Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Banyaknya penganut agama khususnya agama islam tidak luput dengan sejarah-sejarah masuknya suatu agama tersebut, dan juga menurut Bapak proklamator kita Ir. Soekarno mengatakan JAS MERAH, jangan pernah lupa dengan sejaran, karena sejarah kita ada dan dengan sejaralah islampun ada. Menurut perkembangan islam di Arab islam di proklamatori oleh Baginda Nabi Muhammad, SAW, dan bagaimana di Indonesia? Oleh karena itu penulis akan membahas tentang asal mula islam di Indonesia dan para ulama pem-proklamator islam di Indonesia. Dan penulis akan membahas tentang ulama, serta ulama-ulama besar proklamator islam B. Rumusan masalah 1. Apa itu ulama? 2. Bagaimana sejarah asal mujla ulama di Indonesia? 3. Siapa saja ulama besar Indonesia? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa itu ulama dan bagaimana asal mula ulama di Indonesia 2. Mengetahui ulama-ulama besar proklamator islam

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulama Ulama (Arab: al-`Ulam` ) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. B. Asal Mula Ulama Islam di Indonesia Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692

H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafii. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab. Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lilalamin. Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan

terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar

sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah terutama Belanda menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi. Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaankerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafii. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar). Demikianlah proses asalmula sebuah ulama-ulama islam di Indonesia.

C. Ulama-Ulama Indonesia 1. Abdurrauf Singkel ABDURRAUF SINGKEL, SYEIKH nama lengkapnya adalah Syekh Abdurrauf Ali Al Fansury Al Singkily Al Jawi. Beliau adalah penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum, cendikiawan muslim dan seorang Sufi yang sangat terkenal di Nusantara yang lahir pada tahun 1615 atau 1620 di Singkel, sebuah kabupaten di Aceh Selatan. Dia berasal dari kalangan keluarga muslim yang taat beribadah. Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh Ali dan ibunya seorang wanita berasal dari desa Fansur Barussebuah pelabuhan (bandar) yang sangat terkenal waktu itu. Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada Dayah Simpang Kanan di pedalaman Singkel yang dipimpin

Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di Dayah Teungku Chik yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansury. Ia sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi yang dipimpin oleh Syeikh Samsuddin as-Sumatrani. Setelah Syeikh Samsuddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Abdurrauf pun pergi mengembara. Beliau tidak suka menetap di kota kelahirannya. Beliau lebih suka memilih mengembara meninggalkan kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di berbagai pelosok nusantara dan Timur Tengah. Abdurrauf selalu merasa haus terhadap ilmu pengetahuan. Beliau pernah belajar hampir dua puluh tahun di Mekkah, Madinah, Yaman dan Turki. Sehingga tidak mengherankan kalau Beliau menguasai banyak bahasa, terutama bahasa Melayu, Aceh. Arab dan Persia. Disebutkan selama belajar ilmu agama di Timur Tengah, Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi termashyur. Tentang pertemuannya dengan para sufu itu, ia berkata adapun segala mashyur wilayatnya yang bertemu dengan dengan fakir ini dalam antara masa itu. Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurraur kembali ke Aceh dengan memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Mengenai pendapatnya tentang faham Syeikh Hamzah Fansuri (Tarekat Wujudiah) nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Beliau tidak begitu keras, Walaupun Syeikh Abdurrauf termasuk penganut faham tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesagesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir. Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, maka perkataannya itu akan berbalik kepada dirinya sendiri. Karya tulisnya yang diketahui lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmusastra, hukum, filsafat, dan tafsir, antara lain; 1.Umdat al-Muhtajin sendiri; ila suluki Maslak al-Mufridin; Mereka itu dengan yang

