Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERUBAHAN DAN PERKEMBANGAN SOSIAL MASYARAKAT


MELAYU RIAU DI ERA DIGITAL

Disusun oleh:
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “PERUBAHAN DAN
PERKEMBANGAN SOSIAL MASYARAKAT MELAYU RIAU DI ERA DIGITAL” dapat kami
selesaikan dengan baik.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim
penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
1.1 Masalah Umum...........................................................................................................................1
1.2 Masalah Khusus...........................................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah.......................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
2.1 Temuan........................................................................................................................................4
2.1.1 Bidang Kesenian....................................................................................................................4
2.1.2 Bidang Kebudayaan..............................................................................................................5
2.1.3 Bidang Keagamaan...............................................................................................................6
2.2 Analisis.........................................................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Masalah Umum


Secara umum, perekonomian Kepulauan Riau didominasi oleh etnis Cina. Sektor perdagangan yang
merupakan sektor yang terpenting di daerah ini telah secara tradisional menjadi lapangan pekerjaan
yang didominasi oleh kelompok etnis Cina. Dominannya kelompok etnis Cina dalam bidang
perdagangan ini berakar pada sejarah masa lalu. Dalam fase perkembangan Singapura di masa
lampau telah tercipta pembagian pekerjaan atau kerja sama antara pengusaha Eropa, terutama
Inggris, dan pedagang Cina setempat. Pedagang Cina menjadi pedagang perantara bagi penyaluran
dari dan ke daerah sekeliling yang mencakup Kepulauan Riau.

Indikasi penting bahwa dominasi etnis Cina dalam bidang ekonomi perdagangan telah sedemikian
kuatnya di daerah ini berkaitan dengan bisa diberlakukannya Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959.
Apabila dilaksanakan, maka akibatnya ekonomi di daerah ini akan mati. Pedagang Cina menguasai
bukan saja perdagangan eceran di desa-desa dalam wilayah Kepulauan Riau, tetapi juga
perdagangan pada tingkat kecamatan, kabupaten, dan bahkan jaringan ke Singapura. Dengan
demikian pemerintah (negara) tidak mampu menembus struktur sosial ekonomi yang tidak
seimbang di daerah ini, sehingga penguasaan sumber-sumber daya ekonomi tetap didominasi oleh
kelompok tertentu dan cenderung bersifat akumulatif.

Namun demikian, meskipun pedagang Cina juga menguasai perdagangan di perkampungan,


perkampungan di Kepulauan Riau didominasi oleh penduduk tempatan (masyarakat Melayu). Ini
merupakan polarisasi yang lebih jauh dari dualitas kampung dan kota. Kampung-kampung dihuni
oleh penduduk asli Kepulauan Riau, sedangkan kota-kota dihuni oleh bukan penduduk asli, meliputi
‘orang dari luar’ maupun ‘bangsa lain’. Namun, dualitas ini secara politis tidak simetris. Sebuah kota
adalah pusat pemerintahan kabupaten dan kecamatan, sedangkan kampung bahkan tidak menjadi
unit pemerintahan bagi dirinya sendiri, namun semata-mata hanya bagian dari kepenghuluan, yang
juga menjadi bagian dari kecamatan.

Dilihat dari empat kepenghuluan, jelas semakin dekat ke Tanjungpinang, penduduknya semakin
padat, dan semakin jauh dari Tanjungpinang, penduduknya semakin jarang. Kepenghuluan
Penyengat adalah yang terpadat penduduknya, karena cukup dekat dari Tanjungpinang, merupakan
daerah pinggiran kota. Berikutnya adalah Kepenghuluan Bintan yang penduduknya cukup padat
juga, meskipun jauh dari Tanjungpinang, namun ada jalan darat yang menghubungkannya dengan

1
Tanjungpinang. Kepenghuluan Pangkil, lebih jarang penduduknya, karena terpisah dari
Tanjungpinang, dua jam perjalanan dengan motor-boat yang bagus, atau lebih lama lagi jika
memakai perahu layar atau sampan. Kepenghuluan Karas adalah yang paling jarang penduduknya,
karena berada di perbatasan wilayah Kecamatan Bintan Selatan.

