Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONFLIK DI SAMPIT KALIMANTAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Agama Dan Resolusi Konflik

Disusun oleh Kelompok 5 :

Muhammad Amin Fauzi (1201020049)

Muhammad Nur Sahrul Ramdani (1201020051)

Nadila Khoerina Fadilah (1201020059)

Nisa Ainun Napisa (1201020061)

STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang
"Konflik di Sampit Kalimantan".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan juga inspirasi untuk pembaca.

Bandung, Juni 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

Latar Belakang Masalah.......................................................................................4

A. Rumusan Masalah.........................................................................................6

B. Tujuan...........................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7

A. Daerah Di Sampit Kalimantan......................................................................7

B. Suku Dayak...................................................................................................8

C. Lata Belakang Konflik................................................................................11

D. Kondisi Sosial Sebelum Konflik.................................................................12

E. Awal Mula Konflik.....................................................................................12

F. Proses Konflik.............................................................................................14

G. Pasca Konflik..............................................................................................16

H. Efek Dari Konflik........................................................................................17

I. Terori Konflik.............................................................................................17

BAB III PENUTUP...............................................................................................20

Kesimpulan.........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Apalagi dalam konteks keragaman sosial budaya, Indonesia merupakan


bangsa dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Hal yang paling
menarik dari keberagaman Indonesia adalah perbedaan agama, suku, bahasa,
ras, dan budaya. Ada banyak budaya yang berbeda di Indonesia, dan setiap
suku memiliki budaya khasnya sendiri dengan ciri khas, sistem lokal,
pengetahuan, dan struktur sosial. (Lena Selvia, 2020, “Hubungan Budaya
Suku Dayak dan Banjar di Kalimantan”).
Salah satunya di Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan daerah
dengan masyarakat, budaya, dan penduduk yang beragam. Selain itu,
Kalimantan Barat dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang bermanfaat
bagi kesejahteraan penduduknya. Mobilitas masyarakat yang semakin
meningkat seiring dengan perkembangan zaman, khususnya di era globalisasi
ini, semakin memudahkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dari
sumber luar, yang berdampak luar biasa pada bagaimana seseorang
membentuk karakter, gagasan, dan pandangannya. Menengok ke belakang,
Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sering
melewatkan peristiwa-peristiwa penting. Ada unsur-unsur lain yang berpotensi
sensitif yang berkontribusi terhadap konflik ini selain unsur ekonomi dan
sosial, seperti kepemilikan lahan, pasar, dan cara para imigran mendefinisikan
kembali peran kelompok asli dalam kelompok masyarakat mereka atau
mengabaikan hukum adat setempat yang berlaku.

Salah satu contohnya adalah kekerasan yang terjadi pada tahun 1997 dan
berdampak hampir di seluruh Kalimantan Barat. Konflik yang dikenal dengan
konflik Sampit ini dipicu oleh kecemburuan masyarakat Dayak terhadap orang
Madura yang telah mencapai kemakmuran ekonomi. Di sisi lain, orang
Melayu yang sebelumnya tidak pernah berperang, terpaksa menggunakan
kekerasan dalam pertempuran dengan suku lain karena masalah agama.

Perang antaretnis di Indonesia yang disebut Perang Sampit atau konflik


pecah pada Februari 2001. Episode penting ini berlangsung sepanjang tahun
dan melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda. Sampit, sebuah kota di
Kalimantan Tengah, menjadi titik nyala pertama pertempuran ini, yang
akhirnya meluas ke seluruh provinsi, termasuk Palangkaraya, ibu kotanya.
Kerusuhan Sampit tragedi ini sendiri melibatkan dua suku atau etnis yang
dimana ada suku Dayak sebagai suku asli dan suku Madura sebagai migran
atau pendatang yang menetap di Kalimantan, namun sebenarnya yang terlibat
dalam kerusuhan ini tidak hanya dua suku saja melainkan ada satu sub-suku
lagi yang mendiami pulau Kalimantan yaitu suku Melayu Sambas yang
dimana mereka memihak kepada suku Dayak sebagai rumpun suku yang ada
di sana, ketika kejadian kerusuhan Sampit ini terjadi sudah ada 21 persen
rakyat Madura yang mendominasi dataran Kalimantan Tengah dan karena
populasi inilah banyak mayoritas masyarakat Madura yang hidup di
Kalimantan kebanyakan di antara mereka itu ada yang sukses di berbagai
bidang masing-masing yang lebih menonjol yaitu dalam bidang wirausaha
atau bisnis yang kemudian menjadikan warga Madura secara tidak langsung
baik dalam wilayah perekonomian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan suku Dayak di sampit Kalimantan?
2. Bagaimana Konflik Sampit di Kalimantan?
3. Bagaimana kondisi Sosial Sebelum Konflik?
4. Bagaimana Awal Mula Konflik?
5. Bagaimana Proses Konflik?
6. Bagaimana Pasca Konflik ?
7. Bagaimana Efek Dari Konflik
8. Bagaimana Terori Konflik
9. Bagaimana Penyelesaian Konflik

