Anda di halaman 1dari 12

TUGAS IPS

LAPORAN ODL KE BALI

NAMA: Deby Rizqiyah .K

NO: 06

KELAS: IX-F

SMP NEGRI 2 KREMBUNG


TAHUN AJARAN 2019-2020

KATA PENGANTAR

1|Page
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa
yang telah membarikan rahmat dan karunia-nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas portofolio di
SMPN 2 krembung ini dengan lancar.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu tugas portofolioini dapat di selesaikan dengan
tepat pada waktunya.laporan ini masih jauh dari kata
sempurna,oleh karena itu,kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat saya harapkandemi sempurnanya
portofolio ini.

Semoga tugas portofolio ini memberikan informasi bagi


masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Krembung,februari 2020

Penulis

DAFTAR ISI

2|Page
Kata pengantar........................................................ii
Daftar isi..................................................................iii
I. Pendahuluan
a.latar belakang Perubahan sosial budaya dan ekonomi
kreatif masyarakat bali...........................................1
b.tujuan pembuatan...............................................1
II. Pembahasan
A. Perubahan sosial budaya masyarakat bali........4
B. Ekonomi kreatif masyarakat di bali..................
III. Penutup..................................................................
IV. Daftar pustaka........................................................

3|Page
BAB II
a.latar belakang Perubahan sosial budaya dan ekonomi
kreatif masyarakat bali
Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata (DTW) yang sangat populer,
tidak saja di Indonesia tetapi juga mancanegara. Citra dan identitas Bali sebagai
daerah tujuan wisata yang indah, agung, eksotis, lestari, dengan perilaku
masyarakatnya yang ramah dan bersahaja, ditopang oleh adat istiadat dan
budayanya yang mendasarkan pada prinsip keharmonisan dan keseimbangan
dengan bertumpu pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafah hidup Tri
HitaKarana. Kedua ajaran ini saling berkaitan, di mana agama Hindu menjiwai
falsafah Tri Hita Karana, dan sebaliknya falsafah Tri Hita Karana mendasarkan
pada ajaran agama Hindu. Pendukung kebudayaan Bali adalah masyarakat Bali,
yang dikenal sebagaietnik Bali atau orang Bali. Sebagai sebuah etnik, orang Bali
memiliki ciri identitas etnik yang melekat pada diri dan kelompoknya. Dinas
Pariwisata Provinsi Bali (2008: 3) mendefinisikan etnik Bali sebagai sekelompok
manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik
kebudayaan lokal Bali maupun kebudayaan nasional. Rasa kesadaran akan
kesatuan kebudayaan Bali ini diperkuat oleh adanya kesatuan bahasa, yakni
bahasa Bali, agama Hindu, dan kesatuan perjalanan sejarah dan kebudayaanya.
Keyakinan terhadap agama Hindu melahirkan berbagai macam tradisi, adat,
budaya, kesenian, dan lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang
merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari,
karakteristik tersebut mewujudkan diridalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial, maupun
karya fisik orang Bali

b.tujuan pembuatan
 Untuk mengetahui Perubahan sosial budaya dan ekonomi kreatif
masyarakat bali
 Untuk mengetahui ekonomi kreatif apa saja yang ada di bali

4|Page
BAB III

Perubahan sosial budaya masyarakat bali


Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami
perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa
tahun belakangan ini tergolong drastis.

Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan
berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar
pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.

Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:

 Pengaruh global
 Pengaruh nasional

Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping
keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang
rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan
patung) hingga seni tattoo tubuh.

Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau
Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian,
bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang
dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.

Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-
turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara
‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak
sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-
dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.

Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global
(baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-
Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’
yang justru lebih banyak.

Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang
terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan
dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi)
misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada
akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.

Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut
sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut
sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.

Inilah “10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali ”

 1. Perubahan Mata Pencaharian

Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian
kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata
(pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.

5|Page
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP
hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang,
mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker
seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).

Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih
mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat
sedikit.

2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja

Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali
mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang
tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah
berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).

Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu
untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin,
megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca
lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali,  etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap
santai.

Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money”
kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis
dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari
untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah
diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.

Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur
sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-
basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.

 3. Perubahan Nama

Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan
masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.

Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut
masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I
Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu
Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.

Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau
tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak
Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek
Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.

Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol, yaitu:

 nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”);


atau
 nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)

Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali—terutama yang pernah tinggal lama
di Bali—adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama,

6|Page
sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle
Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna
Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.

Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan
nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji
dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.

Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang
dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si
Istri—layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas
adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali
tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.

Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman,
Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I”  atau “Ni” di depannya. Konon,
menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.”
Semoga. 

4. Perubahan Bahasa

Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal,
yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit
ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-
desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah
hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan
bahasa Indonesia.

Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam
porsi waktu yang sangat minimal. Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”),
banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan
kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.

 5. Perubahan Busana

Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya
digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat.
Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai
celana panjang atau pendek.

Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung
makna simbolis.  Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan
pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ.
Sudah jauh dari pakem aslinya.

Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat
perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi,
makin banyak uang mengalir ke dalam rekening. 

6. Perubahan Makanan dan Minuman

Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya
pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau
padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini;
dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng.
Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.

7|Page
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine.
Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai
makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.

 7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan

Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup.
Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar
desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.

Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai
Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi
bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk
seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan
pilkada.

Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke
pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin
megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap
di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.

 8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir

Ledakan pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi
hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya, survivalitas kini
telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak terkecuali.

Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-
apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan
untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan
percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan
sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan
orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan.

Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah
“lek”. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap
setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang Bali
yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih perusahaan tersebut
karena namanya dipakai di dalam akte perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-
barang pusaka warisan leluhur, pencurian ‘pretima’, dan lain sebagainya.

Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-
asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’
(kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.

Ajakan “Lan dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang
terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok
adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang
penting dapat uang), ‘pang kuala menang’ (=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi
kenehe’ (=yang penting segala ambisi keturutan).

Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong
royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting
‘nu maan susuk’ (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan
berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan
oleh event organizer dan catering—yang penting punya uang.

8|Page
Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola
pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak
orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai
mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada
lagi.

 9. Perubahan Etika

Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup
drastis—baik dari ucapan maupun perilaku.

Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati
di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa
batas.

Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang
diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di
luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat
masih pegang stempel institusi—menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi.

Tentu degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka banyak
mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan orang tua karena
acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan dan membuat pengecualian-
pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan akan kehangatan orang tua digantikan
dengan benda mati. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan
ticket berlibur.

Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan
sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah
tinggi.

 10. Perubahan Agama

Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.

Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status
Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.

Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini,
yaitu:

 Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian
tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya
“Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang
berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak
‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
 Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang
juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik
dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—
terutama melalui proses pernikahan.

9|Page
Ekonomi kreatif masyarakat di bali

Ekonomi kreatif adalah sebuah konsep di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi
dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor
produksi yang utama. Konsep ini biasanya akan didukung dengan keberadaan industri kreatif yang
menjadi pengejawantahannya. Seiring berjalannya waktu, perkembangan ekonomi sampai pada taraf
ekonomi kreatif setelah beberapa waktu sebelumnya, dunia dihadapi dengan konsep ekonomi informasi
yang mana informasi menjadi hal yang utama dalam pengembangan ekonomi.

