Anda di halaman 1dari 63

cBAB I PENDAHULUAN I.1.

Latar Belakang Kelainan-kelainan pada Thoraks yang di bahas dalam blok ke-13 ini merupakan kelanjutan dari blok 2 mengenai sistem respirasi dan blok 3 mengenai sistem kardiovaskuler yang telah kita pelajari sebelumnya. Kelainan thoraks yang akan dibahas pada modul 1 ini adalah mengenai kelainan pada saluran pernafasan yang bersifat akut seperti pneumonia dan penyakit infeksi saluran nafas akut lainnya. Dengan judul skenario Batuk Biasa Jadi Sesak Nafas ini akan membahas lebih mendalam tetang sistem pertahanan saluran pernafasan terhadap benda asing termasuk mikroba melalui batuk. Sebagian besar dari penyakit yang menyerang sistem pernafasan akan bermanifestasi sebagai batuk, bersin, nyeri tenggorokan, sesak nafas, dan lain-lain. Hal inilah yang mendasari pembahasan materi dalam modul 1 ini. I.2. Tujuan Dapat menjalaskan bentuk pertahanan sistem pernafasan terhadap benda asing, khususnya melalui refleks batuk Dapat menjelaskan hal-hal yang menyebabkan pneumonia, gejala klinis dari pneumonia, patofisiologi terjadinya pneumonia, cara mendiagnosa pneumonia, terapi yang diberikan pada pasien pneumonia, dan cara mencegah terinfeksi pneumonia Dapat menjelaskan penyakit-penyakit yang menjadi diagnosis banding dari pneumonia yang juga bermanifestasi batuk, demam, sesak nafas, dan nyeri tenggorokan

BAB II PEMBAHASAN STEP 1: Terminologi asing 1. Foto rontgen: Merupakan gambaran dari hasil rontgen (sinar x dan gamma) Pemeriksaan foto rontgen dibagi menjadi rontgen dasar dan

rontgen khusus. Rontgen dasar digunakan untuk mendiagnosa kelainan pada thoraks, tulang-tulang, dan beberapa organ tubuh tertentu, sedangkan rontgen khusus digunakan untuk pemeriksaan arteriografi, flebografi, angiokardiografi, dan lain-lain 2. Interstitial: Suatu ruangan diantara sel atau jaringan Proses difusi atau akumulasi dari jaringan atau sel berupa substansi 3. Infiltrat: dalam jumlah yang tidak normal (berlebihan) dan tidak pada tempatnya 4. Alveoli: Unit fungsional terkecil dari system respirasi yang berperan dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dari paru ke pembuluh darah STEP 2: Identifikasi masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mengapa Adi mengeluh batuk berdahak, demam, dan sakit tenggorokan? Mengapa keluhan Adi menjadi semakin berat disertai sesak nafas dan nyeri dada? Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan vital sign yang dilakukan dokter? Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan foto thoraks Adi? Apakah indikasi rawat inap yang dilakukan pada Adi? Apakah ada hubungan antara penyakit Adi dengan keluhan Ayahnya? Apakah penyebab, diagnosis banding, dan diagnosis sementara yang dapat diambil dari kasus Adi?

STEP 3: Brainstorming 1. Batuk berdahak yang terjadi pada Adi merupakan bentuk pertahanan tubuh terhadap benda asing seperti mikroba, virus, dan benda asing lainnya. Jika suatu benda asing masuk ke saluran pernafasan manusia, tubuh akan merespon dengan memproduksi mukus yang berfungsi melengketkan benda asing tersebut dan setelah itu akan di buang keluar oleh silia. Selain itu, releks batuk juga berperan, yaitu juka ada benda asing yang masuk melewati saluran nafas, epiglotis akan terbuka dan membatukan benda asing tersebut. Demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap peradangan yang disebabkan oleh mikroba maupun benda asing lainnya. Demam yang terjadi dapat bervariasi tergantung pada berat-ringannya peradangan dan banyaknya mikroba yang menginfeksi. Terjadinya iritasi pada saluran pernafasan menyebabkan reflex batuk dan nyeri tenggorokan. 2. Keluhan Adi semakin berat karena dahak atau mucus yang semakin banyak menyebabkan tertutupnya lebih banyak alveoli sehingga pertukaran udara antara alveoli dengan vaskuler terhambat sehingga dada menjadi sesak ketikan berusaha mencukupi udara yang dibutuhkan tubuh. Karena banyaknya infiltrate pada paru juga yang menyebabkan penekanan paru terhadap pleura sehingga menyebabkan pleura pars viseralis bergesekan dengan pleura pars parietalis yang mengakibatkan nyeri hebat pada dada yang disebut nyeri pleuritik. 3. Interpretasi hasil pemeriksaan vital sign yang dilakukan dokter kepada Adi adalah tekanan darah yang normal (110/80 mmHg), respiration rate yang meningkat (32 kali/menit), dan suhu tubuh yang naik (39,5oC). dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Adi mengalami demam dan sesak nafas. 4. Interpretasi hasil pemeriksaan radiologis yang dilakukan dokter kepada Adi menunjukan adannya infiltrat yang lebih dominan daripada interstitial merupakan tanda bahwa adanya benda asing di alveolus-alveolus paru tersebut. Benda asing tersebut dapat berupa sekret atau mucus yang memenuhi alveolus sehingga terlihat gambaran seperti infiltrat-infiltrat.

5.

Indikasi rawat inap yang dilakukan terhadap Adi dikarenakan sesak nafas yang dialaminya (RR 32 kali/menit). Karena Adi mengalami sesak, maka dibutuhkan bantuan oksigen, infuse nutrisi, dan elektrolit yang hanya dapat dilakukan di Rumah Sakit. Selain itu, karena sekret yang bertambah banyak menyebabkan perlu penanganan lebih lanjut seperti drainase agar sekretnya dapat dikeluarkan.

6.

Penyakit yang diderita Adi kemungkinan ditularkan oleh ayahnya karena ayahnya juga memiliki keluhan-keluhan yang sama. Penularan dari orang sekitar merupakan faktor predisposisi dari pneumonia. Penyakit saluran pernafasan sangat mudah menular melalui inhalasi ataupun droplet.

7.

Penyakit yang diderita oleh Adi kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus, ataupun jamur karena terlihat dari manifestasi klinis yang berupa batuk berdahak dan demam. Hal ini dapat dipastikan melalui pemeriksaan dahak untuk mengetahui mikroorganisme apa yang menginfeksi. Diagnosis banding dari gejala-gejala yang dialami Adi adalah pneumonia, faringitis, laryngitis, tonsillitis, bronchitis, dan pleuritis. Diagnosis sementaranya mengarah kepada pneumonia. adalah pneumonia karena dari hasil foto rontgen menunjukan adanya infiltrate yang

STEP 4: Skema Batuk berdahak, demam, nyeri tenggorokan Demam tinggi + menggigil, batuk, nyeri dada, sesak nafas Pemeriksaan vital sign: tekanan darah normal, pernafasan cepat, suhu tubuh febris Diagnosis Banding (Faringitis, tonsillitis, laryngitis, bronchitis, bronkiolitis, dan pleuritis Pemeriksaan Radiologis Thoraks: infiltrat yang lebih dominan daripada interstisial PNEUMONIA Definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, disgnasis banding, tatalaksana, komplikasi, pencegahan STEP 5: Learning Objektive 1. Megetahui patomekanisme dari manifestasi klinis Batuk, Sesak Nafas, dan Demam 2. Mengetahui definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi dari Pneumonia 3. Mengetahui klasifikasi dari Pneumonia

4. Mengetahui diagnosis banding dari Pneumonia seperti faringitis, laryngitis, tonsillitis, epiglotitis, bronchitis, bronkiolitis, dan pleuritis STEP 6: Belajar Mandiri STEP 7: Sintesa Patofisiologi Manifestasi Klinis Infeksi Saluran Nafas 1. Batuk Batuk adalah suatu ekspirasi paksa yang terkoordinasi yang diakibatkan oleh rangsangan mekanik atau kimiawi pada reseptor batuk yang banyak terdapat di laring dan percabangan trakeobronkial. Pola dasar terjadinya batuk dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Inspirasi dalam secara cepat, 2. Kontraksi Otototot ekspirasi melawan glottis yang tertutup yang menghasilkan tekanan tinggi dalam paru, 3. Pembukaan glottis secara tiba-tiba, sehingga arus udara eksplosif keluar, dan 4. Relaksasi otot-otot ekspirasi. Batuk dapat volunter, namun biasanya involunter, dapat produktif atau nonproduktif (kering). Batuk produktif adalah batuk yang mengeluarkan lendir atau bahan lain. Batuk kering adalah batuk yang tidak menghasilkan sekret apapun. biasanya berkurang pada saat tidur, tetapi saat bangun pagi, batuk cenderung produktif untuk membersihkan saluran pernapasan. Batuk dapat pula psikogenik. Batuk non produktif ini terjadi pada orang dengan stress emosional. Bila perhatian ditujukan pada stress itu batuknya meningkat Selama tidur atau sewaktu perhatian pasien dialihkan, batuknya berhenti. Batuk psikogenik adalah diagnosis pereksklusionam. Mekanisme Batuk. Bronkus dan trakea sedemikian sensitifnya terhadap sentuhan halus, sehingga benda asing dalam jumlah berapapun atau penyebab iritasi lainnya akan menimbulkan batuk. Impuls aferen yang berasal dari saluran napas terutama berjalan melalui nervus vagus ke medula. Di sana, suatu rangkaian peristiwa otomatis digerakkan oleh lintasan neuronal medula, menyebabkan efek sebagai berikut.

Kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Epiglotis dan pita suara menutup eraterat untuk menjerat udara dalam paru. Lalu, otot-otot perut dan otot ekspirasi lainnya berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma. Akibatnya, tekanan dalam paru meningkat sampai 100 mmHg atau lebih. Selanjutnya, pita suara dan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru meledak keluar. Udara yang mengalir dengan cepat tersebut biasanya membawa pula benda asing yang terdapat dalam bronkus atau trakea. Jalannya Impuls Reseptor = bronkus dan trakea sensitif terhadap sentuhan halus, laring dan karina paling sensitif, bronkiolus terminalis dan alveoli sensitif terhadap rangsangan bahan kimia yang korosif, ex: SO2 dan Cl

Serabut saraf Aferen = nervus vagus, glosofaringeus, trigerminus, frenikus

Pusat Batuk = medula dekat pusat muntah dan pernapasan

Susunan saraf Eferen = membawa impuls ke efektor

Efektor = otot-otot larynx, m. Intercostalis, trakea, bronkus Batuk berdahak (Produksi sputum) Sputum atau dahak adalah bahan yang dikeluarkan bersamaan dengan batuk. Sekitar 75-100cc . sputum disekresikan setiap hari oleh bronkus. Melalui gerak silia, ia dibawa ke atas tenggorok (aktivitas muco-cilliary clearence) dan ditelan secara tidak disadari bersama-sama saliva. Peningkatan jumlah produksi merupakan manifestasi Bronkitis paling dini. Sputum dapat mengandung debris sel, mukus, darah, pus dan mikroorganisme.

Sputum harus dilukiskan berdasarkan warnanya, konsistensi, jumlah, waktu terjadi ,dan ada tidaknya darah. Sputum yang tidk terinfeksi tidak berbau, transparan dan berwarna putih atau abu keputihan, menyerupai mukus, disebut mukoid. Sputum yang putih seperti air, disebut serous Sputum terinfeksi warna kekuningan, agak kental, disebut muko-purulen dan disebut purulen jika berupa pus atau warna hijau tua. Pada Pneumonia, sputumnya berkarat (rusty). Pada Bronkiektasis, penderita mengeluarkan dahak banyak, dan bisa dibedakan adanya 3 lapisan dengan konsistensi yang berbeda. Jika penderita mengeluarkan dahaknya dengan berdehem, sangat mungkin itu berasal dari saluran napas atas (=post nasal drip).
2. Sesak Napas (Dispnea)

Sesak nafas atau nafas pendek merupakan suatu keluhan yang menunjukan ada gangguan atau penyakit kardiorespirasi. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan keluhan sesak nafas, secara umum dikelompokan di bawah ini: 1. Faktor psikis keadaan emosi tertentu; saat menangis terisak-isak atau tertawa terbahakbahak. Sesak nafas karena factor emosi terjadi melalui mekanisme hiperventilasi. 2. Faktor peningkatan kerja pernafasan 2.1. Peningkatan ventilasi latihan jasmani, hiperkapnia, hipoksia hipoksik, asidosis metabolik 2.2. Sifat fisik yang berubah tahanan elastis paru meningkat seperti pada pneumonia tahanan elastis dinding toraks meningkat, seperti pada obesitas peningkatan tahanan bronkial selain dari tahanan elastis. Seperti pada asma bronkial dan bronkitis Jika kemampuan mengembang dinding toraks maupun paru berkurang sedangkan tahanan saluran nafas meningkat, maka tenaga yang diperlukan otot pernafasan guna memberikan perubahan volume serta tenaga yang

diperlukan akan bertambah. Jika paru tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen maka akan terjadi sesak nafas. 3. Otot pernafasan yang abnormal 3.1 Penyakit otot kelemahan otot, kelumpuhan otot, dan otot yang distrofi 3.2 Fungsi mekanis otot berkurang saat inspirasi maupun saat ekspirasi Kelelahan yang terjadi pada otot tergantung dari jumlah energi yang tersimpan dalam otot serta kecepatan pemasokan energi. Patofisiologi sesak nafas dapat dibagi sebagai berikut: 1) Oksigenasi jaringan menurun Penyakit atau keadaan tertentu dapat menyebabkan kecepatan pengiriman oksigen ke jaringan menurun, seperti perdarahan anemia, perubahan hemoglobin dapat menyebabkan sesak nafas. 2) Kebutuhan oksigen meningkat Penyakit atau keadaan tertentu seperti infeksi akut yang membutuhkan oksigen lebih banyak karena peningkatan metabolisme akan menyebabkan sensasi sesak nafas 3) Kerja pernafasan meningkat Penyakit parenkim paru seperti pneumonia, sembab paru akan menyebabkan elastisitas paru berkurang serta penyakit yang menyebabkan penyempitan saluran nafas dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk mengimbangi keadaan ini otot pernafasan bekerja lebih keras, keadaan ini menimbulkan peningkatan metabolisme. 4) Rangsangan pada sitem saraf pusat Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan sesak nafas secara tiba-tiba. Belum diketahui mekanisme pasti bagaimana hal ini dapat terjadi.

10

5)

Penyakit neuromuskuler

Banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernafasan jika mengenai diafragma, seperti miastenia gravis dan amiotropik lateral sklerosis. Tetapi ekanismenya belum diketahui secara jelas. Klasifikasi sesak nafas: Sesuai dengan berat ringannya keluhan, sesak nafas dapat dibagi menjadi 5 tingkat: a) Sesak nafas tingkat I Tidak ada hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Tetapi sesak nafas terjadi bila penderita melakukan aktifitas yang berat dari biasanya. b) Sesak nafas tingkat II Sesak nafas terjadi bila penderita melakukan aktifitas yang berat dari biasanya. Tetapi tidak terjadi bila melakukan aktifitas yang biasa. Seperti naik tangga dan berlari. c) Sesak nafas tingkat III Sesak nafas sudah timbul saat penderita melakukan kegiatan sehari-hari, tetapi penderita masih dapat melakukan tanpa bantuan orang lain. d) Sesak nafas tingkat IV Penderita sudah sesak napas pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, berpakaian, dll. Sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak napas belum tampak pada waktu penderita istirahat. e) Sesak nafas tingkat V Penderita harus membatasi diri dalam melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin. Keterbatasan ini menyebabkan penderita lebih banyak berada di tempat tidur. Untuk memenuhi segala kebutuhannya, penderita sangat bergantung pada orang lain. Dispnea merupakan manifestasi penting penyakit-penyakit Kardiopulmoner, meskipun dapat ditemukan pada keadaan-keadaan lain seperti penyakit Neurologik, Metabolik, maupun Psikologik. Adalah penting untuk membedakan dispnea dengan takipnea atau bernafas cepat secara objektif. Pasien mungkin

11

terlihat bernafas cepat, walaupun menyatakan bahwa ia tidak sesak nafas. Sebaliknya juga terjadi: seorang pasien mungkin bernafas lambat pernafasan yang cepat adalah menderita dispnea Dispnea nocturnal paroksismal (PND) adalah sesak nafas yang timbul secara tiba-tiba ketika pasien enak-enaknya tidur. Pasien tiba-tiba mengalami sensasi tercekik yang kuat. Dengan penuh ketakutan ia duduk dan, biasanya berlari ke jendela untuk mendapatkan udara .Segera setelah pasien mengambil posisi tegak lurus,dispneanya biasanya membaik. Ortopnea adalah kesulitan bernafas ketika berbaring lurus, pasien memerlukan dua bantal atau lebih untuk bernafas dengan nyaman Platipnea adalah gejala kesulitan bernafas yang jarang terjadi ketika pasiennya duduk dan hilang bila mengambil posisi berbaring. Trepopnea adalah keadaan dimana pasien lebih nyaman bernafas bila berbaring pada sisi tubuhnya. DOE (Dyspnea On Exercise) atau disebut juga sebagai dyspnoe deffort, adalah keluhan sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas fisik sehari-hari. Dispnea akut apalagi yang disertai respiratory distresss merupakan keadaan gawat darurat Paru, yang harus segera ditangani karena adanya ancaman kematian. Dalam hitungan detik-menit, sesak akan bertambah berat, keadaan akan bertambah buruk. Beberapa contoh keadaan atau penyakit yang bisa menyebabkan sesak napas akut berat adalah : Pneumotorak Ventil, Emboli Paru masif, Edem Paru Akut Kardiogenik, Asma akut berat, Eksaserbasi akut pada COPD, dll. Disisi lain, sesak napas ada yang berjalan pelahan tetapi progresif dalam hitungan tahun, disebut dispnea kronik progresif, misalnya yang terjadi pada COPD, Penyakit-penyakit Paru Interstisiel, Penyakit Paru Kerja, dll. 3. Demam Demam atau febris merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan suhu tubuh yang melebihi dari suhu tubuh normal. Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses tetapi ia mengeluh sesak napas/dispnea. Jangan menganggap bahwa pasien dengan laju

