Anda di halaman 1dari 7

PENINGKATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK1

Oleh Robinson Sembiring Pendahuluan: Semula panitia menyuguhkan sebuah judul panjang, yakni Formulasi Kebijakan, Capacity Building untuk Peningkatan Pelayanan Publik dalam rangka Mewujudkan Good Governance. Judul yang sedemikian panjang yang mencakup permasalahan yang meluas menyulitkan saya untuk memilih fokus pembahasan yang akan disajikan dalam makalah ini. Untunglah, belakangan ada info susulan yang diperoleh dari panitia, bahwa makalah yang saya susun diharapkan dapat memberikan tekanan pada issue peningkatan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Dengan dasar info tersebut, maka saya melihat bahwa ada dua konsep yang menjadi fokus pembicaraan ini, yaitu: Capacity Building dan Pelayanan Publik (Public Service). Kedua konsep tersebut dibicarakan dalam konteks pemwujudan Good Governance (Tata Pemerintahan yang Baik). Menyangkut hal ini, maka catatan awal yang perlu dikemukakan adalah bahwa realitas perlunya kesadaran akan kewajiban memperbaiki kapasitas manusia maupun lembaga pemerintahan untuk peningkatan pelayanan publik bukanlah lahir menyusul diperkenalkannya konsep good governance. Sebelum dan sesudah good governance menjadi wacana publik, penyelenggaran pelayanan publik telah menjadi kewajiban dasar setiap pemerintahan pada setiap level atau tingkatan. Dilacak lagi pun ke dalam lembaran-lembaran sejarah dan perkembangan pemikiran politik (political thinkings) awal, dapat langsung ditemukan bahwa pemerintah dibentuk justru untuk menjamin dan menyelenggrakan pelayanan kepada publik atau masyarakat. Pemikiran tentang kontrak sosial sebagai salah satu asal-muasal pemerintahan tidaklah terlepas dari penjaminan terhadap berjalannya pelayanan publik. Hal ini perlu dikemukakan, agar tidak terbentuk atau berlanjut kekeliruan bahwa seolaholah wacana good governance telah sama sekali membuka dan merubah cakrawala pemikiran tentang kewajiban dasar pemerintahan menyangkut pelayanan publik. Jika pada hari ini, kita berkumpul dan bersama-sama berbicara tentang peningkatan pelayanan publik bersamaan dengan wacana tentang good governance, maka itu hanya menjadi sesuatu yang terjadi akibat musim atau trend. Tanpa berkembangnya wacana tentang good governance, pelayanan publik adalah suatu keharusan sebagai salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh setiap pemerintahan pada setiap tingkatan. Good Governance Dalam wacana kepemerintahan kita, amat biasa terdengar bahwa good governance adalah terjemahan dari pemerintahan yang baik. Ini kekeliruan lain yang perlu disoroti. Dari dulu kita telah bercita-cita untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, walau konsep good governance belum menjadi wacana kita sehari-hari. Secara
1

Formulasi Kebijakan Dan Program Peningkatan Kapasitas Daerah/Pelayanan Umum Dalam Rangka Perwujudan Good Governance

lebih spesifik, belakangan kita mengenal Tata Pemerintahan yang Baik sebagai terjemahan dari kata Good Governance. Dengan ungkapan tata pemerintahan yang baik, maka kemudian kita menyadari bahwa masih banyak aspek dalam management pemerintahan yang perlu disoroti dan diperbaiki, sehubungan dengan pengalaman kita menangani pemerintahan selama ini. Wacana good governance telah meneguhkan kembali bahwa dalam memanegemeni pemerintahan perlu diseksamai lagi sudah sampai sejauh mana prinsip-prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, orientasi konsensus, effektivitas dan effisiensi, strategic vision, legitimasi, resource prudence, ecological soundness, empowering and enabling, partnership dan spatially grounded in communities telah dihargai dan diperjuangkan oleh setiap orang yang terlibat dengan jalannya pemerintahan. Capacity Building Dalam wacana tentang administrasi pembangunan yang berkembang dalam studi administrasi negara, Bryant & White pernah mengemukakan: Dimana-mana memang terdapat kekurangan kapasitas administrasi; akan tetapi tipisnya kapasitas itu di Dunia Ketiga membawa akibat yang istimewa parahnya. Ketidakmampuan administrasi memperdalam keterbelakangan( Bryant & White, 1987) Keterbelakangan yang dimaksud tentu harus diatasi. Jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperbaiki kapasitas pemerintahan. Maka sebenarnya membumbungnya pembicaraan tentang capacity building merupakan hasil kesadaran bahwa masih ada sekelompok pemerintahan yang masih terbelakang dibandingkan dengan sekelompok pemerintahan lain yang dikelola oleh masyrakat maju di Eropa dan Amerika. Capacity building berkaitan dengan sampai seberapa jauh staff mampu menunjukkan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan personal, organisasi dan masyarakat (Janet L. Finn dan Barry Checksoway) Capacity building mengacu pada kemampuan lembaga dan manusianya untuk mendesain dan mengimplementasikan semua program pembangunan dalam rangka peningkatan kualitas hidup warga negara. Capacity building mencakup peningkatan keterampilan SDM dan lembaganya. Menurut Valentine Udoh James, capacity building adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat pada bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk mengembangkan keterampilan manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk membangun struktur budaya, sosial politik, ekonomi dan SDM mereka sehingga mereka mampu ikut dan bertahan (exist) dalam percaturan global. Menurut Katty Sessions, capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat maupun individu dalam mengembangkan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program capacity building seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan mereka untuk menjalankan keputusan-keputusan secara efektif. Capacity building bisa meliputi pendidikan dan latihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, dan juga asistensi finansial, teknologi dan sains. Berikut ini akan dikemukakan elemen pokok, faktor pengaruh, syarat-syarat dan hambatan-hambatan capacity building. Point-point yang dikemukakan dibawah ini dikutip dari telaah mengenai capacity building yang dikemukakan oleh rekan-rekan dari Puskodak UNDIP.

