Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Penyakit tuberkulosis merupakan suatu masalah utama kesehatan masyarakat

di Indonesia.1 Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) tahun


2001,tuberkulosis adalah salah satu dari lima penyebab utama kematian yang sebagian
besar berasal dari kelompok usia produktif dan sosial ekonomi rendah.2
Keterlibatan rongga pleura pada penderita tuberkulosis merupakan salah satu
manifestasi ekstraparu yang paling sering setelah limphadenitis tuberkulosis. 3 Dimana
keadaan ini dapat terjadi hampir 29 % kasus.4 Akan tetapi frekwensi tuberkulosis sebagai
penyebab efusi pleura tergantung pada prevalensi tuberkulosis pada populasi yang
diteliti.5 Dimana pada penelitian di Rwanda terhadap 127 penderita efusi pleura
ditemukan 110 ( 86 % ) dengan efusi pleura tuberkulosis. Penelitian di Spanyol terhadap
642 penderita efusi pleura ditemukan 25 % dengan

efusi pleura tuberkulosis. Di

Tanzania ditemukan 112 orang efusi pleura tuberkulosis dari 118 penderita efusi pleura.
Pada 253 imigran muda di Saudi Arabia ditemukan 35 % dengan efusi pleura
tuberkulosis.5
Di negara maju seperti Amerika Serikat efusi pleura karena tuberkulosis bukan
merupakan suatu keadaan yang sering. Dimana insiden efusi pleura tuberkulosis setahun
dilaporkan 1000 penderita.6 Pada salah satu penelitian di Praque terhadap 171 penderita
dewasa efusi pleura ditemukan hanya 11 penderita ( 6 % ) dengan efusi pleura
tuberkulosis.5

Indonesia sebagai salah satu dari 22 negara dengan insiden tuberkulosis yang
tinggi. 7-Dimana

tuberkulosis

merupakan

penyebab

utama

pada

efusi pleura

disusul oleh keganasan..8 Sehingga untuk menurunkan insiden tersebut perlu dilakukan
berbagai upaya. Yang salah satu diantaranya adalah perbaikan di dalam deteksi dengan
melakukan suatu tehnik pemeriksaan diagnosis yang cepat dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik. 9
Akan tetapi diagnosis efusi pleura tuberkulosis sukar ditegakkan, apalagi
sebahagian besar kasus efusi pleura ini tidak disertai kelainan pada paru yang
mengarahkan ke diagnosis.

10

Dimana sekitar 30 % tidak dijumpai kelainan radiologis

pada parenkim paru .11 Pada analisa cairan pleura secara kimiawi efusi pleura
tuberkulosis hampir selalu exudat.12 Dimana kadar protein dijumpai >3 gm pada 90%
kasus ,ratio protein cairan pleura dan serum >0,5 , ratio LDH cairan pl;eura dan serum
>0,6 dan glukosa mungkin <60 mg/dl. Akan tetapi keadaan ini juga dapat terjadi akibat
proses malignansi dan efusi parapneumoni .5 Disamping itu ,kadar protein yang rendah
mungkin dijumpai pada penderita dengan HIV . 3 Dimana efusi pleura tuberkulosis
dengan HIV dapat mencapai 37 % kasus .

12

Sehingga diperlukan suatu metode

pemeriksaan yang lain di dalam penegakan diagnosis efusi pleura tuberkulosis.


Disamping itu juga , metode yang konvensional untuk penegakan diagnosis efusi pleura
tuberkulosis ternyata belum efisien.4 Apusan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen terhadap
cairan pleura walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitasnya rendah karena
memerlukan konsentrasi basil sampai 10.000 / ml. Pada kultur hasilnya lebih sensitif (23
67 %) akan tetapi memerlukan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 6 minggu untuk
menumbuhkan Mycobacterium tuberculosis.4

Sedangkan biopsi pleura sensitivitasnya lebih baik lagi yaitu sekitar 71 - 80 %.


Akan tetapi prosedur ini memerlukan keahlian yang lebih baik dan merupakan suatu
tindakan invasif.4
PCR ( Polymerase Chain Reaction ) merupakan salah satu pemeriksaan untuk
mendeteksi DNA mycobacterium tuberculosis. Dimana PCR merupakan suatu
pemeriksaan yang spesifik, sensitif dan cepat. 13 Pada efusi pleura tuberkulosis dimana
efusi ini mungkin terjadi oleh suatu reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulo protein
dan disamping itu, jumlah basil di cairan pleura mungkin secara ekstrim rendah maka
PCR adalah merupakan salah satu metode pilihan untuk mendeteksi mycobacterium
tuberculosis dan disamping itu juga waktu yang diperlukan lebih sedikit yaitu sekitar 1
2 hari.

