Anda di halaman 1dari 4

Peran Politik Perempuan

Oleh ROBINSON SEMBIRING Perempuan perlu berperan dalam politik. Alasan utamanya adalah untuk tampil memperjuangkan kepentingan khusus1 perempuan dan kepentingan keseluruhan masyarakat yang erat dengan naluri perempuan. Disamping itu, ada kekhususan bakat yang ditampilkan oleh perempuan dalam menangani dan mengelola sesuatu/pekerjaan. Kekhususan ini membedakan perempuan dengan lelaki. Maka dalam mengelola dan memanagemeni negara diharapkan kekhususan kaum laki-laki berkombinasi dengan kekhususan perempuan sebagaimana rumah tangga dikelola oleh keduanya. Namun, masih ditemukan berbagai masalah dan kendala dalam menyatakan peran perempuan dalam politik. Masalah dan kendala yang dimaksud hadir dari berbagai sumber. Salah satunya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam sistem kehidupan masyarakat. Pengaruh faktor ini sekaligus telah mengakibatkan masyarakat menjadikan posisi kaum perempuan sub ordinatif terhadap kaum laki-laki. Iklim ini masih terasa hidup dalam keseharian masyarakat kita hingga hari ini. Partisipasi Perempuan Alasan lain dari arti penting partisipasi perempuan dalam politik adalah betapa kehadiran mereka dalam proses pengambilan keputusan politik diharapkan dapat mencegah diskriminasi yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti diskiriminasi di tempat kerja yang mengangap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan, diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan. Perlu pula dicatat, bahwa menurut statistik kependudukan hingga hari ini jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Konkritnya, lebih dari setengah total jumlah penduduk Indonesia (52%) adalah perempuan. Sehingga, mengabaikan perempuan dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan mengabaikan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik. Selama puluhan tahun lembaga-lembaga politik di Indonesia beranggotakan sebagian besar laki-laki dan menghasilkan keputusan-keputusan yang didasari oleh cara pandang (dan kemungkinan) kepentingan yang tidak berkait dengan kepentingan perempuan. Jika jumlah suara perempuan hanya sedikit dalam proses pengambilan keputusan, maka itu tidak akan memberi kesempatan untuk membawa perubahan yang berarti dalam proses pengambil keputusan politik. Karena itu, betapa perlunya memahami arti penting keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusa-keputusan politik. Lagi pula, keterlibatan aktif perempuan dalam kancah politik bukanlah suatu hal yang berlebihan dan bisa mengancam posisi laki-laki, tetapi merupakan suatu kewajaran dalam kerangka hak azasi manusia. Karena keterlibatan perempuan dalam politik adalah haknya sebagai warga negara.
1

Issue-issue kesehatan reproduksi seperti cara KB yang aman, kesejahteraan keluarga seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau masalah kesehatan dan pendidikan anak, kepedulian terhadap anak, kekerasan dan pelecehan seksual, dsb.

Tambahan pula, pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat yang terbuka memberikan kesempatan kepada kaum perempuan seperti masyarakat-masyarakat di Eropa Utara ( Norwegia, Swedia, dsb) menunjukkan ciri lebih efisien dan transparan dalam pengelolaan administrasi negara. Lebih lanjut, sering pula dinyatakan bahwa administrasi negara mereka relatif bersih dari kegiatan korupsi. Di negara kita, pada era pasca reformasi terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa kepala daerah perempuan cenderung lebih peka terhadap kebijakan yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat yang lebih mendasar seperti pendidikan, kesehatan dan masalah masalah keluarga. Masalah-masalah ini dipandang sebagai masalah yang paling esensial dalam upaya pembangunan bangsa dalan jangka panjang dalam rangan membangun nation-state di negeri kita. Hal-hal ini yang dapat disebut sebagai bakat khusus yang dimiliki kaum perempuan dalam memanagemeni kegiatan. Tentu hal ini diperlukan dalam membangun administrasi negara yang lebih relevan dengan tuntutan masyarakat. Masalah-masalah yang Dihadapi Perempuan dalam Meningkatkan Peranan Politiknya Sejujurnya, harus diakui bahwa terdapat perkembangan yang menggembirakan menyangkut partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia. Sejak Pemilu 1987, persentase perempuan di DPR tidak pernah turun dari dua digit: 1987 (13,0%), 1992 (12,5%), dan 1997 (10,8%). Khusus pada Pemilu 1999 persentase perempuan di DPR menurun menjadi 9,0%. Namun pada periode berikutnya (2004) prosentasenya meningkatlagi menjadi 11%. Walaupun demikian, tidak bisa pula ditutup mata terhadap beberapa masalah/kendala yang dihadapi perempuan dalam meningkatkan perannya dalam politik. Beberapa masalah diantaranya adalah seperti yang akan diuraikan berikut ini. Hambatan internal, yaitu faktor-faktor yang timbul dari dalam diri perempuan sendiri yang berpengaruh terhadap rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik. - Ada anggapan dikalangan perempuan bahwa politik itu penuh intrik dan kekerasan yang dipandang sebagai dunianya laki-laki. - Banyak perempuan tidak senang berorganisasi. Hal ini membuat mereka tidak percaya diri memasuki fungsi pengambilan keputusan melalui jabatan-jabatan dalam organisasi - Perempuan sendiri lebih menenggelamkan diri pada dunia domestik atau kesibukan konsumtif. Selanjutnya adalah hambatan eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri kaum perempuan, yang meliputi hambatan sosial-kultural, hambatan ekonomi dan hambatan politis. Pertama, hambatan sosial-kultural. Bangunan dasar masyarakat kita adalah patrilineal. Hal ini dapat dilihat betapa dalam masyarakat kita, betapa kaum lakilaki lebih diberikan kesempatan untuk ambil bagian menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan dibandingkan dengan perempuan. Kondisi ini tentu ikut mempengaruhi ketrampilan dan rasa percaya diri kaum perempuan dalam menangani berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat. Praktis, perempuan cenderung dipandang sebagai kaum yang fungsinya hanya menemani kaum laki-laki dalam menghadapi masalah. Ada yang memandang posisi ini sebagai gambaran dari posisi kelas dua yang diberikan kepada perempuan. Aktivitas perempuan diformat hanya untuk aktivitas domestik. Dunia