12

peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ( pergerakan otot rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak dan terjadilah suatu keadaan yang dinamakan demam. 4. Nyeri dada Nyeri dada (Chest pain atau Chest discomfort) merupakan sensasi nyeri atau rasa tidak nyaman di dada atau didalam dada, yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit yang mengenai berbagai struktur dalam dada seperti Jantung, Paru, Costa, Esofagus, dll. Anamnesis yang cermat meliputi Site, Onset, Characteristic, Reffered, Associated, Time, Exacerbation, dan Severity dari keluhan nyeri dada tersebut, akan membantu dalam penegakan diagnosis dan

13

memperkirakan penyebabnya. Sesak napas yang berkaitan dengan penyakit Paru biasanya disebabkan oleh terserangnya dinding dada atau pleura parietal. Serabut saraf banyak terdapat didaerah ini. Nyeri pleura (Pleuritic pain) pada penderita Pneumonia diakibatkan oleh peradangan pada pleura. Nyeri ini dilukiskan sebagai nyeri tajam, seperti ditusuk-tusuk, yang biasanya terasa pada waktu inspirasi serta diperparah oleh gerakan yang menyebabkan kedua pleura bergesekan misalnya saat bernapas dalam, saat batuk atau bersin. Nyeri ini akan terlokalisir disatu tempat pada salah satu sisi tubuh, dan pasiennya mungkin melakukan splinting untuk menghindari nyeri. Nyeri serupa tetapi agak tumpul (=kemeng) kadang ditemukan pada Pneumotoraks. Nyeri dipuncak bahu menandakan iritasi pleura diafragmatika, sedangkan nyeri tumpul yang terus menerus mungkin disebabkan oleh erosi iga akibat Karsinoma bronkus. Nyeri yang terlokalisasi pada dada anterior dan mungkin disertai oleh nyeri tekan pada palpasi daerah kostokondra adalah ciri nyeri akibat kostokondritis. Dilatasi akut arteri pulmonalis utama dapat pula menimbulkan sensasi tekanan tumpul, seringkali tidak dapat dibedakan dengan angina pectoris. Ini disebabkan oleh ujung saraf yang berespons terhadap arteri pulmonalis utama Nyeri dada akibat penyakit atau kelainan Jantung, atau akibat penyakit lainnya, akan dibicarakan tersendiri. PNEUMONIA Definisi Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia Komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeklsi di luar RS, sedangkan Pneumonia Nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator. Pneumonia yang Berhubungan dengan Ventilator adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah perubahan peregangan

14

intubasi trakeal. Pada PPK (Pusat perawatan Kesehatan) termasuk pasien yang dirawat oleh perawatan akut di RS selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal di rumah perawatan (nursing home atau long-term care facility), mendapat AB intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun dating ke klinik RS atau klinik hemodialisa. Insidens Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang menggaggu daya tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti DM, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik. Factor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, DM, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada, dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasive seperti infuse, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator. Anamnesis epidemiologi harus mencakup keadaan lingkungan pasien, tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang lain atau binatang yang menderita penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelah terapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi kronik oleh bakteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikobakterium atau parasit. PNEUMONIA KOMUNITI Definisi Pneumonia Komuniti adalah pneumonia yang didapat dimasyarakat. Di dunia, Pneumonia Komuniti ini merupakan masalah kesehatan karena angka kematiannya yang tinggi. Etiologi Penyebab Pneumonia Komuniti banyak disebabkan kuman gram positif dan dapat pula kuman atipik. Akan tetapi di indonesia, laporan akhir-akhir ini

15

menunjukan bahwa kebanyakankuman yang ditemukan dari pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sebagai berikut :

K. pneumoniae 45,18% S. Pneumoniae 14,04% S. Viridans 9,21% S.aureus 9% Pseudomonas aeruginosa 8,56% hemolitik 7,89% Enterobacter 5,26% Pseudomonas spp 0,9% Didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan pisik, foto toraks

Diagnosis dan laboratorium. Diagnosis pasti Pneumonia Komuniti ditegakan jika pada foto thoraks terdapat infiltrat progresif ditambahkan dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: Batuk bertambah berat Perubahan karekteristik dahak / purulen Suhu tubuh > 37,5 C (Oral) / Riwayat demam Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda tanda konsolidasi dan ronki Leukosit > 10.000 atau > 4500 Menurut American Thoracic Society (ATS) Kriteria Pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria diawah ini. Kriteria minor :

Frekuensi nafas > 30 / menit PaO2 / FiO2 kurang dari 250 mmHg Gambaran Rontgen menunjukan kelainan bilateral Gambaran Rontgen paru melibatkan > 2 lobus Tekanan sistolik < 90 mmHg Tekanan diastolik < 60 mmHg

16

Kriteria mayor: Membutuhkan ventilasi mekanik Infiltrat bertambah > 50% Membutuhkan Vasopressor > 4 jam (syok septik) Serum kreatin > 2mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat penyakit ginjal yang membutuhkan dialisis. Berdasarkan kesepakatan perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003, Kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah: 1. Skor PORT lebih dari 70 2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu kriteria dibawah ini. -

Frekuensi nafas > 30 / menit PaO2 / FiO2 kurang dari 250 mmHg Gambaran Rontgen menunjukan kelainan bilateral Gambaran Rontgen paru melibatkan > 2 lobus Tekanan sistolik < 90 mmHg Tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA Patogenesis Proses patogenesis terkait 3 faktor yaitu: 1. Keadaan (imunitas) inang 2. Mikroorganisme yang menyerang pasien 3. Lingkungan yang berinteraksi satu sama lain Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari pasien. Gambaran interaksi dari ketiga fakor tersebut tercemin pada kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah. Pneumokokkus yang resisten penisilin dan obat lain Usia > 65 tahun

17

Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir Alkoholisme Penyakit imunosupresif Penyakit penyera yang multifel Kontak pada klinik lansia Tinggal dirumah jompo Penyakit kardiopulmunal penyerta Penyakit penyerta jamak Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika Penyakit paru struktural (bronchiektasis) Terapi kortikosteroid (>10mg prednisone/hari) Terapi antibiotik spektrum luas > 7 haari pada bulan sebelumnya Malnutrisi

Patogen gram negatif

Pseudomonas aeruginosa

Penatalaksanaan 1. Penderita rawat jalan Pengobatan suportif / simptomatik a. Istirahat ditempat tidur b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran b. Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam Pengobatan suportif / simptomatik Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam Pengobatan suportif / simptomatik 2. Penderita Rawat Inap di ruang rawat biasa a. Pemberian terapi oksigen c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik 3. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif

18

a. Pemberian terapi oksigen b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik Prognosis Kejadian PK di USA adalah 3,4 4 juta kasus pertahun, dan 20% di antaranya perlu dirawat di R.S. Secara Umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%. Namun dapat menigkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenzadi USA merupakan penyebab kematian no.6 dengan kejadian sebesar 59% sebagian besar pada lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor perubah yang ada pada pasien. PNEUMONIA NASOKOMIAL Definisi Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat dirumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal. Etiologi Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S. Pneumoniae, H.influenzae, Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya pseudomonas aeruginosa, escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter SPP dan gram positive seperti Methicillin Resistence staphylococcus aureus (MRSA). Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator

mekanik.

19

Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi. Etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen tertentu dan masa menjelang timbul onset pneumonia. Faktor risiko utama untuk patogen tertentu pada Pneumonia Nosokomial Patogen Factor risiko Staphylococcus aureus o Koma, cedera kepala, influenza, Methicillin resisten S.aureus Ps. aeruginosa pemakaian obat IV, DM,gagal ginjal o Pernah dapat antibiotik, ventilator >2 hari lama dirawat di ICU, terapi steroid/antibiotik, kelainan struktur paru (bronkiektasis, kistik fibrosis), malnutrisi Anaerob Acinobachter spp Patogenesis Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Sehingga PN terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mucus), humoral (antibody dan complement) dan selular (leukosit polinuklear,makrofag,limfosit, dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai factor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lainnya dan tindakan invasive pada saluran o Aspirasi, selesai operasi abdomen o Antibiotik sebelum onset pneumonia dan ventilasi mekanik.

20

pernafasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen dan akibat tindakan intubasi. Faktor predisposisi atau faktor risiko pneumonia nosokomial dibagi menjadi 2 bagian: 1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, DM, alkoholisme, azotemia), perawatan rumah sakit yang lama,koma,pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat diluar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis. 2. a Faktor eksogen Pembedahan Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%), dan operasi abdomen bawah (5%). b Penggunaan antibiotik Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh pemberian antibiotik golongan pemisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatinve. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negative di orofaring. c Peralatan terapi pernapasan Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri psedomonas aeruginosa d dan bakteri gram negative lainnya sering terjadi. Pemasangan pipa/selang nasogrstrik, pemberian antasid dan

alimentasi enteral

21

Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negative di lambung karena asam lambung dengan Ph <3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid/penyekat H2 yang mempertahankan Ph >4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negative aerobik lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4-7,0 e Lingkungan rumah sakit o o petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai penatalaksanaan dan pemakaian alat-alat yang tidak dengan prosedur sesuai prosedure seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter o o o pasien dengan kuman MDR tidak dirawat diruang isolasi Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir dirawat dirumah sakit > 5 hari o tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut o o o penyakit imunosupresi dan pemberian pemberian imunoterapi ada faktor risiko pneumonia nosokomial ada penyakit/ terapi yang bersifat imunosupresi Klasifikasi pneumonia nasokomial Berdasarkan American Thoracic Society (ATS), dengan melihat 3 faktor sebagai mana dibawah ini: 1. Beratnya penyakit pneumoni: - ringan sedang - berat 2. Faktor resiko 3. Onset dari penyakit pneumonia -onset dini (<5 hari)

22

-onset lanjut (>5 hari)

Maka pnemonia nasokomial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: Kelompok 1 : pneumonia ringan- sedang onset setiap saat dan tidak ada faktor resiko atau pneumonia berat dengan onset dini dan tidak ada faktor resiko Kelompok 2: pneumonia ringan- sedang, faktor resiko spesifik dan onset setiap waktu Kelompok 3: pneumonia berat onset setipa waktu dengan faktor resiko spesifik dan atau pneumonia berat dengan onset lambat dan tidak ada faktor resiko Kriteria pneumonia berat: 1. Dirawat diruang rawat intensif karena pneumonia atau gagal nafas 2. Gagal nafas yang memerlukan alat bantu nafas mekanik atau membutuhkan O2 lebih dari 35% untuk mempertahankan saturasi O2 lebih dari 90% 3. Perubahan radiologis secara progresif, pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltarat paru 4. Taerdapat sepsis dengan hipotensi denagn atau disfungsi organ termasuk: Diagnosis Kriteria diagnosis pneumonia nosokomial menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC): 1. Ronki atau dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu: a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya b. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal, biopsi, atau sapuan bronkus Syok (tekanan sistolik<90 mmhg atau diastolik < 60 mmhg0 Memerlukan vasopresor >4 jam Jumlah urin < 20 ml/jam atau jumlah urin 80 ml/4jam Gagal ginjal akut yang memerlukan dialisis

23

2. Gambaran radiologis berupa infiltrat baru yang progresif, konsolidasi, kavitas, atau efusi pleura dan salah satu dari a,b, atau c di atas a. isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi b. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM), atau peningkatan 4 kali titer IgG dari kuman 3. pasien sama atau < 12 tahun dengan 2 dari gejala berikut: apnea, takipnea, bradikardia, wheezing, ronki, atau batuk, disertai salah satu dari: peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no.2 diatas 4. pasien sama atau < 12 tahun yang menunjukan infiltrat baru atau progresif, kavitas, konsolidasi, atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu dari kriteria no.3 di atas. Pengobatan Pengobatan didasarkan atas klasifikasi pneumonia nosokomial menurun ATS yaitu: Kelompok 1 Kuman penyebab : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus Obat pilihan : sefalosforin generasi 2 atau 3 non psudomonas, beta laktam ditambah inhibitor beta laktamase. Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau klindamisin ditambah aztreonam Kelompok 2 Kuman penyebab utama : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus Kuman penyebab tambahan: Anaerob, MRSA,ligeonela spp, P.aeruginosa Obat pilihan : sefalosforin generasi 2 atau 3 non psudomonas, beta laktam ditambah inhibitor beta laktamase. Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau klindamisin ditambah aztreonam Jika dicurigai anaerob diberikan klindaminin atau metronidazol atau beta laktam ditambah inhibitor beta laktamase

24

Jika dicurigai legionella spp : makrolid atau fluorokuinolon Jika dicurigai MRSA diberikan vancomisin Jika dicurigai P.aeruginosa diberikan sesuai dengan kelompok 2 Kuman penyebab utama : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus Kuman penyebab tambahan : P.aeruginosa, Acenobacter spp, S. Maltophilia, MRSA Obat pilihan : Aminoglikosid dikombinasi dengan salah satu dibawah ini ; 1. Penisilin anti psudomonas 2. Piperasilin + tasobaktam 3. Seftasidin atau sefoperason 4. Imipenem 5. Meropenem 6. Sefepin Harus dipikirkan kemungkinan terdapat infeksi P.aeruginosa atau

Kelompok 3

Acinebacter atau MRSA. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan pengobatan antibiotik kombinasi. Jika terdapat S.maltopilia dapat diberikan kontrimoksasol atau sefalosporin generasi 4. Pencegahan Pencegahan pneumonia nasokomial ditukan kepada upaya program pengawasan dan pengontrolan infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan teknik isolasi dan praktek pengontrolan infeksi. Pada pasien dengan gagal organ ganda, skor APACHE yang tinggi dan penyakit dasar yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor terjadinya PN. Dari berbagai faktor tersebut beberapa faktor penting tidak bisa dikoreksi. Beberap faktor dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, yaitu antara lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat sitoproktektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid.

25

Rekomendasi dalam pengolaan aktor resiko yang dapat diubah Faktor inang Nutrisi adekuat, makanan enteral dengan selang nasogastrik Redukis atau penghentian terapi imunosupresif Cegah ekstubasi yang tidak derencanakan (tangan diikat,beri sedasi) Tempat tidur yang kinetik Spirometer incentife, nafas dalam, kontrol rasa nyeri Mengobati penyakit dasar Menghindari penghambat histamin tipe 2 dan antasida Kurangnya obat sedative dan paralitik Hindari overdistensi lambung Hindari intubasi dan reintubasi Pencabutan selang endotrakeal dan nasogastrik yang tercerna Posisi setengah duduk (30-40 derajat) Jaga saluran ventilator bebas dari kondensasi Tekanan ujung slang endotrakeal lebih dari 20 cmH2O (menjaga kebocoran patogen ke saluran napas bawah Aspirasi sekresi epiglotis yang kontinue Pendidikan Menjaga prosedure pengontrol infeksi oleh staf Program Pengontrolan infeksi Faktor lingkungan

Faktor alam

- Mencuci tangan, disinfektasi peralatan. Prognosis Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50 % yang bisa mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps.Aeruginosa atau Acinobacter spp.

26

PNEUMONIA ASPIRASI Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. Kerusakan yang terjadi tergantung jumlah dan jenis bahan yang teraspirasi serta daya tahan tubuh. Sindrom aspirasi dikenal dalam berbagai bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi yang berbeda dan cara terapi yang juga berbeda. Di Amerika pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas (PAK) adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia aspirasi nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. PA lebih sering dijumpai pada pria daripada perempuan, terutama usia anak atau usia lanjut. Patofisiologis Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan dan lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik simple oleh bahan padat. Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulang kali adalah : Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis, reflex batuk (kejang, strok, pembiusan, cedera kepala, tumor otak) Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker nasofaring, scleroderma) Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga berperan jumlah bahan aspirasi, hygiene gigi yang tidak baik dan gangguan mekanisme klirens saluran napas. Luas dan beratnya kondisi pasien sering tergantung kepada volume an keasaman cairan lambung. Jumlah asam lambung yang banyak dapat meniombulkan gangguan pernapasan akut dalam waktu 1 jam setelah obstruksi sebagai akibat dari aspirat atau cairan yang masuk ke saluran napas. Namun biasanya aspirasi sedikit hingga hanya menimbulkan sakit ringan. PA sering dijumpai pada keadaan emergensi yaitu pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa gangguan menelan. Karena itu perlu diwaspadai risiko terjadinya PA pada pasien

27

dengan infeksi, intoksikasi obat, gangguan metabolism, strok akut dengan atau tanpa massa di otak atau cedera kepala. Aspirasi cairan lambung dapat menimbulkan pneumonitis kimia dan pneumonitis bakteril sering terjadi akibat flora orofaring. Etiologi Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang biasanya polimikrobial namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu di komunitas atau di RS. Pada PAK, kuman pattogen terutama berupa kuman anaerob obligat (41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan dikeluarkan melalui ludah, misalnya peptococcus yang juga dapat disertai klebsiella pneumonia dan stafilokokus atau fusobacterium nucleatum, bacteriodes melaninogenicus dan peptostreptococcus. Pada PAN pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi kuman anaerob fakultatif, batang gram negative, pseudomonas, proteus, serratia, dan S. aureus di samping bias juga disertai oleh kuman anaerob obligat di atas. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang menyokong adanya kemungkinan aspirasi yaitu pada pasien yang berisiko untuk mengalami pneumonia aspirasi yaitu pasien yang mendadak batuk dan sesak napas sesudah makan dan minum. Awitan umumnya insidious, walaupun bias memberikan gambaran akut seperti pneumonia pneumokokus berupa sesak napas pada saat istirahat, sianosis, demam meninggigil, nyeri pleuritik, batuk dan dahak purulen berbau, nyeri perut, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dengan pewarnaan gram terhadap bahan sputum saluran napas dapat dijumpai banyak neutrofil dan kuman campuran. Terdapat leukositosis dan LED meningkat. Foto thorax terlihat gambaran infiltrate pada segmen paru unilateral yang dependen yang mungkin disertai kavitasi dan efusi pleura. Lokasi tersering adalah lobus kanan tengah dan tau lonus atas, meskipun lokasi ini tergantung kepada jumlah aspirat dan posisi badan pada saat aspirasi. Perlu diperiksakan elektrolit, BUN dan kreatinin, analisis gas darah dan kultur darah.

28

Terapi Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien disfagi atau gangguan regfleks menelan perlu dipasang selang nasogastrik. Pada PAK terapi empiric harus mencakup pathogen anaerob, sedangkan PAN harus mencakup pathogen gram negative dan s. aureus sampai hasil kultur memberikan hasil; penentuan terapi antibiotic. PA tipe yang didapat dimasyarakat diberikan penisilin atau sefalosporin generasi ke 3 atau klindamisin 600 mg iv/8 jam dan bila PA rumah sakit diberikan antibiotic spectrum luas anaerob dan aerob seperti aminoglikosiida kombinasi sefalosporin generasi 3 atau 4 atau klindamisin. Antibiotic diteruskan hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil selama 2 minggu atau 3-6 minggu. Pada empiema dipasang water scaled drainase dan abses paru dilakukan bronkoskopi. Kortikosteroid sebagai obat tambahan bila terdapat bronkokonstriksi reaktif. Komplikasi dan Mortalitas Dapat terjadi gagal napas akut dengan / tanpa disertai reaktif saluran napas, empiema, abses paru, dan superinfeksi paru. Angka mortalitas PAK adalah 5% yang meningkat menjadi 20% pada PAN. Prognosis Angka mortalitas pneumonitis yang tidak disertai komplikasi sebesar 5% sedangkan pada aspirasi massif dengan/tanpa disertai sindrom mendelson mencapai 70%. PNEUMONIA PADA USIA LANJUT Pneumonia komunitas pada usia lanjujt (di atas 60 tahun) teruutama terjadi pada 2 kelompok yaitu usia lanjut yang tinggal di rumah dan yang tinggal di rumah perawatan. Kelompok kedua ini bila ditinjau dari flora orofaring dan besarnya kontak dengan antibiotika dapat dianggap berada di antara pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Gambaran klinik yang ditemukan umumnya berbeda daripada gambaran pada usia lebih muda, yaitu dengan onset yang insidious, sedikit batuk dan demam yang ringan dan disertai dengan gangguan status mental atau bingung dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya

29

ringan. Pathogen penyebab tersering adalah Str. Pneumonia (30-60%), H. Influenza (20%) dan M. catarhalis. Dapat terjadi pneumonia aspirasi oleh campuran kuman aerob dan anaerob dari faring akibat adanya gangguan reflex menelan atau gangguan saraf motorik faring. Pada usia lanjut di rumah perawatan yang baru selesai rawat inap di rumah sakit dengan pemberian antibiotic di jumpai peningkatan kolonisasi gram negative. Bila terjadi aspirasi maka akan dijumpai pneumonia oleh pathogen K.pneumonia, E.coli, enterobacteria dan P. aeriginosa. Pada usia lanjut dari rumah perawatan penyebab pneumonia adalah kuman gram negative 20-40%, s. aureus 10%, M. pneumonia menjadi penyebab pneumonia pada 9% kasus yang berusia > 65 tahun. PNEUMONIA KRONIK Dapat berupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi antara lain pada pneumonia interstitial kronik yang disebabkan oleh proses degenerative yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses fibrosis pada alveolar yang diikuti indurasi dan atrofi paru. Pneumonia akibat infeksi merupakan pneumonia yang berkembang dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Disebabkan oleh bakteri (aktinomices, nokardia, p. pseudomallei, anaerob), mikobakterium (M.tuberculosi, M.kansasii, M.Avium atau M.intracellulare), jamur (blastpmyces, histoplasmosis), protozoa (E.histolitica) atau cacing. Pneumonia kronik yang disebabkan campuran pathogen aerob dan anaerob dapat menimbulkan pneumonia nekrotikans berupa lesi infiltrate multiple dan rongga di paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkan persangkaan lokasi kediaman di daerah endemic infeksi, adanya factor predisposisi/gangguan imunitas pasien, hasil radiologis dan bakteriologi. Adanya gejala panas badan yang ringan, penurunan berat badan, dan batuk yang lama dengan atau tanpa disertai hemoptisis. Foto thorax sering menunjukkan gambaran rongga tunggal atau multiple dengan peningkatan corakan yang menghubungkan lesi dengan hilus sepanjang saluran limfatik.

30

PNEUMONIA PADA GANGGUAN IMUN Pada pasien dengan gangguan imun terdapat factor predisposisi berupa kekurangan imunitas akibat proses penyakit dasarnya atau akibat terapi. Gangguan ini terdapat dalam berbagai kategori abnormalitas yaitu mekanisme pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari imunoglobin, defek sel granulosit, defek fungsi sel T. Bentuk pneumonia yang terjadi tergantung pada defek imunitas tersebut. Pemberian kemoterapi merusak ketahanan mukosa sehingga memudahkan terjadinya invasi kuman. Infeksi merupakan penyebab kematian yang tersering terutama pada pasien leukemia akut. Lokasi infeksi yang utama adalah di saluran napas bawah. Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya factor predisposisi, status epidemiologi, tingkat awitan, dan progresivitas penyakit. Gambaran klinis bervariasi, awitan akut mungkin oleh bakteri atau aspergillus, subakut yaitu dalam beberapa hari oleh p.carinii atau nokardia dan dalam beberapa minggu oleh mikobakteria atau jamur. Gambaran konsolidasi pada foto thorax mungkin minimal atau tidak ada pada infeksi bakteri dengan granulositopenia berat, suatu hal yang tidak sesuai dengan beratnya proses patologi. Pemeriksaan invasive diperlukan bilamana diagnosis sulit ditegakkan. Bila setelah terapi empiris febris timbul lagiperlu dipertimbangkan rekurensi oleh kuman lain dan dilakukan pemeriksaan ulangan. Dari bahan sputum, darah atau cairan terhadap kemungkinan penyebab tersebut. PNEUMONIA BENTUK LAIN Pneumonia Rekurens Disebut pneumonia rekurens (PR) atau berulang bila dijumpai 2 atau lebih episode infeksi paru non TB dengan berjarak waktu lebih dari1 bulan, dan disertai febris, gambaran infiltrate paru dan umumnya disertai sputum purulen, leukositosis dan respons terhadap antibiotic yang baik. Pneumonia rekurens perlu dibedakan dari Pneumonia Relaps yaitu dengan adanya 1 episode infeksi yang sama dan terjadi pada 2 waktu atau lebih serta berurutan dengan interval waktu yang lebih pendek. Pada pneumonia relaps ini perlu dicari kelainan dasar paru, apakah terdapatnya local atau pada beberapa tempat. Bila bersifat umum kelainan