3,11,13,14

PCR

cairan pleura mempunyai sensitivitas

sekitar 20 80 % dan

spesifisitasnya sekitar 78 100 % . 12,15


Pada penelitian JM Querol dkk terhadap 21 penderita efusi pleura tuberkulosis,
PCR

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 81 % -100 %

dibandingkan dengan sensitivitas apusan BTA ,kultur BTA dan biopsi yaitu sekitar 14
%,52 % dan 67 %. 16 Penelitian Babu S dkk terhadap 20 sampel efusi pleura tuberkulosis,
menunjukkan PCR positif pada 14 sampel dan sensitivitasnya 70 % serta spesifisitasnya
adalah 100 %.14 Penelitian De Wit dkk menyatakan bahwa PCR lebih sensitif daripada
kultur dimana sensitivitas PCR adalah 81 % sedangkan kultur cairan pleura 52,8 % dan
kultur biopsi pleura 69,8 %.17
Dari uraian di atas diagnosis efusi pleura tuberkulosis sukar ditegakkan. .Dimana
metode yang konvensional ( apusan BTA , kultur BTA cairan pleura , biopsi pleura )
belum efisien . Sedangkan penemuan kasus dan terapi yang efektif merupakan dua kunci

utama di dalam mengontrol penyakit tersebut . Sehingga diperlukan suatu metode


pemeriksaan yang cepat ,sensitif dan spesifik di dalam penemuan kasus tersebut . .PCR
merupakan suatu metode pemeriksaan yang cepat , sensitif dan spesifik . Oleh karena
itu ,penulis ingin mengadakan suatu penelitian tentang peranan PCR di dalam penegakan
diagnosis efusi pleura yang disangka oleh tuberkulosis .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

EPIDEMIOLOGI
Penyakit tuberkulosis merupakan suatu masalah utama kesehatan masyarakat di

Indonesia.1 Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT ) tahun 2001,


tuberkulosis adalah salah satu dari lima penyebab utama kematian yang sebahagian besar
berasal dari kelompok usia produktif dan sosial ekonomi rendah. 2 Disamping itu,
Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan Cina dari 22 negara dengan insiden
tuberkulosis yang tinggi di seluruh dunia.7
Keterlibatan rongga pleura pada penderita tuberkulosis adalah salah satu dari
manifestasi ekstraparu yang paling sering setelah limphadenitis tuberkulosis. 3 Dimana
frekwensi tuberkulosis sebagai penyebab efusi pleura tergantung kepada prevalensi
tuberkulosis pada populasi yang diteliti. 5 Pada satu penelitian, frekwensi efusi pleura pada
penderita tuberkulosis adalah sekitar 31%.12 Penelitian di Rwanda ditemukan 110 (86%)
penderita efusi pleura tuberkulosis dari 127 penderita efusi pleura. 5 Penelitian di Spanyol
terhadap 642 penderita efusi pleura ditemukan 25% penderita efusi pleura tuberkulosis.

Penelitian di Saudi Arabia terhadap 253 penderita imigran muda yang menderita efusi
pleura ditemukan 35% disebabkan oleh tuberkulosis.5

Sedangkan efusi pleura pada penderita HIV dengan tuberkulosis insidennya bisa
lebih tinggi.18 Penelitian di Burundi dan Tanzania ditemukan 60% penderita efusi pleura
tuberkulosis dengan HIV positif.19 Penelitian di Carolina Selatan ditemukan 11%
penderita efusi pleura tuberkulosis dengan HIV sedangkan efusi pleura tuberkulosis tanpa
HIV hanya 6% .5 Sedangkan satu penelitian dari Afrika Selatan ditemukan 38% penderita
efusi pleura tuberkulosis dengan HIV positif sedangkan pada penderita efusi pleura
tuberkulosis dengan HIV negatifnya hanya 20%.20
Akan tetapi di negara maju seperti Amerika Serikat insiden efusi pleura
tuberkulosis tidak begitu umum.5 Dimana insiden tahunan efusi pleura tuberkulosis
sekitar 1000 penderita .Kira-kira 1 dari setiap 30 penderita tuberkulosis menderita efusi
pleura tuberkulosis.6 Penelitian dari Montreal terhadap 102 penderita efusi pleura
ditemukan 3 penderita yang disebabkan oleh tuberkulosis .

Penelitian lain di Prague

terhadap 171 penderita efusi pleura ditemukan hanya 11 (6%) penderita efusi pleura
tuberkulosis . 5
Pada daerah dengan insiden tuberkulosis adalah umum efusi pleura tuberkulosis
sering terjadi pada orang muda .5 Dimana pada satu penelitian di Spanyol di jumpai 69%
dari 111 penderita efusi pleura tuberkulosis berusia dibawah 40 tahun . 5 Penelitian lain
oleh Luis Valdes dkk yang dilakukan dari Januari 1989 sampai Juni 1997 terhadap 254
penderita efusi pleura tuberkulosis di Spanyol di jumpai 62,2% penderitanya berusia di
bawah 35tahun.21 Sedangkan penelitian di Rwanda di jumpai penderita efusi pleura
tuberkulosis rata-rata berusia 34 tahun.5
Penyelidik yang lain memperkirakan hampir 80% penderita efusi pleura
tuberkulosis concomitant dengan tuberkulosis paru.5