C. Tujuan
1. Bagaimana keadaan suku Dayak di sampit Kalimantan?
2. Bagaimana Konflik Sampit di Kalimantan?
3. Bagaimana kondisi Sosial Sebelum Konflik?
4. Bagaimana Awal Mula Konflik?
5. Bagaimana Proses Konflik?
6. Bagaimana Pasca Konflik
7. Bagaimana Efek Dari Konflik
8. Bagaimana Terori Konflik
BAB II

PEMBAHASAN

A. Daerah Di Sampit Kalimantan

Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia,


beribukota di SPT Sampit. Kecamatan Mentawa Baru Ketapang dan
Kecamatan Baamang merupakan tempat kota Sampit berada. Menurut data
BPS, Kabupaten Kotawaringin Timur hingga 2019 sebanyak 166.733 jiwa.
Sungai Mentaya membelah kota Sampit yang terletak di tengahnya. Sampit
memiliki luas total 1.365,95 km2 dan terletak di dataran rendah, dengan
sebagian wilayahnya berupa rawa. Ketinggian berkisar dari 0 hingga 25 meter
di atas permukaan laut. Sampit berada di wilayah Kotawaringin pada masa
kemerdekaan Indonesia, dan memiliki tiga wilayah administratif yang disebut
kawedanan, yaitu Sampit Barat dan Sampit Timur Sampit Utara juga. Hal ini
berkaitan dengan keputusan Gubernur Kalimantan pada tanggal 3 Agustus
1950 Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No. 154/OPB/92/04, Daerah
Kotawaringin (Onder Afdelling Kotawaringin) dan ketiga kawedanan (Sampit
Barat, Sampit Timur, dan Sampit Utara) digabungkan menjadi Pemerintahan
Daerah Otonomi Kotawaringin yang memiliki Sampit sebagai ibukotanya.

Masyarakat provinsi Kalimantan menuntut agar pemerintah Indonesia


membuat daerah-daerah kabupaten otonom yang setara dengan kabupaten-
kabupaten agar dapat mengatur daerahnya masing-masing. Undang-undang
Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan
Daerah Otonom/Daerah Istimewa (Pejabat) Tingkat Kabupaten dan Kota
Besar di Provinsi Kalimantan kemudian ditetapkan oleh pemerintah.
Kabupaten Kotawaringin yang meliputi kawedanan Sampit Barat, kawedanan
Sampit Timur, kawedanan Sampit Utara, dan Swapraja Kotawaringin
didirikan atas dasar hukum tersebut.

Untuk mengakomodir pertumbuhan daerah dan kebutuhan akan keserasian


penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih baik, Kalimantan harus
membentuk kotamadya baru dan membagi beberapa daerah tingkat II yang
ada menjadi daerah tingkat II yang baru. Pemerintah telah menetapkan
Undang-Undang Tentang Pembentukan Undang-undang Darurat Nomor 3
Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan
(Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang guna
memfasilitasi pembentukan daerah baru. Akibatnya, Kabupaten Kotawaringin
terpecah menjadi dua: Kotawaringin Timur yang pemerintahan daerahnya
berkedudukan di Sampit, dan Kotawaringin Barat yang bermarkas Swapraja
Kotawaringin di Pangkalan Bun.

Nama kota ini didokumentasikan dalam Kakawin Nagarakretagama yang


ditulis pada tahun 1365, dan dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya
ditulis pada tahun 1663. Menurut sejarahnya, Sampit merupakan salah satu
penembak tertua di Kotawaringin Timur. daerah. Konflik antara suku Madura
dan suku Dayak pernah terjadi di kota ini pada tahun 2001. Lebih dari 400
orang tewas dalam korban tersebut, sementara 40.000 lainnya harus
mengungsi.

B. Suku Dayak
Sejarah Suku Dayak, Suku Dayak adalah salah satu suku di Indonesia
yang hidup di Pulau Kalimantan Kalimantan. Penduduk asli Kalimantan
non-Malaysia dan non-Muslim disebut sebagai "Dayak" secara umum.
Ada beberapa cara untuk mendefinisikan kata Dayak. Menurut Thomas
Lindblad, kata Dayak berasal dari kata Kenyah energi, yang berarti hulu
atau pedalaman. Menurut spekulasi Lindbland, istilah "Dayak" mungkin
berasal dari kata Melayu "aja", yang berarti "pribumi" atau "pribumi".
Selain itu, menurutnya istilah tersebut berasal dari kata Jawa Tengah yang
menunjukkan perilaku yang salah atau tidak pantas.
August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, mengklaim bahwa istilah "Dayak"
mulai dikenal pada tahun 1895, menurut peserta Proyek Pengkajian dan
Pengembangan Norma Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kalimantan Timur. Empat nama—Dayak, Dyak, Daya, dan Daya, yang berarti
"hulu"—diketahui ada bagi penduduk asli Kalimantan, menurut berbagai sumber
sastra. Orang Dayak diberi julukan ini karena mereka biasanya tinggal di
pedalaman atau di hulu sungai. Dalam sebuah seminar tahun 1993 tentang nama
Dayak dan asal usulnya, Simon Takdir, peneliti dari Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Dayaklogi, atau idrd, membantah pernyataan tersebut.
Takdir mengklaim bahwa nama Dayak berasal dari kata Melayu kuno
Daya, yang berarti Daya yang berfokus pada kemampuan magis. Kata "Primitif"
dan deskripsi orang Dayak sebagai komunitas pemburu, pengumpul makanan, dan
penghuni Rumah Panjang secara historis telah digunakan oleh berbagai organisasi
untuk membangun dan membentuk persepsi publik tentang "orang Dayak".
Mengingat penduduk asli Kalimantan sudah memiliki nama untuk kelompoknya,
penggunaan kata "Dayak" untuk menggambarkan mereka merupakan fenomena
yang menarik. Misalnya disebut Energi (Kanayatn: Orang Daya = orang darat) di
Sambas dan Pontianak dan Biaju (bi = dari; aju = hulu) di Banjarmasin.
Istilah Dayak yang berarti "orang darat" pada mulanya digunakan untuk
menyebut penduduk asli Kalimantan Barat, yaitu golongan Bidayuh. Kelompok
ini akhirnya mengadopsi moniker Dayak Darat untuk membedakan dirinya dari
Dayak Laut (kelompok Iban). Dalam perjanjian tahun 1826 antara Sultan Banjar
dan Hindia Belanda, istilah Biaju Mulia (wilayah sungai Kahayan) dan Biaju
Kecil (wilayah sungai Kapuas Murung) masing-masing diubah menjadi Dayak
Mulia dan Dayak Kecil, dan kata Dayak mulai menjadi digunakan di Banjarmasin.
Kelompok Ngaju-Ot Danum atau kelompok Barito menjadi sebutan lain bagi
masyarakat Dayak (Dayak, n.d.).
Istilah "Dayak" kemudian digunakan secara lebih luas untuk merujuk
pada kelompok pribumi setempat, khususnya non-Muslim atau non-Melayu, yang
berbicara dalam berbagai bahasa. Menurut Commans (1987), beberapa penulis
mengklaim bahwa kata "Dayak" mengacu pada orang, sementara yang lain
mengklaim bahwa itu mengacu pada pedalaman. Perintah tersebut menambahkan
bahwa yang terbaik adalah mempekerjakan mereka yang tinggal di hulu. Kata
“Dayak” mengandung arti “manusia” bagi orang Iban, sedangkan kata “Tunjung”
dan “Benuaq” berarti “hulu”, menurut Lahajir dkk. Mereka mengatakan bahwa
beberapa orang mengklaim istilah "Dayak" berkaitan dengan ciri-ciri karakter
tertentu yang dikenal orang Kalimantan, terutama kekuatan, keberanian,
ketabahan, dan keuletan. Penduduk asli Amerika biasanya tidak menggunakan
istilah ini, meskipun orang lain di luar daerah mereka menyebutnya sebagai
"Dayak". Ungkapan “Dayak” digunakan untuk menyebut penguasa kolonial yang
mengambil alih keadilan suku-suku yang tinggal di pedalaman Kalimantan hingga
akhir abad ke-19 (setelah Kejatuhan Perdamaian Anoi) (Maunati, 2004).
Suku Dayak di Kalimantan berakar pada migrasi Tionghoa dari Provinsi
Yunnan di Cina Selatan ke pulau Kalimantan antara 3000 dan 1500 SM.
Penelitian antropologi menunjukkan bahwa kelompok masyarakat Austronesia
yang berasal dari Cina selatan dan tiba secara bergelombang ke pulau-pulau di
Nusantara termasuk suku Dayak. Orang-orang Austronesia tiba pada Zaman
Neolitik sekitar 2 2500 SM ke Timor, Sulawesi, dan Kalimantan. Gelombang
kedua mencapai pulau Sumatera dan Jawa pada tahun 2000 SM. Gelombang
ketiga mencapai Halmahera pada tahun 1600 SM. Setelah itu, para Austronesia ini
menyebar ke pulau-pulau lain di Indonesia. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa
bangsa Austronesia ketika tiba di Papua hanya menguasai wilayah pesisir dan
dataran rendah hingga membaur dengan penduduk setempat.
Bangsa Austronesia juga mengembangkan teknologi kelautan, yang
memungkinkan mereka menjajah Madagaskar setelah mencapai pantai timur
Afrika dan Kepulauan Pasifik. Kemajuan Austronesia berikutnya berbeda
menurut geografi, medan, dan faktor lainnya, serta evolusi budaya yang beragam.
Gelombang imigran Austronesia ke Kalimantan akhirnya berevolusi selama
ribuan tahun menjadi orang Dayak, yang akhirnya menghuni hampir seluruh
pulau Kalimantan.
C. Lata Belakang Konflik
Khususnya dalam konteks keragaman sosial budaya, Indonesia
merupakan bangsa dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Aspek
keragaman yang paling menarik di Indonesia meliputi agama, suku,
bahasa, ras, dan peradaban yang berbeda. Sebagai contoh Suku Dayak di
Kalimantan memiliki budaya yang sangat khas, seperti Huma Betang
(Hubungan Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Banjar di Kalimantan
Lena Selvia, 2020). Setiap suku juga memiliki ciri khas tersendiri, sistem
lokal, pengetahuan dan struktur sosial.
“Hidup Bersama dengan Menjaga Kerukunan yang Kuat dan Menjaga
Rasa Kekeluargaan” merupakan nilai filosofi dari Huma Betang, sebuah
rumah atau tempat tinggal yang dijalankan oleh seorang kepala suku
Betang.
Pentingnya ideologi Huma Batang adalah tidak boleh ada perpecahan
antarsuku atau kelompok dan masyarakat harus hidup aman, damai. Untuk
mencegah perselisihan agama, tunjukkan nilai-nilai toleransi, hormat dan
menghargai perbedaan agama. seperti tumbuhnya falsafah masyarakat,
pemahaman budaya masyarakat, dan nilai-nilai kearifan lokal. Hubungan
dan komunikasi antar suku yang berbeda, seperti Dayak dan Madura, juga
dipengaruhi oleh keragaman budaya. Beberapa suku hidup berdampingan
di wilayah yang sama, masing-masing memiliki budaya, cara hidup yang
berbeda, dan Huma Betang adalah rumah atau tempat tinggal yang
dijalankan oleh Betang, yang kepercayaannya dapat menimbulkan
perselisihan atau perselisihan.
Konflik dapat dilihat sebagai interaksi antara dua pihak atau lebih, baik
orang maupun kelompok, yang memiliki tujuan atau kepentingan yang
berlawanan. Konflik tidak selalu berkonotasi buruk karena konflik dapat
memiliki nilai yang besar jika dikelola dan diarahkan secara efektif untuk
menciptakan keadaan yang lebih baik. Perselisihan akan memiliki nilai
negatif dan bahkan memiliki efek yang parah jika terjadi sebaliknya, seperti
ketika disertai dengan kekerasan baik terhadap orang maupun benda.

D. Kondisi Sosial Sebelum Konflik


Pertarungan antara suku Dayak dan Madura tidak hanya terjadi pada
tahun 1996–1997; itu juga terjadi sebelumnya, di lokasi yang sama,
Samalantan. Mayoritas penelitian mengungkapkan tiga argumen lokal—
budaya, ekonomi, dan politik—yang dapat digunakan untuk menjelaskan
penyebab konflik antara orang Dayak dan orang Madura.
Mayoritas orang Dayak di Kalimantan Barat adalah petani yang
sebagian besar bercocok tanam padi sekaligus memperoleh sumber daya
hutan seperti karet dan durian untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun
mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka, mayoritas orang Dayak
khususnya Katolik dan Protestan, yang memiliki komunitas besar di
wilayah tersebut. Ketika orang Madura dipekerjakan sebagai pekerja
kontrak untuk membuka hutan dan perkebunan, jumlah mereka melonjak
di Kalimantan Barat. Orang Madura awalnya tiba di sana dalam jumlah
kecil pada pergantian abad ke-19. Mereka mulai berdatangan dalam
jumlah yang lebih besar pada tahun 1970-an.2 Mayoritas orang Dayak
mengaku merasa tidak nyaman tinggal bersama orang Madura. Biasanya,
pendatang Madura yang datang ke Kalimantan Barat membawa serta adat
dan sifat mereka, seperti penggunaan senjata mematikan dan pembunuhan,
yang membuat orang Dayak resah.

