Anda di halaman 1dari 35

Latar Belakang Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1 Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. 2 Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.3 Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.4 Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.5 Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.6 Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya waktu.3,7 Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 740 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan.1,8 Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak. 9 Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak. 1.2 Permasalahan Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan. Aspek lain yang juga sangat penting adalah pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemberian imunisasi dan perawatan luka. Saat ini imunisasi yang aman

dan murah sudah tersedia di berbagai belahan dunia, sehingga diharapkan cakupan imunisasi akan semakin luas, dan pada akhirnya akan semakin menurunkan angka kejadian tetanus. .Definisi Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.8,10 3.2. Etiologi Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat : -positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang ungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela

terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 F (121C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. 1 ,11 Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.1 3.3. Epidemiologi Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.10,12

3.4. Patogenesis Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :10 1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas. 2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik. 3. Otitis media, karies gigi, luka kronik. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg. 11,14 Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. 10 Dampak toksin antara lain : 10 1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku. 2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus. 3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

3.5 Gejala Klinis Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat

luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.10,12 Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :1,10 1. Generalized tetanus (Tetanus umum) Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan. 2. Localized tetanus (Tetanus lokal) Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian. 3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik) Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk. 4. Tetanus neonatorum Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan.

3.6 Penegakan Diagnosis Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).15,16 3.6.1. Anamnesis Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 10

binatang?

gigi berlubang?

pertama (period of onset)?

3.6.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :10,17

neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah. otonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten. -menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang.

yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).18

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1,10,10 C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus. osit dapat tinggi.

dapat meningkat. -menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.

3.7. Diagnosis Banding Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.19 Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :
10

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai

trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal. 2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal. 3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak). 4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi. 5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh

mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris. 3.8. Komplikasi Tetanus Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus. Tabel 7 menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di Indonesia. 3.9. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut : 11,12 1. Penanganan spasme. 2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik. 3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan. 4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan. 5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus. 6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.9 3.9.1. Tatalaksana Umum 9 1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi. 2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi. 3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker). 4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus

tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan. 5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.

3.9.2 Tatalaksana Khusus 1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
10,11,21

Dosis ATS yang dianjurkan adalah

100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human

immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut : -30%). dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin. Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. 8,11,14 Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.

2. Antibiotika 10,14 a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan perbandingan antara penisilin dan metronidazol. b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan antibiotika yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus. 4.0 Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai berikut : diantaranya dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang terjadi akibat terkumpulnya air liur (lendir) didalam mulut karena anak sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap, dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia aspirasi, kepala anak harus dimiringkan jika anak dalam keadaan telentang (untuk drainase). Anak dengan kesulitan bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif anak (ICU). Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap adanya tanda-tanda gawat napas dan peralatan emergensi harus selalu dalam keadaan siap sedia dan mudah dijangkau.23,24,21

makanan cair dan diberikan memakai sedotan. Bila trismus makin berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk cincang. Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu diberikan paling tidak dua kali sehari.23 2. Asuhan Keperawatan Luka Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan tetanus selain pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya luka pada penderita luka sangat tergantung pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya bersih atau kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar, luka nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan atau dalam, dan sebagainya. Perawatan luka pada tetanus yang biasanya dilakukan selama ini adalah dengan : - Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik. - Irigasi luka. - Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti

hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini, diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah sebagai berikut: ik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko perdarahan pada jaringan yang rapuh. icapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.

memerlukan balutan sekunder). - Membuang benda asing dalam luka. - Kompres dengan H2O2. - Luka dibiarkan terbuka.

4.1 Prognosis Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.10,14 4.2 Pencegahan Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan: 1. Imunisasi aktif
10,11,14,23

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat

efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.

Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.24 Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10 tahun.11 Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak memberikan vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya. 2. Perawatan luka Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.10,11,26 Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :27 - Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat - Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab 3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. 10

Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.

Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorumyang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. SporaClostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 dan tahun 1992 sebesar 7,3 . Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 dan 4,2 secara berurutan. Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.

