Anda di halaman 1dari 2

RIBA

Bunga bank adalah riba, adalah fatwa yang dikeluarkan MUI tahun awal 2004
lalu. Sudah finalkah? Sekalipun sekarang masih banyak diskusi ataupun
‘gugatan’ yang mempertanyakan fatwa tersebut, fatwa itu tak pernah dicabut
hingga sekarang.

Saya tidak terlalu paham tentang bagaimana fatwa itu seharusnya berlaku,
karena fatwa sendiri sepengatahuan saya adalah sebuah ijtihad. Dan sebuah
ijtihad, adalah karya manusia yang bisa salah dan bisa betul. Pun juga dengan
fatwa sebuah ‘perhimpunan ulama indonesia’. Namun, ijtihad/fatwa tentu
tidaklah sembarangan. Karena pengeluar fatwa –apa yang saya yakini secara
simpel-, tidak bisa lepas diri sepenuhnya atas dosa/pahala orang yang mengikuti
ijtihad tersebut.

Dalam kaidah Islam sendiri, ijtihad sendiri menempati rujukan ketiga setelah Al-
Qur’an dan Hadits. Dan ijtihad adalah jawaban atas masalah kontemporer,
semisal bunga bank yang tidak ada di zaman Muhammad SAW. Dan menyakini
kebenaran sebuah ijtihad (apalagi oleh lembaga ulama nasional) sama dengan
menyakini kebenaran Al-Qur’an atau menyakini islam sebagai agama bagi
pemeluknya. Itu bagian dari aqidah atau keimanan, alias mutlak.

Apa yang kemudian timbul adalah ijtihad yang ‘kurang didukung’ oleh zaman.
Dalam kaitan bunga bank, bank syariah sendiri pun saat ini belum tentu mampu
mengoptimalkan peran bank-nya setelah kebanjiran dana migrasi. Belum lagi
tentang infrastruktur perbankan yang harus mendukung, mulai jaringan ATM
sampai mobile-banking.

Contoh sederhana, ketika jalan-jalan kemudian mampir di cafe, shop, atau


berbelanja di toko buku favorit, pusat elektronik, mall, FO dan lainya, maka akan
lebih praktis untuk menggesek kartu debit (sementara debit, bukan kredit!) bank
berjaringan merchant luas daripada mengeluarkan cash money. Karena uang
cash bisa digunakan untuk hal-hal lain, mulai jaga-jaga hingga transaksi
langsung. Dan untuk para netter atau mobiler, banyak fasilitas yang sangat
membantu, mulai bayar listrik, tagihan cicilan rumah, transfer dan transaksi
keuangan lainnya.

Secara pribadi muslim, disinilah sebenarnya letak-apa yang saya sebut-


kecerdasan beragama itu diasah. Sebuah ruang antara konten-konteks ditakar
dan diejawantahkan. Satu hal yang pasti, bunga bank itu riba alias haram dan itu
harus diyakini. Tentang pelaksanaan, ada beberapa memang yang menjadi
pertimbangan. Yang kemudian, pilihan menggunakan lebih dari satu rekening
bank pun menjadi solusinya.

Pertama, sebuah atau beberapa rekening bank syariah. Disinilah sesungguhnya


yang menjadi tabungan bagi kita (muslim yang menyakini), tempat dana utama
kita disimpan. Tentang ‘profit sharing’ bank syariah, memang tidak untuk
diharapkan lebih dibandingkan dengan bunga bank, karena kondisi keuangan
syariah kita masih belum established. Sekarang, apa yang lebih kita cari adalah
yang utama, yaitu keberkahan.

Kedua, karena keperluan kehidupan seperti diatas, maka satu atau beberapa
rekening bank non-syariah juga diperlukan adanya (apalagi jika transfer gaji dari
perusahaan melalui rekening jenis ini). Disini, uang yang disimpan pun tidak
harus benar-benar habis, karena satu kebutuhan kepraktisan kehidupan diatas,
dan dua karena biaya administratif yang selalu charged.

Tentang biaya administrasi yang ‘merugikan’ ini, pun bisa disiasati sebagai
bagian win-win solution (alias tidak mau rugi!). Seseorang saat masih kuliah
sempat menghitung minimal jumlah nominal tabungan ‘bank kerakyatan’ kiriman
orang tuanya, dimana bunganya bisa menutup sendiri biaya administrasi
bulanan sebesar Rp 5.000,-. Hal sama dilakukan seseorang pada bank swasta
terbesar, yang biaya administrasinya sebesar Rp 10.000,-/bulan plus biaya
transfer antar bank sesuai kebutuhan yang digunakan rutin bulanan.

Jumlah tabungan minimal itu setidaknya yang selalu ‘tinggal’ di rekening non-
syariah, plus beberapa kelebihan untuk kepraktisan-kepraktisan transaksi.
Konsepnya ialah autoself-living (menghidupi diri sendir). Sekalipun administrasi
tidak sangat besar, tapi sejumlah uang itu pun tetap bisa dimanfaatkan untuk hal
manfaat lainnya

Jadi, bunga bank adalah riba, titik! Itu bagian keimanan, yang seharusnya
diyakini dalam hati, dinyatakan dalam lisan dan dilakukan dengan perbuatan.
Jika kita sudah menyakini dan melisankannya, lalu tidak sangat-sangat totalitas
dalam pelaksanaan tentu akan berbeda jika kita masih ragu, mendebat, dan
fully-interest. Dan jika boleh dianalogikan keimanan tentang keuangan syariah
itu 100%, maka dengan konsep ini mungkin sudah didapatkan 66,7% atas yakin
dan lisan, plus tindakan yang ‘sudah’ 16,7% (dan ada Yang Maha Menghitung).

Dan jika belum, maka sebagai muslim, keislaman kita masih patut dipertanyakan
kembali (pun untuk umat beragama lain terhadap keyakinannya masing-
masing). Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai