Anda di halaman 1dari 7

Memahami dan Membangun

Partisipasi Masyarakat*
Oleh Robinson Sembiring 1. Pendahuluan Ada beberapa catatan awal yang ingin dikemukakan tentang partisipasi, sebagai berikut: 1. Banyak upaya dalam membangun partisipasi masyarakat gagal sebab usaha mendorong keterlibatan tidak jelas menyangkut level partisipasi yang ditawarkan. Konsultasi yang terbatas dengan pilihan-pilihan yang sangat terbatas yang digambarkan sebagai kesempatan untuk partisipasi aktif cenderung telah melahirkan kekecewan-kekecewaan. 2. Level berbeda harus memperhitungkan situasi dan kepentingan yang berbeda pula 3. Partisipasi yang effektif tampaknya terjadi ketika kepentingan yang berbeda yang bergabung dalam proyek atau program, dipuaskan hingga pada level mana mereka dilibatkan 4. Ada waktu yang dibutuhkan untuk membangun partisipasi. Sebagian besar waktu yang dibutuhkan ini digunakan untuk persiapan dalam organisasi untuk membangun prakarsa sebelum kontak dilakukan dengan masyarakat yang lebih luas. 5. Teknik-teknik riset operasi, management, pendidikan dan pengembangan, PRA (Participatory Rural Apraisal) dan resolusi konflik dapat diterapkan dalam proses partisipasi masyarakat. Catatan di atas relevan untuk diingat kembali sehubungan issue yang diajukan dalam pertemuan ini, yakni: membangun partisipasi masyarakat dalam mendukung program pemerintah. Dalam hemat penulis, kegagalan dalam mendorong dan mengelola proyek-proyek partisipatif terletak pada kegagalan memahami konsep partisipasi serta adanya keengganan menjadikan partisipasi sebagai idealisme dalam mengelola program/proyek yang ditawarkan kepada masyarakat. Sistem penganggaran yang amat terikat dengan waktu, serta management proyek yang sangat terstruktur secara ketat sering menyebabkan praktisi (practitioner) harus mengalah pada tuntutan sistem management ketimbang efektivitas penggalangan partisipasi. 2. Pengertian Partisipasi Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang dihadapkan kepadanya" Gordon W. Allport1 menyatakan : Bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada
1

*) Disampaikan dalam Panel Diskusi Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Program Pemerintah Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi FISIP USU dan FISIP Universitas Riau, Jumat, 20 Februari 2009 di Ruang Sidang FISIP USU Medan. U Gordon W. Allport, The Psychology of Participation (1945)

keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja". Sementara itu, menurut Keith Davis2: Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan"). Selanjutnya, menurut dia terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para pemrakarsa/praktisi yang hendak menerapkan strategi partisipatif dalam menjalankan kegiatannya, yakni: a) Bahwa partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/partisipasi, sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah, b) kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok dengan rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok sehingga seseorang menjadi anggota kelompok dengan segala nilainya ("sense of belongingness") c) tanggung jawab. Pendapat lain dari Alastaire White3 memberi rumusan tentang partisipasi sebagai berikut : "Involvement of decision making implementation" the local population actively in the of development projects or in their (Keterlibatan penduduk setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pembangunan proyek atau pelaksanaannya"). Sementara itu, Awang (1999), mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap fase kegiatan mulai dari perencanaan dan pengambilan keputusan, implementasi, evaluasi dan pemanfaatan atas inisiatif sendiri berdasarkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada mereka untuk menyelesaikan hal-hal yang dianggap sebagai hambatan dan merupakan bentuk inovatif dalam melihat peluang atas kebutuhan-kebutuhannya. Untuk menambah penjelasan di atas berikut ini beberapa penjelasan yang dikemukakan dikemukakan oleh Slamet Luwihono (2007), sebagai berikut:
Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok yaitu kelompok masyarakat- terkena kebijakan dan kelompok pengambil keputusan. Canter (1977) mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggungjawab. Secara sederhana ia mendefinisikan sebagai feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Berdasarkan sifatnya oleh Cormick (1979) partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu konsultatif dan kemitraan. Pola partisipatif yang bersifat konsultatif ini biasanya dimanfaatkan oleh pengambila kebijakan sebagai suatu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Dalam pendekatan yang bersifat konsultatif ini meskipun anggota masyarakat yang berkepentingan mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan hak untuk diberitahu, tetapi keputusan akhir tetap ada ditangan kelompok pembuat keputusan tersebut (pemrakarsa). Pendapat masyarakat di sini bukanlah merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Selain sebagai strategi memperoleh dukungan dan legitimasi publik. Pendekatan partisipatif yang bersifat konsultasi ini dalam penggolongan partisipasi masyarakat menurut Wengert (1979) dapat dikategorikan partisipasi sebagai suatu kebijakan yaitu yang memberikan hak untuk dikonsultasi (right to be consulted).
2 3

