Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya maka tugas akhir ini dapat diselesaikan. Atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tugas akhir ini hingga selesai, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna, baik dari segi materi meupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan tugas akhir ini. Terakhir penulis berharap, semoga tugas akhir ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Subang, September 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ 1 DAFTAR IS ................................................................................................................ 2 AKAR PERMASALAHAN KONFLIK PAPUA .................................................... 3 KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN ................................................................. 4 PENANGANAN KONFLIK PAPUA ....................................................................... 7 PENDAPAT DAN KESIMPULAN .......................................................................... 9

KONFLIK PAPUA

AKAR PERMASALAHAN KONFLIK PAPUA Pada awalnya OPM terdiri dari 2 faksi utama : 1. Faksi Aser Demotekay pada tahun 1963 di Jayapura yang menempuh jalan kooperatif dengan pemerintah Indonesia dengan menyampaikan pesan-pesan spiritual gerakan Cargo yang intinya meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan kemerdekaan sesuai janji tanah dan janji leluhur. Secara umum kultus kargo berarti semua gerakan yang mendambakan kedatangan kekayaan baik materi maupun rohani dengan cara apa pun walaupun caranya tidak memenuhi pandangan kriteria modern. 1 2. Faksi Terianus Aronggear pada tahun 1964 di Manokwari, membentuk Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat yang kemudian lebih dikenal dengan nama OPM. Terianus Aronggear menyusun suatu dokumen perjuangan yang semula akan diselundupkan ke Markas PBB di New York untuk mempertanyakan tentang status Papua dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962. Namun belum sempat dokumen itu diselundupkan, Terianus Aronggear ditangkap di Biak pada tanggal 12 Mei 1965 disusul jaringan bawah tanah yang ada dalam wadah organisasi yang dibentuknya. Setelah Terianus Aronggera dan kawan-kawannya tertangkap maka Permenas Ferry Awom dan kawan-kawannya melakukan suatu pemberontakan bersenjata di Manokwari secara besar-besaran dengan mulai menyerang kaserme/asrama militer di Arfai pada tanggal 28 Juli 1965. Kegiatan pemberontakan yang dilakukan OPM itu menimbulkan berbagai gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di wilayah Papua. Dalam perjuangannya OPM memiliki strategi yang menggunakan dua bentuk metode perjuangan, yaitu : 1. Front Bersenjata, yang menamakan diri TAPENAL/TPN (Tentara Pembebasan Nasional), sering juga disebut TPN/OPM dengan tokoh-tokohnya Mathias Wenda, Hans Uri Yuweni, Kelly Kwalik, Tadius Yogi, Bernadus Mawen dan lain-lain, masing-masing memiliki daerah/wilayah sesuai kelompoknya, dikenal dengan Kodap (Komando Daerah Perang). Walaupun secara organisasi mereka masih eksis, tapi tidak ada koordinasi dan rantai komando yang tegas serta faktor usia pemimpinnya yang semakin lanjut tidak dibarengi dengan regenerasi kepemimpinan sehingga keberadaan mereka ini hanya dimanfaatkan sebagai simbol perjuangan saja.

2. Front Politik, menempuh perjuangan melalui jalur politik dan diplomasi, selalu berupaya menginternasionalisasikan isu Papua dengan mengangkat isu hak-hak adat, pelanggaran HAM aparat keamanan dan pelurusan sejarah tentang Pepera 1969, Perjanjian New York 1962 dan Resolusi PBB No 2504 Melalui temuan peneliti Universitas Cenderawasih S.A Patty terungkap bahwa OPM dalam menggerakkan perlawanan rakyat hanya menggunakan janji-janji muluk kepada rakyat pedesaan. Ini menunjukkan bahwa salah satu strategi pimpinan OPM adalah memanfaatkan aspirasi-aspirasi kemakmuran dan keselamatan dalam mitos-mitos kargoisme untuk menarik hati rakyat. Kelemahan dari strategi kargoistik adalah sifat mistik dan gaib dari proses kemerdekaan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Meskipun efektif untuk menarik minat rakyat di pedesaan, pendekatan ini hanya menjadi afirmasi bagi mitos-mitos orang Papua tentang jaman milenia baru.2 Kerusuhan di Merauke tahun 2000-2001 tercipta dengan mendatangkan masyarakat pedalaman dan membagi-bagikan nama, alamat rumah milik warga (pendatang) di kota yang disampaikan bahwa rumah dalam alamat tersebut adalah hak adat yang bisa diambil alih. Rakyat tidak didorong untuk memperoleh pemahaman baru untuk menerima suatu perjuangan politik yang terprogram dan pencapaian politik secara bertahap dalam perjuangan jangka panjang. Hasilnya dapat diprediksi, ketika rakyat tidak mendapatkan apa yang diiming-imingi maka situasi akan berbalik. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa beberapa aktivis hari ini menjadi aktivis OPM lalu karena hal tertentu pada hari berikutnya kembali ke kota dan ikut program pemerintah. Hal sebaliknya juga dengan mudah dapat terjadi.

KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN a. Ras Melanesia, Tuntutan Hak Adat dan Pengelolaan SDA Pada Deklarasi rakyat Papua 1 Desember 2008, ada upaya menciptakan konflik rasial di Papua, antara penduduk asli dan pendatang, berkaitan dengan maraknya penonjolan jati diri ras melanesia dibenturkan dengan ras-ras lain di Indonesia. Upaya menciptakan konflik rasial tersebut nampaknya telah diatur secara sistematis, dapat dilihat dari munculnya bentuk-bentuk Perda yang sangat rasial di Papua dan penerbitan buku yang membangkitkan fanatisme rasial sebagai ras Melanesia.3 Skenario konflik tersebut bila dibiarkan akan mencapai taraf serius karena didalamnya mengandung dimensi mempertentangkan etnis pendatang dan Papua dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam, kepemilikan tanah, dan penegakan hukum, sehingga dibutuhkan upaya penyelesaian secara komprehensif.
4

b. Lobby Internasional dan Kepentingan asing Ketika di satu sisi, OPM dengan gencar mempermasalahkan Freeport tapi di sisi lain kedatangan anggota kongres AS pada tanggal 27 November 2007 disambut bak Dewi Malaikat Penolong. Latar belakang kedatangan Eny Faleomavaega adalah salah satu contoh dari sekian banyak upaya lobby Internasional yang dilakukan agar OPM untuk mendapat perhatian dunia. Aksi pengerahan massa yang disiapkan dengan menyerukan tuntutan separatis pada kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan OPM. Dalam kunjungan ke beberapa wilayah di Papua, tuntutan-tuntutan yang disuarakan tidak mendapat tanggapan dari anggota kongres AS yang berkunjung. Eny Faleomavaega tampaknya kecewa karena situasi dan kondisi di Papua tidak seperti yang ia dengar dari laporan yang selama ini didapat dari OPM. Lobby-lobby lain di luar negeri banyak dilakukan, sebut saja IPWP (International Parliamenmetary for West Papua), Free West Papua Campaign di Inggris, beberapa kali pelaksanaan kongres dan dialog sepihak di Vanuatu, pelaporan isu Papua ke badan gereja dan kantor HAM di Jerman dan lain-lain. Memang upaya lobby internasional ini disiapkan secara sistematis karena OPM menyadari bahwa sangat mustahil akan bisa mencapai tujuannya apabila tidak didukung oleh dunia Internasional. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah benar ada kepentingan asing terhadap Papua ? Jika ada yang menyatakan bahwa kita paranoid terhadap kepentingan asing di Papua, kita harus menyepakati bahwa kalaupun tidak ada kepentingan asing tersebut tapi pada levelitas tertentu kepentingan asing itu akan terseret dalam dimensi kepentingan masingmasing baik secara lokal Papua maupun nasional Indonesia. Tapi marilah belajar dari pengalaman buruk lepasnya Timor-Timur. Tentunya kita tidak ingin menjadi keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kali yang kedua. Dunia mengetahui bahwa Papua kaya akan SDA. Kepentingan yang mensponsori Timor Timur lepas dari NKRI jelas membidik celah Timor yang banyak memiliki kandungan minyak bumi. Untuk Papua, tanda-tanda telah terlihat nyata, banyak pihak begitu gencar mengekspos berita tanpa fakta mengenai penindasan yang dialami oleh para aktivis separatisme Papua. Bahkan beberapa elemen masyarakat Australia menuduh telah terjadi pelanggaran HAM berat genosida di Papua. Ini adalah suatu tuduhan sekaligus pembunuhan terhadap karakter bangsa, yang sangat tidak berdasar. Dengan berbagai tudingan terhadap NKRI maka akan semakin menyudutkan posisi negara dan terekspos ketidakmampuan mengurus permasalahan yang ada, yang selanjutnya membuka lebar pintu gerbang era tutorial dengan bermunculan kelompok-kelompok LSM yang berkecimpung di Papua
5

dengan mengusung isu HAM, demokratisasi dan lingkungan hidup di luar sebagai pembungkus kepentingan asing di dalamnya. Dan dalam upaya internasionalisasi isu Papua ini, OPM sangat terbantu dengan banyaknya kehadiran kelompok-kelompok LSM ini. c. Pelanggaran HAM dan isu Genosida Perlu kearifan semua pihak yang terkait dalam membahas masalah pelanggaran HAM ini. Muridan Widjoyo peneliti dari LIPI menekankan dua hal masalah pemahaman tentang siklus kekerasan di Papua dan pentingnya memahami pelaku kekerasan non-negara di Papua. Pertama, pemahaman tentang kualitas dan intensitas kekerasan di Papua lebih didominasi oleh mitos kekerasan yang ditandai dengan angka korban yang dibesarbesarkan,sehinga mendorong orang untuk mengangkat isu genosida. Para aktivis bahkan peneliti biasanya mengutip minimal 100.000 orang Papua sudah dibunuh dari 1963-2005. Angka ini, yang sebetulnya dianggap moderat tetapi mereka sendiri merasa sangat sulit dibuktikan. Kedua, kekerasan di Papua terus menerus berlangsung karena selain pelaku dari aktor negara, juga dari aktor non-negara. Keduanya perlu dipahami perannya secara kritis. Tidak hanya kekerasan aktor negara yang perlu dibahas, tetapi juga kekerasan aktor non-negara yang perlu ditanggapi. 4 Pelanggaran HAM di Papua semakin menjadi perhatian para aktivis LSM di dunia, terlebih diluncurkannya isu genosida dipraktekkan di Papua. Peter King, sebagai koordinator pengamat masalah Papua di Sydney University, mengklaim bahwa berbagai kejadian sejak berkuasanya Indonesia di Papua pada 1963 hingga sekarang ini menjadi bukti praktik genosida. Dia menyebut contoh-contoh operasi militer yang diikuti dengan pembunuhan dalam skala besar, praktik rasisme dan diskriminasi yang memarjinalisasi orang Papua, serta transmigrasi dan migrasi spontan yang mengambil alih lahan, kesempatan kerja, dan sumber daya alam orang asli Papua, bahkan program KB dan merebaknya HIV/AIDS di Papua juga dimasukkan sebagai bukti adanya genosida. Pendapat Peter King ini ditentang oleh Ed Aspinall, seorang ahli tentang gerakan mahasiswa Indonesia dan akhir-akhir ini banyak menulis tentang Aceh dan pengalaman penelitiannya di Indonesia jauh lebih banyak dan tidak terbatas di Papua saja. Dalam praktek genosida, salah satu syarat yang mutlak harus ada yaitu adanya keinginan atau niat. King dikritik telah menerima sepenuhnya pemahaman versi kalangan aktivis Papua merdeka sehingga gagal menempatkan masalah-masalah dan peristiwa di Papua di dalam konteks yang lebih luas. Aspinall mengingatkan bahwa jenis-jenis kekerasan seperti yang terjadi di Papua juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Lalu, apakah kejadian di
6

daerah lain itu dapat juga disebut sebagai bukti genocide ? Belakangan diketahui bahwa, King hanya bersumber pada sumber data yang menyangkut intensitas dan ekstensitas kekerasan yang secara sepihak dikutipnya dari kalangan aktivis yang berkunjung ke Australia atau yang ditemuinya di Jakarta atau di tempat lain seperti Belanda. Dia tidak pernah langsung berada di Papua untuk mengumpulkan data tersebut.

Dan yang terpenting adalah, tuntutan keadilan HAM adalah milik semua insan manusia, siapapun dia tanpa terkecuali termasuk TNI/Polri. Dan setiap penuntutan keadilan atas pelanggaran HAM seyogyanya dilakukan atas dasar komitmen untuk menjamin tidak terjadi/terulang kembali pelanggaran yang pernah dilakukan. Bukan dijadikan komoditi untuk kepentingan politik apalagi memecah belah integritas bangsa. Seperti yang kita ketahui, data-data dalam setiap laporan/informasi yang disampaikan oleh OPM memang jelas bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas RI di mata dunia Internasional sehingga sangat wajar apabila terlalu berlebihan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

PENANGANAN KONFLIK PAPUA Upaya melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah secara nyata telah diawali dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan dalam UU ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun ruang yang disediakan oleh UU No. 22 Tahun 1999 dianggap masih belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat tersebut ke dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Masih bermunculan tuntutan yang kuat dari berbagai kalangan, khususnya dari masyarakat Papua sendiri, untuk mengembangkan kekhasan budayanya tersebut dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui suatu kebijakan pada tingkat nasional yang bersifat khusus. Pada masa pemerintahan Presiden Gusdur, bendera Bintang Kejora diijinkan untuk dikibarkan diiringi dengan lagu Hai, Tanahku Papua, namun dalam kapasitas sebagaimana anggapan bahwa lambang-lambang tersebut sebagai representasi kultural rakyat Papua. Hal ini menjadi pemicu masalah, karena Bintang Kejora dan Hai, Tanahku Papua sudah terlanjur digunakan dan ditempatkan sebagai simbol kedaulatan ketimbang simbol budaya. Angin segar yang diberikan menjadi euforia kebebasan dan berkembang menjadi tuntutan merdeka. Di tengah gelombang tuntutan merdeka maka ditawarkanlah opsi Otonomi Khusus yang selain diharapkan dapat meredam tuntutan masyarakat akan kebebasan dan kemerdekaan, opsi ini juga diharapkan dapat mengakomodasi keinginan mendasar masyarakat Papua.

Aspirasi dan tuntutan yang berkembang direspon oleh Pemerintah dengan terbitnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dengan adanya Otsus bagi provinsi Papua melalui payung hukum UU No 21 tahun 2001 telah memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi Papua untuk melaksanakan amanat UU tersebut. Pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama dan kaum perempuan. Secara garis besar terdapat 4 hal mendasar di dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yaitu : 1. Pengaturan kewenangan antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan. 2. Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. 3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan bercirikan: a. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan

pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuan. b. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya. c. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat. 4. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu. Adalah sangat tidak adil apabila UU Otsus yang sedemikian rupa disusun dan dirancang hanya menjadi sekedar tulisan di atas kertas tidak dimanfaatkan secara
8

optimal, padahal rakyat Papua menaruh harapan yang begitu besar mengejar ketertinggalan mereka dengan saudara-saudara sebangsa yang ada di Indonesia bagian barat. Harapan kita semua bahwa semua komponen masyarakat Papua mempunyai komitmen dan kesatuan pandangan bahwa Otsus bagi Papua merupakan jalan keluar yang terbaik dalam menjawab permasalahan yang terjadi selama ini. Evaluasi terhadap pelaksanaan otsus di Papua memang sudah menjadi keharusan. Seandainya semua pihak sudah berkomitmen untuk menjawab tantangan bagi Papua agar tetap dalam bingkai NKRI, tentunya Otonomi Khusus merupakan jawaban untuk mengakhiri segala permasalahan yang ada di Papua.