perempuan adalah dunia yang serba halus dan harmonis, sedangkan percaturan dunia yang dicirikan kompetisi bahkan konflik adalah dunia kaum laki-laki. Hambatan selanjutnya adalah hambatan ekonomi, Hambatan ini memiliki hubungan ereat dengan hambatan sosial-kultural. Posisi kaum perempuan secara sosiokultural akhir ikut menentukan posisinya dalam aktivitas ekonomi. Dalam banyak hal, kita menyaksikan bahwa akses kaum laki-laki terhadap aktivitas ekonomi lebih besra daripada akses kaum perempuan. Ini berkait dengan pandangan bahwa kaum perempuan sebaiknya hidup dalam aktivitas yang dipenuhi dengan suasana kelembutan dan harmoni. Mereka wajib dijauhkan dari berbagai aktivitas yang dapat mengancam secara fisik. Disamping itu, kelemahan mereka secara fisik juga ikut menetukan dilakukannya pembatasan atas pilihan karier. Termasuk juga dalam hal ini adalah keterbatasan waktu yang mereka miliki karena kendala biologis. Hambatan lainnya adalah hambatan politik. Dalam waktu yang relatif lama, Perempuan juga dipasung oleh perundang-undangan. Banyak yang menuding bahwa kecenderungan peraturan perundang-undangan di negara kita cenderung bersifat maskulin. Dibuat oleh kaum laki-laki dan tanpa disadari hanya mempertimbangkan kepentingan kaum laki-laki. Bersamaan dengan itu, ruang yang tersedia bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam posisi jabatan-jabatan publik juga dibatasi. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai terlihat adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum perempuan dalam politik, namun kebijakan-kebijakan tersebut belum diperlakukan secara maksimal. Upaya Peningkatan Peranan Politik Perempuan Dalam upaya meningkatkan peran politik perempuan, perlu diperhatikan dua sumber yang melahirkan kendala kaum perempuan dalam menyatakan peran politiknya, yaitu: hambatan internal dan hambatan eksternal kaum perempuan. Terhadap faktorfaktor internal yaitu faktor-faktor yang timbul dari dalam diri wanita sendiri perlu : a. Dilakukan kegiatan-kegiatan peningkatan pendidikan formal dan nonformal yang isinya mampu meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kemampuan diri yang meningkatkan kepercayaan diri sehingga siap, mampu dan bersedia menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. b. Kegiatan berkelanjutan yang secara khusus meningkatkan kesadaran berorganisasi dan kemampuan mengelola organisasi dalam menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun nonpemerintah, mulai dari level akar rumput hingga institusi-institusi yang bersifat nasional dan bahkan internasional. Terhadap faktor-faktor eksternal, perlu dilakukan beberapa hal yakni: a. Senantiasa ditingkatkan dan diperluas wacana tentang perlunya partisipasi perempuan dalam kehidupan kemasyarakatan. Untuk kegiatan ini, pemerintah melalui unit-unit organisasinya yang dirancang untuk meningkatkan peran peran perempuan dapat mengefektifkan kegiatan-kegiatannya sehingga tidak hanya sebagai kegiatan formalitas dan berorientasi proyek saja. Untuk hal ini, diperlukan pejabat-pejabat yang memiliki komitmen peningkatan peran perempuan.

b. Perlu didorong kesediaan tokoh-tokoh perempuan untuk secara aktif mendukung munculnya kader-kader tokoh perempuan yang baru dalam kegiatan-kegiatan penyadaran/peningkatan peran perempuan dalam menangani masalah-masalah publik dan kemasyarakatan. --Sekian--

Anda mungkin juga menyukai