Anda di halaman 1dari 7

TEMA : NILAI-NILAI SOSIO- CULTURAL YANG BERKEMBANG DI TENGAH MASYARAKAT NAMA: Rinita Istiqomah UTUSAN: UNIVERSITAS JAMBI JUDUL:

SELAYANG BATANGHARI

Nama: Rinita Istiqomah Utusan: Universitas Jambi Judul Cerpen: Selayang Batanghari SELAYANG BATANGHARI Hembusan angin sore yang menentramkan, siluet-siluet matahari yang hendak terbenam, mobil-mobil lalu lalang sesekali terdengar klakson tak sabar pengemudi motor. Kesibukan pulang kerja. Kadang mereka lupa bahwa ada sesuatu yang sangat harus disyukuri ditengah omelan mereka tentang dunia dan permasalahannya. Bahkan lengkungan pelangi yang dapat menentramkan hati mereka dihiraukan saja. Keegoisan pada diri sendiri atau keegoisan pada dunia. Entahlah, kuseruput es tebu dan sambil memandang pemandangan didepanku, Sungai Batanghari. Tetap indah seperti dulu, hanya tidak jernih. Mengenang nostalgia masa kecil sambil memandang matahari yang terbenam terusik. Terlihat dari jauh seorang nenek membawa kayu memukuli pemuda yang sedang bersama seorang wanita. Mungkin kekasihnya atau istrinya ,susah dibedakan. Sesaat keadaan gaduh, terdengar riuh beberapa pemuda yang ingin melerai kegarangan nenek tua. Dari tukang parkir, penjual es tebu, penjual jagung bakar, sampai adik kecil yang tadi sibuk menangis terdiam dan melihat seksama apa yang terjadi. Terdengar teriakan si wanita yang ingin adegan itu dihentikan. Aku tidak beranjak dari tempat duduk ku, ada beberapa kenangan yang masih ingin ku tampilkan di bayang-bayang memori masa kecil. Lagipula ,kerumunan itu sudah terlalu sesak yang ku dengar terikan ibu-ibu pedagang mengatakan Nenek Gila. Dug, jantungku berdesir. Perih. Segera ku ambil jeket dan kunci motor. Menyusul Nenek Gila ke kantor polisi. Tanpa membayar jagung dan es tebu yang ku beli.

****

25 Tahun Sebelumnya.. Hahaha, aku dapat yang besar. Sudah ku bilang aku paling jago memancing, Rudi bersorak- sorai. Memamerkan ikan sungai besar yang didapatnya. Ah, aku sebentar lagi juga dapat umpanku terlalu kecil jadi ikannya tak melihat aku membalas sambil goyang pinggul, kegemaranku. Kali ini kail si umam yang bergerak-gerak. Wah, wah, wah, berat berat woi tolongin. Seketika aku dan rudi membantu umam mengangkat pencingannya keluar. Berat. Kami bertiga dalah sahabat baik, aku, Rudi dan Umam sering menamakan diri Jagoan neon karna kami suka makan perman jagoan neon, padahal kata emak jangan sering makan permen nanti gigiku habis. Padahal gigiku tidak habis hanya berubah warna menjadi biru atau merah, tergantung permen yang aku makan. Hari ini hasil memancing kami hanya dapat satu ikan sungai, ikan yang didapat Rudi tadi. Sedangkan kail Umam yang kami tarik dengan susah payah sampai Rudi kepleset bukan ikan, tapi kaleng roti yang terbenam didasar sungai. Sepanjang perjalanan pulang umam tidak berkata-kata. Kami tertawa. Ini untukmu saja Jang Rudi menyerahkan ikan sungainya kepada ku. Kau punya banyak adik kan?, Ambil saja. Dirumahku tidak akan habis satu hari, aku, emak dan bapak tidak makan terlalu banyak. Seperti biasa, aku terima dengan lapang dada sambil goyang pinggul. Rudi memang sesalu seperti itu. Waktu itu usiaku 10 tahun. *** Hari ini seperti biasa, aku, Rudi dan Umam memancing ikan di sungai Batanghari. Airnya bersih, ikannya banyak, ada beberapa ketek yang lalu lalang mengantarkan penumpang, suasana asri. Ada beberapa anak laki-

laki yang sedang mondok dipesantren dekat sungai Batanghari terlihat bermain air, pada dasarnya mereka itu sedang mandi sore. Pemandangan yang biasa. Kami Jagoan Neon mempersiapkan alat pancing. Hari ini aku berniat mengalahkan Rudi dalam hal jumlah ikan. Ikan yang biasanya kami bawa pulang adalah ikan-ikan dewasa(besar) kalau kail kami mengenai ikan kecil, ikannya akan kami kembalikan. Tapi hari ini aku berniat akan tetap membawa ikan yang kecil pulang, sampai umur dua belas tahun aku belum pernah mengalahkan Rudi. Yah, walapun sedikit curang. Senyum ku mengembang sedikit tulus. Sudah tiga puluh menit kail kami tidak disangkuti ikan. Jangankan umpannya dimakan,disenggolpun saja tidak. Umam yang berjarak dua puluh jengkal sudah sayup-sayup tertidur sambil memegang pancingan. Bentuk tubuhnya lucu. Bujang, kemari!! rudi memanggilku dari jarak kejauhan. Sejak kapan dia ada disana. Ini yang menyebabkan ikannya pergi dia menunjuk tumpukan sampah. Ayo kita bersihkan!. Rudi berlari meraih tungkai pohon yang cukup kuat. Dia mengangkat sampah-sampah itu dan meletakkanya ke tepi sungai. Untuk beberapa saat aku tidak berbuat apa-apa sampai akhirnya aku larut mengangkat sampah-sampah rumah tangga itu. Tidak pula banyak, mungkin sampah dari lima rumah, namun karena keasyikan aku tetap mencari dari sampah yang berukuran besar sampai sampah yang berukuran kecil. Sampai akhirnya kami sadari sore itu kami mencari sampah ,bukan mencari ikan. Umam, jangan tanya. Mungkin dia sedang mimpi menjadi bintang film di India seperti Syarul Khan. Ssst, itu impian terbesar Umam yang aku dan Rudi enggan mengaminkan. Kegiatan bersih-bersih ini berlangsung hampir tiga bulan. Penduduk Sebrang (kota Jambi) mulai padat tak jarang mereka membuang sampah disungai yang dulunya jernih ini. Apalagi disana akan dibuka tempat pariwisata Ancol. Sebenarnya waktu itu aku dan Rudi tidak merasa keberatan malah senang karena berharap tempat pariwisata itu akan

menjadi menambah perekonomian penduduk. Namun banyaknya sampah disungai ini membuat air meluap(melebihi air pasang) dan banjir, dan ini yang lebih penting, Sungai Batanghari tak lagi jernih. Hari ini aku, Rudi dan Umam berangkat ke Kota. Memasang tulisan Dilarang Buang Sampah disini papan karya Umam, papan ku bertuliskan Kebersihan Sebagian dari Iman tak kalah biasanya dengan papan Umam dan papan yang dibuat Rudi bertuliskan Pedulilah Dengan Lingkungan Karena Lingkungan adalah WARISAN termahal yang tak akan tergantikan dengan Harta. Aku dan Umam hanya tersenyum memainkan mata. Kami berpencar, aku memilih memasang dipohon dekat tumpukan sampah, siUmam memasang diwarung yang hampir runtuh. Biar dibantu sama hantu yang ada disana kata Umam ketika aku bilang warung itu menyeramkan. Rudi, entah dimana. Seseorang berlari tergesa-gesa kearah kami. Teman kalian tenggelam. Cepat! Aku dan Umam berpandangan. Berlari sekuat sebisanya. Entah apa gemuruh di dada kami. Berguncang hebat. Fikiran dan hatiku bersilat, tak ingin kenapa-kenapa. Tak ingin ada kehilangan, tidak bisa diekspresikan, tidak ada rasa, tidak paham, tidak mengerti. Kaku dihadapan jasadnya. *** Aku tidak salah apa-apa, Jang. Mereka yang membuang sampah sembarangan. Pemuda itu sudah membuang putung rokoknya berkali-kali kedalam sungai. Aku tadi sudah mempringatinya tapi dia tidak memperdulikan aku. Perempuan disebelahnya mengatakan aku gila. Tapi itu sudah biasa Jang. Aku tidak ingin membuatnya sia-sia. Itu saja. Aku diam saja mendengarkan celotehannya. Kartu Tanda

Pendudukku yang menjadi jaminan dikantor polisi tadi. Fikiranku kembali kemasa lalu, lingkungan yang dulunya ramah, Sungai Batanghari yang dulunya ramai oleh orang-orang mancing, anak-anak pondok yang biasanya

mandi dan orang-orang yang melihat matahari terbenam. Berubah. Tidak ada pagi dan sore bunyi anak-anak pondok menceburkan diri kesungai, tidak ada lagi ikan-ikan yang menari-menari di air, tidak ada lagi tawa anakanak atau bapak-bapak bercengkrama sembari menunggu umpan dimakan ikan. Masih ada memang namun sedikit, masih indah memang namun rasanya berbeda. Kau seharusnya melanjutkan perjuangannya ,Jang. Kau tau persis bagaimana kejadiannya. Aku diam. kau tau Jang, apa jadinya sungai yang katakanya kebanggan masyarakat Jambi ini menjadi keruh dan mendatangkan banjir. Tentu kau juga sudah mendengar sejarah yang ada disungai ini dan tentu pula kau merasakan indahnya sungai ini dahulu, meraka tidak merasakannya ,Jang. Anak-anakmu, cucu-cucumu dan bahkan dirimu sendiri tidak merakan keindahan seperti dulu lagi. Kau lihat bangunan-bangunan megah disekitar sungai ini. Mereka tidak lagi ramah, orang-orang tidak lagi ramah. Mereka lupa dan tidak pernah tau ada seorang anak yang pernah mati karna menjaga kejernihannya. Aku diam. Terisak perlahan. Sungguh benar, aku malu pada diriku, aku malu pada Nenek Gila ini. Aku malu pada Rudi. Kapan kau pulang Jang?, kalau Rudi masih ada tentu dia sudah sebesarmu. Guratan kesedihan muncul diwajahnya yang renta. Mengingat anak semata wayangnya. Sebenarnya ketika aku kuliah di pulau Jawa, emak sering menceritakan aku tentang emak Rudi. Perlakuannya kepada anak-anak yang membuang sampah, melempari bapak-bapak yang membuanng rokok sembarangan. Meneriaki pedagang-pedagang yang sering tidak tertib dengan kebersihan, bahkan kata emak, emak Rudi pernah mendatangi rumah Gubernur dan berteriak-teriak tentang sampahsampah yang berserakan. Inilah asal mula julukan Nenek Gila. Aku sangat tidak sependapat.

Maafkan aku mak, tentu aku malu kepada anakmu Rudi. Saat ini akan sangat sulit menemukan anak seperti dia. Maaf kan aku mak. Aku bersimpuh dipangkuannya, bertekad dalam hati untuk melanjutkan perjuangan temanku. Tidak ada yang salah,Jang. Hanya saja saat ini kita sudah semakin sebuk dengan urusan kita masing-masing. Kadang kita berdalih, apa yang kita lakukan untuk anak kita. Padahal dengan tidak memperdulikan lingkungan ,kita adalah orang tua paling egois yang ingin menikmati keindahan alam ini sendiri. *** Hari ini aku gagah, seperti biasa. Menenteng beberapa papan dan megang mikrofon. Aku menenteng papan-papan seperti yang dulu Jagoan Neon buat. Hari ini aku dan anak-anak didikku akan melakukan orasi tentang kebersihan lingkungan. Melakukan pembinaan kepada para pedangang dan masyarakat setempat untuk sama-sama menjaga kebersihan. Aku dan anak-anak murid SD ku menaiki mobil bus yang besar. Namun hal yang mengejutkanku ketika sampai tepian sungai Batanghari adalah kumpulan orang-orang yang ramai. Bukan untuk mendengarkan arahanku. Tapi ada sesuatu dibalik perkumpulan itu, sesuatu sosok kaku yang kukenal. Sosok yang sedang memeluk papan seperti yang kubuat. Papan itu bertuliskan : Pedulilah Dengan Lingkungan Karena Lingkungan adalah WARISAN termahal yang tak akan tergantikan dengan Harta. Emak Rudi. Jika saat ini yang kalian lihat adalah pemandangan yang indah, percayalah dahulu pemandangan itu lebih indah. Dan berjanjilah untuk mempertahankan keindahan itu. Semampu kalian, sekuat kalian, dan berusahalah dengan baik untuk kehidupan anak kita dimasa depan. Berjanjilah.

Anda mungkin juga menyukai