Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Asma dan TB adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir

semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak-anak. Asma merupakan gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi. Begitu juga dengan TB yang perlu mendapat perhatian yang khusus karena sangat sulit untuk mengindentifikasi atau mendiagnosis apabila diderita oleh anak-anak. Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia 0,9- 2,0%; Finlandia 0,70,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1%. Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daearah lembah (Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9% (1992), dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5% dan mengi 2%. Beberapa survei menunjukkan bahwa penyakit asma menyebabkan hilangnya 16% hari sekolah pada anak-anak di Asia, 43% anak-anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika Serikat. Serangan asma yang terjadi pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli sebagai asma ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen. Penelitian multisenter di beberapa pusat pendidikan di Indonesia mengenai prevalensi asma pada anak usia 13-14 tahun (SLTP) menghasilkan angka prevalensi di Palembang 7,4%; di Jakarta 5,7%; dan di Bandung 6,7%. Sementara itu Tuberkulosis primer pada anak kurang membahayakan masyarakat karena kebanyakan tidak menular, tetapi bagi anak itu sendiri cukup berbahaya oleh karena dapat timbul TBC ekstra thorakal yang sering kali menjadi sebab kematian atau menimbulkan cacat, Misal pada TBC Meningitis.

Page 1

Diagnosis yang paling tepat untuk TBC adalah bila ditemukan basil TBC dari bahan bahan seperti sputum, bilasan lambung, biopsy dan lain lain, tetapi hal ini pada anak sulit didapat. Oleh karena itu, sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinik, gambaran radiologis dan uji tuberkulosis.

Page 2

BAB II ISI

SKENARIO Sesak Napas

Seorang anak laki2 umur 8 th, berat badan 16 kg, datang ke IGD RSUD AW Syahranie Samarinda dengan keluhan sesak, napas berbunyi sejak malam hari, tidak panas, sebelum sesak penderita sorenya main bola sama teman-temannya, batuk > 1 bln. Di IGD penderita diberikan Nebulizer dengan Ventolin 2,5 mg 2 kali tetapi belum membaik akhirnya dirawat di RS. Sebelumnya penderita sering dirawat dengan keluhan batuk pilaek dan sesak > 2x dalam sebulan. Di rumah penderita kalau malam hari pakai obat nyamuk bakar. Kakek penderita menderita asma, tetangganya ada yang batuk darah dan dapat pengobatan rutin dari puskesmas selama 6 bln. Pada pemerikasaan fisik : dispnea + , pucat, pembesaran KGB leher + > 2 cm, rh +/+, wheezing +/+.

STEP 1 1. Sesak napas : suatu keadaan kesulitan dalam bernapas terutama saat ekspirasi dikarenakan berbagai hal, salah satunya karena adanya obstruksi atau sumbatan di saluran pernapasan. 2. Nebulizer : suatu jenis obat yang berfungsi sebagai bronkodilator yang berbentuk Aerosol.
3. Ventolin : inhaler yang berisi salbutamol atau salbuterol (USA), yang merupakan

stimulan 2 adreno-ceptor selektif yang menyebabkan otot polos bronkus berelaksasi melalui peningkatan intraseluler cyclic adenosine monophospate (cAMP).
4. Asma : kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan

karakteristik timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan

Page 3

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, dan faktor-faktor pencetus lainnya. 5. Dispnea : Suatu keadaan sesak napas yag disertai dengan adanya retraksi dinding dada dan napas cuping hidung. 6. rh : Rongki atau suara tambahan yang berasal dari gesekan udara dengan cairan yang biasanya terdengar saat ekspirasi. 7. Wheezing : suara napas bernada tinggi atau mengi.

STEP 2 1. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan sesak pada pasien dan nafasnya yang berbunyi? Serta adakah hubungannya dengan batuk > 1 bulan dan aktivitas pasien yang bermain bola? 2. Adakah pengaruh obat nyamuk bakar terhadap keluhan pasien? 3. Adakah pengaruh kakek pasien yang menderita asma dan tetangga yang batuk darah dengan keluhan pasien? 4. Mengapa pasien tidak panas (apabila dicurigai pasien mengalami suatu inflamasi)? 5. Apa penyebab dispneu, pucat, wheezing dan pembesaran KGB leher pada pasien? 6. Mengapa keluhan pasien belum membaik setelah diberikan nebulizer dan ventolin 2,5 mg 2 kali? 7. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien tersebut? 8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut yang meliputi pencegahan dan pengobatan? 9. Apakah berat badan pasien tersebut normal? Dan apakah ada hubungannya dengan penyakit yang diderita pasien? STEP 3