Salah satu ekonomi kreatif di bali yang terkenal yaitu pie susu. Pie susu diperkenalkan
pada 1940-an oleh Tengs cha Chaan di Hong Kong. Pie susu lalu diperkenalkan di cafe-cafe dan
toko-toko roti Barat untuk bersaing dengan restoran dim sum, terutama yum cha. Selama
ledakan ekonomi tahun 1950-an dan 1960-an, Lu Yu Teahouse memimpin dengan mini pie susu
nya.Sebuah teori menyatakan bahwa kue pie susu yang berasal dari Hong Kong sebenarnya
mengadaptasi tart custard yang berasal dari Inggris. Canton yang memiliki kontak dengan
Inggris disebut-sebut sebagai awal mula proses adaptasi ini. Apalagi sebagai bekas koloni
Inggris, Hong Kong juga mengadopsi beberapa makanan Inggris, sehingga makin memperkuat
teori pie susu yang berasal dari Inggris.Sementara itu teori lain menyatakan bahwa pie susu
sangat mirip dengan kue asal Portugis. Kue mirip pie susu asal Portugis itu memiliki nama
pastel de nata. Teorinya, kue ini hinggap di Hong Kong via koloni Portugis yang berada di
Makau. Dalam masakan Hong Kong modern, pie susu hadir dalam berbagai variasi seperti pie
susu, pie madu telur, pie putih telur, pie coklat, pie green tea dan pie jahe. Semua jenis pie
susu ini merupakan variasi dari pie susu tradisional yang disajikan di Tengs cha Chaan.

Pinggiran atau bagian kerak luar dari pie susu Hong Kong ini secara keseluruhan memiliki dua
jenis: shortcrust pastry atau puff pastry. Pembuatan pie susu Hong Kong ini lebih menggunakan
lemak babi daripada shortening atau mentega. Kalau jenis pie susu Hong Kong ini sih sudah
pasti tidak halal ya. Tetapi pie susu di bali di buat dengan halal karena penggunaan lemak babi
di pie susu bali di ganti dengan mertega sehingga semua orang memakannya halal.dalam pie
susu bali memiliki berbagai varian yaitu keju, coklat, original, strawbery. blueberry dan coklat
keju yang harganya begitu terjangkau sekali dengan kisaran Rp.16.000dengan sisi 10/pcs pie
susu bali biasanya terdapat di toko oleh oleh khas bali dan juga biasanya di hotel hotel
penginapan di bali .jika kita ingin melihat pembuatannya langsung biasanya terdapat di toko
oleh oleh yang memproduksinya langsung seperti di dewata oleh oleh,krisna atau tempat oleh-
oleh yang lainnya.

10 | P a g e
BAB III

PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai laporan mengenai pembelajaran saya dalam portofolio
ini,tentunya banyak kekurangan dan kelemahannya.saya berharap pembaca berkenan membrikan kritik
dan saran yang berhubungan dengan kesalahan saya dalam membahas portofolio ini.semoga tugas
portofolio ini dapat bermanfaat bagi kami semua.

11 | P a g e
IV DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/search?
q=pengembangan+ekonomi+kreatif+sebagai+penggerak+industri+pariwisata+bali&ie=utf-8&oe=utf-8

https://www.google.com/search?safe=strict&sxsrf=ACYBGNSRFZ6GRxBxoZvgkKYQYktIMpN5vA
%3A1581828060487&ei=3MdIXueNHamd4-EPmqW-
2Aw&q=ekonomi+kreatif&oq=ekonomi+kreatif&gs_l=psy-
ab.3..35i39l3j0l7.345759.354577..355110...1.2..4.353.3047.11j13j0j1......0....1..gws-
wiz.....10..0i71j35i362i39j0i131j0i67.5tjsV6k-
n0A&ved=0ahUKEwjn64_doNXnAhWpzjgGHZqSD8sQ4dUDCAo&uact=

https://www.google.com/search?safe=strict&sxsrf=ACYBGNRhQwgTTdYnbCGYr91ebNm_ub6JvA
%3A1581828417292&ei=QclIXoiuEeab4-
EPsum8mA4&q=sejarah+pie+susu+khas+bali&oq=sejarah+pie+s&gs_l=psy-
ab.1.1.0l3j0i22i30l3.630.13029..17391...1.2..3.210.2559.4j15j1......0....1..gws-
wiz.....10..0i71j35i39j0i67j35i362i39.2rMRxm8bZiY

https://www.google.com/search?
q=toko+produksi+dan+pembuatan+pie+susu+bali&safe=strict&sxsrf=ACYBGNQB3M3YNqF9BPQZaJ4usS
-
Aw_txaw:1581830281544&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjT0pqAqdXnAhVPVH0KHcYcA
poQ_AUoAXoECA0QAw&biw=1366&bih=657#imgrc=4iXzOBGC7d3sQM

12 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai