Anda di halaman 1dari 3

IMAN DAN ILMU

Oleh Robinson Sembiring Pendahuluan Ada beberapa buku dan artikel yang penulis baca ketika menulis makalah ini. Semua bahan itu ternyata tidak memuaskan penulis dalam memberikan penjelasan tentang kaitan antara iman dengan ilmu. Seluruhnya malahan terjebak pada sebuah perangkap: menjelaskan ilmu melalui iman atau menjelaskan iman melalui ilmu. Semuanya juga ternyata tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan ketika sampai pada persoalan kebenaran sejati. Para penulis hanya bisa sampai pada penjelasan bersifat doktrin bahwa kebenaran yang dari Tuhan adalah kebenaran sejati. Penulis tak hendak mengulangi lagi upaya-upaya para penulis tersebut. Namun, penulis akan mencoba menjadi lebih sadar diri dan rendah hati mengakui bahwa realitas alam semesta ini demikian kompleks dan ada batas-batas yang mungkin tidak akan pernah terlewati oleh pikiran manusia dalam pengembaraannya mencari kebenaran. Mengerti dan Tidak Mengerti (Tahu dan Tidak Tahu) Ketika ada yang mengatakan: semakin kita beriman, semakin sedikit kita pake otak kita. Beriman berarti menyangkali akal sehat, karena percaya kepada apa yang nggak masuk akal. Maka, penulis melihat ada sebuah persoalan disana, yakni: kita membatasi daya jangkau iman. Kita mempertentangkan iman dengan ilmu pengetahuan, seperti orang yang mempertentangkan norma agama dengan hukum positif. Pada hemat penulis, mempertentangkan iman dengan ilmu pengetahuan tidak akan memberikan manfaat. Perdebatan akan berlanjut hingga batas yang tidak kita ketahui dan berakhir dengan kesimpulan: kita tidak memperoleh apa-apa! Persoalannya bukan pada memperdebatkan batas daya jangkau penjelasan iman dan ilmu atas realitas atau kebenaran, namun lebih terletak pada penentuan batas-batas hingga mana kita layak berusaha mencari tahu (mengerti). Kita harus menyadari bahwa ada batas kemampuan kita dalam menjangkau tahu, diluar itu sebenarnya kita tidak tahu. Dan, biarlah demikian bahwa sampai saat ini kita hanya mampu tahu sebatas yang telah kita jangkau. Namun, tidak berarti bahwa kita harus berhenti. Kita harus terus berjalan hingga batas baru yang mungkin kita capai. Gagasan yang yang ingin dikemukakan disini adalah: carilah pengetahuan hingga batas yang dapat dicapai tanpa harus terperangkap pada mempertentangkan ilmu dan iman ketika perjalanan kita harus berhenti pada sebuah titik dimana kita tidak memiliki penjelasan memuaskan atas situasi yang dihadapi. Ketika kita tidak mampu menjelaskan mengapa bumi ini harus terdiri atas lempeng-lempeng yang gerakannya dapat membahayakan manusia, maka kita tidak perlu memperdebatkan pertanyaan mempertentangkan antara gempa besar merugikan manusia dengan gempa besar ciptaan Tuhan. Pasti tidak akan diperoleh jawaban yang memuaskan dan bermanfaat bagi kita. Kita tetap perlu belajar tentang fenomena gempa besar hingga batas yang kita bisa pahami, ketimbang bertanya tentang adilkah Tuhan yang katanya mengasihi manusia tapi menciptakan gempa besar.

