Anda di halaman 1dari 6

Jalan laying

Jalan layang adalah jalan yang dibangun tidak sebidang melayang menghindari daerah/kawasan yang selalu menghadapi permasalahan kemacetan lalu lintas, melewati persilangan kereta api untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas dan efisiensi. Jalan layang merupakan perlengkapan jalan bebas hambatan untuk mengatasi hambatan karena konflik dipersimpangan, melalui kawasan kumuh yang sulit ataupun melalui kawasan rawa-rawa. Jalan layang sebagai penghubung dari satu daerah ke daerah yang lainnya, menjadi sarana yang memiliki peran penting dalam pendistribusian secara ekonomi maupun social, karena dengan jalan layang kita dapat mengefektifkan waktu sebaik mungkin. Selain itu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan kendaraan bermotor di Indonesia, maka jalan layang menjadi salah satu cara untuk mengurangi kemacetan yang sering terjadi.

Jalan layang yang seakan tabu di Bali, mulai mendapatkan lampu hijau dari lembaga umat tertinggi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali. Malah dipastikan akan mendukung kemungkinan dibangun jalan layang di Pulau Dewata. Jalan layang ini rencananya didanai pemerintah pusat. Ancer-ancernya akan dibangun jalan dari Bandara Ngurah Rai- Nusa Dua dan Bandara Ngurah Rai-Simpang Dewa Ruci (Simpang Siur). Ketua Sabha Panditha PDHI Pusat Ida Pedanda Sebali Tianyar menegaskan Bali mau tidak mau berani menerima jalan layang.Lagipula dari tinjauan agama tidak ada masalah. Asalkan saja lokasi dipetakan. Mana boleh dana mana saja tidak boleh. Ini dikaitkan dengan esetetika Bali. ''Sangat setuju digagas jalan layang. Kalau memungkinkan jalan bawah tanah pun oke. Tentu semuanya harus dibarengi dengan kajian. Tujuannya agar nantinya tidak mengganggu aktivitas lainnya, termasuk agama,'' ungkap Pedanda Sebali Tianyar saat diwawancarai Kamis (24/12). Pedanda vokal ini menegaskan, jika teknologi untuk membuat nyaman kehidupan manusia sudah diadopsi dalam beragama. Misalnya merajan atau pura mulai dibangun bertingkat. Di bawahnya ada usaha dan rumah di atas pura. Begitu juga dengan jalan tinggi dengan tetap mengusahakan tidak melintasi pura-pura. ''Ketika tri murti bersifat horizontal, ada tri sakti yang bersifat vertikal, bertingkat. Jadi nggak ada masalah," sebut pedanda yang guru bahasa Inggris ini. Soal munculnya pro-kontra, Pedanda Sebali menyebut bisa dijawab dengan sosialosasi. Berikan kesadaran pada umat agar mengerti betul akan program ke depan, termasuk jalan layang. Hindari provokasi, fitnah dan curiga. ''Tidak boleh ngugu pisuna (percaya fitnah), jangan bertengkar. Mari berdebat yang baik demi pembangunan yang baik. Berdebat untuk membuat kebaikan, tidak untuk menggagalkan sesuatu yang tidak cocok dengan prinsip pribadi," sebutnya. Tahun 1993, lanjut Pedanda Sebali, sudah sempat mengusulkan jalan bawah tanah. Bahkan jangan

