Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penyakit kelamin (veneral disease) sudah lama dikenal di Indonesia, dua diantara yang sering terjadi adalah sifilis dan gonore. Semakin majunya ilmu pengetahuan seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, semakin banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexually transmitted disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS). PMS menular melalui kontak langsung, seperti kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal). Skenario 3 Blok Urogenitalia : Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan nyeri pada saat kencing. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pada saat kencing juga terasa panas dan perih seperti terbakar. Pasien juga mengeluh menjadi sering anyang-anyangan. Pada pemeriksaan didapatkan sekret uretra berwarna kuning kental, pada orifisium uretra eksternum tampak kemerahan. Pasien juga mengaku sering muncul bercak di celana dalamnya saat bangun tidur. Pasien bekerja sebagai supir bus antar kota dan mengaku berhubungan seks dengan PSK 1 minggu sebelum keluhan muncul. Dua hari yang lalu istrinya juga mengeluh muncul keputihan. Pasien sudah beberapa kali mengalami keluhan ini beberapa waktu yang lalu, kemudian membeli obat di apotek dan diberi obat merk Super Tetra, tetapi kali ini keluhan belum berkurang justru mulai tadi malam pasien mulai mengeluh nyeri pinggang. Oleh dokter dilakukan pemeriksaan urin dan pengecatan Gram, setelah mengetahui hasilnya dokter memberikan obat suntik dan minum kepada pasien.

B. RumusanMasalah Adapun rumusan masalah dalam scenario ini :


1. Bagaimana patofisiologi dari gejala pada skenario diatas? 2. Apakah hubungan antara kasus dalam scenario ini dengan riwayat hubungan

seks dengan PSK?


3. Apa sajakah diagnosis banding dari kasus dalam skenario? 4. Bagaimana epidemiologi, patafisiologi serta penatalaksanaan dari masing-

masing diagnosis? 5. Apa saja komplikasi yang menyertai serta bagaimana prognosisnya? C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami memahami bagaimana patofisiologi dari

masing-masing gejala.
2. Mahasiswa mampu memahami hubungan antara kasus dalam scenario

dengan riwayat hubungna seks dengan PSK.


3. Mahasiswa mengetahui diagnosis banding dari kasus tersebut. 4. Mahasiswa

mampu

memahami

epidemiologi,

patofisiologi

serta

penatalaksanaan dari masing-masing diagnosis. 5. Mahasiswa mampu memahami komplikasi serta prognosis dari penyakit tersebut. D. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui bagaimana patofisiologi dari masing-masing gejala. 2. Mahasiswa memahami hubungan antara kasus dalam scenario dengan

riwayat hubungan seks dengan PSK.


3. Mahasiswa mengetahui diagnosis banding dari kasus tersebut. 4. Mahasiswa mengetahui epidemiologi, patofisiologi, serta penatalaksanaan

dari masing-masing diagnosis. 5. Mahasiswa mengetahui komplikasi serta prognosis dari penyakit tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Gonore Gonore adalah penyakit yang di sebabkan Nisseria gonorrhoeae. Menular secara hubungan seks genito-genital, oro-genital, genital ano-genital. Dan dapat pula terjadi secara manual melualui alat-alat, handuk, thermometer, dan sebagainya. 1. Gejala klinis Masa inkubasi sangatlah singkat pada pria bervariasi antara 2-5 hari, dan bisa lebih lama karena penderita mengobati dirinya sendiri, namun dengan dosis yang kurang atau gejalanya sangat samar sehingga tidak diperhatikan oleh penderita. Pada wanita sulit di tentukan karena umumnya asimtomatik. Berikut organ yang terinfeksi beserta komplikasinya: Pada pria infeksi pertama Uretreritis : yang paling sering adalah urethritis anterior akuta dan dapat menjalar terus ke proksimal. Keluhannya berupa rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum, kemudian disusul dengan dysuria, polakisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra terkadang di sertai darah dan nyeri saat ereksi Komplikasi Lokasi : Tysonitis Paraureteritis Littiritis Cowperitis Ascendens : Prostatitis Vesikulitis Vas deferentitis Epididymitis Trigonitis pada wanita infeksi pertama

Ureteritis dan servinitis: pada wanita dapat asimtomatik, kadang-kandang menimbulkan nyeri punggung bawah. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan secret mikropulen. 2. Komplikasi Lokasi:paraureteritis Bartholinitis Ascendens : Salpingitis P.I.D (pelvic inflammatory diseases) Pada wanita vaginitis gonore terjadi padasaat masa prapubertas karena epitel vagina yang belum berkembang dan masa menopause karena suasana vagina tidaklah asam lagi. Sedangkan untuk komplikasi diseminata yang prevalensinya 1% dari kasus gonore pada pria dan wanita adalah: - Artritis - Miokarditis - Endocarditis - Pericarditis - Meningitis - Dermatitis Sedangkan kelainan yang timbul akibat hubungan seksual selain genitogenital adalah orofaringitis, proktitis, dan konjunctivitis 3. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan ananmnesis, px klinis, dan px lanjutan yang terdiri dari 5 tahapan: A.Sediaan langsung Pada sediaan ini dengan pengecatan gram akan ditemukan gonokok negative-Gram, intra maupun ekstraselulal. Sediaan diambil dari daerah fosa navicularis(pria), pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar Bartholin, serviks, dan rectum. B. kultur Untuk identifikasi perlu dilakukan kultur. Dua macam media yang dapat digunakan: 1. Media transport (mis: media stuart, media transgrow) 2. Media pertumbuhan(mis Mc Leods chocolate agar, media Thayer martin, dll) C. Tes definitif - tes oksidasi : pada tes ini semua nisseria memberi hasil positif dengan perubahan warna koloni dari bening ke merah-merah lembayung.

-tes fermentasi: tes peragian dengan menggunakan maltose, glukosa, dan sukrosa. Bakteri nisseria hanya meragi glukosa. D. Tes beta-laktamase Pemeriksaan beta-laktamase dengan menggunakan cefinase TM disc. BBL 961192 yang mengandung chromogenic cephalosporin, akan menyebabkan perubahan waena dari kuning menjadi merah apabila mengandung enzim betalaktamase. E. Tes Thomson Tes ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah berlangsung Hasil dari tes Thomson Gelas 1 Gelas 2 Arti Jernih Keruh Keruh Jernih Jernih Jernih Keruh Keruh Tak ada infeksi Infeksi ureteritis anterior Panureteritis Tidak mungkin

4. Pengobatan Penisilin (penisilin G prokain akua) Sefalosporin: -seftriakson -sefoperazon -sefiksim Spektinomisin Kanamisin Tiamfenikol Kuinolon : -ofloksasin -siprofloksasin -norfloksasin -levofloksasin B. Sifilis

dose : 4,8 juta unit + 1 gr probenesid dose : 250 mg i.m dose : 0.50-1.00 g i.m dose : 400 mg(single dose) oral dose : 2 g i.m dose : 2 g i.m dose : 3,5 g oral tidak pada kehamilan dose : 400 mg dose : 250-500 mg dose : 800 mg oral dose : 250 mg single dose oral (Sjaiful,2009).

Sifilis/lues venera/raja singa adalah penyakit yang disebabkan olleh Treponema pallidum; sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Species: Treponema pallidum

Ordo : spirochaetales Familia: spirochaetaceae Genus : Treponema Morfologi : spiral teratur, 6-15 m x 0,15 m, 8 24 lekukan, bergerak secara rotasi sepanjang aksis bergerak maju. 1. Klasifikasi STADIUM MENULAR MENULAR Stadium rekuren S.t SI
2-4 mingg u

1 tahun STADIUM LANJUT TAK

S II
6-8 mingg u

S III

3-10 tahun Sifilis laten lanjut

Ket: S.t SI S II S III : sanggama tersangka : sifilis stadium 1 : sifilis stadium II : sifilis stadium III

2. Patogenesis Pada stadium dini treponema masuk melalui kedalam kulit melalui mikro lesi atau selaput lender. Kuman tersebut membentuk koloni, jaringan bereaksi dengan jaringan dan membentuk infiltrate yang terdiri atas sel-sel limfosit dan selsel plasma, terbentuklah inflamasi. Apabila terjadi erosi berarti masuk pada S I dan sebelum terjadi erosi koloni kuman sudah masuk pada ke kelenjar getah bening regional dan terjadi pula penyebaran secara hematogen dan menyebar ke seluruh tubuh. Pada tahap S I akanb sembuh secara perlahan karena kuman telah berkurang

jumlahnya. Adapun stadium laten tidak disertai gejala karena kuman masih dapat di supresi oleh system imun. Pada stadium lanjut system imun turun dan penyebabnya belum jelas. Maka timbulah manifestasi berupa lesi di seluruh tubuh bahkan mencapai organ-organ penting misal: Cor, Nervous. 3. Gejala klinis sifilis akisita Kelainan kulit dimulai sebagai papul lenticular yang permukaannya segera menjadi erosi, umumnya terbentuk ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, solitary, dasarnya adalah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih diatasnya tampak serum. Dinding tak bergaung, kulit di sekitarnya tak menunjukkan radang akut. Pada pria tempat yang terkenal untuk terkena adalah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labiya minor dan mayor. Bisa juga di lidah, tonsil, dan anus. 4. Penegakan Diagnosis Dengan pemeriksaan: I. Pemeriksaan T. pallidum Cara pemeriksaan ini menggunakan serum yang terdapat pada ulkus dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut. Treponema berlatar belakang putih dan pergerakannya memutar terhadap sumbunya apabila dilihat di mikroskop. Namun pada pemeriksaan ini tidak dapat dibedakan secara spesifik dengan treponema lainnya II. Tes serologic sifilis

Tes nontreponemal Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan dengan estitin dan kolesterol, karena itu lesi ini dapat memberi reaksi biologic semu.

Tes treponemal Tes bersifat spesifik karena berasal adi antigen masing-masing bakteri treponemal

III. Pemeriksaan yang lain Menggunakan : -histologi -imunologi

5. Penatalaksanaan Sifilis Sifilis primer Pengobatan Penisilin G benzatin dosis 4.8 juta unit secara I.M (2.4 juta) dan diberikan sekali perminggu Penisilin G prokain dalam akua dosis total 6 juta unit diberi 0,6 juta unit/hari selama 10 hari PAM(penisilin prokain + 2% alumunium mono strerat) Sifilis sekunder sama dengan sifilis primer Sifilis laten Penisilin G benzatin, dosis total 7,2 juta unit Penisilin G prokain dalam akua, dosis total 12 juta unit (0,6 juta unit/hari) PAM dosis total 7,2 juta unit (1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu Sifilis tersier Penisilin G benzatin, dosis total 9,2 juta unit Penisilin G prokain dalam akua, dosis total 18 juta unit (0,6 juta unit/hari) PAM dosis total 9,2 juta unit (1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu Pemantauan serologic Pada bulan I, III, VI dan XII dan setiap VI bulan pada thn ke-2

(natahusada,2009) C. Trikomoniasis vaginalis 1. Definisi Trikomoniasis merupakan infeksi saluran urogenital bagian bawah pada wanita maupun pria, dapat bersifat akut atau kronik, disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan penularanya biasanya melalui hubungan seksual. (Sjaiful 2009) 2. Etiologi Trikomoniasis disebabkan oleh protozoa parasitic Trikomonas vaginalis. T. vaginalis adalah organism oval berflagela yang berukuran setara dengan leukosit sekitar 15-18 mikron. Organism terdorong oleh gerakan-gerakan acak berkedut dari flagelanya (Sylvia 2005). Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50oC akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada suhu 0oC dapat bertahan selama 5 hari (Sjaiful, 2009). 3. Pathogenesis Trikomonas mengikat dan akhirnya mematikan sel-sel epitel pejamu, memicu respon imun humoral dan seluler yang tidak bersifat protektif terhadap infeksi berikutnya. Agar dapat bertahan hidup trikomonad harus berkontak langsung dengan eritrosit (Sylvia 2005). T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai jaringan epitel dan sub epitel. Paling subur apabila tumbuh pada pH 4,9-7,5. Masa tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan jaringan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar sampai permukaan epitel. Di dalam vagina dan urethra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman, dan benda lain yang terdapat dalam secret (Sjaiful 2009).

4. Gejala dan tanda

Gejala trikomoniasis biasanya muncul 5 sampai 28 hari setelah inokulasi pada perempuan dan 1 hari pada laki-laki. Gejala tersering pada perempuan: Secret vagina yang kuning-hijau berbusa yang mungkin banyak dan berbau tidak sedap, pruritus perineum, perdarahan pascakoitus, dispareunia, secret, epitel vagina radang, dan ptekie serviks, yang sering disebut sebagai strawberry cervix. Apabila tidak diobati gejala dapat mereda tapi infeksi menetap secara subklinis. Gejala pada laki-laki: Laki-laki cepat menunjukkan gejala setelah inokulasi, seperti uretritis ringan sampai berat yang ditandai oleh: secret, disuria, dan sering berkemih. Gejala pada laki-laki sering transien, mungkin karena adanya zat-zat antitrikomonas di sekresi prostat yang bersifat protektif (Sylvia 2005).
5. Diagnosis

Selain pemeriksaan langsung dengan mikrospkopik sediaan basah dapat juga dilakukan pemeriksaan dengan pewarnaan giemsa, akridin oranye, leishman, gram dan papnicolau. 6. Pengobatan a. Secara topical Bahan cairan/irigasi, hydrogen peroksida 1-2% dan larutan asam laktat, bahan berupa supositoria/bubuk yang bersifat trikomosiasidal, dan jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal. b. Secara sistemik (oral) Obat yang sering dipakai tergolong derivate nitromidazol, seperti metromidazol dengan dosis tunggal 2 gram atau 3x 500 mg per hari selama 7 hari, nimorazol dosis tunggal 2 gram, tinidazol : dosis tunggal 2 gram, dan omidazol dosis tunggal 1,5 gram (Sjaiful 2009).

D. Kondiloma Akuminata-Kutil Kelamin

1. Definisi Virus alami dari genital warts, Venereal warts, verruca vulgaris, jengger ayam, kutil kelamin pertama kali dikenal tahun 1907 oleh Ciuffo. Kondiloma adalah kutil yang berlokasi di area genital (uretra, genital dan rektum). Kondiloma merupakan penyakit menular seksual dan berpengaruh buruk bagi kedua pasangan. 2. Gejala dan tanda yang sering muncul Bau busuk pada kemaluan, warts/kutil memberi gambaran merah muda, flat, menyerupai gambaran bunga kol. Pada pria dapat menyerang penis, uretra dan daerah rektal. Infeksi dapat dormant atau tidak dapat dideteksi, karena sebagian lesi tersembunyi didalam folikel rambut atau dalam lingkaran dalam penis yang tidak disirkumsisi. Sementara pada wanita, condiloma akuminata menyerang daerah yang lembab dari labia minora dan vagina. Sebagian besar lesi timbul tanpa simptom. Pada sebagian kasus biasanya terjadi perdarah setelah coitus, gatal, atau vaginal discharge. Ukuran tiap kutil biasanya 1-2 mm, namun bila berkumpul sampai berdiameter 10,2 cm dan bertangkai. Dan biasanya ada yang sangat kecil sampai tidak diperhatikan. Terkadang muncul lebih dari satu daerah.
3. Etiologi

Kutil kelamin atau kondiloma disebabkan oleh infeksi pada epidermis oleh jenis Human Papiloma Virus yang spesifik pada sebagian besar lesi yang terjadi akibat HPV 6 dan 11 yang dijumpai. Namun, terkadang HPV 16 atau jenis lain juga dijumpai hubungan antara kutil kelamin dengan kutil kulit biasanya telah banyak dibahas sebelumnya tapi, tidak ada bukti hubungan klinis atau virologis antara keduanya.
4. Patofisiologi

HPV merupakan kelompok virus DNA double-strand. Virus ini menyebabkan lokal infeksi dan muncul sebagai lesi kondiloma papilomatous. Infeksi HPV menular melalui aktivitas seksual. HPV yang berhubungan dengan traktus genital dibagi dalam kelompok resiko rendah dan resiko tinggi yang didasarkan atas genotipe

masing-masing. Sebagian besar kondiloma genital diinfeksi oleh tipe HPV6 atau HPV-11. Sementara tipe 16, 18, 31, 33, 45, 51, 52, 56, 68, 89 merupakan resiko tinggi. Papiloma virus bersifat epiteliotropik dan reflikasinya tergantung dari adanya epitel skuamosa yang berdeferensisasi. Lapisan basal sel yang terkena ditandai dengan batas yang jelas pada dermis. Lapisan menjadi hiperplasia (akantosis), pars papilare pada dermis memanjang. Gambaran hiperkeratosis tidak selalu ada, kecuali bila kutil telah ditemui pada waktu yang lama atau pengobatan yang tidak berhasil, dimana stratum korneum hanya mengandung 2 lapisan sel yang parakeratosis. Koibeytes terpancarpencar keluar dari lapisan terluar dari kutil genialia. Kondiloma akuminata dibagi dalam 3 bentuk: a. Bentuk akuminata Terutama dijumpai pada daerah lipatan dan lembab. Terlihat vegetasi bertangkai dengan permukaan berjonjot seperti jari. Beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi yang lebih besar sehingga tampak seperti kembang kol. Lesi yang besar ini sering dijumpai pada wanita yang mengalami fluor albus dan pada wanita hamil, atau pada keadaan imunitas terganggu. b. Bentuk papul Lesi bentuk papul biasanya didapati di daerah dengan keratinisasi sempurna, seperti batang penis, vulva bagian lateral, daerah perianal dan perineum. Kelainan berupa papul dengan permukaan yang halus dan licin, multipel dan tersebar secara diskret. c. Bentuk datar Secara klinis, lesi bentuk ini terlihat sebagai makula atau bahkan sama sekali tidak tampak dengan mata telanjang, dan baru terlihat setelah dilakukan tes asam asetat. Dalam hal ini penggunaan kolposkopi sangat menolong.
6. Epidemiologi

Pada ras tidak ada perbedaan, pria 13% dan wanita 9%, pernah mengidap kondiloma akuminata, mayoritas wanita aktif seksual dibawah usia 25 tahun. Dewasa ini kutil kelamin adalah penyakit PMS viral yang paling umum, 3 kali banyaknya dari herpes genital dan tingkat kejadian hanya dilampaui oleh GO dan infeksi chlamidya.
7. Faktor-faktor resiko

Kondiloma akuminata atau infeksi HPV sering terjadi pada orang yang mempunyai aktivitas seksual yang aktif dan mempunyai pasangan seksual lebih dari 1 orang (multiple). penggunaan kontrasepsi, rokok, dan kehamilan. Penyakit ini tidak mempengaruhi kesuburan, hanya pada masa kehamilan pertumbuhannya makin cepat. Jika ukurannya terlalu besar dapat menghalangi lahirnya bayi dan dapat timbul perdarahan pasca persalinan. Selain itu dapat juga menimbulkan kondiloma akuminata atau papilomatosis laring (kutil pada saluran nafas) pada bayi baru lahir. Selain itu, Kondiloma juga sering ditemukan pada pasien yang immunocompromised (misal : HIV)
8. Diagnosis Banding

Papul dan nodul pseudoverrucous adalah suatu kondisi yang dapat dilihat berkaitan dengan ureterostomi dan pada daerah perianal yang berkaitan dengan defekasi yang tidak dapat ditahan juga bisa menyerupai kondiloma acuminata. Papul papul yang terdapat didaerah anogenital seperti molusca dan skintag, a. Veruka vulgaris yang tidak bertangkai, kering dan berwarna abu abu atau sama dengan warna kulit.
b. Kondiloma latum atau sifilis stadium II, klinis berupa plakat yang

erosi,
c. Karsinoma sel skuamosa vegetasi yang seperti kembang kol mudah

berdarah dan berbau.

9. Penatalaksanaan a. Kemoterapi

1) Podophylin

Podophylin adalah resin yang diambil dari tumbuhan dengan kandungan beberapa senyawa sitotoksik yang rasionya tidak dapat dirubah. Podophylino yang paling aktif adalah podophylotoksin. Jenis ini mungkin terdiri atas berbagai konsentrasi 10 25 % dengan senyawa benzoin tinoture, spirit dan parafin cair.yang digunakan adalah tingtur podofilin 25 %, kulit di sekitarnya dilindungi dengan vaselin atau pasta agar tidak terjadi iritasi setelah 4 6 jam dicuci. Jika belum ada penyembuhan dapat diulangi setelah 3 hari.
2) Podofilytocin

Ini merupakan satu bahan aktif resin podophylin dan tersedia sebanyak 0,5 % dalam larutan eatnol yang merupakan agen anti mitotis dan tidak disarankan untuk penggunaan pada masa kehamilan atau menysui. 3) Asam Triklorasetik ( TCA ) Ini agent topikal alternatif dan seringkali digunakan pada kutil dengan konsentrasi 30 50 % dioleskan setiap minggu dan pemberian harus sangat hati hati karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. Bahan ini dapat digunakan pada masa kehamilan. 4) Topikal 5-Fluorourasil (5 FU ) Cream 5 Fu dapat digunakan khususnya untuk perawatan kutil uretra dan vulva vagina, konsentrasinya 1 5 % pemberian dilakukan setiap hari sampai lesi hilang dan tidak miksi selama pemberian. Iritasi lokal buakn hal yang tidak bisa. 5) Interferon Meskipun interferon telah menunjukkan hasil yang menjanjinkan bagi verucciformis dan infeksi HPV anogenital, keefektifan bahan ini dalam perawatan terhadap kutil kelamin masih dipertanyakan. Terapi parentral dan intra lesional terhadapa kutil kelamin dengan persiapan interferon alami dan rekombinasi telah menghasilkan tingkat respon yang berkisar antara 870 80 % pada laporan laporan awal. Telah

ditunjukkan pula bahwa kombinasi IFN dengan prosedur pembedahan ablatif lainnya menghasilkan tingkat kekambuhan (relapse rate) dan lebih rendah. Efek samping dari perlakuan inerferon sistemik meliputi panyakit seperti flu dan neutropenia transien b. Terapi pembedahan 1) Kuret atau Kauter ( Elektrokauterisasi ) Kuret atau Kauter ( Elektrokauterisasi ) dengan kondisi anastesi lokal dapat digunakan untuk pengobatan kutil yang resister terhadap perlakuan topikal munculnya bekas luka parut adalah salah satu kekurangan metode ini.
2) Bedah Beku ( N2, N2O cair )

