Anda di halaman 1dari 6

Rokok haram di Indonesia Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung

negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daundaun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.

Tertulis pada setiap kemasan rokok, merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi serta gangguan kehamilan dan jatim. Hanya sebuah peringatan yang tidak mengandung sangsi kecuali penggambaran akibat dari merokok tersebut bagi kesehatan. Untuk mencegah gangguan kesehatan itu, ulama Muhamadiyah telah mengeluarkan fatwa haram merokok. Namun seperti yang sudah2, fatwa haram merokok tersebut juga mengundang pro kontra. Ajaran agama yang dapat diterima sebagai sebuah keyakinan, mestinya fatwa yang berdasarkan keyakinan tersebut tidak akan menimbulkan pro kontra. Pro kontra yang terjadi tersebut menandakan bahwa para ulama sesungguhnya tidak mampu memberikan keyakinan sebagaimana kita cerna dalam pemahaman kepercayaan. Sesungguhnya masyarakat percaya dengan akibat merokok sebagaimana yang tertera pada setiap kemasan, tetapi menafsirkan ayat suci Al Qur`an dikaitkan dengan merokok yang menimbulkan perdebatan akan menimbulkan pertanyaan mengenai efektifitas fatwa itu sendiri. Penerimaan cukai rokok yang diproyeksikan dalam APBN menunjukan bahwa cukai rokok merupakan pendapatan negara yang mempunyai dasar hukumnya tetapi hukum islam yang diterapkan pada rokok menyatakan haram. Kalau rokok dinyatakan haram mestinya cukai rokok juga adalah penerimaan yang diharamkan. Dilain sisi petani mulai menjerit karena tanamannya dianggap barang yang diharamkan padah dari sektor tanaman ini dapat memberikan nafkah banyak manusia yang menganut ajaran islam. Setelah tanaman tembakau menjadi komoditas yang mendatangkan devisa, memberikan lapangan pekerjaan, menjadi sumber pendapatan negara, menjadi gantungan hidup banyak orang maka wajarlah fatwa haram tersebut menjadi pro kontra karena akibatnya dinilai akan menyengsarakan mereka. Hanya melihat satu sisi pada kesehatan tetapi tidak melihat akibatnya disisi lain, fatwa itu akan menjadi lipstik saja dan tidak diikuti. Jika seperti ini, tentunya akan memposisikan ulama pada posisi yang tidak perlu didengar. Sayang sekali, niat ulama islam ingin membantu menjaga kesehatan masyarakat tetapi efek yang ditimbulkan oleh fatwa haram tersebut jika diikuti juga akan menyensarakan banayak orang terutama yang telah melakukan investasi besar2an dalam pengusahaan sektor ini. Sebaiknya, untuk masalah rokok ini yang telah menjadi sebuah industri yang berkembang diseluruh dunia dan telah menjadi gantungan masayarakat banyak di Indonesia adalah menjadi tugas dari instansi kesehatan. Ada Departemen tehnis dan dinas tehnis didaerah yang mengurusi soal kesehatan masyarakat, penyuluhan bahaya merokok tentu sudah menjadi bagian dari fungsi tehnis kesehatan itu. Menggunakan fatwa tetapi tidak efektif hanya akan menurunkan kepercayaan terhadap ulama kita. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat, tidak harus dengan fatwa haram yang terkait dengan hukum

agama. Daging babi haram adalah hukum islam yang sudah diterima sejak awal, tetapi merokok yang tadinya tidak haram sekarang tiba2 menjadi haram diterima masyarakat sebagai sebuah revisi. Adanya revisi tersebut secara psikologis akan menimbulkan pertanyaan bahwa apakah iman itu dapat diatur dan dipaksakan. Sesungguhnya, yang menjadi pro kontra tersebut lebih menyangkut ekonomi, para pelaku usaha dan yang bergantung dalam dunia usaha ini pasti akan menentang karena terancamnya periuk nasi mereka. Seperti tanggapan petani tembakau yang mempertanykan fatwa tersebut karena terkait dengan ekonomi untuk menunjang kehidupannya, demikian juga para pedagang rokok yang mengatakan fatwa tersebut