terjemahannya

Perpegangan

Segala

Berkehendak Menjalani Jalan Segala Orang yang Menggunakan

Dirinya. Dalam karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La Illah pada masamasa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri atas tujuh faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya khatimah yang berisi silsilah. Di samping memberi penjelasan tentang ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga memberikan gambaran di mana dengan cara apa ulama-ulama dan pengarang-pengarang besar Melayu lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia menyebut telah berada selama sembilan belas tahun di negeri Arab. 2. Mirat al-Tullab fi Tashil Marifat al-Ahkam al-Syariyah lil-Malik alWahab. Dalam kitab ini disebutnya ia mengarang atas titah Sultanah Tajul-Alam Safiatuddin Syah. Isinya ialah ilmu fikah menurut mazhab Syafii. Ilmu muamalat yang tidak dibicarakan dalam Sirat alMustaqim karangan Nuruddin ar-Raniri, dimasukkan disini. 3. Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini disebutnya ia dititahkan oleh Sultanah Tajul-Alam untuk mengarang. Isi kitab ini ialah tentang ilmu tasawuf yang dikembangkan oleh AbdurRauf. 4. Mauizat al-Badi atau al-Mawaith al-Badiah. Karya ini terdiri atas lima puluh pengajaran dan ditulis berdasarkan Quran, hadith, ucapanucapan sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar. 5. Tafsif al-Jalalain. Abdur-Rauf juga telah menterjemah sebagian teks dari Tafsir al-Jalalain, surah 1 sampai dengan surah 10. 6. Tarjuman al-Mustafiq. Merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari karya bahasa Arab ini. Dalam sebuah naskah Jakarta disebut ada tambahan dari murid Abdur-Rauf, Abu Daud al-Jawi ibn Ismail ibn Agha Ali Mustafa ibn Agha al-Rumi (Van Ronkel, Catalogus der Maleische Handschriften 1909 dalam ibid). 7. Syair Marifat. Syair ini terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan Leiden, yang disalin pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi. 2. SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama. Belum ada tokoh yang mengalahkan

kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari muridmurid syaikh. Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-Aidrus bin Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-Aidrus. Silisahnya kemudian sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah keturunan Rasulullah. Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah Al-Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu, yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah

merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M). Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India mengembara untuk menyebarkan Dakwah,Belia seorang ahli seni ukiran kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdoa agar dapat melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan AsmaulHusna,disamping berdoa kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan al-quran kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya yaitu ; Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein. Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M. Semasa Kecil Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau. Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampungkampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang soleha bernam Tuan Bajut, Hasil perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinam Syarifah. Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama 30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh sultan. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-

Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu di Arab Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok AlFathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.Hampir semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang, Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain bukti berupa karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat Banjar atau dunia Melayu. Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad AlFalimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal), Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang) yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand Selatan), dan banyak lagi. Penulisan Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika

10

mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa buah karangan. Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa ArabMelayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya. Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah ini: 1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Muminin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M 2. Luqtah al-Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas anNis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M. 3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M 4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781 M. 5. 6. 7. 8. 9. Kitab Bab an-Nikah. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi Kanzu al-Marifah Ushul ad-Din Kitab al-Faraid

10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab 11. Mushhaf al-Quran al-Karim 12. Fat-h ar-Rahman 13. Arkanu Talim as-Shibyan 14. Bulugh al-Maram 15. Fi Bayani Qadha wa al-Qadar wa al-Waba

11

16. Tuhfah al-Ahbab 17. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Dicetak oleh Mathbaah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa dinyatakan tarikh cetak. Ada pun karyanya yang pertama, iaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah alBanjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AIFalimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990). Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut: 1. Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Maka disebut oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Muminin bagi `Alim al-Fadhil al-Allamah Syeikh Muhammad Arsyad. 2. Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, Maka mengarang Maulana (maksudnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen:) itu beberapa kitab dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut, seperti Tuhfatur Raghibin Pada halaman lain, Maka Sultan Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imani Muminin wa Riddatil Murtaddin dan lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen al-Alim alAllamah al-Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. 3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh Mathbaah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan kedua dinyatakan, Tuhfatur Raghibin talif al-Alim al-

12

Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di bawahnya tertulis, Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri . Di bawahnya lagi tertulis, Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul fi Mathbaah al-Haji Muharram Afandi. 4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq alBanjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya. Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah alBanjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan dibicarakan pada kesempatan yang lain. Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir, Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

13

3. Syekh Nawawi al-Bantani Sayid Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekah dan Madinah. Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi alJawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya. Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan al-Jawi mengindikasikan musalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asySyaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten. Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi, adalah penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi, Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir. Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di Banten, dan setelah itu mesantren ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kiai Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar. Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani, selain pada Khatib Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan pengamal tarekat di Asia Tenggara. Samba juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai

14

Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekah untuk menggantikan kedudukannya. Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syekh Nawawi adalah orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekah, khususnyan orang Jawa, tapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya. Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana juga. Nawawi menjawab, Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa untuk itu.(Lihat, Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, h. 117-122) Pada tahun 1860-1970, Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut ia sudah sibuk menulis buku-buku. Di antara muridmuridnya yang berasal dari Indonesia adalah: 1. KH Hasyim Asyari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). 2. 3. 4. KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur. KH Asyari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam. 5. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu). 6. KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten). 7. 8. 9. KH Ilyas, Kragilan, Serang. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.