PENDAPAT DAN KESIMPULAN Dari sudut pandang kebanyakan rakyat Indonesia, Papua adalah daerah ghorbi, yaitu suatu daerah "asing" yang identik dengan Kristen, TPN/OPM, separatisme, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), terbelakang, primitive dan stigma pejorative lain yang intinya menepatkan Papua sebagai daerah penuh gejolok perang, konflik, kekerasan, dan akhirnya daerah darul harbi. Konsekuensi dari kesan-kesan mendahuluinya itu, sebagai akibatny, bangsa West Papua, kurang mendapat prioritas perhatian dari hati Indonesia , terutama oleh 87% mayoritas pendudunya. Pada gilirannya menepatkan Papua pada urutan terakhir dalam priorita perhatian bagi kebanyakan mayoritas penduduk Indonesia. Papua masuk ranting terakhir skala prioritas untuk memperdulikannya. Karena itu usaha mau tahu secara serius pihak mayoritas penduduk Indonesia atas konflik social politik berkepanjangan di Papua Barat selalu marginal, bukan focus perhatian dan kepedulian, sejak daerah itu di serahkan PBB kepada Indonesia untuk dikontrol melalui hasil Pepera tahun 1962. Dari sudut pandang kebanyakan rakyat Indonesia, Papua adalah daerah ghorbi, yaitu suatu daerah "asing" yang identik dengan Kristen, TPN/OPM, separatisme, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), terbelakang, primitive dan stigma pejorative lain yang intinya menepatkan Papua sebagai daerah penuh gejolok perang, konflik, kekerasan, dan akhirnya daerah darul harbi. Konsekuensi dari kesan-kesan mendahuluinya itu, sebagai akibatny, bangsa West Papua, kurang mendapat prioritas perhatian dari hati Indonesia , terutama oleh 87% mayoritas pendudunya. Pada gilirannya menepatkan Papua pada urutan terakhir dalam priorita perhatian bagi kebanyakan mayoritas penduduk Indonesia. Papua masuk ranting terakhir skala prioritas untuk memperdulikannya. Karena itu usaha mau tahu secara
9

serius pihak mayoritas penduduk Indonesia atas konflik social politik berkepanjangan di Papua Barat selalu marginal, bukan focus perhatian dan kepedulian, sejak daerah itu di serahkan PBB kepada Indonesia untuk dikontrol melalui hasil Pepera tahun 1962. Karena itu wajar bahwa masalah konflk sosial politik di Papua tidak mungkin tanpa melibatkan kelompok penganut agama Islam sebagai cerminan penduduk pemukim Papua secara seluruhnya. Walaupun penganut agama Kristen Protestan mayoritas dikalangan penduduk asli di Utara, (berkat jasa dua missionaries dari Jerman yaitu Otto dan Geisler yang datang ke Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Pebruari tahun 1885), di Papua juga ada agama Katolik yang dominant di Selatan sekitar Merauke. Oleh sebab itu harapan penulis ingin disampaikan, pertama, penyelesaian masalah konflik akut di Papua Barat secara adil dan damai. Kedua, penegakan HAM dan Demokrasi dan permasalahannya di Papua Barat dan ketiga, Paradigma Baru Menuju Papua Damai, bagi perjuangan pembebasan Papua dalam rangka kesiapan sikap dan mental orang Papua menghadapi perubahan atas berbagai masalah social politik, kebudayaan dan agama di Papua Barat harus di selesaikan secara bersama dan bermartabat sesuai nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemanusiaan penuh kedamaian. Demikian juga kita semua agar peduli pada proyek maha amat mendasar bagi hak bereksistensi orang Papua di dunia-nya adalah bagian dari jaminan konstitusi Indonesia sendiri kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaandst, mau diakui secara jujur disini, karena juga tidak bertentangan dengan konsep keadilan dan musyawarah dalam agama Islam, agama anutan mayoritas penduduk Indonesia dan juga penulis.

10

Anda mungkin juga menyukai