Page 4

1. Dari gejala-gejala klinis pada pasien di skenario maka dapat dijadikan kemungkinan

bahwa keluhan sesak pada pasien disebabkan oleh adanya sumbatan atau obtruksi di saluran pernapasan pasien. Obtruksi ini disebabkan oleh adanya suatu kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Hal ini juga berhubungan dengan aktivitas pasien dan keluhan batuknya yang lebih dari 1 bulan. Pada saat sedang mengalami batuk, apabila aktivitas meningkat maka dapat juga terjadi peningkatan sekresi mukus disaluran pencernaan. Hal ini dikarenakan pada saat aktivitas meningkat, maka terjadi peningkatan metabolisme tubuh. Kebutuhan akan pasokan darah ke berbagai jaringan juga meningkat. Kemudian terjadi vasodilatasi pembuluh darah sebagai respon kompensasi tubuh dalam keadaan ini. Vasodilatasi pembuluh darah ini menyebabkan peningkatan sekresi kelenjarkelenjar pada saluran pernapasan dan juga sekresi mukus dari sel mast sehingga terjadi akumulasi cairan mukus yang menyebabkan obtruksi di saluran pernapasan. Sedangkan napas pasien yang berbunyi disebabkan karena adanya gesekan antara udara ventilasi dengan cairan atau tempat terjadinnya obstruksi pada saluran pernapasan. 2. Obat nyamuk bakar berpengaruh pada pasien dikarenakan asap yang dihasilkannya. Hal ini karena asap merupakan faktor pencetus terjadinya sesak pada pasien dan dapat menjadi suatu zat alergen.

3. Kakek yang menderita asma memungkinkan terjadinya asma yang bersifat herediter pada anak atau cucunya. Hal ini karena Asma dapat bersifat multifaktoral dimana juga dapat diturunkan secara genetik yang menyebabkan suatu mutasi pada lengan pendek kromosom 23. Tentunya keadaan ini dapat menyebabkan suatu kelainan fungsi organorgan tertentu, khususnya organ-organ yang termasuk dalam sistem respirasi. Sementara itu, tetangga yang mengalami batuk berdarah dan mendapat perawatan puskesmas selama 6 bulan dapat juga menjadi faktor penyebab sakit pada pasien tersebut. Karena kemungkinan tetangga tersebut sedang sakit TB, sehingga dapat menulaarkan penyakitnya melalui udara dengan droplet nuclei saat pasien ada kontak langsung dengan tetangganya tersebut.

Page 5

4. Pasien tidak mengalami panas atau demam yang seharusnya merupakan tanda umum dari suatu proses inflamasi. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena pasien telah mengalami suatu proses inflamasi yang bersifat kronik, dimana tipe sel peradangan yang melakukan infiltrasi adalah sel inflamasi lini kedua yang cenderung berkerja hanya melakukan lokalisir atau blokade terhadap bakteri dan tidak berfungsi mematikan. Oleh karena itulah tidak terjadi suatu keadaan demam atau panas pada pasien.

5. a.Dispneu pada pasien terjadi karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan sehingga pasien mengalami sesak napas. Pasien akan sulit untuk bernapas terutama pada saat ekspirasi. Hal ini dikarenakan secara fisiologis saluran pernapasan cenderung lebih menyempit saat ekspirasi.

b. Pucat terjadi akibat kurangnya oksigen yang beredar dalam sirkulasi darah dikarenakan adanya gangguan perfusi di paru. Tekanan parsial oksigen akan menurun dan sebaliknya tekanan parsial karbon dioksida akan meningkat, maka keadaan ini selanjutnya dapat mengakibatkan sianosis dan pucat. c. Wheezing terjadi karena adanya gesekan antara udara dengan cairan atau obstruksi pada saluran pernapasan. d. Pembesaran kelenjar getah bening pada leher pasien kemungkinan terjadi karena adanya infeksi suatu mikroorganisme pada saluran napas dimana mikroorganisme tersebut sudah menyebar secara limfogen yang berarti sudah beredar dalam saluran limfa regional (saluran limfa yang melalui saluran pernapasan). Hal ini selanjutnya dapat menyebabkan Limfangitis (peradangan saluran limfa) dan juga Limfadenitis (peradangan kelenjar Limfa). 6. Kejadian dimana pemberian obat tidak memberikan pengaruh terhadap kesembuhan suatu penyakit dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yang paling sering adalah ketidaksesuaian pemberian dosis atau pemberian tidak sesuai dengan indikasi. Berdasarkan skenario pemberian dosis obat sudah sesuai, jadi kemungkinan terbesar indikasinya lah yang tidak sesuai. Nebulizer dan Ventolin memang merupakan obat