Elemen Pokok Capacity Building 1. Aktor yang dibangun: Pada prinsipnya meliputi dua hal pokok yaitu aktor individual (personel) dan aktor organizational (kelembagaan). 2. Elemen yang dibangun: Keterampilan dan keahlian 3. Metode yang mungkin dilakukan: Pendidikan dan latihan, reformasi legal dan institusional, asistensi keilmuan, teknologi, dan finansial. Faktor-faktor Pengaruh Capacity Bilding 1. Komitmen bersama 2. Kepemimpinan 3. Reformasi peraturan 4. Reformasi Kelembagaan 5. Pengakuan atas kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Syarat-syarat dalam Capacity Building 1. Partisipasi 2. Innovasi 3. Akses terhadap informasi 4. Akuntabilitas 5. Kepemimpinan Hambatan-hambatan Capacity Building 1. Resistensi legal-prosedural 2. Resistensi pimpinan 3. Resistensi staff 4. Resistensi konseptual 5. Mispersepsi tentang capacity building Pelayanan Umum Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang besar kepada Kabupaten dan Kota untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan dinamika lokal. Pemerintah Kabupaten dan Pemerintahan Kota memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan dan program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah. Dari sisi tata pemerintahan, kinerja pelayanan publik dapat menjadi indikator penting untuk menilai apakah tata pemerintahan yang baik memiliki tanda-tanda untuk terwujud di Kabupaten dan Kota. Otonomi daerah memberikan peluang kepada pemerintah Kabupaten dan Kota untuk mempercepat terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Pemerintah Kabupaten dan Kota memiliki kewenangan yang besar untukmendorong proses kebijakan lebih partisipatif, responsif dan akuntabel karena kendali dari proses kebijakan dan alokasi anggaran sepenuhnya ada di tangan mereka. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, kebijakan mengenai skala, cakupan dan kualitas sepenuhnya ada di tangan Pemerintah Kabaupaten/Kota dan DPRD. Karena