takut biaya besar. Biaya akan menjadi murah jika bisa menghilangkan korupsi. ''Kalau dikorupsi terus, jelas terus kurang," sentil pedanda yang kerap kocak dalam berpidato ini. Kata Pedanda Sebali jalan merupakan simbol dari bhuana agung yang berkuasa di dunia. Sehingga ada ungkapan hati-hati di magra agung (di jalanan). Saat ini jalan di Bali penuh kemacetan. Setiap orang mudah emosi di jalanan, kadang-kadang bisa kecelakaan. Sehingga intelektual atau Jnana pada manusia Bali dikedepankan dengan alam kebijaksanaan. ''Seperti rencana jalan layang dari bandara ke Nusa Dua dan bandara ke Simpang Dewa Ruci. Kalau memang untuk menyelesaikan masalah di Bali, kenapa tidak. Ayo bahas, jangan dibiarkan," tukas pucuk tertinggi PHDI Pusat ini. Hal sama juga diungkapkan Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat Ketut Wiana. Ungkapan dia malah lebih ekstrem lagi. Katanya sudah 17 tahun silam mengusulkan jalan layang. Ketika rancangan pembangunan By Pass IB Mantra. Tujuannya menghindarkan hektaran sawah jadi jalan, dan pinggir jalan beralih fungsi jadi beton. ''Selama ini penolakan orang tidak jelas. Dan tidak paham masalah, landasan tidak ada. Karena jelas dalam agama tidak ada melarang jalan layang," tegas Wiana. Dosen Unhi (Universitas Hindu Indinesia) ini mengatakan, jika memang Bali ngotot tidak mau jalan layang, idealnya Bali hanya mampu dihuni oleh 2 juta orang. Dalam kondisi Bali seperti sekarang, jelas tidak bisa menjadikan manusia Bali hanya 2 juta. Sehingga mesti ada terobosan dalam pembangunan jalan ke atas agar lahan tidak habis. Wiana secara tegas setuju dan tidak memasalahkan rencana jalan layang Bandara Ngurah Rai-Nusa Dua-Dewa Ruci. Dengan catatan semua dilakukan dengan kajian matang. ''Kalau semuanya datang dengan niat baik, memanfaatkan teknologi yang ada jelas bisa. Makanya kaji bersama, duduk bersama," lanjut Wiana. Dirinya siap berdebat dengan siapa saja yang mau mempersoalkan rencana tersebut. ''Siapa yang protes, saya siap debat mempertahankan pendapat saya ini. Namun mesti dengan landasan dan dasar yang jelas, bukan suryak siu. Dalam masalah seperti ini ayo cari jalan yang terbaik," tantang Wiana. Soal melasti, tegas Wiana tidak ada masalah seperti disebutkan dalam lontar Siwa Sidanta. ''Bunyi teksnya begini, yan sampun roras guli tan keneng paran-paran. Artinya, di atas 12 guli atau 25 cm, tidak ada apa-apa, tidak masalah. Tidak leteh, pretime lewat nggak masalah. Tuhan ada di manamana. Jangan pemikiran kita terkotak. Orang Pedanda Made Sidemen, Sanur mesulub tidak masalah," tegasnya. Namun jika ada perasaan umat kurang enak, kenapa tidak melintas di jalur jalan layang saja. Tentu nantinya dirancang agar mengakomodasi kepentingan melasti dan sebagainya. ''Semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Kalau ada kekhawatiran, tentu juga ada jalan keluarnya," tuntas Wiana. Seperti diwartakan sebelumnya, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan masalah kemacetan Bandara-Nusa Dua dan Bandara-Simpang Dewa Ruci sudah sangat parah. Namun satusatunya jalan keluar dengan jalan layang, karena tidak bisa lagi melebarkan jalan ke samping.

Keberlanjutan Pembangunan Pariwisata Bali Oleh I Gusti Bagus Rai Utama APAKAH pembangunan Bali telah menerapkan prinsip-prinsip pembagunan berkelanjutan? Mengutip pendapat seorang tokoh Bali (Manuaba), harus dapat dibedakan antara pembangunan Bali dan pembangunan di Bali. Pembangunan Bali mengidentifikasi bahwa pembangunan dilakukan atas inisiatif masyarakat Bali, dilakukan oleh masyarakat, untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Bali. Namun yang terjadi saat ini, ada indikasi bahwa Masyarakat Bali justru mulai tergusur. Jika ada masyarakat Bali yang dapat bersaing pada dunia bisnis, jumlahnya sangat kecil. Lahan-lahan hijau atau persawahan dan pertanian produktif telah semakin menyempit yang menandakan bahwa pengelolaan terhadap sumberdaya alam Bali nyaris tanpa kendali. Pengelolaan terhadap kunjungan wisatawan pada beberapa tempat wisata di Bali belum memiliki standar yang baik untuk mendukung daya dukung dan keberlanjutan atas sumberdaya yang ada. Sehingga, permasalahan pengelolaan masih terjadi di banyak tempat wisata di Bali. Pembangunan akomodasi yang seolah-olah tanpa batas dan tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah dan mengabaikan asas pemerataan pembangunan wilayah masih tampak dengan jelas seperti kesenjangan pembangunan pariwisata wilayah Bali Selatan dengan Bali Utara misalnya. Mestinya pembangunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah, kapasitas objek wisata tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas sosial, dan kapasitas sumberdaya yang lainnya sehingga dengan penerapan manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur hidup pariwisata itu sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta komodifikasi untuk kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan. Belum Jadi Subjek Apakah pariwisata Bali telah menerapkan manajemen kapasitas pada semua pengelolaan objek wisata saat ini? Bagaimanakah dengan visi masyarakat Bali tentang pembangunan Bali? Jikalau dilakukan penelitian pada tataran akar rumput, mungkin visi pembangunan Bali belum dapat dipahami secara massal yang berarti masyarakat Bali sebenarnya masih menjadi objek pembangunan dan bukan menjadi subjek atau pelaku pembangunan itu sendiri. Keterwakilan masyarakat pada parlemen belum dapat menyuarakan suara masyarakat secara utuh dalam artian suara yang ada mungkin hanya merupakan suara beberapa elite partai tertentu sehingga visi pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat secara massif masih sangat diragukan. Istilah pagar makan tanaman masih relevan untuk menggambarkan kondisi pembangunan masyarakat Bali. Sebagai contoh nyata mengenai istilah ini, maraknya pembangunan vila atau fasilitas akomodasi di beberapa tempat atau area konservasi seperti yang terdapat di kawasan konservasi justru diindikasikan telah dilakukan oleh beberapa tokoh atau elite penting di pemerintahan dan di parlemen. Bagaimana dengan kondisi pelibatan pemangku kebijakan dalam pembangunan pariwisata Bali? Pelibatan semua pemangku kebijakan memang telah menjadi perhatian serius pada setiap pembangunan di Bali. Bahkan masyarakat Bali telah merasakan atmosfer kebebasan demokrasi yang cukup baik, namun karena masih lemahnya pemahaman masyarakat atas konsep pembangunan, akhirnya justru menjadi penghalang pembangunan itu sendiri. Khususnya yang terjadi pada beberapa

kasus pembangunan, misalnya pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kabupaten Buleleng, pembangunan jalan layang untuk mengatasi masalah kemacetan. Munculnya kelompok baru pada masyarakat tertentu, seperti kelompok yang mengatasnamakan diri kelompok Laskar AAA, Bala BBB dan lainnya juga menjadi potensi kelompok pemangku kepentingan yang dapat mempengaruhi jalannya pembangunan di Bali dan jika tidak dikelola dengan baik, akan dapat menimbulkan konflik baru di masyarakat. Masih terjadi pencatatan ganda kependudukan khususnya yang berhubungan dengan penduduk pendatang lokal yang berasal dari kabupaten lain di Provinsi Bali yang berimbas pada ketidakrapian database kependudukan Provinsi Bali dan bahkan pencatatan secara nasional. Masih terjadi konflik desa adat, perebutan lahan pada tapal batas desa dan konflik kecil lainnya menandakan bahwa masyarakat Bali semakin kritis dan jika tidak diberikan pemahanan yang cukup baik, akan dapat menimbulkan konflik baru di masyarakat. Konsep kepemilikan bersama atas alam ciptaan Tuhan, konsep kepemilikan satu bumi untuk semua umat manusia akan menjadi relevan untuk disosialisasikan bersama-sama. Bagaimana dengan penerapan sertifikasi di Bali, sudahkan berjalan dengan baik, bagaimanakah evaluasinya? Tiga pertanyaan yang menjadi hal penting untuk dituangkan dengan alasan, bahwa program sertifikasi sangat penting karena berhubungan dengan standar atau prosedur yang dipakai atau pengakuan atas profesionalitas pelaku pada bidangnya. Misalnya, seorang pramuwisata haruslah seseorang yang telah tersertifikasi sesuai dengan kriteria global yang telah ditetapkan yang dapat diterima oleh semua orang secara internasional. Pekerja hotel yang memiliki keahlian di bidangnya yang ditunjukkan dengan sebuah program sertifikasi yang dilakukan secara periodik dengan cara baik, proses yang baik, dan dievaluasi secara periodik untuk menyesuaikan dengan isu-isu pembangunan terkini dalam konteks pembangunan pariwisata berkelanjutan. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah, sudahkan proses sertifikasi tersebut dilakukan pada proses semestinya yang dilakukan berdasarkan standar global? Siapa yang melakukan evaluasi atas program sertifikasi tersebut, bagaimanakah yang telah terjadi di Bali? Tulisan ini memerlukan penelitian yang bersifat evaluative untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi pariwisata Bali saat ini khususnya yang berhubungan dengan program sertifikasi untuk mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan. Penerapan program standar global pada pariwisata Bali memang telah dilakukan oleh beberapa perusahaan atau hotel tertentu di Bali namun jumlahnya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan harapan yang mestinya dapat dilakukan di Bali untuk mendukung pembangunan pariwisata Bali berkelanjutan. Seberapa banyak hotel-hotel di Bali yang telah tersertifikasi dengan standar global? Pertanyaan ini menjadi introspeksi dan otokritik bagi pariwisata Bali bahwa masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut. Satu kata kunci untuk dapat menerapkan program-program pendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut adalah kata kesungguhan. (Font, 2001). Idealnya ada pertemuan antara sisi penawaran yang telah disepakai secara sungguh-sungguh oleh semua pemangku kebijakan termasuk di dalamnya masyarakat lokal dan industri bersinggungan harmonis dengan sisi permintaan yang di dalamnya melibatkan unsur wisatawan sebagai penikmat produk destinasi. Kata kunci berikutnya adalah disiplin untuk mematuhi semua aturan dan peraturan yang telah