Pola pemukiman seperti tersebut di atas, terkait dengan perkembangan kota Tanjungpinang di
Kepuluan Riau. Dalam perkembangan suatu kota ada beberapa faktor pendukung yang
mempengaruhi, hal ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi tempat tersebut yang secara langsung
akan mempengaruhi pertumbuhan kota. Karena ini terlihat dalam suatu perencanaan kota
terbentuk dari faktor keadaan geografi kota, dalam Branch, C. MelVille (1945 : 50-52).
Perkembangan fisik kota tersebut sebagai tempat pertukaran barang antara daerah pedalaman dan
daerah pinggir pantai atau sebagai tempat bongkar muat barang (kota pelabuhan), dan juga di dalam
dan juga sebagai kota yang secara fisik berkembang secara linear menerus, mengikuti garis pantai.

Proses perkembangan kota, kota mengalami ciri kebudayaan perkotaan yang menurut Harris dan
Edward L. Ullman (1945) dalam Budianto (2001) melihat kota sebagai pusat pemukiman dan
pemanfaatan sumber daya bumi yang ada oleh manusia, manusia ini menempati dan
mengeksploitasi sumber daya sehingga menimbulkan pertumbuhan kota dan berbagai macam
masalah sosial, sehingga terdapat interaksi yang sangat kompleks dalam sebuah kota, baik itu
organisasi, kebudayaan, pusat pelayaran (perdagangan), penduduk, masalah sosial dan lain-lain.

1.2 Masalah Khusus


Ciri demografi Kepulauan Riau juga khas. Persebaran penduduk di wilayah ini tidak merata. Sebagian
besar hanya bermukim di pinggiran pantai serta di pusat-pusat kekuasaan pemerintah, pada pulau-
pulau tertentu. Menurut Sensus Penduduk 1980 (Seri: L No. 2), Kabupaten Kepulauan Riau
berpenduduk 422.712 jiwa dan Provinsi Kepulauan Riau berpenduduk 2.168.535 jiwa dengan luas
wilayah 94.562 km². Tanjungpinang adalah satu-satunya yang berada di Kepulauan Riau. Dan
menjadi pusat di tingkat lokal bagi orang-orang yang tinggal di wilayah ini.

Dua puluh tahun kemudian, berdasarkan data tahun 2000 jumlah penduduk mencapai 798.000 jiwa,
dimana 58,73 persen bermukim di perkotaan dan selebihnya tinggal di pedesaan. Sebanyak 72,9
persen dari penduduk Kepulauan Riau masuk dalam usia kerja dengan tingkat pendidikan yang relatif
baik dengan komposisi 79 persen berijazah sekolah menengah. Sementara lapangan kerja terbuka
luas, khususnya di sektor pariwisata, industri, pengangkutan, pertanian, dan jasa. Apabila
diklasifikasikan menurut suku bangsa (etnis) di Kepulauan Riau, pada tahun 2000 terdapat orang

2
Melayu sebanyak 374,436 (37 %), orang Jawa sebanyak 221, 756 (22%), orang Minang 92,245 (9%)
dan lain-lainnya sebanyak 311,254 (31%). Sepuluh tahun kemudian, tahun 2010 jumlah penduduk
Kepulauan Riau mencapai 1.392.918 jiwa, sekitar 50% berdiamdi Kota Batam.