Page 6

bronkodilator yang biasanya diberikan kepada pasien yang menderita asma ringan untuk meringankan sesak napas. Tetapi obat ini tidak memberikan efek pada asma derajat sedang dimana indikasi obat yang seharusnya diberikan adalah jenis Metil Xantyl yaitu aminophilin atau teophilin. 7. Kemungkinan diagnosis pada pasien di skenario adalah asma atau TB. Hal ini didasarkan pada gejala-gejala dan keluhan yang dialami pasien tersebut. 8. a. Asma Pengobatan : Agonis Beta Metil Xantyn Kortikosteroid (Blecometasone dipropionate) dalam bentuk aerosol Kromolin Ketotifen Atrofen

Pencegahan : Hindari faktor pencetus

b. TB Pengobatan : Lini pertama Fase Intensif : Rifampisin+ INH + Pirazinamid = 75+50+150 mg. Fase lanjutan : Rifampisin + INH = 75+50

Lini kedua Diberikan apabila terjadi resistensi terhadap obat lini pertama,

Pencegahan : Imunisasi BCG

Page 7

Pemberian profilaksis INH selama 1 tahun

9. Berat badan pada pasien tersebut bisa dikatakan normal. Bisa dikatakan berat badan rendah dan dicurigai TB apabila BB/U < 70 %.

STEP 4

SESAK NAPAS
PEMERIKSAAN FISIK

Pucat Tidak demam Dispnea Rh

ASMA

Wheezing Pembesaran KGB

TB

PENATALAKSAN AAN
DI RAWAT DI RUMAH SAKIT

PEMBERIAN NEBULIZER

Page 8

STEP 5 1. Menjelaskan defenisi, etiologi, patofisiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis banding, dan penatalaksanaan dari ASMA. 2. Menjelaskan defenisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis banding, dan penatalaksanaan dari TB. STEP 6 Pada step ini para anggota kelompok dkk belajar secara mandiri sesuai dengan learning objektif yang ditentukan pada dkk 1 dengan refensi atau literatur yang telah direkomendasikan. STEP 7 ASMA Definisi Asma merupakan mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam keadaan di mana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan Etiologi

Page 9

Belum diketahui. Factor pencetus adalah allergen, infeksi (terutama saluran nafas bagian atas), iritan, cuaca, kegiatan jasmani, refluks gastroesofagus dan psikis. Patogenesis

Inflamasi Akut dan Kronis Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis. Pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. -Reaksi Fase Awal/Cepat (Early Phase Reaction) ; Reaksi fase cepat dihasilkan oleh aktivitas sel-sel yang sensitive terhadap allergen IgE spesifik, terutama sela mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamine, proteolitik, enzim glikolitik, heparin, serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosine, dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediatormediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mucus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskular. -Reaksi Fase Lambat ; Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal.meliputi pengerahan dan aktivitas dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivitas oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam 2-4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator proinflamasi, seperti IL-2, IL-5 dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivitas sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.(3 ) Reaksi fase lambat dipikirkan merupakan system model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama terjadinya respons fase lambat dan berlangsungnya pajanan alergen, aktivitas sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang pelepasan sel Airway Remodeling leukosit proinflamasi, terutama eosinofil dan prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.(3 )

Page 10

Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injury dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injury dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodelling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposisi jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraseluler, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.(8 ) Perubahan struktur yang terjadi : 1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas 2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus 3. Penebalan membran reticular basal 4. Pembuluh darah meningkat 5. Matriks ekstraseluler fungsinya meningkat 6. Perubahan struktur parenkim 7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Page 11

