemoglobin dalam sel-sel darah merah menurun.

SLE (systemic lupus erithematosus) Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacammacam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis, rheumatoid, dan sindron Sjogren. Gangguan-gangguan ini seringkali tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil sedara bersamaan sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan yang bersifat ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Gambaran klinis SLE sering membingungkan terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering muncul adalah arthritit simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sring terserang adalah sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliarthritis SLE berbeda dengan arthritis rheumatoid karena jarang bersifat erosive atau menimbulkan deformitas. Nodul sub kutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah dapat timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.

Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yangdapat timbul pada wajah, leher, ekstrimitas, atau pada tubuh. 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul rambut rontok yang kadang-kadang menjadi berat. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring. Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau pericardium. Kurang lebih 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya, 25% menjadi gangguan ginjal yang berat. SLE juga dapat menyerang SSP maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkan meliputi perubahan tingkah laku, kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. ANA positif pada lebih dari 95% pasien lupus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA diketahui dari pemeriksaan preparat dibawah sinar UV. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lainnya

Etiologi AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Bila seseorang terkena infeksi HIV, virus akan menyerang sistim kekebalan tubuh yaitu bagian tubuh kita yang bertugas untuk melawan infeksi. Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus HTL III (Human T. Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada tahun 1986 dari Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS disebut HIV-2 dan berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic.7 Epidemiologi

Saat ini diperkirakan ada 5 10 juta orang pengidap HIV (Human Immuno Deficeincy Virus) yang belum menunjukkan gejala apapun tetapi potensial sebagai sumber penularan.
7

Disamping itu telah dilaporkan adanya lebih kurang 100.000 orang penderita AIDS dan 300.000 500.000 orang penderita ARC (AIDS Related Complex) sampai 1 Maret 1989 telah dilaporkan141.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara. AIDS adalah suatu penyakit yang sangatberbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100 % dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Pada populasinormal Adult Mortality Rate adalah 50/10.000 bila seroprevalensi infeksi HIV adalah 10 % maka dalam 5 tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat dua kali menjadi 100/10.000.8 Berdasarkan data yang dikumpulkan sampai 3 Maret 1998, infeksi HIV/AIDS telah menyebar di 22 propinsi yaitu Daerah Istimewa Aceh 1 penderita, Sumatera Utara 25 penderita, Sumatera Barat 1 penderita, Riau 70 penderita, Sumatera Selatan 26 penderita, DKI Jakarta 181 penderita, Jawa Barat 19 penderita, Jawa Tengah 14 penderita, DI Yogyakarta 5 penderita, Jawa Timur 43 penderita, Kalimantan Barat 4 penderita, Kalimantan Tengah 4 penderita, Kalimantan Selatan 3 penderita, Kalimantan Timur 8 penderita, Sulawesi Utara 3 penderita, Sulawesi Selatan 4 pnederita, Bali 43 penderita, NTB 2 penderita, NTT 1 penderita, Maluku 16 penderita, Irian Jaya 137 penderita, Timor-Timor 1 penderita. Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak berbeda jauh, kelompok terbesar berada pada umur 30 39 tahun, dan menurun pada kelompok umur yang lebih besar dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20 30 tahun.8

Cara Penularan AIDS adalah merupakan penyakit yang fatal dan menular. Jalan utama untuk tranmisi HIV adalah kontak seksual (homoseksual atau heteroseksual) tranmisi jarum suntik dan alat kesehatan lain, tranmisi perinatal (dari ibu ke anak dalam persalinan), tranmisi darah dan

produk darah serta tranmisi dalam pelayanan kesehatan yaitu pada pekerja rumah sakit yang berkontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dengan infeksi HIV. Sekalipun penyelidikan secara epidemologi menunjukkan bahwa darah dan semen merupakan jalur penularan utama virus AIDS, telah dilaporkan bahwa HIV juga ditemukan dalam saliva, air mata, air susu ibu dan urin8. Penularan melalui saliva sampai saat ini memang diragukan karena jumlah virus dalam saliva amat kecil sehingga tidak potensial untuk penularan. Hasil beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa sebenarnya saliva dapat menghambat virus HIV agar tidak menginfeksi limfosit manusia disamping fungsi saliva sendiri sebagai pelindung karena mengandung sejumlah protein saliva. Resiko penularan dalam tindakan kedokteran diperkirakan melalui saliva yang tercampur darah karena luka yang timbul dalam perawatan.9 Patofisiologi HIV mempunyai target sel utama yaitu sel Lymfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4, beberapa sel alin yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikulan dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Protein selubung HIV gp 120 akan bersentuhan dan terikat pada sreseptor CD4 pejamu (antara lain sel Lymfosit T4), lalu selubung HIV akan mengalami fusi dengan membrane sel pejamu dan mendorong inti HIV masuk kedalam sitoplasma sel pejamu, RNA virus akan di konversi menjadi DNA oleh enzim Reversi Transkriptase, dan DNA ini yang disebut DNA provirus. DNA porvirus akan masuk kedalam inti sel pejamu dan dengan enzim integrase (endonuklease) akan di integrasikan secara acak pada DNA sel pejamu. Integrasi materi genetic virus ini biasanya akan terjadi dalam 2-10 jam setelah infeksi. Selanjutnya replikasi virus dimulai dengan adanya produksi RNA provirus yang sama sehingga akan terbentuk virion baru, suatu virus HIV baru yang siap untuk menginfeksi sel target yang lain, setelah keluar dari sel pejamu melalui suatu proses budding.4

Manifestasi Klinik

1. AIDS AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karena tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan. Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan seharihari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal. 2. HIV Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

10

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu : a. Infeksi Akut : CD4 : 750 1000 Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita.

11

1). Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 500 Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC). 2). Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200 Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.9,10

Penatalaksanaan Penatalaksanaan HIV/AIDS meliputi penatalaksanaan fisik, psikologis, dan sosial. Medikamentosa Peningkatan harapan hidup pada pasien dengan manifestasi klinis dapat meningkat dengan diagnosis dini, pemberian preparat zidovudin, pengobatan komplikasi serta penggunaan. Antibiotic sebagai profilaksis secara luas, khususnya untuk pneumonia karena Pneumocytis carinii pneumonia. Saat ini pengobatan yang sering dilakukan adalah kombinasi anti reverse transcriptase dan penghambat protease. Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa obat-obat antiviral seperti indinavir, lamivudin, retrovir yang diberikan sebagai kombinasi dapat meningkatkan CD4 dan menghilangkan HIV sampai 24/26 sampai ditingkat unmeasurable genes of HIV. Namun, setelah pengobatan beberapa waktu virus akan menjadi resisten dan dibutuhkan pengobatan baru.

12

Infeksi Dini CDC menyarankan pemberian antiretroviral pada keadaan asimtomatik bila CD4<300mm3, dan CD4<500mm3 pada keadaan simtomatik.10 Obat-obat yang digunakan, yaitu 1. Zidovudin (ZDV) merupakan analog nukleosida yang telah terbukti menurunkan angka kematian, insidens infeksi oportunistik, dan gejala umum pada pasien AIDS yang talah menunjukkan gejala klinis. Zidovudin ini bekerja dengan menghambat kerja enzim reverse transcriptase. Obat ini menekan P24 antigenaemia, dan memproduksi a modest biasanya transient, meningkatkan hitung sel CD4. 2. Didanosis (DDI), digunakan bila penderita tidak tolera terhadap ZDV, atau sebagai pengganti ZDV sudah amat lama digunakan, atau bila pengobatan dengan ZDV tidak menunjukkan hasil. Dosis 2 x 100mg/12 jam (BB<60 kg) atau 2 x 125mg/12 jam (BB>60kg) Di RSCM Jakarta, pengobatan HIV/AIDS dilakukan dengan kombinasi tiga antiretroviral,6 yakni: 1. Zidovudin Dosis : 500-600 mg sehari per orang sakit 2. Lamivudin Dosis : 150 mg sehari dua kali 3. Neviropin Dosis: 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali. Profilaksis Indikasi pemberian profilaksis untuk Pneumocytis carinii pneumonia (PCP) ialah bila CD4<200mm3, terdapat kandidiosis oral yang berlangsung lebih dari dua minggu, atau pernah mengalami PCP di masa lalu.sedangkan profilaksis pada tuberculosis diberikan bila tes kulit PPD 5 mm dengan indurasi.11

13

Stadium lanjut Pada stadium ini banyak yang dapat terjadi, umumnya infeksi oportunistik yang mengancam jiwa. Oleh karena itu perlu penanganan multidisipliner. Obat yang dapat diberikan adalah ZDV dengan dosis awal 1000 mg/hari dalam waktu 4-5 kali pemberian (BB 70 kg).11 Fase Terminal Pada fase terminal, yakni pasien sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanya simtomatik dengan tujuan pasien merasa cukup enak, bebas dari rasa mual dan sesak, mengatasi infeksi yang ada, dan mengurangi rasa cemas.11 Non Medikamentosa Mengingat hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat mencegah serta obat yang dapat mengatasi masalah ini, maka upaya pencegahan adalah cara yang paling tepat untuk menurunkan insidens penyakt ini. Pemberian vitamin dengan dosis sedang higga tinggi selama sedikitnya 2 tahun yang dimulai sejak awal infeksi HIV ternyata berhasil memperlambat progresivitasnya menjadi AIDS.11 Status gizi, sanitasi dan dukungan psikososial juga berperan penting dalam penatalaksanaan ini.

Komplikasi Walaupun telah mendapat kan pengobatan dan tindakan profilaksis dapat mengurangi terjadinya komplikasi pada penderita HIV, infeksi-infeksi tersebut masih menjadi masalah yang cukup berat. Pneumonia Pneumocystis carinii PCP(Pneumocystis carinii pneumonia) meruapakan penyakit khas AIDS yang utama di Negara-negara barat. Risiko terjadinya infeksi ini meningkat pada saat hitung CD4 menurun di bawah 200; profilaksis primer yang efektif adalah dengan kotrimokasol (septrin). PCP biasanya terjadi dengan batuk non-produktif, demam dan dispnea. Sering terjadi gejala subakut, dengan jangka waktu rata-rata 3-4 minggu. Pemeriksaan fisis sering tidak
14

menunjukkan hal yang khas, dan umumnya terjadi demam dan takipnea. Analisis gas darah sering memberikan gambaran hipksemia sedang. Foto toraks menunjukkan gambaran abnormal pada 95% kasus, gambaran klasik berupa bayangan intersitium perhilus yang halus walaupun spectrum abnormalitasnya luas. Temuan kista pada induksi sputum atau pembilasan bronkoalveolar dapat menegakkan diagnosis. Terapinya dengan kotrimoksazol dosis tinggi. Penambahan steroid dapat memperbaiki prognosis pada penyakit yang berat. Infeksi sitomegalovirus CMV merupakan penyakit tahap lanjut (saat CD4,50). Maslaah utamanya adalah retinitis progresif (85%); infeksi saluran pencernaan, sistem saraf, dan paru dapat juga terjadi. Pada tahap awal penyakit ini asimtomatik; skrining oftalmologis regular sangat berguna pada HIV tahap lanjut. Penyakit ini didiagnosis secara klinis; terdapat lesi retina berawan dan berwarna putih dengna perdarahan perivaskular dan eksudat. Terapinya adalah dengan obat antivirus spesifik dan terapi HIV. Terapi jangka panjang dibutuhkan dan sering terjadi relaps. Toksoplasmosis Ini adalah infeksi protozoa, yang sering menyebabkan insefalitis (80%) pada HIV tahap lanjut (CD4,100). Pasien mengalami demam, nyeri kepala, confusion, kejang dan tanda neurologis fokal. MRI lebih sensitive daripada CT dalam menunjukkan lesi ring enhacing multiple yang dapat memperkuat diagnosis lesi tersebut biasanya terletak di ganglia basalis atau sambungan kortikomedular. Toksoplasmosis jarang ditemukan pada pasien tanpa bukti serologis paparan sebelumnya. Terapi adalah dengan pirimetamin dan sulfadiazine;respons klinis dapat memastikan diagnosis. Sarcoma Kaposi Disebabkan virus herpes (HHV-8) dan terjdi pada 20% pria homoseksual yang menderita HIV. Lesi kulit pada awalnya makular dan berkembang menjadi plak terinduksi berwarna merah- ungu. Terdapat gejala berspektrum luas mulai dari lesi kulit atau oral sampai diseminasi desertai keterlibatan nodus limfatikus, saluran pencernaan, atau paru. Penyakit ini didiagnosis secara klinis atau dengan biopsi kulit. Terapinya adalah dengan radioterapi

15

lokal, injeksi pada lesi, atau kemoterapi sistemik. HAART memperbaiki fungsi imunologis dan juga perbaikan pada sarcoma Kaposi.12 Limfoma non-Hodgkin Terjadi pada 10% penyakit tahap lanjut-20% dari jumlah tersebut terjadi SSP. Penyakit ini ditandai dengan demam, berkeringat, dan gejala-gejala sesuai dengan organ yang terkena; keterlibatan ekstranodus sering terjadi. Terapinya dengan kemoterapi. Secara umum prognosisnya buruk. Leukoensefalopati miltifokal progresif Penyakit demielinisasi yang jarang terjadi ini disebabkan oleh virus JC polioma (HIV tahap lanjut). Diagnosisnya ditegakkan dengan pencitraan (lesi berwarna putih) dan PCR cairan serebrospinal untuk mencari virus JC. Satu-satunya terapi adalah dengan memperbaiki fungsi imun dengah HAART.12 Pencegahan 1. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual Infeksi HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual. Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab, yaitu: Hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri (suami/istri sendiri) Kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual pergunakanlah kondom secara benar. Mempertebal iman agar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual diluar nikah dengan berganti-ganti pasangan. 2. Pencegahan penularan melalui darah . Tranfusi darah a. Pastikan bahwa darah yang dipakai untuk transfuse tidak tercemar HIV b. Bagi orang yang dipastikan HIV (+) jangan menjadi donor darah. Produk darah dan plasma Pastikan bahwa tidak tercemar HIV
16

Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit a. Desinfeksi atau bersihkan alat-alat seperti jarum, alat cukur, alat tusuk untuk tindik dan lain-lain, dengan pemanasan atau larutan desinfektan. Perlu dilakukan pengawasan ketat agar setiap alat suntik dan alat lainnya yang dipergunakan dalam sistem pelayanan kesehatan selalu dalam keadaan steril. Demikian pula jarum yang diapakai para penyalahguna obat suntik (narkotik). b. Petugas kesehatan yang merawat penderita AIDS mempunyai kemungkinan terpapar oleh cairan tubuh penderita. Cara-cara pencegahan yang ditunjukkan terhadap hepatitis B cukup untuk mencegah infeksi HIV.13

3. Pencegahan penularan dari ibu-anak. (perinatal) Diperkirakan 50% bayi yang lahir dari ibu yang HIV (+) akan terinfeksi HIV sebelum, selama dan tidak lama sesudah melahirkan. Ini yang perlu disampaikan kepada ibu-ibu yang HIV (+). Ibu-ibu seperti ini perlu konseling. Sebaiknya ibu yang HIV(+), tidak hamil.13

Prognosis HIV/AIDS sampai saat ini belum bisa disembuhkan secara total. Dengan penatalaksanaan yang baik, yang mencakup medikamentosa dan non medika mentosa yang baik dan lengkap, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik, dan kejadian infeksi oportunistik berkurang. Kesimpulan Secara ringkas gambaran klinis HIV/AIDS timbul sesuai dengan kondisi system imun penderita (jumlah CD4) dan jumlah virus dalam darah. Dengan mengenali berbagai gambaran klinis HIV/AIDS diharapkan dapat membantu menegakkkan diagnosis infeksi HIV/AIDS secara dini. Dengan demikian pengobatan dapat dilakukan infeks HIV/AIDS secara tepat dan tepat.

17

Daftar Pustaka 1. Muninjaya GAA. Beberapa pokok pikiran untuk pengembangan program penelitian AIDS di Indonesia. JEN I 1994;3:49-52. 2. Centers for Disease Control and Prevention: First 100.000 cases of acquired immunodeficiency syndrome-United States. MMWR 1989; 38: 561-3. 3. Wilkes GM. Buku saku gizi pada kanker dan infeksi HIV. Jakarta: EGC; 2000. 4. Johnson RA, Dover JS. Cutaneous manifestation of human immunodeficiency virus diseases. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolf K, editors. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2003.p. 2514-35. 5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.2861-9. 6. Budimulja U, Daili SF. Acquired immune deficiency-syndrome. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. Hal.427-431. 7. Santoso M. HIV dan penatalaksanaannya. Jakarta: Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida; 2005. 8. Trijatmo R, dkk. Sindrome AIDS Penanggulangan Penyebarannya dalam praktek dokter gigi. Jakarta: EGC, 1992:1-54 9. Davidson. Principle and practice of medicine. 19thed. London: Churchill Livingston; 2002. 10. Centers for Diseases Control and Prevention. Guideliness for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 1998; 47 :1-7. 11. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius; 2001.hal.573-9. 12. Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2002. 13. Wartono JH, Chanif A, Maryati S, Subandrio Y. AIDS/HIV dikenal untuk dihindari. Jakarta: LEPIN; 2000.

18

Anda mungkin juga menyukai