Merokok Tidak Haram


kuatnya tuntutan berbagai pihak agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram merokok, sejumlah ulama dari pondok pesantren besar malah menolak rencana fatwa tersebut. Melihat penolakan yang cukup banyak dari kalangan ulama maka semakin jelaslah bahwa hukum merokok merupakan masalah khilafiyah. Ada yang beranggapan masih makruh tapi ada juga yang mengarah ke haram misalnya ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang sudah mengharamkan rokok. Yang mengharamkan berpendapat bahwa rokok tidak hanya berdampak bagi kesehatan, tetapi juga mubazir. Kalau nyata-nyata merusak maka hukumnya menjadi haram karena kita diperintahkan menjaga diri, jasmani dan rohani. Sedangkan yang berpendapat makruh mengatakan bahwa rokok tidak ada pada masa Nabi. Rokok baru dikenal 500-700 tahun yang lalu sehingga untuk menghukumi haram atau tidak, sulit dicarikan dasar hukumnya. Akan tetapi jika dilihat dari bahaya yang diakibatkan oleh rokok sebagaimana sudah banyak diteliti oleh para dokter akhir-akhir ini, maka para ulama banyak yang menghukumi haram. Namun menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri (pengarang kitab Hasyiyat al-Bajuri) pendapat yang mengatakan haram atau boleh adalah pendapat lemah dan tidak dapat dijadikan pegangan. Menurutnya, pendapat yang bisa dijadikan pegangan adalah yang menyatakan merokok itu makruh. Sementara itu Syeikh Abu Sahal Muhamad bin al-Waiz al-Hanafi mengatakan bahawa kemakruhan merokok disabitkan dengan dalil yang pasti (qathI), sedangakan keharamannya disabitkan dengan dalil yang zhanni (tidak pasti). Saya yakin akan lebih banyak menimbulkan mudarat (dampak negatif,red.) daripada manfaatnya kalau masalah merokok itu disikapi MUI dengan mengeluarkan fatwa, kata Pengasuh Ponpes Tebuireng, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam suatu wawancara dengan majalah Hidayatullah. Dampak negatif tersebut, lanjut mantan anggota Komnas HAM itu, di antaranya adalah terganggunya kebutuhan ekonomi masyarakat. Bisa dibayangkan, berapa ratus ribu orang akan kehilangan pekerjaan. Belum lagi pada lapisan masyarakat lainnya, seperti pedagang rokok dan petani tembakau yang akan kena dampaknya, kata adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Oleh sebab itu, dia menyarankan MUI agar dalam menyikapi masalah rokok yang sudah meracuni anak-anak dan remaja itu melalui pesan yang bijak. Akan sangat bagus, kalau disampaikan dalam bentuk imbauan melalui media massa. MUI bisa bekerja sama dengan praktisi periklanan, bagaimana pesan tersebut bisa efektif diterima masyarakat, kata Gus Sholah yang mengaku bukan perokok itu. Pendapat serupa juga disampaikan oleh pengasuh Ponpes Al Falah, Ploso, Kabupaten Kediri, KH Zainuddin Djazuli (Gus Din). Saya yakin tidak akan efektif. Buktinya sampai sekarang orang merokok masih banyak, padahal di mana-mana ada peringatan larangan merokok, katanya. Justru dia mengingatkan MUI agar melihat sisi positifnya rokok dalam memberikan kontribusi pendapatan negara. Rokok sudah menyumbang cukai Rp9 miliar per hari kepada negara, ini kan sisi positifnya rokok, kata Gus Din. Sementara itu, pengasuh Ponpes Lirboyo, K.H. Idris Marzuqi (Mbah Idris) kepada wartawan di Kediri meminta MUI tidak tergesa-gesa dulu menanggapi usulan Komnas Perlindungan Anak dengan mengeluarkan fatwa antirokok. Agama (Islam) tidak mengharamkan rokok. Oleh karena itu, tidak perlu MUI melarangnya dengan dalam bentuk fatwa, kata ulama sepuh NU yang juga perokok itu. Meski tak setuju dengan rencana MUI, selama ini Ponpes Lirboyo dan Ponpes Tebuireng yang memiliki santri di atas 5.000 orang itu melarang santrinya merokok . Berbeda dengan Ponpes Al Falah, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pesantren yang membebaskan ribuan santri putranya merokok tanpa membedakan usia. Mana mungkin kami melarang. Biarkan saja mereka merokok asal jangan keterlaluan karena bisa menimbulkan pemborosan, kata Kiai Din. Kendati masih sebatas wacana, kalangan perusahaan rokok, terutama berskala kecil, merasa resah dengan larang merokok. Penolakan juga datang dari beberapa pesantren di Jember, Jawa Timur. Perkara khilafiyah (perbedaan pendapat dalam hukum agam Islam) seperti rokok, tidak perlu diatur atau diperketat, kata KH. Najmudin, Rois Aam Nahdlatul Ulama Jember dikutip Tempointeraktif. Kami berharap MUI nantinya berbiacara dulu dengan kalangan perusahaan rokok, kata Ketua Pelaksana Harian Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero), Kasiati. Ia menyebutkan, perusahaan rokok yang termasuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah terpukul dengan kebijakan baru mengenai tarif cukai yang berlaku awal tahun ini.