E. Awal Mula Konflik


Perang antaretnis di Indonesia yang disebut Perang Sampit atau konflik
pecah pada Februari 2001. Episode penting ini berlangsung sepanjang
tahun dan melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda. Sampit, sebuah
kota di Kalimantan Tengah, menjadi titik nyala pertama pertempuran ini,
yang akhirnya meluas ke seluruh provinsi, termasuk Palangkaraya, ibu
kotanya.Penyerangan tragedi Sampit melibatkan dua suku atau etnis: suku
Dayak, suku asli, dan suku Madura, suku pendatang atau pendatang yang
tinggal di Kalimantan. Namun, yang terlibat dalam penangkapan ini bukan
hanya dua suku tetapi juga satu sub-suku yang tinggal di pulau
Kalimantan, yaitu suku Melayu Sambas, dimana mereka mendukung suku
Dayak secara keseluruhan Karena persebaran tersebut, mayoritas
masyarakat Madura tinggal di Kalimantan. Mereka mayoritas sukses di
berbagai bidang yang masing-masing lebih menonjol terutama di bidang
wirausaha atau bisnis, yang kemudian membuat orang Madura secara tidak
langsung jago dalam bidang ekonomi. Saat peristiwa susulan Sampit
terjadi, sudah ada 21% orang Madura yang menguasai dataran Kalimantan
Tengah.
Kedua etnis ini sendiri bisa pecah akibat adanya perselisihan perbedaan
budaya perbedaan sikap dan perbedaan-perbedaan lainnya yang dimana
satunya merupakan penduduk asli Kalimantan dan satunya merupakan
penduduk pendatang blusukan ini terjadi karena banyak faktor tapi Faktor
yang paling besar ialah kesenjangan ekonomi persaingan dalam ekonomi
ini menjadi faktor utama yang membuat duet disini saling berselisih
paham yang pada akhirnya terjadilah perang yang sangat besar.

Program transmigrasi yang diprakarsai oleh pemerintah kolonial


Belanda pada tahun 1930 yang kemudian diupayakan oleh pemerintah
Indonesia menyebabkan kedatangan awal orang Madura di pulau
Kalimantan. Pada tahun 2100, pendatang Madura merupakan 21% dari
populasi di Kalimantan Tengah.
Karena ketidaksesuaian antara kedua suku tersebut, konflik dimulai pada
18 Februari 2001 di latar belakang. Anggota suku Dayak yang meniru adat
pahlawan nasional dari Kalimantan itu kerap terpinggirkan oleh ulah suku
Madura, pendatang yang kerap dituduh gagal beradaptasi dengan
lingkungan setempat lokasi berdiri .

Orang Dayak seringkali terpaksa pindah karena desakan para penebang


kayu yang merambah lebih jauh ke dalam kawasan, pertambangan
dilarang di tanah asalnya, berbagai aspek ekonomi dan kehidupan sehari-
hari dikuasai oleh orang Madura, dan lemahnya penegakan hukum
terhadap orang Madura yang melakukan kejahatan terhadap rakyat. Orang
Dayak membuat penegakan hukum terkesan bias. Tuntutan ini semakin
kuat karena terbunuhnya Shandong, suku Dayak yang banyak dibunuh
oleh orang Madura.
Sebenarnya, polisi menangani situasi ini. Pada tanggal 18 Februari 2001,
empat orang yang tinggal di rumah tersebut meninggal dunia akibat
penyerangan keluarga korban terhadap rumah Matayo yang dimulai karena
keluarga korban merasa terlalu lama. Kejadian itu pun menebar
kecemburuan. Setelah polisi mendapatkan timer, mereka kembali ke
rumah Timil, seorang warga Dayak yang diyakini menyembunyikan salah
satu penyerang dari penyerangan Hai. Namun, warga Madura yang marah
langsung membakar rumah Timil dan juga menyerang rumah kerabat Emil
hingga membunuh penghuninya. kemudian menimbulkan permusuhan
yang lebih besar lagi antara orang Madura dan Dayak Kota Sampit

F. Proses Konflik

Konflik bermula dua hari setelah penyerangan ke rumah Matayo karena


orang Madura mampu menguasai bahkan berani menyapu pemukiman
orang Dayak. Begitu orang Dayak di Kalimantan mendengar hal itu,
situasi berubah pada 20 Februari ketika banyak orang Dayak dari luar kota
berdatangan ke Kota Sampit, sehingga tidak mungkin menghindari konflik
terbuka.