itu, seberapa jauh penyelenggaraan pelayanan publik memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik sepenuhnya tergantung pada kepedulian pemerintah dan DPRD terhadap tata pemerintahan yang baik. Semakin tinggi kepedulian pemerintah terhadap tata pemerintahan yang baik, kinerja pelayanan publik akan menjadi semakin baik. Wajar jika kinerja pelayanan publik kemudian digunakan untuk mengamati kinerja pemerintah kabupaten/kota dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Untuk menilai kinerja pelayanan publik, ada beberapa indikator yang dapat dipergunakan, antara lain: Keadilan (equity) dan persamaan pelayanan, kepastian waktu dan biaya, responsivitas, dan rente birokrasi. Keadilan Pemenuhan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik dapat dilihat dari kemampuan pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama dan adil kepada warganya dalam menjalankan pelayanan publik. Tata pemerintahan yang baik mengharuskan pemerintah kabupaten/kota menjamin warganya untuk memperoleh akses yang sama bukan hanya kepada pelayanan publik, tetapi juga pada kualitas pelayanan yang sama. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, kendati semua warga relatif memiliki akses terhadap pelayanan itu, mereka sering memiliki akses yang berbeda terhadap pelayanan yang berkualitas. Mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik sering memiliki akses terhadap kualitas pelayanan yang baik, sedangkan mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah sering hanya memiliki akses terhadap kualitas pelayanan yang buruk. Kepastian waktu dan biaya/Effisiensi Pelayanan publik yang dapat memberikan kepastian tentang waktu dan biaya pelayanan tentu memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat yang dilayani. Untuk pelayanan yang berkaitan dengan perijinan, kepastian waktu dan biaya memberikan kemudahan terhadap masyarakat dalam membuat rencana dan anggaran bagi kegiatan-kegiatan atau usahanya. Sebaliknya tanpa kepastian waktu dan biaya, sering mengakibatkan kerugian finansial dan kesempatan yang justru menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam hal kegiatan usaha masyarakat. Ini terjadi karena tanpa kepastian waktu dan biaya sering menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar agar kesempatan tidak menjadi hilang. Dengan demikian, persoalan effisiensi pelayanan publik pada dasarnya terletak pada dimensi waktu dan biaya pelayanan ini. Secara konsepsual, soal ini dapat mengarah pada dua arah yakni effisiensi waktu dan biya pada pihak pemberi pelayanan (pemerintah) dan effisiensi pada pihak yang dikenai pelayanan. Semestinya effisiensi dapat diperoleh pada kedua arah ini, barulah dapat dikatakan suatu pelayanan publik telah terselenggara secara effisien. Salah satu kelemahan yang paling mendasar menyangkut hal ini adalah bahwa pemerintah belum mampu membuat standard waktu dan biaya bagi pelayanan publik. Dalam catatan yang dikemukakan penelitian GDS 2002: Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan sering kali tidak diatur dengan jelas. Jarang sekali Kabupaten/Kota menentukan secara jelas mengenai lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan. Keengganan menentukan secara jelas waktu yang diperlukan untuk memperolah sebuah

pelayanan dapat dipahami karena umumnya mereka takut hal tersebut menjadi bumerang bagi pemberi pelayanan apabila gagal memberikan pelayananan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Kondisi ini sering membuat penyelenggara pelayanan publik bertindak seenaknya ketika melayani masyarakat. Akibatnya, ketidakpastian waktu pelayanan cenderung amat tinggi dalam hampir semua jenis pelayanan publik. Jika pun ada, maka sering terbatas untuk laporan dan pembicaraan resmi. Realitasnya, standard yang dimaksud tidak pernah terwujud dalam pelayanan-pelayan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sudah saatnya standardisasi pelayanan menyangkut waktu dan biaya ini menjadi target setiap pemerintah kabupaten/kota, karena kepercayaan publik pada pemerintah sebenarnya berawal dari soal ringan tapi dipandang berat ini. Responsivitas Responsivitas berkaitan dengan kemampuan pemerintah untuk mengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Hormon,1995). Responsivitas menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam memberikan evaluasi terhadap responsivitas pemerintah terhadap pelayan publik dapat dilihat dari keluhan masyrakat, sikap pemerintah dalam menanggapi keluhan dan kepedulian pemerintah terhadap pelayanan publik yang mendasar seperti kesehatan, pendidikan dan usaha kecil menengah (UKM). Beberapa Catatan Dalam catatan saya, program capacity building sebenarnya telah dilakukan sejak lama dalam birokrasi pemerintahan kita. Pendidikan dan latihan maupun pengembangan keorganisasian hampir-hampir berjalan bersamaan dengan rutinitas kegiatan birokrasi pemerintahan. Dalam anggaran pemerintahan, hampir pada setiap anggaran ditemukan anggran tentang pendidikan dan pengembangan pegawai. Demikian juga upaya memperbaiki kinerja birokrasi melalui penyempurnaan prosedural maupun pengembangan organisasi senantiasa dilakukan. Hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut yang barngkali dianggap belum memuaskan. Realitasnya, hingga hari ini umum memandang bahwa pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintahan tetap dipandang masyarakat dengan sikap sinis. Pelayanan pada rumah sakit-rumah sakit maupun lembaga pendidikan dasar yang dikelola oleh swasta tetap lebih memuaskan dibandingkan dengan yang dikelola oleh pemerintah. Para pegawai yang bekerja pada lembaga/instansi swasta dipandang jauh lebih cekatan dalam melaksanakan pekerjaannya dibandingkan dengan pegawai negeri. Sebagian pengamat melihat keterkaitan perbedaan kinerja antara pegawai negeri dengan kinerja pegawai swasta diakibatkan oleh faktor penegakan disiplin dan tingkat kesejahteraan pegawai. Dan, masih dapat dilacak kaitanya dengan kedua hal tersebut adalah kultur birokrasi. Banyak pengamat birokrasi pemerintahan menganggap kultur birokrasi yang diwariskan oleh kolonialisme, yaitu feodalisme maupun warisan pemerintahan lama yakni orientasi kepada atasan serta KKN secara meyakinkan telah tampil sebagai penghalang bagi terwujudnya sistem pelayanan publik yang memuaskan pelanggan.

Doktrin abdi negara, bukan abdi rakyat serta nilai-nilai tanpa pamrih telah demikian mengendap lama dalam tubuh birokrasi Indonesia telah menyebabkan produktivitas dalam bentuk yang seharusnya, yaitu kuantitas dan kualitas bukan menjadi sesuatu yang dikejar oleh pegawai. Keseharian mereka lebih berkutat pada upaya memenuhi kebutuhan hidup yang diperjuangkan tanpa ada kaitannya dengan kualitas pelayanan yang disuguhkan. Bahkan keburukan pada pelayanan publik seperti ketidakjelasan prosedural dan ketidakjelasan waktu dan biaya pelayanan memiliki kaitan dengan persoalan di atas. Pendidikan dan latihan yang selama ini diikuti oleh pegawai negeri untuk meningkatkan keterampilan dalam berbagai hal dipandang masih berorientasi formalistik dan terikat musim anggaran ketimbang diikuti dan dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan dan perbaikan kualitas kerja. Capacity building menjadi suatu keharusan dalam upaya memperbaiki pelayanan publik. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah model pelaksanaan pendidikan dan latihan pegawai. Sudah saatnya pelaksanaan pendidikan dan latihan kepegawaian dan hasil-hasilnya juga disampaikan kepada publik. Termasuk dalam hal ini juga adalah strategi pengembangan organisasi serta rekruitment pegawai. Profesionalisme yang terwujud dalam pemanfaatan teknik-teknik management sebagaimana telah sangat banyak dimanfaatkan oleh organisasi swasta sudah saatnya diadopsi oleh birokrasi pemerintah. Kepustakaan 1. Bryant, Coralie dan Louise G. White, Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, (Jakarta: LP3ES, 1983) 2. Dwiyanto, Agus Dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, (Yogyakarta: PSKK UGM, 2002) 3. Dwiyanto, Agus Dkk, , Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: PSKK UGM, 2003) 4. Warsito, Dkk, Otonomi Daerah, Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal, (Semarang: Puskodak UNDIP, 2003)
UNDP defines the following as core characteristics of good governance: Participation: All men and women have a voice in decision-making, either directly or through legitimate intermediate institutions that represent their interests. Such broad participation is built on freedom of association and speech, as well as capacities to participate constructively. Rule of law: Legal frameworks are fair and enforced impartially, particularly the laws on human rights; public security and safety are at a high level. Transparency: Transparency is built on the free flow of information. Processes, institutions and information are directly accessible to those concerned with them, and enough information is provided to understand and monitor them. Responsiveness: Institutions and processes serve all stakeholders. Consensus

orientation: Differing interests are mediated to reach a broad consensus on what is the common good, in the best interests of the group, organization, community or country and, where possible, on policies and procedure Equity: All men and women have opportunities to improve or maintain their wellbeing and the vulnerable and excluded are targeted to provide security of well-being to all. Effectiveness and efficiency: Processes and institutions produce results that meet needs while making the best use of resources. Accountability: Decision-makers in government, the private sector and civil society organizations are accountable to the public and specific constituencies,, as well as to institutional stakeholders. Strategic Vision: Leaders and the public share a broad and long-term perspective on the good society, good governance and human development, along with a sense of what is needed for such development. Legitimacy: Authority is legitimate in terms of the established legal and institutional framework and specific decisions in terms of the accepted institutional criteria, processes and procedures. Resource Prudence: Resources are managed and used with a view to optimize the well-being of people over several generations, ideally in perpetuity, without mortgaging the future. Ecological Soundness: The environment is protected and regenerated to ensure sustainable selfreliance. Empowering and Enabling: All actors in society are empowered to pursue legitimate goals and enabling environments are created to optimize their success and the realization of the well-being of all. Partnership: Governance is seen as a whole-system responsibility that cannot be discharged effectively by government alone, but involves institutionalized mechanisms and processes for working in partnerships of public, private and civic actors in conducting the business of governance at all levels. Spatially grounded in communities: The multi-level nature of human systems with the principles of self-determination and self-organizing embodied at each level is recognized as the basis for governance that puts people at the centre and empowers them to be self-reliant, self-organizing and self-managing, building on the autonomy of local communities

Anda mungkin juga menyukai