31

ini bisa dalam bentuk kelainan congenital, herediter atau didapat yang berhubungan dengan adanya kelainan paru, jantung, gastrointestinal, gangguan imunitas, ataupun sebab lainnya. Pneumonia rekurens sering berhubungan dengan keadaan patologi intrathorax dan ekstrathorax. Penyakit intrathorax yang tersering dijumpai berhubungan dengan PR adalah PPOK, gagal jantung kongestif, gangguan imunitas local seperti bronkiektasis, benda asing pada bronchial, tumor endobronkial, TB paru, asma, dan pasca-operasi paru. Seangkan penyakit ekstrathorax adalah alkoholik, DM, sinusitis kronik, epilepsy, penyakit hematologi (misalnya leukemia limfositik, kronik), penyakit keganasan dan terapi steroid sistemik. Di samping itu juga sindrom lobus tengah kanan merupakan suatu bentuk infeksi rekurens local pada paru oleh atelektasis lobus media kanan yang diakibatkan adanya perbesaran kelenjar peribronkial, gangguan ventilasi dan gangguan anatomi. Diagnosis dasar penyakit PR sering telah diketahui dari pemeriksaan klinis, namun kadang-kadang memerlukan pemeriksaan khusus. Penyakit Paru Eosinofilik Merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru yang beragam yang ditandai oleh adanya infiltrasi eosinofil pada bronkus, alveoli, dan interstisium paru. Manifestasinya dapat sebagai penyakit yang terbatas pada paru atau sebagai penyakit sistemik. Hiperosinofilia mungkin tidak terdapat pada daerah perifer. Bentuk yang tersering adalah eosinofilik paru yang simple, pneumonia eosinofilik akut, pneumonia eosinofilik kronik, Sindrom ChurgStrauss, Sindrom eosinofilik idiopatik, aspergilosis bronkopulmoner eosinofilik, granulomatosis bronkosentrik, akibat infeksi parasit atau akibat reaksi obat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada gambaran klinik, hasil laboratorium, gambaran radiologic, hasil cucian bronkus, dan bilamana diperlukan dilakukan biopsy paru. Terapi diberikan terhadap penyebabnya Pneumonia Resolusi Lambat Dikatakan bila pneumonia mengalami resolusi lambat yaitu bila pengurangan gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50 % dalam 2 minggu dan berlangsung lebih dan 21 hari.

32

DIAGNOSA BANDING DARI PNEUMONIA FARINGITIS Definisi Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal di daerah faring. Jenis faringitis Faringitis Virus Biasanya tidak ditemukan nanah di Sering tenggorokan Demam ringan atau tanpa demam Faringitis Bakteri ditemukan nanah di

tenggorokan Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal atau agak Jumlah sel darah putih meningkat meningkat ringan sampai sedang

Kelenjar getah bening normal atau Pembengkakan ringan sampai sedang sedikit membesar pada kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan hasil Tes apus tenggorokan memberikan negatif Pada biakan di laboratorium hasil positif untuk strep throat tidak Bakteri tumbuh pada biakan di

tumbuh bakteri Etiologi

laboratorium

Faringitis akut baik yang disertai demam atau tidak, pada umumnya disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus, Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan Cytomegalovirus. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan, sedangkan jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium diphtheriae, Chlamydia pneumonia, streptokokus group C dan D. Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering didapatkan pada

33

bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau terimunosupresi. Hal-hal seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi endotrakeal, alergi, dan luka akibat zat kimia dapat juga menyebabkan faringitis. Patogenesis Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak. Gejala Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah. Gejala lainnya adalah: Demam Pembesaran kelenjar getah bening di leher Peningkatan jumlah sel dara hputih. Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri. Diagnosa dan pemerikasaan penunjang Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjarkelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang

34

disebabkan oleh virus. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus. Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis. Terapi Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus. Antibiotik dicadangkan untuk komplikasi ini. Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G, 3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan penurunan suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin. Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti ibuprofen atau asetaminofen. Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerjasama.

35

Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama beberapa hari. TONSILITIS Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin ini terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal (Adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring). Penyebaran infeksi melalui udara, tangan, dan ciuman dapat terjadi pada semua usia terutama anak. Gejala Nyeri tenggorok, nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga Terapi Istirahat minum cukup, analgetika, antipiretika dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Untuk tonsillitis bacterial diberikan antibiotika spectrum luas: penisilin dan eritromisin. Komplikasi Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil, bronchitis, myokarditis, dan abses parafaringeal. LARINGITIS Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring terletak di puncak saluran udara yang menuju ke paru-paru (trakea) dan mengandung pita suara. Etiologi Penyebab yang paling sering adalah infeksi virus pada saluran pernafasan (otalgia). Nyeri di telinga karena nyeri alih melalui saraf N.glossofaringeus.

36

bagian atas (misalnya common cold). Laringitis juga bisa menyertai bronkitis, pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Laringitis bisa terjadi akibat: Gejala Gejala biasanya berupa perubahan suara berupa serak sampai hilangnya suara. Tenggorokan terasa gatal dan tidak nyaman. Gejala lainnya yang juga bisa ditemukan:

Penggunaan suara yang berlebihan Reaksi alergi Menghirup iritan (misalnya asap rokok).

demam tidak enak badan kesulitan menelan sakit tenggorokan. Pembengkakan laring menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Diagnosis Dengan cermin kecil bersudut seperti yang digunakan dokter gigi, dokter bisa melihat kemerahan dan pembengkakan pada laring. Pengobatan Pengobatan pada infeksi oleh virus tergantung kepada gejalanya. Penderita sebaiknya mengistirahatkan pita suaranya dengan tidak bicara atau bicara dengan berbisik. Menghirup uap bisa meringankan gejala dan membantu penyembuhan daerah yang meradang. Jika penyebabny abakteri, diberikan antibiotik. TRAKEOBRONKITIS AKUT Radang akut dari saluran nafas bagian atas akan menimbulkan rasa nyeri yang sedang dan digambarkan sebagai perasaan perih di tenggorokan dan iritasi saluran napas, juga dirasakan nyeri dan pans di retrosternal bagian atas. Keadaan akut terjadi umumnya hanya pada waktu ada epidemi influenza. Pasien jarang sampai sakit berat, gejala-gejalanya dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan dalam beberapa hari. Pada pemeriksaan bronkoskopi biasanya hanya ditemukan

37

selaput mukosa yang meradang yang berwarna merah dan mudah berdarah apabila kena sentuhan. Bermacam-macam uap yang merangsang dapat menyebabkan peradangan saluran nafas bagian atas, biasanya hanya ringan dan sebentar (uap amonia). Pada keadaan tertentu keadaan nyeri dapat berlangsung lama. Hal ini biasanya disebabkan oleh karena polusi udara. Akibat perkembangan industrialisasi, sulfur dioksida, nitrogen peroksida akan bertambah tinggi konsentrasinya dalam udara. Pada perang dunia kedua banyak serdadu yang mengalami trakeobronkitis akibat mengisap gas chlorine. Penderita bronkitis kronis dengan batuk yang produktif dapat juga merasakan perasaan nyeri retrosternal. BRONKITIS Bronchitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi ( ektasis ) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya bronkus kecil (medium size ), sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Bronchitis kronis dan emfisema paru sering terdapat bersama-sama pada seorang pasien, dalam keadaan lanjut penyakit ini sering menyebabkan obstruksi saluran nafas yang menetap yang dinamakan cronik obstructive pulmonary disease ( COPD ). Di negara barat, kekerapan bronchitis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara populasi. Di Inggris dan Amerika penyakit paru kronik merupakan salah satu penyebab kematian dan ketidak mampuan pasien untuk bekerja. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti dengan pengobatan memakai antibiotik. Di Indonesia belum ada laporan tentang anka-angka yang pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki dan wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai dari anak bahkan dapat merupakan kelainan congenital.

38

Etiologi Penyebab bronchitis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronchitis dapat timbul secara congenital maupun didapat. a. Kelainan congenital Dalam hal ini bronchitis terjadi sejak dalam kandungan. Factor genetic atau factor pertumbuhan dan factor perkembangan fetus memegang peran penting. Bronchitis yang timbul congenital ini mempunyai ciri sebagai berikut: Bronchitis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau Bronchitis konginetal sering menyertai penyakit-penyakit kedua paru. konginetal lainya, misalnya: mucoviscidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener (bronkiektasis konginetal, sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobalinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan congenital berikut: tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliasis konginetal. b. Kelainan didapat Kelaianan didapat merupakan akibat proses berikut: Infeksi Bronchitis sering terjadi sesudah seseorang menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama, pneumonia ini merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru dan sebagainya.

Obstruksi bronkus

39

Obstruksi bronkus yang dimaksud disini dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab : korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar terhadap bronkus. Perubahan Patologi Anatomi Terdapat berbagai macam variasi bronchitis, baik engenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit: a. Tempat predisposisi bronchitis Bagian paru yang sering terkena dan merupakan predisposisi bronchitis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingua paru kiri lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru. b. Bronkus yang terkena Bronkus yang terkena umumnya yang berukuran sedang, bronkus yang terkena dapat hanya satu segmen paru saja maupun difus mengenai bronki kedua paru. c. Perubahan morfologis bronkus yang terkena Dinding bronkus Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan irreversibel. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis. Mukosa bronkus Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa,. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi. Jaringan paru peribronchiale Pada keadaan yang hebat, jaringan paru distal akan diganti jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.

d. Variasi kelainan anatomis bronchialis

40

Telah dikenal 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronchitis, yaitu: kronik. Bentuk kantong Ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat irregular. Bentuk ini berbentuk kista. Bentuk antara bentuk tabung dan kantong e. Pseudobronchitis Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara dan bentuknya silindris. Bentuk ini merupakan komplikasi dari pneumonia. Patogenesis Apabila bronchitis kongenital patogenesisnya tidak diketahui diduga erat hubungannya dengan genetic serta factor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronchitis yang didapat patogenesisnya diduga melelui beberapa mekanisme : factor obstruksi bronkus, factor infeksi pada bronkus atau paru-paru, fibrosis paru, dan factor intrinsik dalam bronkus atau paru. Patogenesis pada kebanyakan bronchitis yang didapat melalui dua mekanisme dasar: Infeksi bacterial pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronchitis. Infeksi pada bronkus atau paru akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronchitis. Obstruksi bronkus akan diikuti terbentuknya bronchitis, pada bagian distal obstruksi dan terjadi infeksi juga destruksi bronkus. Bronchitis merupakan penyakit paru yang mengenai paru dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul juga berlangsung kronik dan menetap. Keluhankeluhan yang timbul erat dengan: luas atau banyaknya bronkus yang terkena, tingkatan beratnya penyakit, lokasi bronkus yang terkena, ada atau tidaknya komplikasi lanjut.. keluhan-keluhan yang timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal: adanya kerusakan dinding bronkus, akibat komplikasi, adanya kerusakan fungsi bronkus. Bentuk tabung Bentuk ini sering ditemukan pada bronchitis yang menyertai bronchitis

41

Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronchitis, data dijelaskan sebagai berikut; a. Infeksi pertama ( primer ), kecuali pada bentuk bronchitis kongenital. Masih menjadi pertanyaan apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronchitis tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Infeksi yang mendahului bronchitis adalah infeksi bacterial yaitu mikroorgansme penyebab pneumonia. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronchitis, sedangkan infeksi virus tidak dapat ( misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak, dan sebagainnya ). b. Infeksi sekunder, tiap pasien bronchitis tidak selalu disertai infeksi sputum pasien yang semula berwarna putih sekunder pada lesi, apabila

jernih kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob misalnya : fusifomis fusiformis, treponema vincenti, anaerobic streptococci. Kuman yang erring ditemukan dan menginfeksi bronkus misalnya : streptococcus pneumonie, haemophilus influenza, klebsiella ozaena. Manifestasi klinis Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronchitis tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya, dan ada tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas pada penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya haemaptoe dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis dapat demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan. Bronchitis yang mengenai bronkus pada lobis atas sering dan memberikan gejala: 1. Keluhan-keluhan a. Batuk Batuk pada bronchitis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronchitis kronis, jumlah seputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur.

42

Kalau tidak ada infeksi skunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan sputum sangat berbau, pada kasus yang sudah berat, misalnya pada saccular type bronchitis, sputum jumlahnya banyak sekali, puruen, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah menjadi 3 bagian: lapisan teratas agak keruh, lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva (ludah), dan lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (celluler debris). b. Haemaptoe Hemaptoe terjadi pada 50 % kasus bronchitis, kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan yang timbul bervariasi mulai dari yang paling ringan (streaks of blood) sampai perdarahan yang cukup banyak (massif), yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri broncialis (daerah berasal dari peredaran darah sistemik). Pada dry bronchitis (bronchitis kering), haemaptoe justru gejala satu-satunya karena bronchitis jenis ini letaknya dilobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk., pasien tanpa batuk atau batukya minimal. Pada tuberculosis paru, bronchitis (sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi haemaptoe. c. Sesak nafas (dispnue) Pada sebagian besar pasien ( 50 % kasus ) ditemukan keluhan sesak nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa luasnya bronchitis kronik yang terjadi dan seberapa jauh timbulnya kolap paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang ( ISPA ), yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan sesak nafas. Kadang ditemukan juga suara mengi ( wheezing ), akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat local atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.

43

d.

Demam berulang

Bronchitis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam ( demam berulang). 2. Kelainan fisis Tanda-tanda umum yang ditemukan meliputi sianosis, jari tubuh, manifestasi klinis komplikasi bronchitis. Pada kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan tanda-tanda korpulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Ditemukan ronchi basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waku kewaktu atau ronci basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural atau timbul lagi diwaktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut : terjadi retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi penggeseran medistenum kedaerah paru yang terkena. Bila terjadi komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering ditemukan apa bila terjadi obstruksi bronkus. Sindrom kartagenr. Sindrom ini terdiri atas gejala-gejala berikut: Bronchitis congenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil Situs inversus pembalikan letak organ-organ dalam dalam hal ini terjadi dekstrokardia, left sided gall bladder, left-sided liver, rightsided spleen. Sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya sinus frontalis. Semua elemen gejala sindrom kartagener ini adalah keleinan congenital. Bagaimana asosiasi tentang keberadaanya yang demikian ini belum diketahui dengan jelas. Bronchitis. Kelainan ini merupakan klasifikasi kelenjar limfe yang biasanya merupakan gejala sisa komleks primer tuberculosis paru primer. Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronchitis, kelainan ini sering menimbulkan erosi bronkus didekatnya dan dapat masuk kedalam bronkus menimbulkan sumbatan dan infeksi, selanjutnya terjadilah bronchitis. Erosi

44

dinding bronkus oleh bronkolit tadi dapat mengenai pembuluh darah dan dapat merupakan penyebab timbulnya hemaptoe hebat. 3. Kelainan laboratorium Pada keadaan lanjut dan mulai sudah ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Seing ditemukan anemia, yang menunjukan adanya infeksi kronik, atau ditemukan leukositosis yang menunjukan adanya infeksi supuratif. Urine umumnya normal kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan proteiuria. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensivitas terhadap antibiotic, perlu dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. 4. Kelainan radiologist Gambaran foto dada ( plain film ) yang khas menunjukan adanya kistakista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon pada daerah yang terkena, ditemukan juga bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps. Gambaran bronchitis akan jelas pada bronkogram. 5. Kelainan faal paru Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1), terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan udara pernafasan. Dapat terjadi perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 ini menunjukan abnormalitas regional (maupun difus) distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru. 6. Tingkatan beratnya penyakit Bronchitis ringan, ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah demam, ada haemaptoe ringan, pasien tampak sehat dan fungsi paru norma, foto dada normal. Bronchitis sedang, ciri klinis: batuk produktif terjadi setiap saa, sputum timbul setiap saat, ( umumnya warna hijau dan jarang mukoid, dan bau mulut meyengat ), adanya haemaptoe, umumnya pasien

45

masih Nampak sehat dan fungsi paru normal. Pada pemeriksaan paru sering ditemukannya ronchi basah kasar pada daerah paru yag terkena, gmbaran foto dada masih terlihat normal. Bronchitis berat, ciri klinis: batuk produktif dengan sputum banyak, berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukannya pneumonia dengan haemaptoe dan nyeri pleura. Bila ada obstruksi nafas akan ditemukan adany dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumny pasien mempunyai keadaan umum kurang baik, sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata , pasien mudah timbul pneumonia, septikemi, abses metastasis, amiloidosis. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan : bronkovascular marking, multiple cysts containing fluid levels. Dan pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah kasar pada daerah yang terkena. Diagnosis Diagnosis pasti bronchitis dapat ditegakan apabila telah ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi dan melihat bronkogram yang didapat. Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronchitis, karena terikat adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat kaan elakukannya. Oleh karena pasien bronchitis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat dkenal, penegakan diagnosis bronchitis dapat ditempuh melewati proses diagnostik yang lazim dikerjakan dibidang kedokteran, meliputi:

Anamnesis Pemeriksaan fisis Pemeriksaan penunjang Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita

Diagnosis banding berhadapan dengan pasien bronchitis: 1. 2. Bronchitis kronis (ingatlah definisi klinis bronchitis kronis) Tuberculosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa bronchitis)

46

3. 4. 5.

Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar) Penyakit paru penyebab hemaptomisis (misalnya karsinoma paru, adenoma paru) Fistula bronkopleural dengan empisema

Komplikasi Ada beberapa komplikasi bronchitis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain : Bronchitis kronik Pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis, bronchitis sering mengalami

infeksi berulang biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka drainase sputumnya kurang baik. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya Efusi pleura atau empisema Abses metastasis diotak, akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi Haemaptoe terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena ( arteri pneumonia. Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian pulmonalis ) , cabang arteri ( arteri bronchialis ) atau anastomisis pembuluh darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan beah gawat darurat. Sinusitis merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas Kor pulmonal kronik pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-

cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arteriovenous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmoner kronik,. Selanjutnya akan terjadi gagal jantung kanan. Kegagalan pernafasan merupakan komlikasi paling akhir pada bronchitis Amiloidosis keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai yang berat da luas komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini dapat ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea.

47

Penatalaksanaan Pengelolaan pasien bronchitis terdiri atas dua kelompok: A. Pengobatan konservatif, terdiri atas: 1) a) b) Pengelolaan umum, pengelolaan umum ditujukan untuk semua Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat untuk Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering. Mencegah / menghentikan rokok Mencegah / menghindari debu,asap dan sebagainya. Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik Melakukan drainase postural; pasien dilelatakan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimum. Tiap kali melakukan drainase postural dilakukan selama 10 20 menit, tiap hari dilakukan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum ( secret bronkus ) dengan bantuan gaya gravitasi. Posisi tubuh saat dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan letak kelainan bronchitisnya, dan dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan pada pada punggung pasien dengan punggung jari. Mencairkan sputum yang kental, dapat dilakukan dengan jalan, misalnya inhalasi uap air panas, mengguanakan obat-obat mukolitik dan sebagainya. c) Mengatur posisi tepat tidur pasien sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum. Mengontrol infeksi saluran nafas. Adanya infeksi saluran nafas akut ( ISPA ) harus diperkecil dengan jalan mencegah penyebaran kuman, apabila telah ada infeksi perlu adanya antibiotic yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan. pasien bronchitis, meliputi: pasien, contoh :

untuk dikerjakan adalah sebagai berikut:

48

2) a)

Pengelolaan khusus Kemotherapi pada bronchitis, kemotherapi dapat digunakan: secara continue untuk mengontrol infeksi bronkus ( ISPA ) untuk pengobatan aksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru atau kedua-duanya digunakan Kemotherapi menggunakan obat-obat antibiotic terpilih,

pemkaian antibiotic antibiotic sebaikya harus berdasarkan hasil uji sensivitas kuman terhadap antibiotic secara empiric. Walaupun kemotherapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronchitis, tidak pada setiap pasien harus iberikan antibiotic. Antibiotik diberikan jika terdapat aksaserbasi infeki akut, antibiotic diberikan selama 7-10 hari dengan therapy tunggal atau dengan beberapa antibiotic, sampai terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid ( putih jernih). Kemotherapi dengan antibiotic ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat terjadi aksaserbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara. b) dikerjakan

Drainase secret dengan bronkoskop, cara ini penting terutama pada saat permulaan perawatan pasien.

Keperluannya antara lain : Menentukan dari mana asal secret Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus Menghilangkan bstruksi bronkus dengan suction drainage daerah obstruksi. 3) Pengobatan simtomatik, pengobatan ini diberikan jika timbul simtom yang mungkin mengganggu atau mebahayakan pasien.

49

a)

Pengobatan obstruksi bronkus, apabila ditemukan tanda

obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru ( % FEV 1 < 70% ) dapat diberikan obat bronkodilator. b) c) Pengobatan hipoksia, pada pasien yang mengalami Pengobatan haemaptoe, tindakan yang perlu segera hipoksia perlu diberikan oksigen. dilakukan adalah upaya menghentikan perdarahan. Dari berbagai penelitian pemberian obat-obatan hemostatik dilaporkan hasilnya memuaskan walau sulit diketahui mekanisme kerja obat tersebut untuk menghentikan perdarahan. d) Pengobatan demam, pada pasien yang mengalami eksaserbasi inhalasi akut sering terdapat demam, lebih-lebih kalau terjadi septikemi. Pada kasus ini selain diberikan antibiotic perlu juga diberikan obat antipiretik. B. Pengobatan pembedahan 1) 2) berespon operasi Pasien bronchitis yang terbatas tetapi sering mengaami infeksi berulang atau haemaptoe dari daerakh tersebut. Pasien dengan haemaptoe massif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi. 3) 4) Kontra indikasi Pasien bronchitis dengan COPD Pasien bronchitis berat Pasien bronchitis dengan koplikasi kor pulmonal kronik dekompensasi Syarat-ayarat operasi. Tujuan pembedahan: mengangkat (reseksi) segmen/lobus Indikasi pembedahan: Pasien bronchitis yang yang terbatas dan resektabel, yang tidak yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat. Pasien perlu dipertimbangkan untuk paru yang terkena.

50

5)

Kelainan (bronchitis) harus terbatas dan resektabel Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan ireversibel Bagian paru yang lain harus masih baik misalnya tidak ada bronchitis atau bronchitis kronik. Cara operasi. Operasi elektif: pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak terdapat kontra indikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif dipersiapkan secara baik utuk operasi. Umumnya operasi berhasil baik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.

Operasi paliatif: ditujukan pada pasien bronchitis yang mengalami keadaan gawat darurat paru, misalnya terjadi haemaptoe masif (perdarahan arterial) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak terdapat kontra indikasi operasi.

6)

Persiapan operasi. Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri,analisis gas darah, pemeriksaan broncospirometri (uji fungsi paru regional). Scanning dan USG. Meneliti ada atau tidaknya kontra indikasi operasi pada pasien. Memperbaiki keadaan umum pasien.

Pencegahan Timbulnya bronchitis sebenarnya dapat dicegah, kecuali dalam bentuk congenital tidak dapat dicegah. Menurut beberapa literature untuk mencegah terjadinya bronchitis ada beberapa cara: Pengobatan dengan antibiotic atau cara-cara lain secara tepat terhadap semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak akan dapat mencegah (mengurangi) timbulnya bronchitis Tindakan vaksinasi terhadap pertusis (influenza, pneumonia) pada anak dapat pula diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya bronchitis. Prognosis

51

Prognosis pasien bronchitis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, haemaptoe dan lainnya. BRONKIOLITIS Definisi Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejalagejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada Epidemiologi Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 6090% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%. Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan

52

wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak seperti terlihat pada gambar 1. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei. Patogenesis dan Patomekanisme RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran

53

napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat

54

sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV . Manifestasi Klinis Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat

55

pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Diagnosis Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap. Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang

56

tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis . Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%. Tatalaksana Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara rutin nebulasi agonis 2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasuskasus berat. Antibiotika diberikan bilamana keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan

57

bakteri. Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 6 kali per-hari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV 5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi OksigenOksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Terapi cairan Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).

58

Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. AntibiotikaApabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan

59

mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasienpasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang. Uji efikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek. Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara nebulisasi tidak menurunkan lama perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi efek alfa dan beta adrenergik. Beberapa studi menggunakan racemic epinephrine untuk menurunkan efek epinefrin terhadap jantung. Kristjansson (1993), menggunakan racemic epinephrine nebulisasi . Racemic epinefrin memberi perbaikan skor klinik dan SaO2. Dari sini disimpulkan bahwa racemic epinephrine aman dan cukup efektif untuk pengobatan bronkiolitis pada anak kurang dari 18 bulan. Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan 1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma 4.Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin. Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya

60

rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke 3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi. Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid inhalasi dibuat untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate, triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason, budesonid, mometason. Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 612 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GMCSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-2

61

dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis 2 jangka panjangMempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inflamasi Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu). AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.

62

BAB III PENUTUP Kesimpulan Adi (20 tahun) mengalami keluhan-keluhan yang menunjukan adanya infeksi pada saluran nafasnya. Setelah dilakukan pemeriksaan radiologis dapat ditegakan diagnosanya adalah Pneumonia. Karena Adi mengalami sesak nafas, maka Adi memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit. Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru. Penyakit ini merupakan pembunuh terbesar kedua dalam penyakit sistem pernafasan di Indonesia setelah tuberkulosis. Diagnosis pasti pneumonia ditegakan melalui hasil pemeriksaan foro rontgen thoraks yang menunjukan adanya infiltrat pada lapang parunya. Terapi yang diberikan kepada pasien pneumonia adalah antibiotik golongan penisilin (jika tidak ada resistensi) ataupun fluoroquinolone. Beberapa kasus pneumonia dapat ditularkan melalui kontak dengan penderita yang disebut dengan pneumonia komunitas. Hal inilah yang terjadi pada Adi.

63

DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. & John Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC Alsagaff H. Dkk, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta

64

Anda mungkin juga menyukai