disepakati, kelompok industri mestinya digerakkan oleh sikap disiplin untuk mematuhi aturan yang ada pada sebuah destinasi. Para pemangku kebijakan yang taat pada aturan, tidak ada lagi istilah pagar makan tanaman sangat diperlukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Masyarakat lokal yang senantiasa bersungguh-sungguh dalam memberikan pelayanan dan sambutan bagi semua wisatawan yang datang sehingga citra dan pencitraan keramahan penduduk lokal dapat memperkuat citra dan branding destinasi pariwisata Bali.

Kajian aspek estetika dan budaya lokal harus diperhatikan, karena budaya masyarakat Bali berkonsep pada filosofi Tri Hita Karana sebagai pedoman hubungan keseimbangan hidup krama Bali . Walau pada prinsipnya masyarakat Bali dapat menerima perubahan, tetapi mereka tetap berlandaskan konsep hubungan keseimbangan hidup. Yakni terkait hubungan sesama manusia, dengan Tuhan dan lingkungannya. Terkait hal itu, pengkajian rencana pembangunan jalan layang seharusnya benar-benar matang, sehingga di kemudian hari tak sampai menimbulkan aneka masalah. Menurut Direktur Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu tadi, selain memperhatikan aspek sosial dan budaya, dalam mengkaji rencana pembangunan jalan layang juga harus benar-benar memperhatikan konsep religi yang dianut oleh krama Bali , terutama jangan sampai mengorbankan hak masyarakat. Maksud mengorbankan masyarakat adalah dari aspek sosial budaya dan penganut agama Hindu. Alasan utama penekanan pada aspek estetika dan religi, karena keserasian lingkungan menjadi salah satu daya tarik sektor pariwisata yang sudah terbukti menjadi salah satu andalan Bali . Aspek religi masyarakat Bali pun merupakan konsep dasar untuk menata sosial budaya serta lingkungannya ( Ant , 30/1). Kita pahami, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika merasakan adanya kontroversi pembangunan layang, tak pernah surut. Di balik itu, kemacetan lalu lintas makin mengancam. Tujuan pembangunan jalan layang di kawasan Patung Dewa Ruci tadi, secara pragmatis dalam upaya mengatasi kemacetan lalu lintas pada jalur By Pass Ngurah Rai tujuan Nusa Dua. Keinginan untuk dapat membangun jalan layang sebenarnya sudah lama direncanakan pemerintah, namun sebagian masyarakat sempat menolak. Bila direspon positif tokoh masyarakat adat dan agama, pemerintah secepatnya melakukan kajian plus keperluan biayanya. Pemerintah pusat pun sudah merespon menganggarkan melalui APBN. Begitu juga Pemprov Bali menganggarkan melalui APBD. Pembangunan jalan layang di kawasan Patung Dewa Ruci itu diperkirakan memerlukan biaya berkisar Rp 150 milyar hingga Rp 200 milyar. Bagi kita, kontroversi pembangunan jalan layang adalah pahala dari karma (perbuatan) dalam menentukan kebijakan yang tak menjadikan Bali sebagai pulau kecil menjadi sebuah kesatuan.

Hedonisme, yakni pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup secara sadar atau tidak telah diagung-agungkan kian merata oleh masyarakat, apalagi pengusaha dan penguasa demi kepentingan sesaat.

Anda mungkin juga menyukai