Gejala Klinis Gejala Asma diantaranya adalah batuk, sesak dengan bunyi mengi, sukar bernapas dan rasa berat di dada, lendir atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau berdehem. Batuk biasanya berpanjangan di waktu malam hari atau cuaca sejuk, pernafasan berbunyi (wheezing), sesak napas, merasakan dada sempit. Asma pada anak tidak harus sesak atau mengi. Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya asma pada anak. Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa).(6) Gejala asma yang khas biasanya berupa batuk episodik dan wheezing disertai rasa tertekan di dada dan kesulitan bernafas, terutama pada malam hari. Batuk biasanya kering namun dapat produktif dengan sputum yang kental dan lengket. Adakalanya batuk merupakan gejala satu-satunya. Gambaran klinik ini akibat dari penyempitan saluran pernafasan yang mengakibatkan obstruksi aliran udara.(9) Penyempitan saluran nafas terjadi akibat proses peradangan, melalui 3 hal : Kontraksi otot polos bronkus yang eksesif Penebalan dinding saluran bronchus Sekresi berlebihan di dalam lumen

Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:(7) 1. Timbul secara episodik dan/atau kronik, 2.Cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), 3. Musiman, 4. Faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, 5. Reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan pengobatan, 6.Adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada pasien/keluarganya, 7. Sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Patofisiologi 1. Obstruksi saluran respiratori Perubahan fungsional yang terjadi pada asma adalah terjadinya obstruksi saluran respirasi yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat

Page 12

reversibel, ini berdasarkan gejala batuk, sesak, mengi yang timbul pada asma, serta reaksi berlebihan saluran nafas terhadap bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respirasi oleh mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini juga berperan dalam menimbulkan persepsi sesak melalui saraf aferen. Ketika saraf aferen terangsang, misal pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia, maka akan merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar, dan terdapat kemungkinan terburuk adalah dimana adanya gangguan fungsi pada reseptor aferen yang menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan merasakan adanya penyempitan saluran nafas, ini terjadi pada kasus asma kronis berat.3 Semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran respirasi yang mempengaruhi struktur trakeobronkial, maksimal hingga bronkus kecil dengan diameter 2-5 mm. Resistensi saluran nafas mengalami peningkatan dan laju ekspirasi maksimal menurun, yang mempengaruhi volume paru secara keseluruhan. Penyempitan saluran nafas pada daerah perifer menyebabkan peningkatan volume residu. Mekanisme adaptasi yang timbul dari penyempitan saluran pernafasan adalah bernafas dengan hiperventilasi dimana usaha ini dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Inflasi toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal secara mekanik mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal. Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbul kelelahan dan gagal nafas.

Gambar 1. Bronkus normal dan Bronkus Asmatik 2. Hipereaktivitas saluran respiratori Mekanisme yang menjelaskan timbulnya reaktivitas yang berlebihan sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas,

Page 13

inflamasi pada dinding saluran nafas, terutama pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos. Stimulus yang lain seperti olahraga, udara dingin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas, stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut saraf dan sel lain untuk mengeluarkan mediatornya. 3. Otot polos saluran respiratori Peningkatan kontraktilitas otot pada asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Perubahan pada struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dapat menigkatkan respon otot polos untuk berkontraksi. Ini membuktikan adanya hubungan antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif saluran nafas secara in vitro. 4. Hipersekresi mucus Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodelling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronik. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab yang persisten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator. Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme yang berperan terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia, dan mekanisme patofisologi yang berperan terhadap terjadinya sekresi sel granulasi. Mediator yang dikeluarkan sel goblet, yang mengalami metaplasi dan hiperplasi merupakan bagian dari inflamasi. Degranulasi sel goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, seperti asap rokok, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks kolinergik. Degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti leukotrien, histamin, produk netrofil non protein. 5. Keterbatasan aliran udara ireversibel Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada

Page 14

elastik dan hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel. 6. Eksaserbasi Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma.3 7. Asma nokturnal Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya inflamasi pada saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan bila pasien asma tidur dalam posisi supine. 8. Abnormalitas gas darah Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat ringannya hipoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada

Page 15

serangan asma ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan PCO2 arteri mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat pergerakan otot pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2)sehingga dapat timbul gagal nafas dan mati.3

Pencegahan Asma Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen

sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat bermain sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang menyokong, agaknya kita harus menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak. Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan bayi, antara lain dengan memberikan diet hipo dan non alergenik serta penghindaran asap rokok. Walaupun secara teoritis pemberian diet hipoalergenik pada masa trimester ketiga kehamilan sangat menarik, ternyata bukti klinis penelitian tersebut tidaklah menggembirakan. Tidak terlihat perbedaan kejadian penyakit alergi pada umur 5 tahun antara kelompok perlakuan dan kelola. Hasil lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari ibu dengan diet hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum maupun setelah kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya mengi dan infeksi virus serta asma kronik anak.