Banyak senjata tradisional, termasuk tombak Mandau, sumpit, bahkan


senjata api rakitan yang dikenal sebagai dumtum, digunakan untuk
melawan etnis Madura; Sebaliknya, etnis Madura menggunakan clurit dan
sejumlah bom rakitan sebagai senjata balasan. Pada akhir Februari 2001,
sekitar 500 orang Madura telah dibunuh dan lebih dari 100.000 orang
terpaksa mengungsi dari Sampit karena penganiayaan. Pertempuran di
Sampit juga menyebar ke provinsi tersebut.
Dalam beberapa minggu, pejuang Dayak melakukan kampanye
pembersihan etnis di Kalimantan Tengah, sampai ke ujung Jalan Raya
Trans-Kalimantan dan barat ke Pangkalan Bun. Jumlah korban yang tewas
berkisar antara 500 hingga lebih dari 1300, yang sebagian besar adalah
etnis Madura, dan diklaim bahwa 90% penduduk Madura di provinsi
tersebut telah mengungsi.
Dalam pertarungan tersebut, suku Dayak memenggal sebagian besar
korban yang merupakan suku Madura. Suku Dayak memiliki sejarah
kegiatan ritual pembunuhan kepala yang disebut juga dengan istilah
"ngayau", namun tradisi ini justru diakhiri dengan Perjanjian Kejatuhan
Anoi pada tahun 1884. Namun, saat Perang Sampit, ketika amukan mereka
memuncak. tinggi, mereka terus berlatih ritual ini.
Adegan hari itu di jalanan sangat mengerikan; mayat tergeletak di mana-
mana, kepala manusia ditempelkan pada ujung tombak dan diarak melalui
jalan-jalan berlumuran darah, dan ada mayat di mana-mana. Beberapa
kepala digulingkan dan ditinggalkan di jalan-jalan, sementara yang lain
diambil dan dibawa berkeliling.
Suku Dayak tetap merupakan suku Dayak yang memahami nilai luhur
sejarah, tercatat penyerangan hanya dilakukan terhadap suku Madura yang
sedang dalam perjalanan melawan tidak ada serangan lain dari mereka.
Namun konon konflik ini juga melibatkan suku Dayak pedalaman untuk
ikut serta dalam perang yang bersyarat untuk tujuan tersebut. bahkan
menahan diri untuk tidak menyerang orang Madura yang mencari
perlindungan di mesjid atau gereja. Pada saat itu, terlihat jelas bahwa
orang Madura kalah jumlah dan kalah kelas. Mereka menghadapi lawan
yang bahkan tidak bisa terluka oleh benda tajam dan hanya bisa dideteksi
dengan penciuman.
Karena konflik dimulai dan meluas ke seluruh Kalimantan Tengah dan
karena banyak polisi juga keturunan Madura, mereka juga harus
dievakuasi, polisi tidak berdaya untuk berbuat banyak.
Mengerikan menggambarkan keadaan Sampit saat itu, apalagi
mengingat rumor yang mengatakan bahwa kesaktian orang Dayak benar-
benar terjadi dan sangat nyata saat itu. Desas-desus tersebut berkisar dari
Mandau yang terbang sendiri dan mengincar kepala serta memiliki
kemampuan mencium bau orang, hingga penampakan makhluk mistis
bernama Panglima. Arwah Panglima Burung, sosok mistis dan legendaris
yang dianggap sebagai sosok pelindung dan pemersatu suku Dayak di
Kalimantan dan juga mengawasi seluruh masyarakat Dayak, konon terlibat
dalam burung-burung yang ada. pertempuran oleh suku Dayak pedalaman.
Kapan saja, Panglima Burung akan turun dengan terbang penuh Memiliki
seseorang untuk membantu ketika suku Dayak terancam teraniaya atau
akan berperang adalah salah satu cara untuk menghindarinya.

G. Pasca Konflik
Polisi akhirnya menangkap dua pejabat setempat yang diduga sebagai
dalang konflik besar ini dan menggunakannya untuk tujuan politik, diduga
membayar enam orang untuk pertunjukan Thor untuk mulai bercakap-
cakap di Sampit. Kedua pejabat itu adalah Fadli Kacer, yang sehari-hari
bekerja di Bappeda, dan Lewis, seorang pegawai. Berdasarkan pemaparan
versi Intel Polda Kalteng, menyebutkan sekitar 1.192 rumah dibakar, 16
mobil, dan belasan sepeda motor.
Serangan pada 18 Februari dini hari, suku Dayak dan suku non-Madrid
lainnya telah bertemu sebanyak 11 kali. Untuk melindungi akhir dari
konflik, dibuat kesepakatan damai antara suku Dayak dan suku Madura.
Perjanjian itu ditulis dalam sebuah buku dan memuat beberapa syarat di
samping yang lain. Ia pun menyiapkan 15 juta rupiah untuk membayar
para provokator. Sebuah monumen perdamaian juga didirikan di Sampit
untuk mendukung perdamaian.
Sampit saat ini merupakan kota yang memiliki kerukunan dan
ketenangan antarwarganya. Karena kebaikan dan keramahan suku Dayak
di Pulau Kalimantan, tidak ada alasan untuk takut untuk berkunjung. Yang
paling penting adalah tidak menantang tabu dan menjunjung tinggi norma-
norma yang ada terlepas dari ini. Apapun yang terjadi saat itu, kita semua
sangat berharap agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.