Penyebaran penduduk di Kepulauan Riau belum merata, karena masih terpusat di Kota Batam.
Penduduk yang tinggal di Batam sebanyak 56,34 persen, sementara sisanya yang masing-masing
kurang dari 13 persen tersebar di kabupaten/kota lainnya di Kepulauan Riau. Sebagai provinsi baru,
berbagai permasalahan telah muncul yaitu permasalahan ketimpangan baik ketimpangan demografi,
ketimpangan ekonomi dan ketimpangan sosial. Kota Batam sebagai maskot sekaligus juga magnet
Kepulauan Riau, mempunyai persoalan jumlah penduduk yang cukup besar yang indikasinya dapat
dilihat dari banyaknya rumah bermasalah, tingkat kriminalitas, tingkat pengangguran dan tingkat
kesejahteraan sosial yang timpang.

1.3 Rumusan Masalah


Pertanyaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perubahan masyarakat melayu riau di bidang kesenian?


2. Bagaimana perubahan masyarakat melayu riau di bidang kebudayaan?
3. Bagaimana perubahan masyarakat melayu riau di bidang keagamaan?

1.4 Hipotesis

1. H1: Terdapat perubahan masyarakat melayu riau di bidang kesenian


2. H2: Terdapat perubahan masyarakat melayu riau di bidang kebudayaan
3. H3: Terdapat perubahan masyarakat melayu riau di bidang keagamaan

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Temuan
2.1.1 Bidang Kesenian
Pemerintah daerah Kepulauan Riau juga memberi perhatian kepada kesenian daerahnya.
Pemerintah daerah Kepulauan Riau mengangkat dan melestarikan kesenian daerahnya. Diantaranya,
yang selalu rutin dilaksanakan sejak tahun 1999 adalah diadakannya Festival Tari dan Musik
Tradisional. Salah satu daerah di Kepulauan Riau yaitu Kabupaten Karimun bahkan memberikan
perhatian khusus pada Joget Dangkung. Bentuknya adalah mengadakan Festival Dangkung. Joget
Dangkung dianggap sebagai sebuah kesenian daerah yang dimiliki oleh masyarakat Kepulauan Riau
dan merupakan cerminan daripada pola kehidupan atau sistem budaya masyarakat Melayu
Kepulauan Riau.

Festival Dangkung pada akhirnya menghasilkan budaya hibrid. Budaya hibrid senantiasa terkandung
dalam karnaval, parade budaya, dan sejenisnya yang menampilkan terutama berbagai unsur seni
pertunjukan (Turner 1987 :124). Hibridisasi mengacu pada sensibilitas perjalanan budaya
postmodern yang merupakan campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Ciri khas karya-
karyanya adalah makna ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi,
karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme.

Kesenian Joget Dangkung dalam perkembangannya juga mendapatkan patron dari pemerintah di
Kepulauan Riau untuk menghidupkan kembali Joget Dangkung yang semula berkembang di
perkampungan nelayan pesisir pantai untuk mengukuhkan eksistensi kebudayaan Melayu dalam
konteks kebudayaan Indonesia yaitu menegakkan identiti Melayu dan mengangkat harkat
kebudayaan Melayu di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Sehingga masyarakat
pendukungnya dapat menikmati kesenian Joget Dangkung ini tidak hanya di ruangan terbuka seperti
di tepi laut maupun di halaman rumah penjemput, tetapi dapat menikmatinya di ruangan tertutup
seperti gedung kesenian yang disediakan oleh pemerintah. Berikut adalah event-event yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kepulauan Riau dan memberikan kesempatan Joget
Dangkung untuk tampil sebagai persembahan pentas.

Pada tahun 2008, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) saat itu, Ismeth Abdullah berencana
mendaftarkan budaya asli Kepri ke Badan Hak Cipta Dunia, untuk menghindari pengakuan (klaim)
oleh negara lain seperti terjadi pada beberapa kesenian Indonesia. Menurutnya hal itu sangat

4
penting menyangkut ancaman globalisasi. Joget Dangkung adalah salah satu kesenian Kepulauan
Riau yang akan dipatenkan selain kesenian lainnya seperti mendu, bangsawan, dan gubang. Karena
warga pulau banyak terinspirasi laut yang tak pernah kering. Selain kekhawatiran pengakuan budaya
Kepri oleh negara lain, Gubernur juga mencemaskan budaya lokal yang tergerus asing
pascapemberlakuan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

2.1.2 Bidang Kebudayaan


Sistem kemasyarakatan merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang ada dalam setiap
kebudayaan masyarakat dimanapun. Sistem kemasyarakatan meliputi antara lain sistem
kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan. Dalam kajian ini hanya dibatasi
pada sistem kekerabatan dan organisasi politik saja, sedangkan sistem perkawinan telah dibahas
terlebih dahulu dalam bentuk perkawinan campuran.