15

10. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon. Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.

Karya-karyanya Setelah tahun 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Quran sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu. Berikut contoh beberapa karya Nawawi, mulai dari fikih, tafsir, sampai bahasa Arab, yang kita kutip dari H Rafiuddin (Sejarah Hidup dan Silsilah al-Syeikh Kyai Muhammad Nawawi Tanari, 1399 H): 1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami. 2. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badiah, syarah atas kitab Al-Riyadl al-Badiah fi Ushul ad-Din wa Badhu furuusy Sariyyah ala Imam asy-Syafii karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman. 3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri 4. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi. 5. Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail alJamiah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi. 6. Qut al-Habib al-Ghaib, Hasyiyah atas syarah Fathul Gharib alMujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafii.

16

7.

Asy-Syuba al-Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syekh Muhammad ibn Ali. Marraqiyyul Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu hamid ibn Muhammad al-Ghazali .

8.

9.

Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi. Murah Labib li Kasyfi Mana al-Quran al-Majid, juga dikenal sebagai Tafsir Munir. Qamial Thughyan, syarah atas Syuub al Iman, karya Syekh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari.

10.

11.

12.

Salalim al-Fudlala, ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Mabari alMalibari. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masail Abi Laits, karya Imam Abi Laits. Minqat asy-Syuud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Balawi.

13.

14.

15.

Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Dalam pada itu, YA Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang

penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya Murah Labib, yang juga dikenal sebagai Tafsir Munir. Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir (Dhofier, 86): 1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881. 2. 3. Lubab al-Bayan (1884). Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh sanusi, terbit tahun 1886.

17

4.

Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr alFarid, karya Syekh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.

5.

Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid. Syarah Isra Miraj, juga karangan al-Barzanji. Syarah tentang syair Asmaul Husna. Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880. Syarah Suluk al-Jiddah (1883)

6. 7. 8. 9.

10. Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah. 11. Tafsir Murah Labib. Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafiiyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar. Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syekh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantrenpesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri. Beberapa karya ilmiah tentang Syekh Nawawi yang ditulis sarjana kita antara lain: 1. Ahmad Asnawi, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani tentang Afal al-Ibad (Perbuatan Manusia), (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984).

18

2.

Ahmad Asnawi, Penafsiran Syekh Muhammad nawawi tentang Ayatayat Qadar. (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1987).

3.

Hazbini, Kitab Ilmu Tafsir Karya Syeikh Muhammad Nawawi, (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1996).

4.

MA Tihami, Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi alBantani, (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1998).

5.

Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: Analysisof Nawawi al-Bantanis Salalim al-Fudhala, (Tesis Mgister McGill University, Kanada, 1992).

6.

Muslim Ibrahim Abdur Rauf, Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi: Hayatuhu wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami. (Tesis Magister, Al-Azhar University, Kairo, 1979).

Nawawi dan Polotik Kolonialisme Syekh Nawawi memang tidak seaktif Syekh Nahrawi yang menyerukan jihad dalam menghadapi kekuasaan asing di Nusantara. Toh dia merasa bersyukur juga ketika mendengar betapa Belanda menghadapi banyak kesulitan di Aceh. Dalam pembicaraannya dengan Snouck Hurgronje, dia tidak menyetujui pendapat bahwa tanah Jawa harus diperintah oleh orang Eropa. Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur, kata Hurgronje, yang pernah menetap selama enam bulan di Mekah (dalam penyamaran), 1884-1885. Tak heran, jika ia memandang pemberontakan petani di Cilegon (1888) yang dipimpin KH Wasid, sebagai jihad yang diperintahkan.(suryana sudrajat dan abdul

malik/artikel ini juga bisa dibaca di buku Jejak Ulama Banten, dari Syekh Nawawi Hingga Abuya Dimyati, penerbit Humas Setda Provinsi Banten, 2004)

19

4. Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham kelompok Wahabi yang berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafii pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia. Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif alMinangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafii. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka; Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syeikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam

20

terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib. Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafii dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu. SANGGAHAN THARIQAT Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah dan lainnya. Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis: `Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita.