Keith Davis, Human Relations at Work Alastaire White, "Introduction to Community Participation"

Berbeda dengan konsultasi, pendekatan partisipatif yang bersifat kemitraan lebih menghargai masyarakat lokal dengan memberikan kedudukan atau posisi yang sama dengan kelompok pengambil keputusan. Karena diposisikan sebagai mitra, kedua kelompok yang berbeda kepentingan tersebut membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan secara bersama-sama. Dengan demikian keputusan bukan lagi menjadi monopoli pihak pemerintah dan pengusaha, tetapi ada bersama dengan masyarakat. Dengan konsep ini ada upaya pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan.4

Dari rumusan-rumusan mengenai konsep partisipasi di atas, dapat dipahami arti dari istilah partisipasi. Dalam menerapkan konsep partisipasi masyarakat masih sering ada pihak yang menghubungkan arti partisipasi dengan sekedar kesediaan memberi sumbangan (uang atau barang) atau turut bekerja dalam sesuatu kegiatan. Keterlibatan dalam bentuk kesedian memberikan sumbangan barang, uang atau tenaga jelas belum mencakup pelibatan pikiran serta perasaan, sehingga dirasakan sebagai suatu paksaan. Kalau pendapat sedemikian terus dipertahankan, maka arti partisipasi akan menjadi sangat sempit dan bahkan cenderung akan berarti: memaksa tanpa menghiraukan pikiran dan perasaan orang-orang yang diajak berpartisipasi. 3. Mengelola Partisipasi Partisipasi adalah produk interaksi antara praktisi (practitioner) dengan masyarakat. Sebelum menunjukkan partisipasinya masyarakat terlebih dulu berinteraksi dengan praktisi sebagai operator termasuk elemen-elemen kegiatan yang ditawarkan. Berdasarkan cerapan masyarakat atas kesan interaksi yang dialaminya, masyarakat akan menentukan kesediaannya untuk ikut berpartisipasi, termasuk kedalaman dan bentuk partisipasi yang akan dipilihnya. Proses ini sering sangat membutuh waktu dan strategi ulur-tarik atau zigzak. Untuk lebih memahami bagaimana lika-liku bagaimana partisipasi yang akan muncul dari masyarakat setidak-tidaknya dapat ditelusuri dengan merujuk pada apa yang disebut dengan gagasan kunci tentang partisipasi. Melalui tulisan ini dikemukakan adanya sepuluh gagasan kunci partisipasi yang dikutip berdasarkan hasil rangkuman yang ditulis oleh David Wilcox (1994)5 1. Level partisipasi Level partisipasi menggambarkan tentang intensistas dan kedalaman seseorang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan partisipatif yang ditawarkan kepadanya. Terdapat 5 level partisipasi yakni: a. Informasi: menginformasikan terhadap masyarakat adanya rencana b. Konsultasi: penawaran beberapa pilihan, mendengarkan umpanbalik namun tidak menerima gagasan baru dari masyarakat . c. Memutuskan bersama: mendorong adanya pilihan dan gagasan baru dan memberikan kesempatan terlibat dalam pengambilan keputusan d. Melakukan bersama: tidak hanya memutuskan bersama melainkan juga membentuk kemitraan untuk melaksanakan rencana secara bersama.
4

Slamet Luwihono, Optimalisasi Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup: Upaya Mewujudkan Kesimbangan Akses Terhadap Lingkungan, 2007

David Wilcox, Community participation and Empowerment: Putting Theory into Practice, Joseph Rowntree Foundation, 1994

2.

3.

4.

5.

6.

7.

e. Dukungan terhadap kepentingan masyarakat:kelembagaan lokal ditawari dana, advice dan dukungan lain untuk realisasi dan pengembangan agenda mereka. Perlu diingat bahwa adanya proses informasi dan konsultasi belum berarti partisipasi. Partisipasi yang substansial itu meliputi tahapan memutuskan bersama, melakukan bersama dan dukungan dari dan terhadap kepentingan masyarakat. Sehubungan dengan level partisipasi ini, Wilcox menyarankan: it is more productive for all concerned if organisations promoting involvement are clear in their initial stance even if the degree of participation offered is limited. One stance, or level, is not necessarily better than any other it is rather a matter of horses for courses. Different levels are appropriate at different times to meet the expectations of different interests. However, organisations promoting involvement should be prepared to negotiate greater degrees of participation if that will achieve common goals.6 Inisiasi dan proses Ini menyangkut situasi dimana seseorang atau organisasi berusaha melibatkan yang lain pada level-level partisipasi. Jadi, partisipasi tidak terjadi begitu kegitan ditawarkan. Proses ini terdiri atas 4 fase: a. Inisiasi b. Penyiapan pelaksanaan c. Partisipasi d. Pelanjutan Pengendalian Inisiator berada dalam posisi yang yang lebih kuat dalam menentukan tingkat pengendalian yang diperbolehkan terhadap pihak-pihak lain. Maka pengendalian sebenarnya lebih terletak ditangan inisiator ketimbang mereka yang dilibatkan. Kekuasaan dan tujuan Kekuasaan:kemampuan dari berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Adakalanya sesuatu organisasi tidak menginginkan partisipasi masyarakat, karena mereka tidak ingin kehilangan kendali atas proses. Namun perlu dicatat bahwa bekerja secara bersama-sama akan menghasilkan lebih ketimbang dikerjakan sendiri. Ini sekaligus keuntungan partisipasi. Peran praktisioner Perlu diingat peran yg harus dimainkan praktisi antara mengendalikan akses terhadap uang dan sumberdaya dengan memainkan peran yang netral dalam memfasilitasi proses Stakeholders dan komunitas Istilah komunitas sering mencakup orang-orang dengan bentangan kepentingan yang demikian kompleks, banyak diantaranya memiliki prioritas yang berbeda. Sebagian kemungkinan berkepentingan terlibat pada tahap inisiasi, yang justru kurang dari itu. Karena itu, lebih kena jika menggunakan istilah stakeholders, yakni siapa saja yang memiliki kepentingan pada apa yang sedang/sudah terjadi. Kemitraan

David Wilcox, Opcit. p. 2

Menunjukkan ketika sejumlah kepentingan yang berbeda bergabung bersama secara formal maupun informal untuk mengusahakan pencapaian atas tujuan yang sama. 8. Komitmen Orang-orang akan memiliki komitmen jika merasa bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu dari sesuatu yang sedang dikerjakan. 9. Kepemilikan gagasan-gagasan Orang-orang akan terikat dengan sesuatu jika merasa memiliki bagian atas gagasan yang sedang diperjuangkan. 10. Rasa percaya diri dan kapasitas Kemampuan merealisasikan gagasan akan berkait dengan rasa percaya diri dan keahlian yang dimiliki. Kemungkinan ada overlapping atas istilah dan pengertian yang diajukan, namun beberapa elemen yang diajukan oleh Kotler dibawah ini mungkin dapat memperluas pemahaman dan wawasan tentang atmosfir partisipasi. Menurut Kotler (1972) ada 5 elemen yang selalu dijumpai dalam setiap aksi sosial, yaitu: 1. Tujuan (cause), atau kegiatan sosial yang dianggap dapat memecahkan masalah, 2. Change Agency (Badan atau Lembaga yang pengubah yang tugas utamanya ialah melaksanakan tujuan atau kegiatan), 3. Change Targets (sasaran-sasaran yang akan diubah), yang dapat berupa individu, kelompok atau lembagalembaga, 4. Channels (saluran) atau jalan-jalan yang menghubungkan pengaruh dan respon antara badan pengubah dan sasaran, dan 5. Change Strategy (strategi perubahan), cara atau pola dasar yang dipakai oleh pengubah untuk mengubah atau mempengaruhi sasaran7 1. 2. Sedangkan menurut jenisnya partisipasi dapat dikategorikan atas: Pikiran (psychological participation). Tenaga (physical participation). 3. Keakhlian (participation with skill). 4. Barang (material participation). 5. Uang (money participation).8

Selanjutnya, Keith Davis mengemukakan beberapa persyaratan agar pelaksanaan partisipasi dapar berjalan secara efektip : 1. Waktu Untuk dapat berpartisipasi diperlukan waktu. Waktu termaksud adalah untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pemrakarsa. Pesan tersebut mengandung informasi mengenai apa dan bagaimana serta mengapa diperlukan partisipasi. Subyek partisipasi hendaklah relevan atau berkaitan dengan organisasi dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatiannya interestnya.
7 8

Lihat dalam Materi Kuliah Konsep-konsep Dasar Partisipasi Keith Davis, Human Side at Work, ______.