BAB II TETANUS
Definisi

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. SporaClostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan. Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut : 1. Masuk ke dalam otot Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat. 2. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik. 3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah

karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otototot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat. 4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor. Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka.

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otototot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf. Mekanisme kerja toksin tetanus: 1. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut. 2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf. Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf. Tetanus toxin Normal:

Inhibitory interne

Tetanus toxin: Blocks glycine release

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis. Perubahan akibat toksin tetanus: 1. Susunan saraf pusat Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin. Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukanneurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron. Fungsi Luhur Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan. 2. Aktifitas neuromuskular perifer Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa: 1. Neuropati perifer 2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh. 3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu. 4. Gangguan Sistem pernafasan Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat : a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin. b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis. c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus. e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia. Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah :

komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.

berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa. 5. Gangguan hemodinamika Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :

sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi lit penilaian dari hasil penelitian. 6. Gangguan metabolik Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin. Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin. 7. Gangguan Hormonal Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awarenessmenimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin. 8. Gangguan pada sistem lain Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus

gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

BAB III MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


1. Manifestasi Klinis Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: a. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum. b. Tetanus sefal

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawahhiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi

jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru. Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts : a. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi. b. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan c. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

2. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi: - Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka. - Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap - Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan. - Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek - Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik. Temuan laboratorium : - Lekositosis ringan - Trombosit sedikit meningkat - Glukosa dan kalsium darah normal - Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat - Enzim otot serum mungkin meningkat - EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. - Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

BAB IV DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI


1. Diagnosis banding Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah - Meningitis bakterialis - Rabies - Poliomielitis - Epilepsi - Ensefalitis - Tetani - Keracunan striknin - Sindrom Shiffman - Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses 2. Komplikasi Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.

BAB V PENATALAKSANAAN
1. Dasar a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah. 1. Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari. 2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi. b. Netralisasi toksin

1. Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU. 2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka. c. Menekan efek toksin pada SSP 1. Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 2. Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik. 3. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi. 2. Umum Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan. Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada : 1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV 2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 <> 3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus a. Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas. b. Tetanus sedang

Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral. c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

BAB VI PROGNOSIS

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.

TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI DAN ETIOLOGI1,5 Tetanus berasal dari bahasa Yunani yaitu Tetanos dari Teinein yang berarti kontraksi/regangan. Tetanus pertama kali di gambarkan/ungkapkan di Mesir lebih dari 3000 tahun yang lalu .

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri batang gram positif anaerob (Clostridium tetani) yaitu tetanospasmin yang dapat ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya terjadi akibat kontaminasi luka tetapi dapat juga terjadi menyertai otitis media yang kronis, luka bakar, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, pembedahan elektif, kehamilan atau aborsi, atau tempat injeksi yang terinfeksi pada pengguna obat intravena yang ilegal.

II. EPIDEMIOLOGI4,11 Tetanus terjadi secara sporadis dan bisa mengenai orang yang tidak imun, memliki imunitas parsial maupun imunitas penuh dengan dosis vaksin ulangan yang adekuat. Dari data WHO pada tahun 2002, jumlah kematian akibat tetanus pada semua kelompok umur adalah 213.000 dimana yang terbanyak adalah tetanus neonatal yang berjumlah 180.000 (85%) Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2004 mencatat kejadian tetanus sebanyak 68 kasus dengan angka kematian mencapai 45%.

III.

PATOFISIOLOGI1,5,6,7

Clostridium tetani adalah kuman gram positif yang bersifat anaerob berbentuk batang. Kuman tersebar luas di lingkungan kotoran hewan seperti kuda, ayam,tikus, anjing, babi, kucing dan manusia. Spora Clostridium tetani dapat masuk kedalam tubuh melalui infeksi luka, tusukan dari benda yang kotor, infeksi post partum dan post abortus, suntikan intramuskuler yang tidak steril, fraktur terbuka, karies, radang telinga, ulkus dekubitus, tindik, tato. Namun demikian terdapat 20% kasus tanpa adanya riwayat luka. Kuman pada suasana anaerob akan berubah menjadi endospora dan menghasilkan toksin bila bakteri tersebut lisis. Toksin yang dihasilkan adalah tetanospasmin dan tetanolisin, yang memiliki afinitas tinggi pada jaringan saraf. Tetanospasmin yang dihasilkan dalam luka disebarkan keseluruh tubuh melalui aliran darah. Diperkirakan dosis letal untuk manusia adalah 2,5 nanogram per kg BB atau 175 nanogram untuk berat 70 kg. Semua toksin akan diserap oleh ujung neuron saraf perifer motorik, sensorik dan otonom. Toksin kemudian berjalan sepanjang saraf melalui intraaxonal berjalan retrograde menuju sistem saraf pusat sepanjang jalur aksonal. Selanjutnya toksin akan naik sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen spinalis yang menginervasi otot

yang terinfeksi. Toksin mempengaruhi pelepasan substansi transmitter inhibisi Gama Amino Butiric Acid( GABA) dari interneuron spinal inhibisi. Pada sistem motorik, inhibisi pada motor neuron alpha dan gamma akan menyebabkan peningkatan tonus otot, hilangnya koordinasi, dan kontraksi spontan simultan dari otot agonis dan antagonis. Hal ini dapat menyebabkan disfagi, aspirasi pneumoni, laryngospasme, asfiksia, dan atau fraktur vertebra thorakal. Pada sistem saraf otonom, hal ini akan mempengaruhi sistem simpatik dan atau parasimpatik.Aktivitas berlebihan sistem simpatik akan menghasilkan hipertensi, takikardia, aritmia, keringat berlebihan, panas, peningkatan produksi karbondioksida, kerusakan otot jantung dan ileus. Aktivitas parasimpatik berlebihan akan menyebabkan salivasi, peningkatan sekresi bronkus, bradikardia atau henti jantung.

IV. GEJALA DAN TANDA2,3,9 Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot akan bertambah secara progresif dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada minggu kedua. Secara umum terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu sebagai berikut : 1. Kekakuan otot dan rigiditas

Kekakuan awalnya terjadi pada otot maseter, menyebabkan kesulitan membuka mulut (trismus atau locked jaw). Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring dan juga seluruh otot ekstremitas dan batang tubuh. Sehingga memberikan gambaran risus sardonikus, retraksi leher, disfagia, keterbatasan dalam gerakan napas, perut papan dan opistotonus. Arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di medula dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang menyerupai kejang. Tonus otot meningkat diselingi dengan spasme otot secara episodik. 2. Spasme otot

Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang telah mengalami kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-otot agonis dan antagonisnya sehingga terjadi gerakan seperti bangkitan tonik. Spasme dapat ditimbulkan dengan rangsang raba juga oleh rangsang auditori, visual atau emosional. Frekuensi dan beratnya spasme sangat bervariasi, biasanya spasme terjadi dalam beberapa detik, secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat. 3. Gangguan saraf otonom

Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan bukan merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan baik komponen simpatis maupun parasimpatis. Pasien dapat mengalami takikardi, hiperhidrosis, peningkatan tekanan darah, artimia, hipersalivasi serta peningkatan refleks vagal yang berakibat buruk pada sistem kardiovaskuler. Gejala dan gambaran EKG dapat menyerupai infark miokarditis dengan ST elevasi. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali akson terminal dan proses kerusakan toksin.

Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut : 1. Tetanus Umum Sedikitnya 80% kasus tetanus adalah tetanus umum. Pada orang dewasa, ditandai dengan trismus karena spasme otot masseter, kaku kuduk, susah mengunyah, kaku otot perut, spasme otot wajah (risus sardonikus), spasme otot somatik menyeluruh (pistotonus), spasme yang timbul ireguler dan intermiten serta tak teramalkan dan berlangsung beberapa detik sampai menit. Spasme bisa timbul spontan atau karena rangsangan internal dan/atau eksternal ( air dingin, suara berisik, cahaya, gerakan pasien). Gangguan saraf otonom seperti perubahan tekanan darah, takikardi, aritmia, berkeringat, hipertermi, cardiac arrest. 2. Tetanus Lokal. Penderita tetanus lokal ditandai dengan spasme dan peningkatan tonus otot yang dekat tempat luka tanpa ada gejala sistemik. Kontraksi ini akan berlangsung selama beberapa minggu sebelum berangsur-angsur sembuh. Bisa juga tetanus lokal mengawali terjadinya tetanus umum, tetapi biasanya lebih ringan dan tidak teralalu fatal, mortalitasnya sekitar 1%. 3. Tetanus Sefalik Tetanus ini tipe yang jarang, biasanya timbul dengan otitis media atau adanya luka di kepala. Gangguan satu atau beberapa saraf kranial bisa terjadi, tetapi umumnya terkena saraf kranial ke VII. Tetanus kepala mungkin bisa berkembang menjadi tetanus umum atau tetap menjadi lokal. V. DERAJAT TETANUS1 Beberapa klinikus membuat skoring untuk menegakan prognosa dan perawatan. Antara lain Phillips score, kriteria Pattel Joag dan Abletts. Philips Score A. Masa inkubasi a. b. c. d. e. B. < 48 jam 2-5 hari 6-10 hari 11-14 hari >14 hari : : 4 : : : 3 2 1 5

Lokasi infeksi a. b. c. d. e. Internal/umbilikal Kepala,leher,dinding tubuh Ekstremitas proksimal Ekstremitas distal Tidak diketahui : : : : : 1 5 4 3 2

C.

Imunisasi a. b. Tidak Mungkin ada /ibu dapat : : 8 10

c. d. e. D.

> 10 tahun yang lalu < 10 tahun yang lalu Proteksi lengkap

: : :

4 2 0

Faktor yang memberatkan a. b. c. d. e. Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa : Keadaan langsung yang tidak membahayakan jiwa Keadaan yang tidak membahayakan jiwa Trauma/penyakit ringan ASA derajat 1 : 10 : : 2 : 0 8 4

NILAI : Ringan Sedang Berat : : : 1-8 (sembuh sendiri) 9-16 (dengan pengobatan baku ) >16 (dirawat di ICU )

Kriteria Pattel Joag Grading Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kriteria 5 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang belakang

: spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya : inkubasi antara 7 hari atau kurang : waktu onset adalah 48 jam atau kurang : kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila 99oF (37,6oC)

Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut : Derajat 1 : kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0% Derajat 2 : kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2) biasanya inkubasi lebih dari 2

hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10% Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari 7 hari,

onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32% Derajat 4 : kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

Derajat 5

: bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus

puerpurium, mortalitas 84%

Klasifikasi Abletts Grade I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/ sedikit ada disfagia. Grade II (moderat) : trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan

sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan dengan takipnu. Grade III (berat) : trismus berat, spastisitas menyeluruh, reflek spasme dan

seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan sesak dan terengahengah (apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas saraf otonom sedang. Grade IV (sangat berat): seperti grade III ditambah gangguan otonom hebat yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai otonom.

VI. DIAGNOSIS5 Diagnosa tetanus ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan klinik. Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat luka terbuka, gigi berlubang, otitis media,dll. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya trismus, kaku kuduk, perut papan, opistotonus,

hipertonus otot, peningkatan refleks tendon, kesadaran baik, sedikit demam, tidak ada gangguan sensoris, spasme lokal atau umum. Untuk pemeriksaan klinik dapat dilakukan spatula test yang dapat digunakan untuk mengetes

tetanus . Caranya dengan menyentuh oropharynx dengan sebuah spatula ( spatel tongue ) yang biasanya menimbulkan suatu reflek muntah ( gag reflex ). Tes ini positif bila penderita terjadi reflek masseter dan menggigit spatel .Tes ini mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 100% dan tidak ada efek samping.

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar- benar spesifik untuk menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Namun untuk pemeriksaan rutin dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, mioglobin urin, AGD, EKG serial, dan kultur untuk infeksi. Pemeriksaan tersebut lebih berperan sebagai tambahan akibat adanya beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat gejala klinis utama pada pasien.

VIII.

DIAGNOSIS BANDING

Termasuk sejumlah keadaan yang dapat memicu satu atau lebih tanda klinik dari tetanus dan kadang-kadang dikatakan pseudotetanus. Keracunan striknin, gejala awal tetanus dapat mirip dengan keracunan striknin (trismus

timbul belakangan, gejala dan tanda lain timbul lebih cepat ada riwayat bunuh diri ) Reaksi distonia dari phenothiazine ( trismus, tremor, etetosis torticalis). Abses alveolar Meningitis purulenta, ensefalitis ( LP , kesadaran menurun) Rabies ( tidak ada trismus )

- Hipokalsemia (tidak ada trismus ) IX. PENATALAKSANAAN1,3,8,10 Thwaites (2002) merangkum penatalaksanaan tetanus sebagai berikut ; 1. Eradikasi bakteri kausatif 2. Netralisasi antitioksin yang belum terikat. 3. Terapi suportif selama fase akut 4. Rehabilitasi 5. Imunisasi

Ad.1 Eradikasi bakteri kausatif Penggunaan penisilin (10-12 juta unit IV yang diberikan setiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan, tetapi metronidazol (500mg setiap 6 jam atau 1 gram setiap 12 jam selama 7-10 hari) dipilih oleh beberapa orang ahli berdasar pada aktivitas antimikroba yang sangat baik dan ketiadaan aktivitas antagonis GABA seperti yang terlihat pada penggunaan penisilin. Manajemen luka juga merupakan hal yang amat penting dalam penatalaksanaan pasien tetanus dengan luka. Rekomendasi manajemen luka traumatik adalah sebagai berikut : a. Semua luka harus dibersihkan dan debridement bila perlu b. Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin c. Tetanus toksoid (TT) harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun. Jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT tetap diberikan d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka Tetanus Imuno Globulin (TIG) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIG. Ad.2 Netralisasi antitoksin Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang tidak terikat sajalah yang dapat dinetralisasi. Pemberian ATS 100.000 IU terbagi dalam 5 hari. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus Immuno Globulin (HTIG) akan meningkatkan angka keselamatan (survival rate). Cook et al menyarankan HTIG 3000-6000 IU IM. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin ini panjang.

Ad.3 Terapi suportif selama fase akut nyeri Terapi utama untuk kekakuan dan rigiditas otot adalah benzodiazepine (untuk memperbesar Pasien direkomendasikan untuk menghindari rangsangan yang tidak perlu untuk menghindari

GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor eksogen di reseptor GABA). Dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut : spasme ringan (5-20mg per oral setiap 8jam), spasme sedang (5-10mg IV, tidak melebihi 80-120 mg dalam 24jam), spasme berat (50-100mg dalam 500 ml dekstrose 5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15mg/jam diberikan dalam 24 jam). Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Okoromah dalam Cochrane Collaboration menyebutkan keunggulan diazepam dalam mengurangi angka kematian dibanding fenobarbital dan klorpromazin, dan kematian juga lebih rendah pada kelompok dengan diazepam saja dibandingkan diazepam dan fenobarbital atau klorpromazin. Baklofen intratekal dilaporkan dapat memiliki efek yang baik. Dosis yang dianjurkan adalah

500-2000ug sehari. Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70mg/kgBB dalam

larutan dekstrose 5% 100 ml secara IV selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 gram/jam (<60tahun) dan 1 gram/jam (>60tahun) dalam larutan dekstrose 5% 500mL, diberikan selama 6 jam. Kontrol disfungsi otonom bisa menggunakan -adrenergic blocking agents seperti propanolol

(5-20 mg tiga kali sehari) Komplikasi respirasi juga perlu diperhatikan. Penggunaan ventilator dan perawatan ICU

sangat membantu menurunkan angka kematian. Trakeostomi disarankan pada pasien dengan derajat Patel Joag 3 ke atas. `Ad.5 Imunisasi . Status Imunisasi Status Imunisasi DPT primer dan pengulangan TT dalam 10 tahun terakhir Vaksinasi Tidak perlu vaksinasi Pemberian HTIG diberikan

250IU dalam 1mL i.m pada deltoid atau glutea Jika lebih dari 24 jam terpapar setelah luka atau ada resiko kontaminasi berat atau pasca luka bakar dosis

rekomendasi 500IU Status imunisasi Dosis TT tunggal Dosis tunggal TT +

primer dan dosis terakhir diberikan lebih dari 10 tahun

diberikan 0.5mL s.c/i.m pada otot deltoid atau glutea

HTIG (lihat dosis di atas). TT dan HTIG harus diberikan dengan spuit yang berbeda pada lokasi yang berbeda

Tidak

diimunisasi

Vaksin Toksoid penuh diberikan (5 dosis)

Tetanus secara 0.5mL

Vaksin TT + HTIG diberikan secara penuh (lihat dosis di atas)

atau status imunisasi tidak diketahui pasti

dengan interval > 4 minggu

X. PROGNOSIS Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan, yaitu: a. Masa inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari). b. Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 tahun). c. Frekuensi spasme yang sering. d. Kenaikan suhu tubuh yang tinggi. e. Pengobatan terlambat. f. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas. XI. PENCEGAHAN

1.

Imunisasi aktif toksoid tetanus, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin

DPT (difteri, pertusis, tetanus) yang diberikan pada usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun. 2. Bila mendapatkan luka, maka harus mendapatkan manajemen luka yang adekuat

beserta vaksinasi jika perlu.


DISKUSI Penderita didiagnosis dengan tetanus yang ditegakkan berdasarkan anamnesa riwayat perjalanan penyakit dan tanda serta gejala pada pemeriksaan fisik. Adanya riwayat tertusuk besi berkarat pada jempol tangan kiri 15 hari yang lalu dan dibersihkan hanya dengan air dan betadine disusul dengan perjalanan penyakit yang berkembang menjadi tetanus umum dengan adanya trismus, perut papan dan opisotonus ringan tanpa adanya disfagi atau kesulitan bernafas. Diagnosa banding sudah dapat disingkirkan sejak awal dari anamnesa serta dan pemeriksaan fisik. Tidak dilakukan pemeriksaan kultur bakteri karena pemeriksaan hanya positif pada 1/3 kasus tetanus dan pemeriksaan bisa menjadi positif pada orang yang tidak mengalami tetanus. Pengobatan sesuai dengan derajat philip score , nilai 16 dirawat dengan pengobatan baku, di ruang isolasi. Diberikan ATS 100.000 IU dalam dosis terbagi 5 hari. Diazepam diberikan 10 mg iv dilanjutkan pemberian secara bolus intravena setiap 3 jam. Antibiotika metronidazole diberikan 4 x 500 mg infus selama 10 hari. Berdasarkan penelitian terbaru, pengobatan tetanus sebenarnya cukup dengan metronidazol saja. Pemberian penicilin justru akan bekerja menghambat GABA sehingga menambah dosis pemakaian diazepam dan memperpanjang masa perawatan. Pada

penderita ini ditambahkan antibiotik ceftriaxon untuk profilaksis terhadap infeksi sekunder yang mungkin terjadi sebagai komplikasi respirasi pada tetanus seperti aspirasi pneumonia dan bronkopneumonia. Penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan pasien sudah bisa mulai berjalan sendiri setelah perawatan 11 hari.

Anda mungkin juga menyukai