21

Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M. Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Saad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi Mutaannitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M. Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul a-ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M. Syeikh Muhammad Saad bin Tanta Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan alQuran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah. Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Mutiannitin oleh Syeikh Muhammad Saad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Badhil Mutaashshibin. Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Saad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Badhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak

22

bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikih dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah/itiqad. Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeda pendapat. Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua, beliau ialah Syeikh Hasan Masum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda, beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka). Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Masum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab. Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Wahhabiyah yang diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh Abdul Karim Amrullah] adalah sesat. Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, golongan tersebut sesat kerana keluar daripada fahaman Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah dan menyalahi pegangan mazhab yang empat. Antara tulisannya ialah alKhiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bidah at-Talaffuzh bian-Niyah, Nur al-Syamat fi Ahkam al-Jumah dan lain-lain. Di antara nasihatnya: Maka betapakah akan batal dengan fikiran orang muqallid yang semata-mata dengan faham yang salah dengan taqlid kepada Ibnu al-Qaiyim yang tiada terpakai qaulnya pada Mazhab Syafie. Maka wajiblah atas orang yang hendak selamat pada agamanya bahawa dia berpegang dengan segala hukum yang telah tetap pada mazhab kita. Dan janganlah ia membenarkan akan yang menyalahi demikian itu daripada fatwa yang palsu.

23

Memang tidak seluruh pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah keliru. Sebagian dari pemahaman beliau turut mempengaruhi dalam pendirian kalangan Muhammadiyah. Salah satu yang mengolah dan menfilter pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah ulama dari kaum muda yakni Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang kita kenal dengan Buya Hamka. Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof.

24

Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Menulis buku mengenai tasawuf bagi Buya Hamka (1908-1981), semata-mata dilakukan untuk mengobati jiwa masyarakat modern yang semakin jauh dari nilai dan ajaran agama. Buya Hamka menulis buku yang bertajuk `Tasawuf Modern` untuk mengobati jiwa masyarakat modern yang mengalami goncangan jiwa dan gangguan ruhani, kata Kepala Kantor Masjid Agung Al Azhar, Amliwazir Saidi Amliwazir menjelaskan, tasawuf yang dimaksud oleh Hamka adalah membicarakan hakekat kebenaran Tuhan dengan cara bahwa manusia harus mengenal hakekat dirinya sendiri. Amliwazir menuturkan, Hamka mendefinisikan sufi sebagai meninggalkan budi pekerti yang tercela dan memasuki budi pekerti yang terpuji, berakhlak tinggi. Maka, lanjut Amliwazir, yang dimaksud dengan Tasawuf Modern oleh Hamka adalah mengembalikan akar tasawuf ke asalnya yang semula yaitu ajaran Al Qur`an dan As Sunnah. Ketua PBNU Dr Said Agil Shiroj dalam kesempatan terpisah, Kamis mengatakan, Hamka merupakan sosok yang menjadi pionir dalam penyebaran ilmu tasawuf secara nasional di Tanah Air. Melalui buku `Tasawuf Modern`, Buya Hamka adalah yang pertama mengangkat tema tasawuf di tingkat nasional, kata Said. Menurut Said, melalui karya tersebut tasawuf tidak lagi dikenal sebagai sekumpulan orang yang kumuh tetapi merupakan suatu pola pikir yang bisa diaplikasikan dalam zaman modern. Selain itu, ujar dia, banyaknya kutipan dari pemikiran Imam Al Ghazali dalam Tasawuf Modern juga mengindikasikan bahwa tasawuf Buya Hamka mengacu kepada Tasawuf Sunni. Tasawufnya Buya Hamka adalah Tasawuf Sunni, bukan Tasawuf Falsafi apalagi Tasawuf Kejawen, kata Said.

25

5. Hasbi Ash Shiddieqy

Muhammad Hasbi lahir di Lhok Seumawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904. Al Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Masud dan Teungku Amrah adalah nama orang tuanya. Ayahnya seorang ulama terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren) sementara ibunya adalah puteri Teungku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Kesultanan Aceh waktu itu. Ia merupakan keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang ketiga puluh tujuh. Oleh sebab itu gelar Ash-Shiddiq dijadikan nama keluarganya. Ketika berusia 6 tahun, ibunya meningggal dunia. Sejak itu ia diasuh oleh bibinya, Teungku Syamsiah. Sejak kecil Hasbi belajar agama Islam di dayah milik ayahnya. Kemudian pada usia delapan tahun ia sudah pergi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya. Mulanya ia pergi ke dayah Teungku Chik di Piyeung untuk belajar Bahasa Arab. Setahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Pada tahun 1916 ia kembali pindah ke dayah Teungku Chik Idris. Di salah satu dayah terbesar di Aceh ini Hasbi khusus belajar fiqih. Dua tahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik Hasan Krueng Kale untuk memperdalam ilmu hadits dan fiqih. Setelah dua tahun belajar di dayah ini, Hasbi mendapatkan syahadah (ijazah) sebagai tanda ilmunya telah cukup dan berhak membuka dayah sendiri. Disamping gemar belajar, Hasbi juga gemar membaca, oleh karena itulah kemampuan otodidaknya sangat bagus. Sekembalinya dari merantau, Hasbi kemudian menjadi anak didik Syaikh alKalali. Dari tokoh pembaharu asal Singapura yang kemudian menetap di Aceh ini lah ia mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab para ulama seperti Fatawa Ibnu Taimiyah, Zdul Mad Ibnu Qayyim dan Ilamul Muwaqiin. Melihat gairah dan kemampuan Hasbi itu, Syaikh al-Kalali kemudian mengirimnya ke Surabaya untuk belajar kepada Syaikh Ahmad as-Surkati. Setelah dites ia ditempatkan di kelas takhasus. Selama satu setengah tahun belajar di alIrsyad, yang paling banyak dipelajari Hasbi adalah kemahiran berbahasa arab dan pengalaman menyaksikan kiprah kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara

26

terorganisir. Akhirnya Syaikh as-Surkati dengan al-Irsyadnya telah memantapkan sikap Hasbi untuk bergabung dengan kelompok pembaharu. Berbeda dengan kebanyakan tokoh pembaharu lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Kemudian Ia mulai menyuarakan pembaharuannya di Aceh, masyarakat yang dikenal fanatik. Namun ia tidak gentar dan surut kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya. Sikap pembaharuan Hasbi tercermin dalam pemikiran-pemikirannya. Dalam berpendapat ia merasa bebas, tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia Pada tahun 1933 Hasbi pindah ke Kutaraja (Banda Aceh). Kepindahannya ke ibukota karesidenan ini membuka peluang bagi Hasbi untuk lebih banyak bergerak. Kemudian ia bergabung dengan organisasi Nadil Ishlahil Islami (Kelompok Pembarun Islam). Dalam rapat umum organisasi tahun 1933, Hasbi ditunjuk sebagai wakil redaktur Soeara Atjeh, salah satu organ dari Nadil Ishlahil Islami. Hasbi juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhamadiyyah. Ia pernah menjadi ketua cabang Muhamadiyah Kutaraja dan ketua Majelis Wilayah Muhamadiyyah Aceh. Di awal kemerdekaan Hasbi ditangkap dan dipenjara oleh Gerakan Revolusi Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama satu tahun lebih. Apa yang menjadi sebab semua ini tidak begitu jelas, karena Hasbi sendiri tidak pernah diinterogasi maupun diadili. Tapi ada kemungkinan karena sikap

pembaharuannya. Selama di dalam tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan tulisan naskah buku al-Islam setebal 1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Sampai tahun 1982 saja buku ini telah mengalami tujuh kali cetak ulang. Hasbi baru dibebaskan dari penjara setelah ada desakan dari Pimpinan Muhamadiyyah dan surat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Tetapi ia masih berstatus tahanan kota. Setelah dibebaskan ia pulang ke Lhok Seumawe dan

27

menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam di sana. Status tahanan kotanya kemudian dicabut pada tanggal 28 Februari 1948. Pendidik Hebat Setahun kemudian Hasbi bersama Ali Balwi berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Muslim Indonesia (KMI) ke XV mewakili Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dalam kongres itu Hasbi menyampaikan prasaran yang berjudul Pedoman Perjuangan Ummat Islam mengenai Soal Kenegaraan. Ia juga dikenalkan oleh Abu Bakar Atjeh, ulama asal Aceh, kepada Kiai Wahid Hasyim, Mentri Agama saat itu, dan Kiai Fatchurrahman Kafrawi, ketua Panitia Pendirian PTAIN (cikal bakal IAIN/UIN). Perkenalannya dengan Kiai Fatchurrahman Kafrawi membawanya kembali ke Yogyakarta dua tahun kemudian, kali ini untuk menetap, karena ia ditawari mengajar di Sekolah Persiapan PTAIN. Karena kepakarannya dalam ilmu hadits, tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Hadis. Sejak itu ia juga diangkat sebagai dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga tahun 1972. Ia juga diangkat sebagai dekan fakultas Syariah IAIN Banda Aceh. Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya adalah Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975 dan Anugerah Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jogjakarta tahun 1975.

Aktif Berpolitik dan Produktif Menulis Semenjak di Aceh Hasbi sudah aktif di Masyumi. Dalam pemilihan umum tahun 1955 Hasbi terpilih sebagai anggota konstituante dari partainya. Ia kemudian ditempatkan di Panitia Persiapan Konstitusi (PPK). Sebagai anggota konstituante, pada tahun 1957 Hasbi berangkat ke Pakistan untuk menghadiri International Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of Punjab. Dalam acara ini Hasbi menyampaikan makalah dalam bahasa Arab dengan judul Sikap Islam terhadap Ilmu Pengetahuan.

28

Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy aktif menulis dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan, karya tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Karya terakhirnya adalah Pedoman Haji, yang ia tulis beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an 30 juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu. 09 Desember 1975, Hasbi mengikuti karantina guna menunaikan Ibadah haji, namun Allah swt. menakdirkan memanggilnya dalam usia 71 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat, Jakarta. Buya HAMKA dan Mr. Mohammad Roem turut memberi sambutan pada acara pelepasan dan pemakamannya.

Beberapa karya Hasbi ash-Shiddieqy: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9. Mutiara Hadis 1 (Keimanan).

10. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat). 11. Mutiara Hadis 3 (Shalat). 12. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji). 13. Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).

29

14. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. 15. Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958. 16. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. 17. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. 18. Kriteria Antara Sunnah dan Bidah. 19. Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur. 20. Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2).

6. HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA) Dengan seni hidup menjadi indah, Dengan ilmu hidup menjadi mudah, Dengan agama hidup menjadi terarah Masa hidup HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun 19081981. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik.Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906 Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat seharihari

30

Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam. Riwayat Pendidikan HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Riwayat Karier HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas

Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.

31

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Riwayat Organisasi HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Aktivitas Politik HAMKA Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang

32

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. "Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia. Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan. Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.

33

Aktivitas Sastra HAMKA Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita. Aktivitas Keagamaan Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975. HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih
34

suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam. Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang kebakaran jenggot. Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ''Panji Masyarat'' pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ''Demokrasi Kita'' yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Wafatnya HAMKA Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. Penghargaan Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia

35

Pandangan Hamka Tentang Kesastraan Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan. Buah Pena Buya Hamka Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960. HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).

36

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Dapat disimpulkan Ulama (Arab: al-`Ulam` ) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Banyak pemuka-pemuka agama di dunia khususnya Indonesia yang memberikan sebuah perubahan dalam islam. Jadi perubahan-perubahan serta perkembagan islam sangatlah bergantung pada pemuka islam seperti para ulama. B. Saran Sarannya adalah, budayakan keislaman yang sudah dibina oleh ulama-ulama pemuka kita, karena tentunya sangatlah sulit suatu perkembangan, jadi bagaimana kita mempertahankan suatu kejayaan tersebut.

37

DAFTAR PUSTAKA

http://www.wikipedia.org/pengertian-ulama.html diakses pada tanggal 02 juli 2012 http://www.chayrasyid.co.cc/ulama-pemuka-agama.html diakses pada tanggal 02 juli 2012 Abu Faiz. 2005. HAMKA, Berprinsip Tapi Lembut, (Online),

(webmaster@oaseislam.com, diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB) Liputan6. 2007. HAMKA, Ulama yang Penuh Warna, (Online),

(www.udaunisumbar.com, diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB) Muntohar. 2007. Buya Hamka. (Online), (muntohar.wordpress.com, diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB) Prof. DR. Ir. Zoer'aini. 2002. Artikel tentang Buya, (Online), (rantaunet@rantaunet.com, diakses Kamis, 31 Januari 2008, 14.30 WIB)

38

Anda mungkin juga menyukai