3) Laser Laser karbodioksida efektif digunakan untuk memusnahkan beberapa kutil kutil yang sulit. Tidak terdapat kekawatiran mengenai ketidakefektifan karbondioksida yang dibangkitkan selama prosedur selesai, sedikit meninggalkan jaringan parut. 4) Terapi Kombinasi Berbagai kombinasi terapi yang telah dipergunakan terhadap kutil kelamin yang membandel, contohnya kombinasi interferon dengan prosedur pembedahan, kombinasi TCAA dengan podophylin, pembedahan dengan podophylin. Seseorang harus sangat berhati hati ketika menggunakan terapi kombinasi tersebut dikarenakan beberapa dari perlakuan tersebut dapat mengakibatkan reaksi yang sangat serius.
10.

Prognosis Kondiloma akuminata dapat memberikan prognosis baik dengan

perwatan yang teliti dengan memeperhatikan higiene serta jaringan parut yang timbul sangat sedikit. Pengrauh terhadap kehamilan, perkembangan kehamilan, janin sangat minimal. E. Candidiasis 1. Definisi

Candidiasis adalah suatu penyakit kulit akut atau subakut, disebabkan jamur intermediat yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir, dan alat-alat dalam (Harahap, 2000). Penyebabnya adalah pertumbuhan berlebihan jamur Candida albicans. 2. Etiologi albicans adalah spesies penyebab lebih dari 80% kasus candidiasis pada genitalia yang disebut candidiasis vulvovaginitis. Sekitar 75% perempuan dapat mengalami paling tidak satu kali candidiasis vulvovaginitis selama seumur hidup, dan 40% - 45% akan mengalami infeksi berulang (Prince, 2006). Selain itu, faktor predisposisi candidiasis adalah pemakaian antibiotik yang lama, obesitas, alkoholik, gangguan vaskularisasi, hiperhidrosis, diabetes mellitus, dan lain-lain (Siregar, 2005). 3. Epidemiologi Candidiasis dapat menyerang segala umur dan jenis kelamin. Insiden terjadi lebih banyak pada daerah tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Jamur Candida albicans sendiri lebih cepat berkembang pada daerah yang tergenang air (Siregar, 2005). 4. Gejala Pada perempuan, gejala paling mencolok pada candidiasis vulvovaginitis adalah pruritus dan iritasi hebat pada vulva dan vagina. Dapat timbul edema, eritema, dan fissura pada vulva, disertai disuria akibat peradangan jaringan. Sering didapat sekret vagina seperti keju lembut. Pemeriksaan dalam menunjukkan vagina yang kering merah dengan plak-plak putih yang lekat. Laki-laki penderita candidiasis sering asimptomatik. Apabila timbul, gejala tersering adalah kulit penis tampat eritematosa berkilap dan erosi di glans atau permukaan dalam preputium. Infeksi simptomatik pada laki-laki menyebabkan rasa gatal, panas dan iritasi pada glans dan preputium. Lesi tampak berkrusta dan lekat, dan mungkin dijumpai bercak putih seperti keju di glans. Kadang kulit skrotum memperlihatkan lesi berskuama yang gatal (Prince, 2006). 5. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan mikroskopik sekret vagina dengan sediaan basah KOH 10% dapat terlihat adanya bentuk ragi (yeast form) berupa blastospora dan pseudohifa. Dengan pewarnaan Gram dapat ditemukan pseudohifa yang bersifat Gram positif dan blastospora (Mansjoer,dkk., 2000). 6. Terapi Pilihan utama terapi farmakologis pada pasien candidiasis vulvovaginitis adalah pemberian dosis tunggal fluconazole 150 mg. Selain itu, candidiasis vulvovaginitis efektif diterapi dengan obat-obat antifungal topikal dengan pilihan pemberian:
a. Butoconazole 2% krim 5 g intravaginal selama 3 hari, atau b. Butoconazole 2% krim 5 g (butoconazole1-sustained release), dosis

tunggal intravaginal, atau


c. Clotrimazole 1% krim 5 g intravaginal selama 7-14 hari, atau d. Clotrimazole 100-mg tablet vaginal selama 7 hari, atau e. Clotrimazole 100-mg tablet vaginal, 2 tablets selama 3 hari, atau

f. Miconazole 2% krim 5 g intravaginal selama 7 hari, atau


g. Miconazole 100-mg suppositoria vagina (uvula), 1 uvula selama 7

hari, atau
h. Miconazole 200-mg uvula, 1 uvula selama 3 hari, atau i. j.

Miconazole 1200-mg uvula, 1 uvula selama 1 hari, atau Nystatin 100,000-unit tablet vaginal, 1 tablet selama 14 hari, atau

k. Tioconazole 6.5% salep 5 g intravaginal 1 kali pemakaian, atau l. Terconazole 0.4% krim 5 g intravaginal selama 7 hari, atau
m. Terconazole 0.4% krim 5 g intravaginal selama 3 hari, atau n. Terconazole 80-mg uvula, 1 uvula selama 3 hari (Pappas,dkk., 2009).

Sedangkan untuk candidiasis vulvovaginal rekurens, pada 10-14 hari pertama perlu diberikan terapi berupa azole oral atau topikal kemudian dilanjutkan dengan pemberian fluconazole 150 mg sekali dalam seminggu selama 6 bulan (Pappas, dkk., 2009). Nistatin, asam borat, atau flucytosine diberikan untuk infeksi yang telah resisten terhadap azole (Nabhan, 2006).

F. Herpes simpleks

1. Definisi Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau II yang ditandai oleh adanya vesikel yang sembab dan eritematosa pada daerah mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung primer maupun rekurens (Handoko, 2009) 2. Epidemiologi Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria dan wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko, 2009) 3. Etiologi Herpes genitalis disebabkan oleh HSV atau herpes virus hominis (HVH), yang merupakan anggota dari famili herpesviridae. Adapun tipetipe dari HSV :
1. Herpes simplex virus tipe I : pada umunya menyebabkan lesi atau luka

pada sekitar wajah, bibir, mukosa mulut, dan leher.