Page 16

Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak yang telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment of the atopic child) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen tertentu tetapi belum menderita asma. Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan pencegahan dan kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau menurunkan kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta kortikosteroid. Sodium kromolin sulit diaplikasi pada anak kecil, sedangkan inhibitor serta antagonis leukotrien baru dianjurkan untuk anak besar (>12 tahun) saja. Ketotifen sejauh ini memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan. Berbagai jenis antihistamin generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula sebagai pencegah asma tetapi uji klinis yang memadai untuk itu belum ada. Sejauh ini kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih yang paling efektif untuk pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol asma kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi.

Prevalens asma pada anak semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Peningkatan ini diduga karena perubahan pola hidup, diet yang tidak sesuai, dan factor lingkungan seperti polutan, baik indoor maupun outdoor pollutants. Factor risiko asma telah banyak diketahui, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi prevalens asma. Upaya diagnosis dan tatalaksana asma semakin berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi prevalens asma tetap tinggi. Pencegahan pada asma terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi yang belum tersensitisasi. Pencegahan primer ini dapat dilakukan prenatal atau pasca natal. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak

Page 17

yang sudah tersensitisasi. Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada bayi/anak asma. Beberapa langkah penanganan asma pada anak adalah sebagai berikut: a. Pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya tentang asma b. Penilaian dan pemantauan derajat asma c. Penghindaran terhadap factor resiko d. Pembuatan rencana tatalaksana jangka panjang e. Menatalaksana eksaserbasi atau serangan f. Follow-up secara teratur

A.

Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau anak yang

memiliki resiko untuk menjadi asma di kemudian hari. Yang dimaksud dengan resiko adalah bayi/anak dengan atopi, baik pada salah satu ataupun kedua orang tuanya. Langkah pertama adalah mengenali adanya factor resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari, yaitu dengan mengenali orang tua dengan atopi. Oleh karena itu, upaya pencegahan primer sudah bisa dimulai ketika belum terjadinya potensi genetic bersatu, yaitu dengan rekayasa genetic. Akan tetapi hal ini belum dapat dilakukan, sehingga upaya pencegahan primer saat ini masih ditujukan pada janin atau bayi dengan risiko asma. Beberapa upaya pencegahan primer telah ditelusuri dan masih banyak yang kontroversial. Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat prenatal dan pascanatal. Pada masa prenatal, orang tua dihindari terhadap lingkungan yang dapat bersifat sebagai factor risiko. Penghindaran yang dianjurkan adalah terhadap lingkungan, terutama indoor pollutants. Yang dimaksud dengan indoor pollutants adalah asap rokok, debu rumah yang mugkin mengandung banyak tungau debu rumah, dan lain-lain. Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu (ASI) yang mengandung makanan yang dapat menyebabkan alergi. Pemberian ASI saja yang lama (4 bulan) dapat mengurangi risiko asma di kemudian hari. Peat dkk., meneliti pemberia ASI, yaitu selama urang dari 3 bulan dan lebih dari 3 bulan, dan mendapatkan bahwa pemberian

Page 18

ASI >3bulan merupakan factor protektif terhadap terjadinya asma. Bayi yang dihindari dari paparan terhadap tungau debu rumah dan diberikan diet omega-3 selama 18 bulan dapat menurunkan prevalensi asma.

B.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak yang sudah tersensitisasi.

C.

Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada bayi/anak asma

Diagnosis Banding

Mengi dan dispneu ekspiratoir dapat terjadi pada macam-macam keadaan yang menyebabkan obstruksi pada saluran nafas Pada bayi adanya korpus aleinum disaluran nafas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis atau fibrosis kistik. Bronkiolitis akut,biasanya mengenai anak dibawah umur 2 tahun dan terbanyak dibawah unur 6 bulan dan jarang berulang. Bronchitis.