Iman Harus Meneguhkan Niat Mencari Ilmu Jika mempertentangkan iman dan ilmu tidak bermanfaat, maka jelaslah setiap orang yang tergiring pada situasi pertentangan ini harus segera menyadari bahwa niat untuk mendalami dan melanjutkan pertentangan ini hanya buang energi. Wilayah iman berbeda dengan wilayah ilmu, karena itu tindakan memperbandingkan atau mempertentangkan keduanya justru sebagai tindakan tidak masuk akal, kesia-siaan. Keduanya memang benar-benar memiliki wilayah yang berbeda sebagaimana dicatat oleh Anna Mariana Poedji Christanti. .1 Pertama, ilmu terpisah dari agama. Masalah spiritual terpisah dari masalah intelektual. Ajaran Alkitab tentang penciptaan jelas disangkal oleh ilmu. Sebab menurut ajaran itu segala sesuatu berhubungan dengan Allah sebagai Penciptanya, dan inilah yang disebut sebagai masalah-masalah agama. Demikian juga saat ini maraknya gejala saintisme (mengutamakan ilmu dan mengabaikan yang lainnya) yang memutlakkan kebenaran sains dan menolak peranan iman seiring dengan gejala fanatisme agama (mengutamakan agama dan mengabaikan yang lainnya) yang memutlakkan kebenaran pewahyuan Allah dan menolak ilmu pengetahuan. Kedua, iman terpisah dengan akal budi. Berbagai hal yang akali tidak dimasukkan dalam wilayah tak nyata dan tak masuk akal seperti halnya iman. Masalah iman adalah masalah yang tak dapat diukur, diraba, dilihat, dan dibuktikan secara matematis atau fisis. Sementara itu fenomena alam ini menurut intelektual harus dapat dijelaskan secara masuk akal dan hal ini ada dalam wilayah ilmu. Kegemaran manusia untuk menekuni segala hal yang terlihat, yang kasat mata, yang dapat diukur dan dihitung, dapat diperkirakan, dapat dimanipulasi sesuai dengan kehendak mereka, menyebabkan mereka sangat memegang ilmu sekuler (ilmu dugaan) lebih daripada iman. Bagi mereka, iman adalah sesuatu yang bersifat metafisika, yang tak terlihat, tak kasat mata, tak realistis, tak terukur dan terhitung, tak dapat diperkirakan, serta tak dapat dimanipulasi sesuai kehendak mereka. Sementara itu yang berhubungan dengan iman adalah Alkitab sebagai Firman Allah. Hal ini pula yang mendorong fenomena pemisahan antara iman dan ilmu, antara iman dan akal budi, secara khusus antara Kekristenan dan ilmu. Ada orang - orang yang sangat memegang ilmu tetapi terlepas dari iman (inilah golongan ilmuwan atheis); ada pula yang memegang iman begitu kuat dan tetapi tak berilmu (inilah golongan orang Kristen yang bodoh); dan ada banyak pula yang memegang keduanya secara bersamaan namun mereka cenderung mengkotak-kotakannya (inilah golongan Kristen dualisme). Keduanya tak berhubungan sama sekali, demikian ungkapan mereka. Ketiga, iman terpisah dengan sejarah. Segala peristiwa dalam Alkitab ditolak sebagai sesuatu peristiwa yang nyata dalam sejarah kehidupan. Akibatnya, ketika seseorang berhadapan dengan Alkitab, ia bagaikan menghadapi suatu negeri dongeng atau legenda. Keempat, pemakaian bahasa menjadi terpisah. Pemaknaan istilah-istilah tertentu disesuaikan pengalaman pembicara dan tidak memiliki arti obyektif. Perkataan seseorang hanya akan dapat dibenarkan sebagai pengungkapan pengalaman pribadi secara subyektif apabila pengalaman rohani terpisah dari pengalaman yang lain. Di sini pemakaian bahasa secara umum berubah. Hal benar secara subyektif, merupakan tanda bagi pengalaman subyektif saja. Penilaian benar dan salah hanya berlaku bagi pembicara yang bersangkutan saja, dan tidak bagi umum. Akhirnya dalam pemberitaan karya Allah yang ajaib, tak ada peristiwa-peristiwa obyektif yang benar dan yang berarti bagi semua orang di semua tempat. Demikianlah nyata
1

Anna Mariana Poedji Christanti (2007), Dualisme dalam Kekristenan dan Keabsolutan Kebenaran Alkitab sebagai Firman Allah, diambil dari www.----------------------------------------------------------------

terdapat penyangkalan arti dan nilai bahasa secara umum, sekaligus pengakuan iman kita secara khusus. Namun perlu disadari bahwa keduanya memberi arti yang besar terhadap kehidupan manusia. Yang satunya memberikan arti pada kehidupan dan perkembangan rohani, sedangkan yang lainnya memberikan arti pada kehidupan dan perkembangan intelektual-akademis. Kehidupan rohani dan kehidupan akademis yang terpisah tentulah berakibat buruk. Di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Gaya hidup sekuler yang memisahkan Allah dari kehidupan sehari-hari 2. Kemajuan ilmu pengetahuan bersamaan dengan kemerosotan moral manusia; 3. Marginalisasi iman / agama dari kehidupan masyarakat modern 4. Peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok intelektual 5. Hancurnya makna hidup berkeluarga dalam perspektif Tuhan 6. Berkembangnya gaya hidup bebas meliputi semua aspek hidup manusia 7. Tidak dihargainya otoritas, hukum, dan agama 8. Semakin merosotnya penghargaan hak azasi manusia 9. Kehidupan manusia tidak dihormati sebagaimana seharusnya 10. Fokus hidup pada diri sendiri dan hidup tanpa visi, misi, dan makna. Setiap orang yang beriman pasti menghadapi tantangan intelektual.2 Diakhir percakapan ini, kita perlu mengutip pernyatan yang terdapat dari alkitab. Ada dua ayat yang akan dikutip berikut ini: 1. Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan. Tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. (Amsal 1:7) 2. Carilah dahulu kerajaan Allah, pada waktu semuanya akan dicukupkan kepadamu Kedua ayat di atas, kiranya dapat sebagai bahan renungan dan pegangan tidak henti-hentinya setiap kali kita diperhadapkan pada kemungkinan munculnya situasi sehingga kita harus berhadapan lagi dengan dikhotomi ilmu dan iman yang jelas-jelas jika dilanjutkan tidak akan menambah kearifan bagi mereka yang menyatakan dirinya sebagai insan yang beragama. Daftar Pustaka 1. Anna Maria Poedji Christanti, Dualisme dalam Kekristenan dan Keabsolutan Kebenaran Alkitab sebagai Firman Allah 2. Stanley I. Sethiadhi, Pengaruh Iman pada Ilmu Pengetahuan dan Pengaruh Ilmu Pengetahuan pada Iman 3. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div, Iman dan Pengetahuan, diambil dari http://www.ladangtuhan.com/komunitas/ajaran-kristen/mandat-budaya-10-iman-danpengetahuan-(pdt-sutjipto-subeno-m-div-)/

Ibid.

Anda mungkin juga menyukai