2. Herpes simplex virus tipe II : umumnya menyebabkan lesi pada

genital dan sekitarnya (bokong, daerah anal dan paha). Herpes simplex virus tergolong dalam famili herpes virus, selain HSV yang juga termasuk dalam golongan ini adalah Epstein Barr (mono) dan varisela zoster yang menyebabkan herpes zoster dan varicella. Sebagian besar kasus herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, namun tidak menutup kemungkinan HSV-1 menyebabkan kelainan yang sama (Saenang Dkk, 2004; Syahputra Dkk, 2001; Marques Dkk, 2003) Pada umumnya disebabkan oleh HSV-2 yang penularannya secara utama melalui vaginal atau anal seks. Beberapa tahun ini, HSV-1 telah lebih sering juga menyebabkan herpes genital. HSV-1 genital menyebar lewat oral seks yang memiliki cold sore pada mulut atau bibir, tetapi beberapa

kasus dihasilkan dari vaginal atau anal seks (Corey Dkk, 2000; Martodihardjo, 2001) 4. Patogenesis HSV-1 dan HSV-2 adalah termasuk dalam famili herphesviridae, sebuah grup virus DNA rantai ganda lipid-enveloped yang berperanan secara luas pada infeksi manusia. Kedua serotipe HSV dan virus varicella zoster mempunyai hubungan dekat sebagai subfamili virus alphaherpesviridae. Alpha herpes virus menginfeksi tipe sel multiple, bertumbuh cepat dan secara efisien menghancurkan sel host dan infeksi pada sel host. Infeksi pada natural host ditandai oleh lesi epidermis, seringkali melibatkan permukaan mukosa dengan penyebaran virus pada sistem saraf dan menetap sebagai infeksi laten pada neuron, dimana dapat aktif kembali secara periodik. Transmisi infeksi HSV seringkali berlangsung lewat kontak erat dengan pasien yang dapat menularkan virus lewat permukaan mukosa. (Marques Dkk, 2003; Corey Dkk, 2000) Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring, virus menyebar melalui droplet pernapasan, atau melalui kontak langsung dengan saliva yang terinfeksi. HSV-2 biasanya ditularkan secara seksual. Setelah virus masuk ke dalam tubuh hospes, terjadi penggabungan dengan DNA hospes dan mengadakan multiplikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Waktu itu pada hospes itu sendiri belum ada antibodi spesifik. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional dan berdiam di sana serta bersifat laten. Infeksi orofaring HSV-1 menimbulkan infeksi laten di ganglia trigeminal, sedangkan infeksi genital HSV-2 menimbulkan infeksi laten di ganglion sakral. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekuren. Pada saat ini dalam tubuh hospes sudah ada antibodi

spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. 5. Faktor pencetus Trauma atau koitus, demam, stres fisik atau emosi, sinar UV, gangguan pencernaan, alergi makanan dan obat-obatan dan beberapa kasus tidak diketahui dengan jelas penyebabnya. Penularan hampir selalu melalui hubungan seksul baik genito genital/genital maupun oro genital. Infeksi oleh HSV dapat bersifat laten tanpa gejala klinis dan kelompok ini bertanggung jawab terhadap penyebaran penyakit. Infeksi dengan HSV dimulai dari kontak virus dengan mukosa (orofaring, serviks, konjungtiva) atau kulit yang abrasi. Replikasi virus dalam sel epidermis daan dermis menyebabkan destruksi seluler dan keradangan (Saenang Dkk, 2004; Sutardi, 1998; Syahputra Dkk, 2001; Martodihardjo, 2001) 6. Gejala Klinis Infeksi awal dari 63% HSV-2 dan 37% HSV-1 adalah asimptomatik. Simptom dari infeksi awal (saat inisial episode berlangsung pada saat infeksi awal) simptom khas muncul antara 3 hingga 9 hari setelah infeksi, meskipun infeksi asimptomatik berlangsung perlahan dalam tahun pertama setelah diagnosa di lakukan pada sekitar 15% kasus HSV-2. Inisial episode yang juga merupakan infeksi primer dapat berlangsung menjadi lebih berat. Infeksi HSV-1 dan HSV-2 agak susah dibedakan. Tanda utama dari genital herpes adalah luka di sekitar vagina, penis, atau di daerah anus. Kadang-kadang luka dari herpes genital muncul di skrotum, bokong atau paha. Luka dapat muncul sekitar 4-7 hari setelah infeksi.(Clutterbuck, 2004) Gejala dari herpes disebut juga outbreaks, muncul dalam dua minggu setelah orang terinfeksi dan dapat saja berlangsung untuk beberapa minggu. Adapun gejalanya sebagai berikut: (Saenang Dkk, 2004; Syahputra Dkk, 2001; Clutterbuck, 2004)

Nyeri dan disuria Uretral dan vaginal discharge

Gejala sistemik (malaise, demam, mialgia, sakit kepala) Limfadenopati yang nyeri pada daerah inguinal Nyeri pada rektum, tenesmus Eritem, vesikel, pustul, ulserasi multipel, erosi, lesi dengan krusta tergantung pada tingkat infeksi. Limfadenopati inguinal Faringitis Cervisitis Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak.

Tanda (sign) :

7. Pemeriksaan Diagnosis Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pada percobaan Tzank dengan pewarnaan giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear (Handoko, 2009) 8. Penatalaksanaan Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi herpes genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan, seperti :

menjaga kebersihan lokal menghindari trauma atau faktor pencetus. (Siregar, 1996) Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal

sebesar 5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat bermanfaat. Namun, pengobatan ini memiliki beberapa efek samping, di antaranya pasien akan mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit dapat juga terjadi. Selain itu, tenaga kesehatan memberikan obat antivirus untuk pencegahan penularan, antara lain: a. Asiklovir Pada infeksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg BB/8 jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama 10-14 hari) dan asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dsapat

mengurangi lamanya gejala dan ekskresi virus serta mempercepat penyembuhan.(Marques Dkk, 2003; Syahputra Dkk, 2001) b. Valasiklovir Valasiklovir adalah suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir lengkap berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan bioavaibilitas asiklovir sampai 54%. Oleh sebab itu, dosis oral 1000 mg valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama dengan asiklovir intravena. Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama 10 hari untuk terapi herpes genitalis episode awal (Marques Dkk, 2003; Syahputra Dkk, 2001; Martodihardjo, 2001) c. Famsiklovir Adalah jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efektif menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2. Sama dengan asiklovir, pensiklovir memerlukan timidin kinase virus untuk fosforilase menjadi monofosfat dan sering terjadi resistensi silang dengan asiklovir. Waktu paruh intrasel pensiklovir lebih panjang daripada asiklovir (>10 jam) sehingga memiliki potensi pemberian dosis satu kali sehari. Absorbsi peroral 70% dan dimetabolisme dengan cepat menjadi pensiklovir. Obat ini di metabolisme dengan baik (Marques Dkk, 2003; Syahputra Dkk, 2001). G. Klamidiasis 1. Definisi Chlamydia trachomatis adalah salah satu dari empat spesies genus Chlamydia yang merupakan bakteri khusus yang hidup sebagai parasit intrasel. C. trachomatis adalah infeksi bakteri menular seksual yang paling sering dijumpai di Amerika Serikat. Dalam bentuk infeksiosa, C. trichomatis merupakan sferoid kecil, tidak aktif secara metabolis dan mengandung DNA dan RNA serta disebut badan elementer (EB). Sferoidsferoid ini memperoleh akses ke dalam sel pejamu melalui endositosis dan setelah berada di dalam berubah menjadi oragnisme yang secara metabolis