Apa pendapat Anda jika ada ulama menfatwakan halal susu bermelamin atau biskuit beracun, selama tak terasa sakit? Tentu, sontak semua orang akan mengecam. Kasus sepadan dengan itu sebenarnya sedang terjadi. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana menyampaikan fatwa tentang rokok, segenap tokoh menentang rencana itu. Bahkan para petani tembakau di Jember, Jawa Timur berdemonstrasi menentang rencana fatwa MUI tersebut.

Sepanjang penelusuran penulis, ada tiga pendapat menyangkut hukum rokok. Pertama, haram; kedua, makruh; dan ketiga, mubah. (Baca di al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah : I/3522) Kelompok yang membolehkan (mubah), mereka mendasarkan pada kaidah fikih bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada bukti yang mengharamkannya. Penyebab haram barang konsumsi ada dua hal, yaitu memabukkan dan membahayakan kesehatan. Sayyid Sabiq menambahkan tiga hal lagi yaitu najis, terkena najis dan masih berstatus milik orang lain. (Fiqh al-Sunah: III/267). Menurut mereka semua hal itu tak terbukti pada rokok, sehingga hukumnya tetap halal. Andaipun ada yang terkena dampak negatif, maka yang demikian bersifat relatif. Jangankan rokok, madu pun yang secara nash dikatakan mengobati, dapat pula berdampak negatif kepada sebagian orang. Pendapat ini didukung beberapa ulama lintas madzhab, di antaranya Abd alGhani al-Nabulisi al-Hanafi (1062 H) yang terkenal dengan karangannya al-Shulh Bain alIkhwan Fi Ibahat Syurb al-Dukhan. Yang juga termasuk mendukung pendapat ini adalah al-Syaikh Ali Ibn Muhamad Ibn Abd alRahman al-Ajhuri (1066 H) dari madzhab Maliki (Ghayat al-Bayan li Hilli Syurb Ma La Yughayyib al-Aql Min al-Dukhan). Begitu pula Ibn Abidin (1252 H) dan al-Hamawi Sedangkan dari madzhab Syafii ada al-Hifni, al-Halabi dan al-Syubramilisi. Ditambah lagi dari kalangan ulama Hanbali yaitu al-Syaukani dan al-Karami. Kelompok yang memakruhkan adalah Ibn Abidin (yunior) al-Hanafi yang wafat pada tahun 1306 H, Yusuf al-Shaftiy al-Maliki (abad XII), al-Syarwani al-Syafii dan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Dasar pendapat mereka adalah; Pertama, yang jelas asap rokok itu menimbulkan bau tak sedap. Kedua, dalil ulama yang mengharamkan itu belum valid, alias belum dapat dipercaya secara penuh, hingga hanya sebatas menimbulkan keraguan (syakk). Ulama yang berpendapat haram antara lain: Zakariya al-Anshari al-Syafii, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn Ammar al-Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din alGhazi al-Syafii, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafii (1070 H) dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Ulama Sejati Semua ulama sepakat dan tak satu pun menolak bahwa keharaman barang konsumsi tergantung kepada keberadaan salah satu atau lebih dari lima faktor. Yaitu memabukkan (muskir), membahayakan kesehatan (mudhirr), najis, terkena najis (mutanajjis) dan masih berstatus milik orang lain (milk al-ghair). Bila dikaji dengan seksama tentang alasan kedua pendapat pertama di atas baik yang membolehkan dan memakruhkan dapat dikatakan wajar bila keduanya menolak atau kurang percaya terhadap validitas argumen pendapat ketiga. Hal itu dapat dipahami, sebab kendala utamanya terletak pada metode pembuktian dampak tersebut. Maklum, saat itu belum ada standar penelitian ilmiah yang disepakati, apalagi yang bersifat medis. Akhirnya, argumentasi