Faktor-faktor penghambat terjadinya proses asimilasi budaya antar etnis di Pekanbaru, ternyata
hampir semua informan menjelaskan bahwa kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang
tertentu dari suatu suku bangsa tentang adat dan budaya suku bangsa lainnya, bukan merupakan
faktor penghambat terjadinya proses asimilasi budaya, karena pengetahuan tentang adat dan
budaya tertentu tidak saja diperoleh dari pendidikan formal tapi dapat diketahui dan dimengerti dari
pergaulan hidup antar sesama etnis dalam jangka waktu yang cukup lama.

Bertitik tolak dari pembahasan diatas tentang proses askimilasi antar etnis di Pekanbaru yang
dipelajari berdasarkan pembauran budaya antar suku bangsa Melayu dapat disimpulkan bahwa
terdapat beberapa ussur dalam kebudayaan yang mengalami proses pembauran yang disebut
asimilasi. Sebagaimana yang dikemkakan oleh Soerjono Soekanto (2004) bahwa asimilasi
mwerupakan suatu proses sosial yang timbul bila ada : 1) Kelompok-kelompok manusia yang
berbeda kebudayaannya. 2) Individu-individu sebagai anggota kelompok itu saling bergaul secara
langsung dan intensif dalam waktu yang relatif lama. 3) Kebudayaankebudayaan dari kelompok
manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Asimilasi kebudayaan tertuang dalam beberapa hal berikut:

1. Dalam unsur peralatan dan perlengkapan hidup : Proses pembauran budaya dibatasi dalam
beberapa hal yaitu pakaian, perumahan dan transportasi. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa dalam aspek cara berpakaian dan perumahan yang menjadi kebutuhan
hidup masyarakat di Pekanbaru telah mengalami proses pembauran atau asimilasi, karena
cenderung menggunakan pakaian khas beberapa suku bangsa seperti Melayu, Minangkabau,

5
Jawa dan Batak, antara lain baju teluk belanga, peci, kebaya dan baju kurung, baju batik, jas
dan pakaian nasional lainnya yang telah menjadi kekhasan kebudayaan nasional Indonesia.
2. Dalam unsur Mata Pencaharian dan Sistem Ekonomi : Proses pembauran budaya yang
dibatasi pada aspek pekerjaan dan makanan serta masakan khas masing-masing suku bangsa
yang ada di Pekanbaru, diperoleh kesimpulan bahwa dalam aspek pekerjaan dan makanan
serta masakan khas yang semula memiliki keaslian atau kekahasan menurut adat dan
budaya masingmasing, ternyata dalam pergaulan hidup antar etnis di Pekanbaru yang telah
berjalan dalam jangka wakyu yang cukup lama, telah terjadi proses pembauran (Asimilasi)
akibat terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang sama dan bersaing antar etnis secara
sehat, sehingga dalam dunia pekerjaan sudah terjadi percampuran antar etnis, percampuran
keahlian, percampuran kerjasama, percampuran profesi dan lain sebagainya menuju suatu
kepentingan bersama demi keuntungan bersama pula. Dalam sektor pekerjaan transportasi,
perkebunan kelapa sawit, sektor pertambangan, pertanian, pedagang kaki lima, jasa dan
perdagangan serta bidang restoran dan akomodasi telah terjadi pembauran antar etnis di
Pekanbaru. Proses pembauran dalam dunia pekerjaan ini juga merembes kepada
pembauran jenis makanan dan masakan, yang akhirnya menghilangkan tradisi, rasa dan
selera menurut adat dan budaya masing-masing menjadi suatu makanan dan masakan yang
sesuai dengan rasa, selera dan menu hampir semua lidah yang sama bagi penduduk Kota
Pekanbaru.
3. Dalam unsur Sistem Kemasyarakatan : Proses pembauran budaya dibatasi pada aspek
perkawinan, sistem kekerabatan dan organisasi politik dalam kehidupan seharihari
masyarakat di Pekanbaru, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pembauran antar etnis
berupa asimilasi melalui perkawinan campuran (amalgamasi) yang menghilangkan identitas
adat dan budaya masing-masing etnis dan melahirkan suatu kebudayaan baru yang berbeda
dengan kebudayaan semula, seperti penggunaan nama menurut keturunan dan marga,
penggunaan bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa pengantar kehidupan sehari-hari
maupun dalam lingkungan resmi pemerintahan dan kemasyarakatan.

2.1.3 Bidang Keagamaan


Adat yang diberlakukan dalam kemasyarakatan Melayu di Riau bersumberkan dari Malaka dan
Johor, sebab sejak dahulu Malaka, Johor dan Riau adatnya berpuncak dari istana. Adat Melayu di
Riau dapat dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, adat
yang teradat. Adat Sebenar Adat adalah suatu prinsip adat Melayu yang tidak bisa diubah-ubah.
Sedangkan Adat yang diadatkan merupakan adat yang dibuat oleh para penguasa pada suatu kurun
waktu tertentu dan adat tersebut terus berlaku selama tidak diubah oleh para penguasa selanjutnya.

6
Adat inilah yang dapat berubah-ubah sesuai dengan suatu situasi dan suatu perkembangan zaman
sehingga dapat disamakan pada satu peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan-ketentuan adat.
Sementara itu Adat yang Teradat merupakan konsensus bersama sebagai suatu pedoman untuk
menentukan sikap serta tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa-peristiwa dan masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus tersebut dijadikan pegangan bersama, sehingga
menjadikan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Oleh sebab itu adat yang teradat dapat
berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang pada waktu kewaktu. (Mahdini, 2003).

Pada awalnya sistem masyarakat muslim di Riau tidak terlepas dari sistem yang berlaku pada
masyarakat muslim umumnya dimana saja berada. Suatu kampung di Riau ditempati oleh mereka
yang satu suku akan tetapi pada perkembangan selanjutnya telah banyak perubahan karena
penduduk baru yang bukan satu suku atau penduduk pendatang mulai bergabung dan yang ikut
tinggal di kampung tersebut. Masuknya penduduk baru dapat disebabkan oleh berbagai hal misalnya
karena terjadinya perkawinan dan ada pula yang disebabkan oleh adanya mata pencaharian
ditempat tersebut. Dengan demikian, masyarakat yang bertempat tinggal di kampung tersebut tidak
terikat pada kesatuan suku. Akan tetapi dengan sistem perkembangan baru ini, ikatan tersebut tidak
lagi bersifat kesukuan, tetapi terikat karena suatu hal kesatuan tempat tinggal serta kampung
halaman.

Kampung tersebut dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut “Penghulu” dan sekarang
menjadi pamong desa yang dipilih berdasar peraturan-peraturan pemerintah. Selain itu penghulu ini
terdapat juga para pimpinan dalam bidang keagamaan, yakni “imam”. Imam merupakan seseorang
yang mengurus segala persoalan yang menyangkut keagamaan seperti menjadi seorang imam di
mesjid, pengajian serta pelajaran agama, nikah/cerai/rujuk, pembagian warisan, pengumpulan zakat
dan lainnya sebagainya. Selain itu, penghulu dengan di dampingi oleh imam yang merupakan
pimpinan kampung. (Sujiman, 1983). Berikut ini dijelaskan beberapa sistemnya.

2.2 Analisis
Penetrasi pemerintah (negara) di Kepulauan Riau pada tahun 1963, membawa dampak jatuhnya
perekonomian di daerah ini. Meskipun kendali utama pemegang perekonomian di Kepulauan Riau
tetap didominasi oleh orang Cina. Orang Cina sebagai pemilik modal sedangkan masyarakat nelayan
Kepulauan Riau sebagai pekerjanya dengan pola patron client. Perubahan drastis yang membawa
perubahan di segala aspek kehidupan adalah pada tahun 1990, ketika masyarakat Melayu Kepulauan
Riau yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan termajinalkan akibat kebijakan pemerintah
(negara). Sebagian besar dari nelayan beralih profesi, sedangkan mereka yang tetap berprofresi

7
sebagai nelayan mengalami perubahan dalam memandang kerarifan lokalnya. Laut bukan lagi
sebagai “ruh” kehidupan tetapi hanya sebagai tempat sumber kehidupan (ekonomis).

Terdapat berbagai model keberagaman masyarakat dalam memahami Islam. Hal ini terjadi karena
adanya perubahan yang krusial terhadap keyakinan masyarakat dari Hindu-Buddha kepada Islam.
Dengan demikian terjadi pula perubahana dalam sistem kemasayarakatan muslim Melayu di Riau
dimana tadinya berbentuk tradisional menjadi bentuk yang demoktaris religius.

8
BAB III

KESIMPULAN

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Kepulauan Riau apabila dikategorikan merupakan
perubahan sosial yang linear. Menurut Auguste Comte (2003) yang melihat jalannya perubahan
sosial yaitu menurut garis lurus (linear) yang dikenali dengan teori perkembangan evolusioner,
memandang perubahan menurut kemajuan. Ia melihat kemajuan terjadi di setiap segi tata
masyarakat. Demikian juga dengan proses perubahan sosial di Kepulauan Riau yang dalamintinya
adalah perubahan norma-normanya. Dimana perubahan norma-norma dan proses pembentukan
norma-norma merupakan inti dari kehidupan mempertahankan persatuan kehidupan berkelompok,
maka dengan sendirinya bahwa proses perubahan masyarakat adalah proses disintegrasi dalam
banyak bidang, sehingga demi proses, maka harus diusahakan adanya re-integrasi kembali, yaitu
penampungan dalam suatu kehidupan bermasyarakat yang lebih cocok dengan masyarakat yang
baru, dimana norma-norma yang lebih cocok inilah akan merupakan ikatan dari masyarakat yang
baru atau lebih luas.

9
DAFTAR PUSTAKA

Guslinda, G., & Kurniaman, O. (2020). Perubahan Bentuk, Fungsi Dan Makna Tenun
Songket Siakpada Masyarakat Melayu Riau. Primary: Jurnal Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, 5(1).

Roza, E. (2014). Internalisasi Nilai Islam Dan Tamadun Melayu Terhadap Perilaku
Sosial Orang Melayu Riau. Toleransi: Media Komunikasi Umat
Beragama, 6(1), 16-35.

Marnelly, T. R. (2018). Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Melayu Pesisir (Studi


Pengelolaan Madu Sialang di Desa Rawa Mekar Jaya). Jurnal Antropologi:
Isu-Isu Sosial Budaya, 19(2), 149-154.
RIANA, S., & SEREGAR, P. R. PERUBAHAN SOSIAL DI DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT DI KOTA TANJUNGPINANG (STUDI NILAI NILAI BUDAYA
MELAYU).
Rumyeni, R., Lubis, E. E., Rimayanti, N., & Yohana, N. (2018). Pengaruh
Penggunaan Media Sosial Terhadap Perubahan Sistem Nilai Masyarakat
Melayu Di Kota PekanBaru. Jurnal Komunikasi, 12(2), 161-170.

10

Anda mungkin juga menyukai