Indonesia merupakan salah satu dari 22 negara dengan insiden tuberkulosis


tinggi .7 Dimana penyebab utama efusi pleuranya adalah tuberkulosis paru disusul oleh
keganasan dan umur terbanyak untuk efusi pleura karena tuberkulosis adalah 21-30 tahun
(rata-rata 30,26%) . 8
2.2

PATOGENESIS
Efusi pleura merupakan suatu keadaan dimana terjadi proses pengumpulan cairan

di dalam rongga pleura.8 Dimana keterlibatan pleura pada penderita tuberkulosis dapat
dipengaruhi melalui 3 cara yang berbeda :
1.

Efusi terjadi dalam beberapa bulan setelah infeksi primer pada anak-anak dan
orang dewasa muda.22 Dimana biasanya terjadi 3 sampai 6 bulan setelah infeksi
primer.23 Hipotesis saat ini mengatakan bahwa terjadinya efusi ini disebabkan oleh
karena pecahnya fokus subpleura di paru yang masuk ke dalam rongga pleura
yang mengakibatkan antigen mikobakterium masuk ke rongga pleura dan terjadi
interaksi dengan T limfosit yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitivitas
lambat .Dimana T limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein dimana akan
menghasilkan suatu akumulasi cairan pleura

2,20

Dimana cairan yang dihasilkan

tergantung pada status gizi anak dan tingkat sensitivitasnya terhadap


tuberkulosis.24 Bila status gizi anak

baik dengan sensitivitasnya tinggi akan

menghasilkan banyak cairan sehingga timbul efusi yang luas . Bila sensitivitas
rendah pada anak yang masih sangat kecil atau kurang gizi, reaksinya akan jauh
berkurang .24 Cairan yang dihasilkan pada umumnya exudat tapi bisa
serousanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil tuberkel.12 Disamping

itu, sekitar 30% penderita di jumpai tanpa kelainan radiologis yang


memperlihatkan keterlibatan daripada parenkim paru.12 Secara umum efusi pleura
tereabsorpsi secara spontan pada 65%-90% penderita .12,25
2.

Efusi yang terjadi diakibatkan penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut .
12,22

Efusi pleura tuberkulosis ini terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi
jika penderita mengalami imunitas yang rendah.12
3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas dimana ke dalam rongga pleura akan
menyebabkan empiema atau piopneumotoraks .12,22,23
2.3

MANIFESTASI KLINIS
Walaupun tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang kronis akan tetapi efusi

pleura tuberkulosis sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut .20
Dimana sepertiga penderita durasinya kurang dari satu minggu dan dua pertiga
ditemukan dalam waktu satu bulan .25 Pada satu penelitian terhadap 71 penderita
ditemukan 31% mempunyai gejala kurang dari satu minggu durasinya dan 62% dengan
gejala kurang dari satu bulan .20 Pada penelitian lain ditemukan 63% penderita sebagai
suatu penyakit akut yang menyerupai pneumoni yang akut.12
Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (71-94%), demam (71-100%),
nyeri dada (78-82%) dan sesak nafas.12 Umur penderita efusi pleura tuberkulosis lebih
muda daripada penderita tuberkulosis paru.20 Pada satu penelitian dijumpai penderita
efusi pleura tuberkulosis rata-rata berusia 28 tahun, sedangkan penderita tuberkulosis
paru rata-rata berusia 54 tahun .20 Di Amerika Serikat efusi pleura tuberkulosis lebih
sering pada orang tua.20 Penelitian yang dilakukan oleh Berger dan Mejia terhadap 49

penderita efusi pelura tuberkulosis ditemukan 15% penderita berusia diatas 70 tahun dan
40% berusia diatas 35 tahun .20 Penelitian oleh Epstein dkk pada 1987 di laporkan bahwa
26 penderita rata-rata berusia diatas 60 tahun. Hal ini disebabkan karena efusi pleura
terjadi akibat proses reaktivasi sehingga penderitanya cenderung lebih tua .20
Efusi pleura tuberkulosis hampir selalu unilateral dimana efusi biasanya sedikit
sampai sedang dan jarang masif .5,20,22,25 Pada penelitian yang dilakukan oleh Luis Valdes
dkk terhadap 254 penderita efusi pleura tuberkulosis ditemukan efusi di kanan 55,9%
penderita , efusi di kiri 42,5% penderita dan bilateral efusi 1,6% penderita serta 81,5%
penderita mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemithoraks.21
2.4

DIAGNOSIS
Diagnosis daripada efusi pleura tuberkulosis biasanya ditegakkan melalui analisa

klinis dan radiologis , secara biokimia , mikrobiologi ,pemeriksaan sitologi daripada


cairan pleura dan biopsi spesimen pleura .15
Dimana kriteria efusi pleura tuberkulosis menurut Nagesh adalah bila memenuhi
salah satu kriteria di bawah ini dan disertai cairan pleura :14
a. Biopsi jarum halus kelenjar getah bening menunjukkan gambaran peradangan
granulomatosis.
b. Gambaran histopatologis biopsi pleura menunjukkan gambaran peradangan
granulomatosis
c. Pemeriksaan sputum BTA (mikroskopis atau biakan) positif, gambaran radiologis
sesuai dengan TB Paru dan perbaikan respons klinis dengan pemberian OAT.
d. Pemeriksaan bilasan bronkoalveolar ( broncholaveolar lavage, BAL ) BTA positif ,
gambaran radiologis sesuai dengan gambaran radiologis TB paru dan perbaikan
respon klinik dengan pemberian OAT.
8

e. Cairan pleura BTA positif ( langsung atau biakan) dan perbaikan respons klinis
dengan pemberian OAT.
f. Berdasarkan gambaran klinis, gambaran radiologis sesuai dengan gambaran
radiologis TB paru dan perbaikan respons klinis dengan pemberian OAT.
Akan tetapi diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium secara konvensional
yaitu secara apusan dan kultur masih sulit untuk ditegakkan karena sensitivitasnya masih
rendah, dimana pertumbuhan kuman di cairan pleura adalah sedikit .4 Sehingga
diperlukan suatu pemeriksaan yang lebih murah, cepat, lebih sensitif dan spesifik.
2.4.1. ANALISIS CAIRAN PLEURA
Analisis cairan pleura digunakan untuk menilai kemungkinan penderita suatu efusi
pleura tuberkulosis.6 Dimana cairan pleuranya hampir selalu exudat.12,20 Pada penelitian
Luis Valest dkk ditemukan 98,8 % cairan pleuranya bersifat exudat . 21 Disamping itu juga
,kadar protein cairan pleura pada penderita efusi pleura tuberkulosis sering di atas 5,0
g/dl .19,20 Sehingga kemungkinan efusi pleura tuberkulosis sebaiknya dipertimbangkan
pada penderita efusi pleura exudat, terutama pada efusi pleura exudat yang tidak
terdiagnosis.6 Akan tetapi ada dua penyebab utama efusi pleura exudat yaitu oleh karena
proses infeksi (pneumoni dan tuberkulosis ) dan keganasan. 26 Dimana pada analisa cairan
pleura secara kimiawi memberikan hasil yang sama.

Sehingga diperlukan suatu uji

diagnosis lain di dalam penegakan efusi pleura tuberkulosis.


Pada umumnya penderita efusi pleura tuberkulosis gambaran differensial leukosit
cairan pleura adalah lebih dari 50% limfosit.20 Akan tetapi pada penderita yang gejalanya
kurang dari dua minggu differensial leukosit lebih dominan polymorphonuclear leukosit

dan apabila dilakukan torakosintesis ulang kemudian differensial leukosit akan


menunjukkan limfosit yang dominan.20
Pada penderita efusi pleura tuberkulosis jarang dijumpai eosinofil diatas 10 % dan
sel mesothelialnya juga jarang diatas 5 % . 5,18,20 Kadar glukosa pada cairan pleura
biasanya diatas 60 mg / dl tapi bisa dibawah 60 mg /dl dan jarang dibawah 20 mg /
dl.5,12,18 PH cairan pleuranya biasanya 7,3 akan tetapi bisa dibawah 7. 12 LDH nya lebih
dari 200 u / dl. 12 Ratio LDH cairan pleura dan serum diatas 0,6 . 5 (tabel 1 )

10

Tabel 1 Analisis Cairan Pleura


MALIGNANCY
FUNGAL

TUBERCULOUSIS

NONTUBERCULOUS

PARAPNEUMONIC
INFECTION
Clinical
Older patient;
Acute onset or
signs and symptoms of
Exposure in endemic
poor health
indolent with fever respiratory infection
area
prior to effu
cough and chest pain
sion;known
primary
malignancy
Gross AppeaSerous often
Serousoccasionally
Serous pus
Serous occasionally
rance
sanguineous
sanguineous
sanguineous
Microscopic
Cytology posit- Ssmear rarely positive May or may not be
may or may not be
Examination
ive,40-87%
for organisms
+ for organisms
+
for organisms
higher,with
multiple samples, cell block
+smears
Cell count+
40% > 100,000
In majority small
polymorphonuclear
monuclear orPMN cells
Differential
RBCmm 3;WBC
lymphocytes prepredominant;10,000
predominant
1,000 to10,000 dominant. Poly/mm3and left shift
usually
morphonuclear mononuclears
leukocytes may predomi
predominant nate initially.Rarely
>5% mesothelial
cells
Culture
0
Ffluid positive in
may or may not
may or may not be
15 %
be positive
positive
Protein
90% >3 gm;
90% >3 gm;
3>gm;pleural fluid/
pleural fluid/
pleural fluid/
serum protein ratio
serum protein ratio serum protein ratio >0.5
> 0.5
> 0.5
Latic Acid
Pleural fluid//
Pleural fluid/serum

3>gm; pleura fluid/


serum protein ratio
> 0.5
Pleural fluid/serum

11

Pleural fluid /serum


Dehydrogenase serum LDH
ratio >0.6
(LDH)
ratio >0.6
Latic Acid
Pleural fluid//
Pleural fluid /serum
Dehydrogenase serum LDH
ratio >0.6
(LDH)
ratio >0.6
Glucose
> 60 mg/dl

LDH ratio>0.6

LDHratio >0.6

Pleural fluid/serum
LDH ratio>0.6

May be <60mg/dl:

Pleural fluid/serum

LDHratio >0.6

may be< 60mg/dl

lower levels asso


ciated with poor
progonosis
Tabel 1. Lanjutan

LDH

LDH

may be <60/dl;

lower level suggest


complicated effusion
(empyema)

Latic Acid
Pleural fluid//
Pleural fluid/serum
Pleural fluid/serum
Pleural fluid /serum
Dehydrogenase serum LDH
LDH ratio>0.6
LDHratio >0.6
LDH
ratio >0.6
(LDH)
ratio >0.6
Glucose
May be <60mg/dl:
may be< 60mg/dl
may be <60/dl;
> 60 mg/dl
lower levels asso
lower level suggest
ciated with poor
complicated effusion
progonosis
(empyema)
PH
?

15% have pH
<7 20; low pH
associated with
poor prognosis

may be less than


<7.20

may be < 7.20;

lower pH suggests
complicated effusion
(empyema

dikutip dari 5
2.4.2.ADENOSINE DEAMISASE ( ADA )
Pemeriksaan ADA pada cairan pleura dapat digunakan dalam penegakan diagnosis
efusi pleura tuberkulosis.20 Dimana pemeriksaan ADA dengan nilai di atas 70 u / dl
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu berkisar 98 % dan 95 %. 25

12

Disamping itu , pemeriksaan ADA mudah, cepat dan relatif murah. 27 Di Indonesia saat ini
belum ada untuk pemeriksaan ADA . ADA pertama sekali ditemukan tahun 1970 sebagai
penanda kanker paru dan pada tahun 1978 Piras dkk menemukan ADA sebagai penanda
efusi pleura tuberkulosis.27
ADA merupakan enzim yang mengkatalis perubahan adenosine menjadi inosine
dan deoksiadenosine menjadi deoksinosine . Ada beberapa isomer ADA dimana yang
menonjol adalah ADA 1 dan ADA 2. Dimana ADA 1 ditemukan pada semua sel dan
ADA 2 mencerminkan aktivitas dari monosit atau makrofag. Penderita efusi pleura
tuberkulosis lebih dominan ADA 2 .27
Penggunaan ADA di dalam diagnosis efusi pleura tuberkulosis tergantung pada
prevalensi tuberkulosis.12,27 Pada populasi dengan prevalensi efusi pleura tuberkulosis
tinggi, sensitivitas dan spesifisitasnya berkisar 95 dan 90 %. 12 Sebaliknya pada populasi
dengan prevalensi yang rendah spesifisitas ADA dapat sangat rendah. 12 Sehingga pada
daerah dengan prevalensi rendah kemungkinan tinggi nilai positif palsu yang mana dapat
menimbulkan overtreatment dan keterlambatan diagnosis penyakit lain seperti kanker. 27
2.4.3 . INTERFERON
interferon merupakan suatu regulator imun yang penting dimana dapat
berfungsi sebagai antivirus dan sitotoksik. 28 Dimana interferon diproduksi oleh T
limfosit bila dirangsang terhadap stimulasi antigen spesifik atau antigen non spesifik dan
dia mempunyai kemampuan untuk memodifikasi terhadap rangsangan dari sel lain
terhadap sisitem imun.28 Oleh karena itu interferon yang dijumpai pada cairan pleura
mungkin merupakan hasil dari stimulasi T limfosit oleh antigen tuberkulosis.

28

Untuk

efusi pleura tuberkulosis. interferon mempunyai sensitivitas 85,7 % dan spesifisitas

13

97,1 % .12 Sedangkan pada penelitian Keisuke dkk terhadap 4 marker biologik untuk efusi
pleura tuberkulosis dimana dari hasil penelitian mereka berdasarkan analisis ROC
dikatakan bahwa interferon lebih sensitif dan spesifik untuk diagnosis efusi pleura
tuberkulosis dan interferon dapat digunakan sebagai skrining test yang penting untuk
diagnosis efusi pleura tuberkulosis.28 Akan tetapi pemeriksaan interferon lebih mahal
dari pada pemeriksaan ADA.12 Diagnosis efusi pleura tuberkulosis dapat ditegakkan jika
interferon cairan pleura melebihi 200 pg / ml dan gambaran klinis sesuai dengan efusi
pleura tuberkulosis.20
2.4.4. APUSAN DAN KULTUR CAIRAN PLEURA
Diagnosis pasti dari efusi pleura tuberkulosis dengan ditemukan basil tuberkulosis
pada sputum , cairan pleura dan biopsi pleura. 20 Pemeriksaan apusan cairan pleura secara
Ziehl Neelsen walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitasnya rendah. 14
Dimana pemeriksaan apusan secara Ziehl Neelsen ini memerlukan konsentrasi basil
10.000 / ml dan pada cairan pleura pertumbuhan basil tuberkulosis biasanya sejumlah
kecil.4 Sedangkan pada kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu 11 sampai 50 %.4 Dimana
pada kultur diperlukan 10 sampai 100 basil tuberkulosis. Akan tetapi kultur memerlukan
waktu yang lebih lama yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan Mycobacterium
tuberculosis.4
2.4.5. BIOPSI PLEURA
Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan suatu
pengalaman dan keahlian yang baik karena pada banyak kasus pemeriksaan
histopatologis dari biopsi spesimen pleura sering negatif dan tidak spesifik 4,29 Akan tetapi
, diagnosis histopatologis yang di dapat dari closed pleural biopsy sekitar 60-80 %.

18

14

Sementara pemeriksaan yang dilakukan oleh A.H. Diacom dkk sensitivitas histologi ,
kultur dan kombinasi histologi dengan kultur secara closed needle biopsy 66, 48 ,79 %
dan pemeriksaan secara torakoskopi sensitivitasnya 100 ,76, 100 % dan spesifisitasnya
100 %. 29
2.4.6 POLYMERASE CHAIN REACTION ( PCR)
Dewasa ini telah dikembangkan beberapa metode untuk amplifikasi asam nukleat in
vitro. Dimana tujuan utama dari teknik ini adalah untuk memperbaiki sensitivitas uji yang
berdasarkan pada asam nukleat dan untuk menyederhanakan prosedur kerjanya melalui
automatisasi dan bentuk deteksi non isotopik.13 Polymerase Chain Reaction merupakan
salah satu tehnik amplifikasi asam nukleat in vitro .15 Dimana PCR merupakan salah satu
tehnik pemeriksaan yang digunakan dalam penegakan diagnosis efusi pleura tuberkulosis
karena metode yang konvesional masih rendah sensitifitasnya. Sensitivitas PCR pada
efusi pleura tuberkulosis berkisar 20 81 % dan spesifisitasnya berkisar 78 100 %.12
Penelitian di Spanyol PCR mempunyai sensitivitas 81% dan spesifisitas 98%.

12

Penelitian oleh De Wit terhadap 53 penderita efusi pleura tuberkulosis, PCR mempunyai
sensitivitas 81 % dan spesifisitasnya 78 %.17 Penelitian Babus dkk dari India terhadap 20
sampel efusi pleura tuberkulosis, pada pemeriksaan PCR dijumpai sensitivitasnya 70 %
dan spesifisitasnya 100 %.14 Penelitian Querol JM dari Spanyol terhadap 21 penderita
efusi pleura tuberkulosis sensitivitasnya PCR 81 % spesifisitasnya 100 %. 16 Penelitian
Nadia A dkk terhadap 26 penderita efusi pleura tuberkulosis PCR memberikan
sensitivitasnya 86,7 %.30 Penelitian De Lassence terhadap 14 penderita efusi pleura
tuberkulosis dijumpai sensitivitas PCR 81% dan spesifisitasnya 100%. 31 Penelitian N
Takagi dkk terhadap 19 penderita efusi pleura tuberkulosis di jumpai sensitivitas PCR 89

15

% dan spesifisitasnya 100 %.32 Sedangkan penelitian Danielle dkk ditemukan sensitivitas
PCR rendah yaitu 31,3% dan spesifisitasnya 96,6 %. 15 Begitu pula penelitian yang
dilakukan oleh Lima dkk terhadap 16 penderita efusi pleura tuberkulosis ditemukan
sensitivitas PCR 31,3 %.33 Penelitian yang dilakukan Bambang dkk terhadap 62 spesimen
yang diduga efusi pleura tuberkulosis dijumpai sensitivitas PCR 53,19 % dan
spesifisitasnya 93,33 %.34
2.5

PRINSIP PCR
Prinsip PCR adalah penggunaan polimerase termostabil (Taq polymerase) selama

beberapa siklus.35Dimana ada 3 langkah utama yang dilakukan pada setiap siklus tersebut
13,35,36

Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut : ( gambar 1 )


A. Denaturasi
Dengan terjadinya denaturasi yang dilakukan pada temperatur 94C selama
30-60 detik dari untaian ganda DNA ( double stranded DNA) sehingga
sequence target akan muncul.
B. Annealing
Pendinginan yang dilakukan pada temperatur 45-60C selama 60-120 detik
pada setiap siklus memungkinkan primer untuk melekat pada target.
C. Extension
Sintesis DNA komplementer baru oleh enzim polimerase dilakukan pada
temperatur 72C selama 60-120 detik sehingga terbentuk kembali DNA rantai
ganda .
Dimana setiap siklus tersebut memperbanyak dua kali jumlah DNA dan
siklus tersebut diulang 20-35 kali .( gambar 2 ) Sehingga pada akhir PCR akan

16

diperoleh amplifikasi sebanyak 106 109 kali dari jumlah DNA target awal.
Kemudian produk amplifikasi tersebut dibaca pada gel elektroferesis .13,35,36
Reaksi amplifikasi ini demikian sensitif sehingga kurang dari 10 molekul DNA
target dapat memberi sinyal positif. Untuk mencegah kontaminasi aerosol dari hasil
amplifikasi spesimen lain yang dapat menyebabkan hasil positif palsu maka di dalam
disertakan enzim Uracil N-Glycosylate (UNG) yang mengenali dan mengkatalisa
destruksi DNA yang mengandung urasil tidak terdapat dalam DNA kuman tetapi ada
dalam amplikon karena reagen PCR menggunakan urasil. Amplikon yang mugkin
terbawa akan dihancurkan terlebih dahulu oleh UNG sehingga tidak ikut proses
amplifikasi, dengan demikian mengurangi salah satu kemungkinan hasil positif palsu.
Adanya kontrol negatif pada pemeriksaan mengurangi kemungkinan kontaminasi, maka
semua peralatan dan perlengkapan laboratorium harus dibersihkan secara teratur dan
menggunakan perlengkapan habis pakai. Pada hasil biakan negatif, PCR dapat
memberikan hasil positif. Hal ini kemungkinan karena kuman specimen terlalu sedikit
untuk dapat tumbuh dalam biakan atau respon imun penderita yang menyebabkan kuman
tak dapat tumbuh. Sedangkan hasil negatif palsu dapat diakibatkan karena specimen tidak
mengandung DNA kuman M. tuberkulosis. walaupun berasal dari penderita TB atau
kemungkinan

dapat

disebabkan

karena

kesalahan

teknis.

Untuk

menghindari

kemungkinan ini, maka pada setiap pemeriksaan disertakan kontrol positif yang
mengandung DNA kuman M. tuberkulosis. Upaya lain adalah menghilangkan inhibitor
yang berpotensi dapat menurunkan sensitivitas PCR.13,35
Pemeriksaan PCR telah dilakukan di beberapa laboratorium dengan target IS
6110.35 Dimana waktu yang diperlukan antara 24-36 jam .35 Sensitivitas PCR di dalam

17

penegakan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sekitar 20-81%. PCR positif 100% pada
kultur positif efusi pleura tuberkulosis dan sekitar

30-60% PCR positif pada kultur

negatif cairan pleura . 19Pada sampel apusan BTA sputum positif dijumpai sensitivitas
PCR berkisar 73,6 100 %. Sedangkan sampel apusan BTA sputum negatif dijumpai
sensitivitas PCR 70 % dan spesitifitasnya 98,6 %.

37

Selain itu pada apusan BTA positif

dengan pemeriksaan PCR dapat dijumpai hasil yang negatif. Yang mana hal ini dapat
terjadi karena adanya infeksi M. atipikal dan inhibitor dalam proses amplifikasi 38

Target-DNA

Primers

Taq polymerase

Nuleotides

1. DNA
denaturation

2. Primer annealing
1

3 .Extension (end)

3. Extension (beginning)

18

Gambar 1. Mekanisme PCR .36

Gambar 2. Amplifikasi PCR .36

DAFTAR PUSTAKA.
1. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis . Departemen Kesehatan Republik
Indonesia . Jakarta ; 2000 . 2
2. Dutha A,, Manuhutu EJ, Soewoto H, Aditama TY. Imunopatogenesis tuberkulosis.
JTI 2005 ; 2 : 9-18
3. Kamhdlz SL. Pleural tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM.eds. Tuberculosis.
Philadelphia : Lippincont Williams & Wilkins ; 2004. 497- 508
4. Villegas MV, Labrada LA, Saravia NG. Evaluation of polymerase chain reaction,
adenosine deaminase and interferon in pleural fluid for the differential diagnosis
of pleural tuberculosis. Chest 2000 ; 18 : 1355-64
5. Fraser RS , Colman N , Muller NL , Pare PD. Diagnosis of the diseases of the chest .
Philadelphia : WB Saunders ;1999. 2739-80
6. Light RW. Tuberculosis pleuritis. In: Murray JF, Nadel JA. eds. Text book of
respiratory medicine. London : WB Saunders ;1994.2172-3
7. Dye C , Scheele , Dolin P , Pathania V , Raviglione MC. Global burden of
tuberculosis . JAMA1999 ; 282 : 677 86
19

8. Alsagaff H. Mukty A. Dasar dasar ilmu penyakit paru. Surabaya : Airlangga


University Press ; 2002. 143-61
9. Perkins MD . New diagnostic for tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2000 ;4 : S1828
10. Soeroso L, Widirahardjo . Pleural effusion in TB patients . Makalah lengkap seminar
TB. Medan, 2004 :113-6
11. Philip C, Hopewell, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In :
Murray JF, Nadel JA. eds. Text book of respiratory medicine. Philadelphia : WB
Saunders ; 1994 . 1094-51
12. Khatami K . Pleural tuberculosis . SEMJ 2002 ; 3 : 1-10
13. Purwanta M, Lusida MI, Handajani R. Polymerase chain reaction. Dalam : Putra
ST.ed. Biologi molekuler kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press ;
1997 . 150-67
14. Nagesh BS , Seghal S , Jindal sk ,Arora SK . Evaluation of polymerase chain reaction
for detection of mycobacterium tuberculosis in pleural fluid . Chest 2001 ; 119 :
1737-41
15. Lima DM , Colares JKB , Fonseca BAL . Combined use of the polymerase chain
reaction and detection of adenosine deaminase activity on pleural fluid improves the
rate of diagnosis of pleural tuberculosis . Chest2003 ; 124 : 909-14
16. Querol JM Minguez, Sanchez EG, Forga MA, Grimono C, Lomas IG. Rapid
diagnosis of pleural tuberculosis by polymerase chain reaction. Am J Respir Crit
Care Med 1995 ;152 : 1977-81
17. De Wit, Marteens G, Steyn L. A comparative study of the polymerase chain reaction
and conventional procedures for tuberculous pleural effusions. Tuber Lung Dis
1992;73 :262-7
18. Morehead RC.Tuberculosis of the pleura. SMJ 1998; 91: 630-6
19. Ferrer J.Pleural tuberculosis. Eur Respir J 1997 :10:942-7
20. Light RW. Pleural diseases. Baltimore: Williams & Willkins; 1995. 154-66
21. Valdes L, Alvarez D, San Jose ES , et al. Tuberculous pleurisy . Arch Intern Med
1998;158:2017-21
22. Harun M . ed. Tuberkulosis klinis .Jakarta : Widya Medika; 2001. 111-3
23. Seaton A. Diseases of the pleura . In: SeatonA. Seaton D.eds. Crofton and douglass
respiratory diseases. Malden: Blackwell Science Ltd; 2000. 1152-81.
24. Harun M. ed. Tuberkulosis klinis. Jakarta: Widya Medika ; 2001. 33-8
25. Winterbauer RH . Non malignant pleural effusions . In : Fishman AP.ed. Pulmonary
diseases and disorders . New York . Mc Graw Hill ; 1998.1411-27
26. Weinberger SE. Principles of pulmonary medicine. Philadelphia: W.B. Saunders;
1998.194-209
27. Katatria YP, Khurshid I. Adenosine deaminase in the diagnosis of tuberculous pleural
effusion. Chest 2001 ; 120 : 334-6.
28. Aoe K, Hiraki A, Murakami T, et al. Diagnostic significance of interferon in
tuberculous pleural effusions.Chest 2003 ; 123: 740-4
29. Diacom AH, Van de Wal BW, Smedema JP,et al. Diagnostic tool in tuberculous
pleurisy: Eur Respir J 2003; 22;589-591

20

30. Hasaneen NA, Zaki M.E, Shalaby HM, EL Morsi AS. Polymerase chain reaction of
the pleural biopsy is a rapid and sensitive method for the diagnosis of tuberculous
pleural effusion . Chest 2003; 124: 2105-11
31. De lassence A,Lecossier D,Pierre C,Cadranel J,Stern M Hance AJ. Tuberculous
pleurisy . Thorax 1992; 47: 265-9
32. Takagi N, Hasegawa Y, Ichiyama S, Shibagaki T, Shimokata K. Polymerase chain
reaction of pleural biopsy specimens for rapid diagnosis of tuberculous pleuritis.
Tuberc Lung Dis 1998 ; 2: 338-41
33. Trajman A, Kaisermann MC, Kritski AL, et al. Diagnosing pleural tuberculosis. Chest
2004; 125:2366-7
34. Handojo BH, Wiyono WH, Yunus F, Budayanti INS, Sudiro TM, Jusuf A. Diagnostic
technique polymerase chain reaction on pleurisy tuberculosis.Dalam pertemuan
ilmiah pulmonology & ilmu kedokteran respirasi . Jakarta ;2004 :69
35. Palilingan. Deteksi molekuler tuberkulosis paru. J Respir Indo 2000;20:32-7
36. Principles of the PCR . Available from : sers.ugent.be /avierstr /principles/ PCR
.html
37. Fegou E,Jelastopolu E, Sevdali M, et al. J Clin Microb 2005; 11: 593
38. Schluger NW. Changing approaches to the diagnosis of tuberculosis. Am J Respir
Crit Care Med 2001; 164 : 2020-4

21

Anda mungkin juga menyukai