aktif bersaing dengan sel pejamu memperebutkan nutrient. (Price, 2006). Fitur unik yang dimiliki oleh semua Chlamidia adalah siklus reproduktif yang komplek. Dua bentuk organisme Badan elementer ekstraseluler dan badan retikulasi intraseluler- berpartisipasi dalam siklus ini (Harrisons, 2005). 2. Epidemiologi Kaum muda yang berusia antara 15-19 tahun merupakan 40 % dari kasus infeksi klamidia yang dilaporkan. Permepuan beresiko dua kali lipat terjangkit klamidia setelah pajanan karena konsentrasi yang terinfeksi yang tertahan di vagina sehingga pemanjanan memanjang. dan usaha penyaringan (Price, 2006). 3. Pathogenesis Badan elementer pada Chlamidia berperan sebagai bentuk infesius dari orang ke orang lain. Badan elementer akan menempel pada target sel (biasanya sel epitel kolumner dan sel epitel transisional) dan nantinya akan masuk ke dalam fagosom sel. Setelah 8 jam sel dimasuki oleh Clamydia, badan elementer akan mengubah diri menjadi badan retikulasi yang berperan sebagai bentuk adapatasi di dalam sel dan bertugas untuk multiplikasi dan mempertahankan diri. Dengan proses binary fission akan menghasilkan jumlah yang banyak dan akan memenuhi sel pejamu. Setelah 24 jam badan retikulasi mengalami kondensasi dan membentuk badan elementer di dalam inklusi. Nantinya inklusi akan pecah dan melepas badan elementer yang selanjutnya akan menginfeksi sel dan jaringan di sekitarnya. Infeksi ini akan mengakibatkan munculnya inflamasi yang dapat mengarah kepada kerusakan traktus genitalia wanita bagian aatas. Salah satu antigen, chlamydial 60-kDa heat shock protein dapat menginduksi munculnya respon patologi imun (Harrisons, 2005). 4. Manifestasi Klinis Tanda utama infeksi klamidia pada perempuan adalah secret serviks mukopurulen dan ektopi, edema, dan rapuhnya serviks. Sedangkan pada Lebih tingginya angka lamidia pada permempuan disebabkan karena besarnya kerentanan

pria muncul uretritis tanpa sekret. Infeksi uretra padalaki-laki maupun perempuan dapat mengakibatkan dysuri. Proktitis mungkin timbul pada orang yang melakukan hubungan seks melalui anus. Namun 50% laki-laki dan 74% perempuan tidak menunjukan gejala-gejala terinfeksi klamidia. Empat puluh persen perempuan dengan infeksi klamidia yang tidak diobati akan mengakibatkan PID (Pelvic Inflamatory Disease). Selain itu gejala yang dapat muncul antara lain reiters syndrom yaitu kumpulan gejal berupa konjungtivitis, urethritis, artritis, dan luka pada mukosa. Pada laki-laki dapat pula muncul epididymitis dan prostatitis. (Price, 2006) Bayi yang lahir dari perempuan yang terinfeksi klamidia di endoserviksnya memliki kemungkinan 70% terinfeksi. Sekitar 30% bayi yang lahir dari perempuan yang terinfeksi mengalami konjungtivitis inklusi neonatus dan 15% mengalami pneumonia C. Trachomatis adalah penyebab tersering pneumonia pada bayi yang berusia kurang dari enam bulan (Price, 2006). 5. Penegakkan Diagnosis Gold standar penegakkan diagnosis pada klamidiasis adalah dengan biakan sel epitel yang diperoleh dari tempat-tempat yang dicurigai terinfeksi tidak saja dari sekresi karena C. Trachomatis adalah oarasit intrasel. Deteksi antigen dengan pewarnaan antibody immunofluoresensi langsung (DFA) EIA merupakan pemeriksaan yang hemat biaya dan paling sering dilakukan. Selain itu LCR (reaksi berantai ligase) dan PCR (reaksi berantai polimerase) juga meruapkan gold standar untuk mendiagnosis klamidia (Price, 2006). 6. Terapi Medikamentosa Sampai ditemukan azithromycin, infeksi klamidia belum dapat dieradikasi dengan single-dose atau short term antimicrobial regiments. Pada kasus tanpa komplikasi pada dewasa, pemberian doxycycline atau tetracycline selama 7 hari harus diberikan pada pasien dengan infeksi genitalia. 2 minggu untuk infeksi klamidia dengan komplikasi, dan 3 minggu dengan doxycycline (100 mg oral) dan erythromycin 500 mg untuk pasien dengan LGV (infeksi menular seksual yang disebabkan oleh C.

trachomatis jenis LI, L2, L3). Untuk pasien dengan urethritis yang disebabkan oleh C. trachomatis diberikan terapi tetracycline Hydroclhoride 500 mg dan doxycycline 100 mg selama 14 hari. Azythromycin 100 mg juga sangat efektif untuk mengeradikasi C. trachomatis. Selain itu jenis fluoroquinolon yang baru seperti ofloxacin 300 mg selama 7 hari juga efektif seperti doxycycline. Namun, tidak dapat digunakan untuk ibu hamil (Harrisons, 2005). H. Vaginosis bakterialis 1. 2. Etiologi Patogenesis Patogenesis masih belum jelas. G. vaginalis termasuk flora normal dalam vagina melekat pada dinding. Beberapa peneliti menyatakan terdapat hubungan yang erat antara kuman ini dengan bakteri anaerob pada pathogenesis penyakit vaginosis bakterialis (VB). 3. Manifestasi Klinis Pada wanita dengan VB, keluhan berupa adanya duh tubuh vagina ringan, melekat pada dinding vagina, dan berbau amis. Bau lebih menusuk setelah senggama da darah menstruasi berbau abnormal. Dapat timbul rasa gatal dan terbakar akibat iritasi pada vagina dan sekitarnya, serta kemerahan dn edema pada vulva. Terdapat 50% kasus bersifat asimptomatik. Pada pemeriksaan terlihat adanya duh tubuh vagina bertambah, warna abu-abu homogen, berbau dan jarang berbusa. Gejala peradangan umum tidak ada. Pada pria dapat terjadi prostatitis ringan sampai sedang, dengan atau tanpa uretritis. Gejalanya berupa piuria, hematuria, disuria, polakisuria dan nokturia. 4. Pemeriksaan Penunjang Dengan mikroskop, pada sediaan basah sekret vagina dengan larutan garam faal terlihat leukosit sedikit atau tidak ada, sel epitel banyak dan adanya kokobasil yang berkelompok. Terdapatnya clue cell (sel epitell Penyakit ini disebabkan oleh Gardnerella vaginalis.

vagina yang diliputi oleh kokobasil sehingga batas sel tidak jelas) adalah patognomonik. Pada pewarnaan Gram dapat dilihat batang-batang kecil Gram negative atau variable Gram yang tak dapat dihitung jumlahnya dan banyak epitel dengan kokobasil tanpa ditemukan laktobasil. Dapat dilakukan tes Sniff (tes amin), yaitu duh tubuh vagina berbau amis setelah ditambahkan 1 tetes larutan KOH 10 %. Dapat pula dilakukan pemeriksaan kromatografi dan biakan (Mansjoer, 2000). 5. berikut: 1. Cairan putih lengket, tidak bergumpal 2. pH vagina > 4,5 3. Bau amis setelah ditambahkan kalium hidroksida 10 % pada sekresi
4. Adanya clue cell ( epitel skuamosa vagina yang diliputi oleh

Diagnosis Diagnosis bakterialis ditegakkan berdasarkan tiga dari empat criteria

Gardnerella vaginalis) (Patrick, 2002) 6.