Diagnosis Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada

pemeriksaan sputum, bilas lambung, CSS, cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).

Page 19

Panyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml spesimen. Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil dari NGT, dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak nyaman bagi pasien. Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB. Diagnosis TB pada anak didasarkan pada kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.

Page 20

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemi, suhu demam (subfebris), badan kurus dan berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan inspeksi tidak simetris, gerakan napas kiri dan kanan yang tidak sama, palpasi fremitus kiri tidak sama dengan kanan, perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema. Bila TB mengenai pleura sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Pada palpasi, fremitus tidak sama dan bagian paru yang terdapat efusi pleura akan lebih lemah atau tidak ada terdengar getaran sama sekali. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. 1. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang Asma Uji faal paru

Pemeriksaan ini sangat berguna untuk menilai asma meliputi diagnosa dan pengelolaanya. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Pemeriksaan faal paru penting pada asma ialah PEFR, FEVI, PVC, FEVI/FVC. Uji faal paru tidak selalu mudah dilaksanakan, terutama pada anak di bawah umur 5-6 tahun. Peak flow

Page 21

meter adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Uji provokasi bronkus dapat dilakukan dengan: 1. Histamin 2. Methacholin 3. Beban lari 4. Udara dingin 5. Uap air 6. Alergen Yang sering dilakukan adalah cara 1,2, dan 3. Hipereaktivitas positif bila PEFR, FEVI turun> 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEVI sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% ini berarti hiperreaktivitas positif dan uji provokasi tidak perlu. 2. Foto Rontgen Toraks Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada foto akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Atelektasis juga sering ditemukan. Setiap anak penderita asma yang berkunjung pertama kalinya perlu dibuat foto rontgen parunya. Foto ini dibuat terutama untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain. Foto perlu diulang bila ada indikasi misalnya dugaan pneumonia atau pneumotoraks. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol. 3. Pemeriksaan darah, eosinofil, dan uji tuberkulin Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi, sekret hidung dan sputum. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Ourshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan pula lekositosis polimorfonukleus. Uji tuberkulin penting bukan saja karena di Indonesia masih banyak tuberkulosis, tetapi juga karena kalau ada tuberkulosisi dan tidak diobati, asmanya pun akan sulit dikontrol. 4. Uji kulit alergi dan imunologi Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Masing-masing cara mempunyai keuntungan dan kerugian. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat didaerahnya. Hasil porsitif harus dicocokkan dengan keadaan penderita sehari-hari. Bila ada hubungan yang jelas baru uji kulit tersebut berarti. Kedua cara uji kulit alergi tersebut dapat memberikan hasil positif palsu dalam persentase kecil mempunyai kolerasi yang baik dengan

Page 22

IgE yang beredar. Perlu diingat bahwa reaksi ini dapat ditekan dengan pemberian antihistamin. Pemeriksaan IgE atau kalau mungkin IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan pengelolaannya. Tetapi bila tidak ditemukan kelainan ini diagnosa asma belum dapat disingkirkan. Uji alergi kulit berguna untuk menunjukkan alergen yang potensial sebagai pencetus. Hasil uji alergi kulit harus dihubungkan dengan keadaan klinis, dan bila cocok itulah alergen pencetus yang sesuai. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen bersangkutan. Penatalaksanaan

Tatalaksana Asma Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk sedikit mungkin angka absensi sekolah, gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu), Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, bermain dan berolah raga,

pada PEF, dan tidak ada serangan, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, Tujuan tatalaksana saat serangan: Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin Mengurangi hipoksemia Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.

Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila tujuan telah

Page 23

tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan pelan (step down). Berikut ini adalah syarat step up dan step down: Syarat Step Up Syarat Step down pengendalian lingkungan dan hal-hal yang Pengendalian lingkungan harus tetap baik memberatkan asma sudah dilakukan pemberian obat sudah tepat susunan dan Asma sudah terkendali selama 3 bulan caranya berturut-turut tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 minggu bulannya sampai dengan dosis terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya. efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya tidak ada dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA Tatalaksana Medikamentosa Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.

Obat obat Pereda (Reliever) 1. Bronkodilator


a.