bahwa rokok mengandung madharat dapat dengan mudah ditepis oleh orang yang tidak mempercayai, baik berdasar pengalamn pribadi maupun orang lain yang tidak tampak terkena dampak negatif rokok. Untuk mengurai masalah ini, hendaknya dikembalikan kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Taala (SWT). Sebagaimana diketahui, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya setiap hal kepada orang yang berkompeten (Al-Nahl [16]: 43). Dalam masalah rokok, ada dua masalah yang memerlukan dua ahli yang berbeda. Pertama, terkait dengan materi dan zat yang terkandung di dalamnya serta dampaknya terhadap kesehatan manusia. Untuk yang ini, adalah wilayah ahli kesehatan, dokter dan paramedis. Kedua, terkait hukum syari dan ini bidangnya ahli fikih. Nah, hukum rokok tergantung pada hasil studi para ahli kesehatan tersebut. Di era milenium ketiga ini, menunjukkan hasil penelitian dan efek buruk rokok jauh lebih mudah dan tak terbilang jumlahnya. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof. F. A. Moeloek menjelaskan, pada 2005 ada 70.000 artikel ilmiah di dunia yang menegaskan tentang bahaya rokok, baik dari segi kandungan materialnya maupun dampak riil yang telah terjadi akibat rokok. ( http://www.depkes.go.id. 3 Juni 2008). Jika ribuan karya peneliti itu tetap ditolak demi melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut, berarti tak ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada pengetahuan orang lain. Ulama sejati, harusnya bergembira menyambut hasil temuan seperti itu. Setidaknya, itu menjadikan bukti dan dapat menguak misteri bahaya rokok yang diperdebatkan ahli fikih sejak lima abad lampau. Dengan demikian, penerapan dalil Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (Al-Baqarah [2]: 195) dapat dengan mantap diterapkan. Kaidah fikih La Dharara Wala Dhirara (tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain) tak terbantahkan lagi masuk dalam hukum rokok ini, sehingga hasilnya adalah haram. Antara Hukum dan Ekonomi Adapula ulama yang kurang setuju pemfatwaan haram dalam kasus rokok karena alasan ekonomi. Jika rokok dilarang, kata mereka, jutaan petani tembakau akan merugi. Lantas apa hubungannya antara ekonomi dengan fatwa haram? Apakah karena pertimbangan sosial-ekonomis hukum harus diubah? Lagi pula, kapan umat mengetahui hukum yang sebenarnya (termasuk kasus rokok) hingga mereka meninggalkannya atas dorongan iman, bukan karena paksaan undang-undang? Padahal halal atau haram adalah urusan agama. Pertama, hukum adalah hukum dan tetap dapat disosialisasikan. Masalah meninggalkan utamanya bagi pekerja & pemilik pabrikitu bisa berproses, sesuai dengan tingkat kedaruratan dan keimanan masing-masing. Pentahapan pemberitahuan hukum pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam (SAW) untuk khamr misalnya tidak dapat disamakan dengan kasus rokok saat ini. Di mana ketika itu pemberitahuan secara langsung akan keharaman khamr kepada

masyarakat yang mayoritas suka khamr, akan berhadapan dengan ancaman yang lebih besar, berupa meninggalkan agama dan akidah baru mereka yaitu Islam. Kedua, hukum mengenai keharaman barang konsumsi adalah mutlak tergantung ada atau tidaknya salah satu atau lebih dari lima faktor pengharam di atas. Tak ada sangkut pautnya dengan fenomena sosial. Bila tidak, benarlah bila dikatakan banyak orang: Walaupun rokok itu beracun menurut ahli kesehatan sedunia, tapi jangan dulu dihukumi haram! Penulis berharap ada kebeningan hati dan obyektivitas dari para ulama dalam menilai kebenaran. Serta keberanian untuk menyampaikannya. Dengan demikian umat dapat terbimbing memahami sekaligus melaksankan agamanya dengan baik. Selamat tinggal rokok, marhaban ya waratsat alanbiya! SUARA HIDAYATULLAH 2008 *Dosen STAIL Hidayatullah Surabaya, sekarang sedang

Anda mungkin juga menyukai