2. Partisipasi harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi, dalam arti kata yang bersangkutan memiliki luas lingkup pemikiran dan pengalaman yang sama dengan pemrakarsa, dan kalaupun belum ada, maka unsur-unsur itu ditumbuhkan oleh pemrakarsa. 3. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal balik, misalnya menggunakan bahasa yang sama atau yang sama-sama dipahami, sehingga tercipta pertukaran pikiran yang efektif/berhasil. 4. Para pihak yang bersangkutan bebas di dalam melaksanakan partisipasi tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Bila partisipasi diadakan untuk menentukan suatu kegiatan hendaknya didasarkan kepada kebebasan dalam kelompok, artinya tidak dilakukan pemaksaan atau penekanan yang dapat menimbulkan ketegangan atau gangguan dalam pikiran atau jiwa pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini didasarkan kepada prinsip bahwa partisipasi adalah bersifat persuasif. Dalam kaitan dengan apa yang dikemukakan di atas, maka pemrakarsa atau orang yang membutuhkan partisipasi perlu memahami, bahwa manusia tidak sama, artinya tiap manusia adalah berbeda dari manusia lain. Perbedaan ini adalah baik dalam segi fisik, jiwa, kepentingan, motivasi maupun harga diri. Partisipasi masyarakat adalah merupakan partisipasi dari sejumlah individu yang berada dalam kelompok yang terorganisasikan. Bagi pemrakarsa menjadi penting untuk menggerakkan interest individu menjadi kepentingan yang bersifat umum, sehingga timbul suatu aksi kelompok, aksi massa dengan kepentingan yang sama dan untuk dicapai bersama. Dalam hubungan inilah dipandang penting peran berbagai metode komunikasi untuk merubah sikap, pandangan, pendapat, dan tingkah laku dengan mengarahkannya kepada tujuan yang hendak dicapai. 4. Penutup 1. Pendekatan partisipasi terhadap masyarakat lokal hanya bisa diwujudkan dengan menggunakan partisipasi yang bersifat kemitraan. Dengan kemitraan, masyarakat dan pemrakarsa mempunyai posisi/kedudukan dan kapasitas yang sama dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan rencana pemanfaatan lingkungan. Pemakaian konsep kemitraan ini tentunya tidak hanya sekedar untuk memperoleh legitimasi dan dukungan publik. 2. Penerapan pendekatan partisipatis yang bersifat kemitraan benar-benar memposisikan masyarakat yang akan terkena dampak suatu kebijakan sebagai bagian dari pengambil keputusan. Dengan konsep ini akan terbangun komunikasi dan hubungan sosial yang seimbang yang dapat menekan potensi konflik menyeimbangkan akses terhadap sumberdaya (resources). 3. Pelibatan masyarakat seharusnya sudah dilakukan lebih awal yaitu dalam tahapan perencanaan, sehingga masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan penting sejak dini. Apabila proses pelibatan masyarakat benar-benar untuk tujuan mencapai hasil yang optimal tidak hanya bagi pemrakarsa tetapi juga bagi masyarakat, maka partisipasi hendaklah bukan dipandang sebagai kegiatan formalitas yang sekedar untuk memperoleh legitimasi publik. 4. Untuk mengatasi hambatan dalam pendekatan partisipatif, penguatan pengetahuan dan rasa percaya diri masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama yang harus

diperhatikan oleh pemerintah. Upaya penguatan pengetahuan masyarakat lokal ini akan memperkuat posisi masyarakat dalam berkomunikasi dengan pihak pemrakarsa proyek. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya proses komunikasi yang lancar antara kelompok berbeda kepentingan tersebut. 5. Menerapkan strategi partisipatif dalam program/proyek akan melalui proses panjang dalam menyamakan greget antara pemrakarsa dengan masyarakat yang akan dilibatkan. Kendala-kendala pada tingkat masyarakat yang tidak teperkirakan sebelumnya oleh pemrakarsa menuntut adanya fleksibiltas rencana. Keduanya ini berimplikasi terhadap waktu dan biaya sehingga rencana program/proyek yang sedemikian ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam membangun partisipasi masyarakat. SekianSelamat berdiskusi !

Anda mungkin juga menyukai