Short-acting 2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. Dengan pemberian short acting 2 agonist, diharapkan terjadi relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan

Page 24

berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, fenoterol, terbutalin. Dosis salbutamol: Oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin: Oral: 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam. Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam. Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam. Serangan berat: MDI 10 semprotan. Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.9 Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu. Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.

Page 25

b.

Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan antikolinergik. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia : 16 bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 611 bulan: 1 mg/kgBB/Jam; 19 tahun: 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam. 2. Antikolinergik Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0,1 ml/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak. 3. Kortikosteroid Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler; (3) serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB

Page 26

setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtka Prognosis

TB Definisi Tuberculosis (TB) merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang tahan asam dengan ukuran panjang 1- 4m dan tebal 0.3-0.6m. Bakteri ini akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37oC dengan tingkat PH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah dari satu sampai dua (generation time) bakteri membutuhkan waktu 14- 20 jam. Kuman TB terdiri dari lemak dan protein. Lemak merupakan komponen lebih dari 30% berat dinding bakteri dan terdiri dari asam stearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord factor, sementara komponen protein utamanya adalah tuberkuloprotein (tuberkulin). Etiologi

Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium atipic (Unclassified Mycobacterium) golongan fotokromogen, misalnya M. kansasii. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60o C dalam 15-20 menit. Fraksi proteinnya menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil tuberkulosis tidak membentuk toksin. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadi pada malam hari.

Patogenesis dan patologi

Page 27

Masuknya basil tuberculosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberculosis serta daya tahan tubuh manusia. Infeksi primer biasanya terjadi didalam paru. Hal ini disebakan penularan sebagian besar melalui udara dan mungkin juga karena jaringan paru mudah kena infeksi tuberculosis. Basil tuberculosis masuk ke dalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil tuberculosis maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang disebut focus primer. Basil tuberculosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju ke kelejar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi. Fokus primer, limfangitis,dan kelenjar getah bening regional yang membesar, membentuk kompleks primer. Kompleks primer terjadi 2-10 minggu (6-8 minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbetuknya kompleks primer teerjadi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui dari uji tuberculin. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi. Pada anak lesi dalam paru dapat terjadi dimana pun, terutama di perifer dekat pleura. Lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru dibanding dengan lapangan atas paru merupakan tempat predilkesi.Pembesaran kelenjar regional lebih banyak terdapat pada anak dibanding orang dewasa. Pada anak penyembuhan terutama kea rah kalsifikasi,sedangkan pada orang dewasa terutama kea rah fibrosis. Penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil. Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komlikasi. Tuberkulosis dapat meluas ke jaringan paru sendiri. Selain basil tuberkulosisdapat masuk ke dalam aliran darah secara langsung atau melalui kelenjar getah bening. Basil tubekulosis dalam mati dalam aliran darah, tetapi dapat pula berkembang terus; hal ini tegantung kepada keadaan penderita virulensi kuman. Melalui aliran darah basil tuberculosis dapat menacapai alat tubuh lain seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal dan lain-lain. Dalam alat tubuh tersebut basil tuberculosis dapat segera menimbulkan penyakit, tetapi dapat pula menjadi tenag dulu dan setelah beberapa waktu menimbulkan penyakit atau dapat pula tidak pernah menimbulkan penyakit sama sekali.

Page 28

Sebagian besar komplikasi tuberculosis primer terjadi dalam 12bulan setelah terjadinya penyakit. Penyeabaran hematogen atau milier dan meningitis biasanya terjadi dalam 4 bulan, tetapi jarang sekali sebelum 3-4 minggu setelah terjadinya kompleks primer. Efusi pleura dapat terjadi 6012 bulan setelah terbentuknya kompleks primer, kalau efusi pleura disebabkan oleh penyebaran hematogen dapat terjadi lebih cepat. Komplikasi pada tulang dan kelenjar getah bening permukaan dapat terjadi penyebaran hematogen, hingga dapat terjadi 6 bulan setelah terbentuknya kompleks primer. Tapi komplikasi ini dapat terjadi 6-18 bulan. Komplikasi pada traktus urogenital dapat terjadi setelah bertahun-tahun. Komplikasi berupa penyebaran milier dan meningitis tuberkulosa dapat terjadi dalam 3 bulan, pleuritis dan penyebaran bronkogen dalam 6 bulan dan tuberculosis tulang dalam 1-5 tahun dari terbentuknya kompleks primer. Pembesaran kelenjar getah bening yang terkena infeksi dapat menyebabkan ateleksis karena menekan bronkus hingga tampak sebagai perselubungan segmen atau lobus, sering lobus pada paru kanan. Selain oleh kelenjar getah bening yang membesar, atelekstasis dapat terjadi karena konstriksi bronkus pada tuberculosis dinding bronkus, tuberkuloma pada lapisan otot bronkus atau sumbatan atau gumpalan keju dalam lumen bronkus. Pembesaran kelenjar getah bening yang terkena infeksi selain menyebabkan ateletaksis karena penekanan, dapat juga menembus bronkus kemudian pecah dan menyebakan penyebaran bronkogen. Lesi tuberculosis biasanya menyembuh sebagai proses resolusi, fibrosis dan atau kalsifikasi. Pencegahan