Penatalaksanaan 1. Secara topical, gunakan: Krim sulfonamide tripel sebagai acid cream base denagn pH 3.9 dipakai setiap hari selama 7 har. Namun, kesembuhan hanya sementara, yakni selama penggunaan pengobatan topical. Atau 76% 2. Secara sistemik, berikan:

Spositoria vaginal berisi tetrasiklin atau yodium povidon

Metronidazol 2-3 x 500mg tiap hari selama 7 hari, atau Tinidazol 2x 500mg selama 5 hari, atau Amoksisilin atau ampisilin dengan dosis 4x500 mg per oral

selama 5 hari. Pemberian ampisilin dan tetrasiklin merupakan predisposisi timbulnya kandidosis vaginal. (Mansjoer, 2000) I. Keputihan (Fluor Albus)

1.

Pengertian Keputihan (leukorea, fluor albus) merupakan gejala keluarnya

cairan dari vagina selain darah haid. Keputihan (fluor albus) ada yang fisiologik (normal) dan ada yang patologik (tidak normal). Keputihan tidak merupakan penyakit melainkan salah satu tanda dan gejala dari suatu penyakit organ reproduksi wanita (Mansjoer, 2001). 2. Etiologi Penyebab keputihan tergantung dari jenisnya yaitu penyebab dari keputihan yang fisiologik dan patologik. a. Keputihan fisiologik Penyebab keputihan fisiologik adalah faktor hormonal, seperti bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari disebabkan pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin. Kemudian dijumpai pada waktu menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen. Rangsangan birahi disebabkan oleh pengeluaran transudasi dari dingding vagina. Kelelahan fisik dan kejiwaan juga merupakan penyebab keputihan. (Sarwono, 1999). b. Keputihan Patologik Keputihan patologik disebabkan oleh karena kelainan pada organ reproduksi wanita dapat berupa Infeksi, Adanya benda asing, dan penyakit lain pada organ reproduksi. 1) Infeksi Infeksi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Salah satu gejalanya adalah keputihan. Infeksi yang sering terjadi pada organ kewanitaan yaitu vaginitis, candidiasis, trichomoniasis. a) Vaginitis Penyebabnya adalah pertumbuhan bakteri normal yang encer, berlebihan pada vagina. Dengan gejala cairan vagina

berwana kuning kehijauan, berbusa dan bebau busuk, vulva agak bengkak dan kemerahan, gatal, terasa tidak nyaman serta nyeri saat berhubungan seksual dan saat kencing. Vaginosis bakterialis merupakan sindrom klinik akibat pergantian Bacillus Duoderlin

yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti Bacteroides Spp, Mobiluncus Sp, Peptostreptococcus Sp, dan Gardnerella vaginalis bakterialis dapat dijumpai duh tubuh vagina yang banyak, Homogen dengan bau yang khas seperti bau ikan, terutama waktu berhubungan seksual. Bau tersebut disebabkan adanya amino yang menguap bila cairan vagina menjadi basa.Cairan seminal yang basa menimbulkan terlepasnya amino dari perlekatannya pada protein dan vitamin yang menguap menimbulkan bau yang khas. b) Candidiasis Penyebab berasal dari jamur kandida albican. Gejalanya adalah keputihan berwarna putih susu, begumpal seperti susu basi, disertai rasa gatal dan kemerahan pada kelamin dan disekitarnya. Infeksi jamur pada vagina paling sering disebabkan oleh Candida,spp, terutama Candida albicans (Brown and Chin, 2002). Gejala yang muncul adalah kemerahan pada vulva, bengkak, iritasi, dan rasa panas. Tanda klinis yang tampak adalah eritema, fissuring, sekret menggumpal seperti keju, lesi satelit dan edema (Brown and Chin, 2002) dikutip dari (Widiawaty, 2006). Usaha pencegahan terhadap timbulnya kandidiasis vagina meliputipenanggulangan faktor predisposisi dan penanggulangan sumber infeksi yang ada.Penanggulangan faktor predisposisi misalnya tidak menggunakan antibiotika atau steroid yang berlebihan, tidak menggunakan pakaian ketat, mengganti kontrasepsi dengan kontrasepsi lain yang sesuai, memperhatikan hygiene. Penanggulangan sumber infeksi yaitu dengan mencari dan mengatasi sumber infeksi yang ada, baik dalam tubuhnya sendiri atau diluarnya (Endang, 2003). c) Trichomoniasis Berasal dari parasit yang disebut Trichomonas vaginalis. Gejalanya keputihan berwarna kuning atau kehijauan, berbau dan

berbusa,kecoklatan seperti susu ovaltin, biasanya disertai dengan gejala gatal dibagian labia mayora, nyeri saat kencing dan terkadang sakit pinggang.Trichomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah. Pada wanita sering tidak menunjukan keluhan, bila ada biasanya berupa duh tubuh vagina yang banyak, berwarna kehijauan dan berbusa yang patognomonic (bersifat khas) untuk penyakit ini. Pada pemeriksaan dengan kolposkopi tampak gambaran Strawberry cervix yang dianggap khas untuk trichomoniasis. Salah satu fungsi vagina adalah untuk melakukan hubungan seksual. Terkadang mengalami pelecetan pada saat melakukan senggama. Vagina juga menampung air mani, dengan adanya pelecetan dan kontak mukosa(selapu lendir) vagina dengan air mani merupakan pintu masuk (Port dentre) mikro organisme penyebab infeksi PHS. 2) Adanya benda asing dan penyebab lain Infeksi ini timbul jika penyebab infeksi (bakteri atau organism lain) asuk melalui prosedur medis, saperti; haid, abortus yang disengaja, insersi IUD, saat melahirkan, infeksi pada saluran reproduksi bagian bawah yang terdorong sampai keserviks atau sampai pada saluran reproduksi bagian atas.

BAB II PEMBAHASAN
IMS (Infeksi Menular Seksual) disebut juga penyakit kelamin, merupakan salah satu penyakit yang mudah ditularkan melalui hubungan seksual, dengan ciri khas adanya penyebab dan kelainan yang terjadi terutama di daerah genital. IMS sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang. Insiden maupun prevalensi