H. Efek Dari Konflik


Banyak sekali hal yang dirugikan dari kejadian adapu akibat perang
saudara yang berada di sampit ini yaitu perang antar suku daya dan suku
madura tidak hanya menimbulkan korban yang dimana korban dari
peristiwa ini sebanyak 600 jiwa dengan kurun waktu tahun 1996 samppai
tahun 2007 akan tetapi berimbas terhadap sektor mulai dari sektor
ekonomi, sosial, budaya, dan lain lain. Banyak sekali toko atau kios yang
terpaksa tutup pada saat kerusuhan terjadi. Hal tersebut dilakukan supaya
menghidari dari penjarahan dan tindakan laiinya. Namun penjarahan tetap
terjadi terhadap suku madura yang rumah atau tempat tinggalnya tidak
dihuni lagi. Banyak seklai kerugian yang terjadi yang tidak hanya terjadi
pembunuhan, terjadi juga pmbakaran rumah tetapi harta benda lainnya.
Sekitar 1192 rumah yang dibakar , 16 mobil , 43 motor dan 114 dirusak.
Kurang harmonis hubungan itu baik kelompok ataupun individu turut
menjadi akibat dari peristiwa di sampit ini. Yang lebih jelas dari persitiwa
ini banyak warga yang kehilangan tempat tinggalnya dan mata
pencahariannya yang nanti dapat menimbulkan kesenjagan sosial di daerah
sampit.

Banyak sekali kerugian yang terjadi terhdapa masyarakat namun


konflik ini berjalan begitu lama berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk meredam peristiwa ini. Namun di usaha yang dilakukan
tetap saja konflik berlanjut usaha yang dilakukan mulai dari
mempertemukan perwakilan setiap suku yang terjadi konflik namun usaha
tersebut sia sia saja karena ada oknum yang menghasut para tetua dan
anggota suku lainnya untuk saling serang menyerang satu sama lain

I. Teori Konflik
Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik Sampit
diakibatkan oleh benturan budaya antara suku Dayak dan suku Madura.
dimana kedua etnis atau suku ini tidak mampu berakulturasi secara efektif.
Hal ini disebabkan hampir semua orang Madura masih mempertahankan
kelompoknya masing-masing dan jarang bercampur dengan suku lain.
Kondisi ekonomi di Kalimantan Tengah terkait dengan perebutan sumber
daya, yang menyebabkan etnis Dayak terpinggirkan oleh para pendatang,
terutama oleh etnis Madura yang lebih sukses atau berhasil, mendukung
hal tersebut. Namun, ini juga diperkuat oleh krisis struktur politik yang
dianggap tidak adil, dan pertarungan ini terjadi karena alasan yang
disebutkan.

Menurut Teori Lewis A. coser, jika dilihat dari permasalah peristiwa di


sampit antara enis dayak dan etnis madura dapat dibagi menjadi dua
konflik, yaitu ;
1. Konflik realistis, yaitu konflik yang terjadi adanya rasa kecewa
individu atau kelompok masyarakat terhadap sistem dan tuntutan dengan
hal yang dituju atau dalam hal ini adalh pemerintah kalimantan tengah.
Etnis dayak sebagai warga pribumi kecewa terhadap kebijakan pemerintah
dalam pengelolaan terhaqdap sumber daya karena telah mengeksploitasi
hutan yang dimana dalam kepercayaan etnis dayak hutan merupakan
reprentasi dari Tuhan. Yang dimana hal ini sangat dijaga oleh masyarakat
etnis dayak, tidak hanya itu hal tersebut telah menodai dari nilai-nilai yang
luhur yang dijaga oleh masyarakat adat etnit dayak. Selain ditambah lagi
dengan ketidak adilan pemerintahan dalam menagani konflik antar etnis
yaitu etnis Dayak dan etnis Madura.
2. Konflik Non-realistis, yaitu konflik yang terjadi bukan berasal dari
tujuan persaingan yang berlawanan, tapi kebutuhan pihak tertentu untuk
meredakan ketegangan. Dalam hal ini pemerintah tidak hanya mencegah
adanya konflik ini akan tetapi perlu juga mencegah supaya konflik ini
tidak berlarut-larut dan menyebar kedaerah lainnya. Namun struktur
politikl ayanga da dikalimantan belum mampu melalkunan keduannya,
dikarenakan lembaga-lembaga politik yang ada belum mampu bekerja
sama dengan baik dengan berbagai elemen masyarakat yang ada. Padahal
peran pemerintah daerah yang profesional dan bersih menjadi faktor yang
sangat penting untuk dalam berjalan dengan baik dengan perpolitikan yang
ada. Yang dimana peran pemerintah juga sebagai pendengar apirasi dari
masyarakat. Namun akibat dari ketidak mampuan ini konflik yang terjadi
semakin berlarut bahakan sampai menyebar ke daerah lain yaitu ke
panggkalan Bun dan palangkaraya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Konflik yang terjadi antara etnis Dayak dan etnis Madura secara
garis besar dikatergorikan sebagai konflik etnis, namun apabila di anlisis
lebih lanjut konflik ini terjadi akibat kurang nya komunikasi yang baik
antar etnis Dayak dan etnis Madura dan ditambah lagi peran pemerintah
yang kurang begitu singnifikan dan gesit ketika awal terjadi adanya
konflik ini. Konflik ini di awal adanya kasus pembunuhan dari suatu klub
malam dan Etnis Dayak menuduh bahwa yang menjadi pelaklunya adalh
suku Madura. Akibat dari kurang gesit nya poemerintah dari pengana
tersebut sehingga mencuat berita lainnya dan terjadi konflik yang
mengakibatkan banyak korban.
Akibat dari konflik ini banyak sekali kerugian yang diapat
kerugian harta benda, keluarga dan mata pencaharian. Mereka merasakan
rasa sedih, marah dan mereka hanya pasrah saja terjadinya perang atau
konflik tersebut. Dari pihak pemerintah mulai melakukan usaha usaha
untuk meredakan konflik ini di mulai dari mempertemukan perwakilan
setiap tokoh, dan berlanjut dengan meningkatkan keamanan yang mengrim
276 personel TNI dari Yonif 631\ATG ke sampit. Mengevakuasi para
warga dan mengadakan rehabilatas mental untuk memperbaiki dari rasa
trauma tersebut. Dan mengakap para provokator yang menjadi biang
konflik semakin membesar. Cara tersebut mulai memunculkan hasil yang
baik dan dapat menyelesaikan konflik yang pada akhirnya hanya
menyisakana rasa sedih dan duka yang dirakasan etnis Dayak dan etnis
Madura.
DAFTAR PUSTAKA

Dayak, S. (n.d.). Suku Dayak. Klaten.Kpt.Co.Id. Retrieved June 4, 2023, from


https://klaten.kpt.co.id/eng/116-2/Dayak_29896_mm-patria-artha_klaten-kpt.html

Hubungan Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Banjar di Kalimantan Lena Selvia, K.
(2020). Keberagaman Hubungan Budaya Antara Suku Dayak dan  Suku Banjar di
Kalimantan. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(2), 208–216.
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n2.p208-216.2020

Lindblad, J. T. (n.d.). Between Dayak and Dutch : the economic history of Southeast
Kalimantan, 1880-1942. (No Title). Retrieved June 4, 2023, from
https://cir.nii.ac.jp/crid/1130000798359764480

Maunati, Yekti. (2004). Identitas Dayak : komodifikasi dan politik kebudayaan. 406.
https://books.google.com/books/about/Identitas_Dayak.html?
hl=id&id=FcxjDwAAQBAJ

SAMBAS DAN SAMPIT Dini Suryani, P. DI. (n.d.). KONFLIK DAN RESOLUSI
KONFLIK.

Senjata, Kuman, dan Baja: Nasib Masyarakat Manusia oleh Jared Diamond | Selamat
membaca. (n.d.). Retrieved June 4, 2023, from
https://www.goodreads.com/book/show/1842.Guns_Germs_and_Steel

https://bappenda.kotimkab.go.id/portal/page/66/sejarah-kab-kotim

Alexandra, F. (2018). Analisis Akar Konflik Sampit Melalui Teori Deprivasi. Global
and Policy Journal of International Relations, 6(02).

Wahid, A. Y., & Ihsan, A. B. (2004). SBY dan resolusi konflik: langkah-langkah
penyelesaian konflik di Aceh, Atambua, Maluku, Papua, Poso, dan Sampit. (No
Title).
Nadzifah, S. (2022). Perang Sampit (Konflik Suku Dayak Dengan Suku Madura) Pada
Tahun 2001. JURNAL SOSIAL Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 23(2), 14-18

Anda mungkin juga menyukai