1. Vaksinasi BCG Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberlulosis yang virulen. Imunitas timbul 6-8minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Rosenthal dkk (1961) mengatakan bahwa pemberian BCG dapat mengurangi morbiditas sampai 74 %. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji tuberkulin negatif dan biasanya diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau masih negatif dianjurkan untuk mengulang BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin karena cara ini dapat menghemat ongko dan mencakup lebih banyak anak. 2. Kemoprofilaksis

Page 29

Sebagai kemoprofilaksi biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgbb/hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksi primer diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak tuberkulosis dan uji tuberkulin masih negatif yang berarti masih negatif yang berarti belum terkena atau masih dalam inkubasi. Kemoprofilaksi Sekunder diberikan unuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak berumur kurang dari 5 tahun dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis paru dan anak dengan konversi uji tuberkulin tan kelainan radiologis paru. Selain itu juga diberikan pada anak dengan uji tuberkulin posistif tanpa kelainan radiologis paru yang telah sembuh dari tuberkolosis tetapi mendapat pengobatan dengan kortikosteroid yang lama, menderita penyakit morbili atau pertusis, mendapat vaksin virus misalnya vaksin morbili atau pada masa akil balik (adolesen). Selanjutnya juga diberikan pada konversi uji tuberkulin dari negatif menjadi positif dalam 12 bulan terakhir tanpa kelainan klinis dan radiologis. Diagnosis banding Diagnosis banding Tb adalah pneumonitis, pleuritis fokal . Diagnosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, CSS, cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Panyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml spesimen. Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna

Page 30

hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil dari NGT, dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak nyaman bagi pasien. Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB. Diagnosis TB pada anak didasarkan pada kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium 1. Darah Pada saat TB baru aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga antara lain anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun. 2. Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman basil tahan asam (BTA), diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA tetapi pada biakan hasilnya negatif . Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anti TB jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.

Page 31

Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases) a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif. b. Ada 1 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. c. Ada 1 99 BTA per 100 lapangan pandang, disebut + atau 1+ d. Ada 1 10 BTA per lapangan pandang, disebut ++ atau 2+ e. Ada > 10 BTA per lapangan pandang, disebut +++ atau 3+ Penulisan gradasi hasil bacaan penting untuk menunjukkan keparahan penyakit, derajat penularan dan evaluasi pengobatan. 3. Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil negatif berarti TB dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam: a. indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Disini peran antibodi humoral paling menonjol. b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini peran antibodi humoral masih menonjol. c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Disini peran kedua antibodi seimbang.

Page 32

d. Indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Disini peran antibodi selular paling menonjol. Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu. Hal-hal ini memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni: - Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB - Alergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, LE) - Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis. - Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin) - Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi lainnya. - Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan. Untuk penderita dengan HIV positif, test Mantoux 5 mm, dinilai positif. 4. Serologi Pemeriksaan Serologi, dengan berbagai metoda antara lain : a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen antibodi yang terjadi. b. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktivitas penyakit maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah. c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.

Page 33

Page 34

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Melalui hasil belajar mandiri yang telah didiskusikan pada diskusi kelompok kecil (DKK) ke-2 kelompok 3 dengan judul Sesak Napas kami mendapatkan Learning Objective atau sasaran pembelajaran tentang etiologi, patogenesis, patofisiologi, diagnosis, diagnosis banding, penataklaksanaan dan prognosis serta pencegahan dari asma dan tuberkulosis. Saran Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah ini, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2011, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.

Page 35

Anda mungkin juga menyukai