yang sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan laporan-laporan yang dikumpulkan oleh WHO (World Health Organizations), setiap tahun di seluruh negara terdapat sekitar 250 juta penderita baru yang meliputi penyakit Gonore, Sifilis, Herpes Genetalis, dan jumlah tersebut menurut hasil analisis WHO cenderung meningkat dari waktu ke waktu (Daili, 2005 :6). Pada kasus skenario diatas, pasien seorang laki-laki berusia 35 tahun datang dengan keluhan utama nyeri, panas, perih sewaktu miksi disertai polakisuria dengan onset 3 hari. Pada pemeriksaan didapatkan adanya sekret urethra berwarna kuning kental dan pada orifisium urethrae eksternum nampak kemerahan. Berdasarkan pemeriksaan serta keluhan utama kemungkinan didapatkan adanya reaksi inflamasi pada tractus urinarius pasien. Disitu nampak adanya beberapa tanda khas inflamasi yaitu ditemukannya panas(kalor), kemerahan(rubor), nyeri(dolor). Hasil sekret yang ada pada urethra juga bisa dianalogikan dengan adanya kumpulan dari sel-sel radang, PMN yang kemungkinan pada waktu reaksi inflamasi tersebut menghasilkan dan memicu respon imun tubuh host terhadap agen-agen infeksi. Sedangkan dari hasil anamnesis didapatkan keterangan bahwa pasien seminggu sebelumnya mengaku telah melakukan hubungan seks dengan seorang PSK. Hal ini memperkuat kemungkinan terjadinya ISK (Infeksi Saluran Kemih) pada pasien. Dugaan ini diperkuat dengan manifestasi klinis pasien diatas (kemungkinan adanya proses inflamasi pada uretrhae pasien) serta dengan ditemukannya polakisuria. Polakisuria atau lebih dikenal dengan anyang-anyangan merupakan salah satu manifestasi klinis yang sering didapatkan pada penyakit ISK. Polakisuria terjadi bilamana ada proses peradangan pada mukosa vesica urinaria. Proses peradangan ini mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas rangsang miksi (Corwin, 2009). Sehingga vesica urinaria waktu normalnya mengirimkan rangsang miksi ke sistem saraf pusat sewaktu vesica urinaria tersebut berisi 300ml urin menjadi lebih sensitif. Sebagai contoh sewaktu vesica urinaria baru berisi 100ml (normalnya seorang individu belum terasa ingin miksi), vesica urinaria tersebut sudah mengirimkan rangsang miksi ke susunan saraf pusat, sehingga individu tersebut terasa ingin miksi tetapi urin yang dikeluarkan menjadi sedikit.

Selain itu, dugaan terjadinya ISK karena IMS (Infeksi Menular Seksual) diperkuat lagi dengan ditemukannya bercak di celana saat tidur. Bercak saat tidur ini sangat khas untuk beberapa penyakit menular seksual terutama GO. Diagnosis ini diperkuat lagi dengan adanya manifestasi klinis seperti yang telah disebutkan diatas. Didapatkan pula keterangan bahwa istri dari pasien juga mengalami keputihan sejak 2 hari lalu. Hal ini kemungkinan diakibatkan karena adanya penularan lewat hubungan seks antara pasien dengan istrinya sehingga istrinya juga tertular penyakit tersebut. Pasien juga mengaku bahwa sebelumnya dia telah meminum obat berupa Super Tetra. Penggunaan obat ini oleh pasien diakui bahwa gejalanya tidak berkurang. Hal ini mungkin disebabkan karena kuman ataupun bakteri yang sudah resisten terhadap obat tersebut. Obat super tetra merupakan obat yang didalamnya berisi antibiotik tetrasiklin. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik. Menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang peka dan merupakan obat pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh riketsia, klamidia, dan Mycoplasma pneumoniae(Brooks, 2004). Saat ini obat Super Tetra banyak beredar dimasyarakat dan bisa dibeli tanpa resep. Penggunaan obat ini secara bebas dimasyarakat membuat banyak bakteri yang menjadi resisten terhadap obat ini. Pengecatan gram serta pemeriksaan urin dilakukan oleh dokter untuk menegakkan diagnosis ISK ini. Jika memang benar telah diketahui hasilnya maka terapi farmakologis pun dilakukan secara pasti berdasar dari diagnosis yang dibuat.

BAB IV PENUTUPAN
A. SIMPULAN
1.

Penyakit menular seksual, atau PMS adalah berbagai infeksi yang Penyakit menular seksual antara lain, Syphilis, Gonorrhea, Herpes Genital, Chlamidiasis, Bacterial vaginosis,

dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.
2.

Candidiasis,

Thricomoniasis.

3.

Gejala

penyakit

menular

seksual,

antara

lain,

Keluar

Cairan/keputihan yang tidak normal dari vagina atau penis. Pada wanita/pria, rasa panas seperti terbakar atau sakit selama atau setelah kencing dan lainlain. 4. saja.
5.

Untuk memastikan diagnosis penyakit menular seksual perlu

dilakukan pemeriksaan laboratorium tidak dapat dipastikan melalui gejalanya Upaya pencegahan tertularnya penyakit menular seksual dengan

tidak berganti-ganti pasangan seksual serta melakukan pemeriksaan screening PMS. B. SARAN
1.

Untuk pencegahan penyakit menular seksual, ada beberapa hal yang

harus diperhatikan, yaitu segi kesehatan, epidemiologik, serta sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya.
2.

Dari segimedis, penanganan PMS sebaiknya mencakup diagnosis,

yang tepat, pengobatan yang efektif, pemberian konseling kepada pasien, serta penanganan pasangan seksualnya.

DAFTAR PUSTAKA Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, melnick, & adelbergs medical microbiology. 23rd ed. New York: Lange medical books; 2004 . p . 15-31, 184-186. Clutterbuck D, Genital Herpes. In Specialist training in sexually transmitted infection snd HIV. Edinburg, London, New York. 2004:Elsevien Mosby, p 139-151.

Corey L, Wald A, Genital herpes. In Sexually Transmitted Disease, Holmes K.K, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM, Stamn WE, Piot P, etc (ed) Third edition 2000. New York:McGraw-Hill, p 285-305. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC Daili Sjaiful Fahmi. 2009. Gonore dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Daili Sjaiful Fahmi. 2009. Trikomoniasis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. E.C. Natahusada; Adhi Djuanda 2009. Trikomoniasis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Handoko, Ronny P. 2009. Herpes Simpleks. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta:FKUI. Harahap M (2000). Ilmu penyakit kulit. Jakarta: Hipokrates. Harrisons. 2005. Principles of Internal Medicine Volume 1. New York: McGrawHill Mansjoer A, Suprohaita, Wardan WI, Setiowulan W (2000). Kapita selekta kedokteran. jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Martodihardjo S. Penanganan herpes Zoster dan herpes progenitalis. Dalam : Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin Airlangga periodical of dermatovenereology. vol 13 No.3 Des 2001. Surabaya:Airlangga University press 2001. p 161-163. Nabhan A (2006). Vulvovaginal candidiasis. http://www.asjog.org/journal/ v3issue1/73%20candida%20org%20profile.pdf Diakses Mei 2012.

Pappas PG, dkk (2009). Clinical practice guidelines for the management of candidiasis: 2009 update by the infectious diseases society of America. CID 2009 (48): 503-535. Prince NA (2006). Infeksi saluran genital. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC. Siregar RS (2005). Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC. Saenang RH, Djawad K, Amin S. Herpes Genetalis. Dalam: Amiruddin MD, editor. Penyakit Menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedoktera Univesitas Hasanuddin; 2004. hal.179-196. Syahputra E, Harun E.S. Herpes Genetalis. Dalam : Berkala ilmu penyakit kulit dan kelamin Airlangga periodical of Dermeto-Venereology, vol.13 April 2001 No.1.Surabaya: Lab/SMF Penyakit Kulit & Kelamin FK Airlangga RSUD Dr.Soetomono;2001, p 45-53. Sutardi H. Herpes Simplex Manifestasi Klinis dan Pengobatan. Dalam: Ebers papyrus Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Univ .Tarumanagara, Vol 4 No.1 1998. Jakarta: Fakultas Kedokteran Tarumanagara; 1998.p.31-41. Siregar RS, Herpes simpleks dlm Atlas berwarna saripati penyakit kulit cet III Tahun 1996. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. P 92-93.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19182/4/Chapter %20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai