FAKULTAS USHULUDDIN
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang
"Konflik di Sampit Kalimantan".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan juga inspirasi untuk pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Rumusan Masalah.........................................................................................6
B. Tujuan...........................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7
B. Suku Dayak...................................................................................................8
F. Proses Konflik.............................................................................................14
G. Pasca Konflik..............................................................................................16
I. Terori Konflik.............................................................................................17
Kesimpulan.........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu contohnya adalah kekerasan yang terjadi pada tahun 1997 dan
berdampak hampir di seluruh Kalimantan Barat. Konflik yang dikenal dengan
konflik Sampit ini dipicu oleh kecemburuan masyarakat Dayak terhadap orang
Madura yang telah mencapai kemakmuran ekonomi. Di sisi lain, orang
Melayu yang sebelumnya tidak pernah berperang, terpaksa menggunakan
kekerasan dalam pertempuran dengan suku lain karena masalah agama.
C. Tujuan
1. Bagaimana keadaan suku Dayak di sampit Kalimantan?
2. Bagaimana Konflik Sampit di Kalimantan?
3. Bagaimana kondisi Sosial Sebelum Konflik?
4. Bagaimana Awal Mula Konflik?
5. Bagaimana Proses Konflik?
6. Bagaimana Pasca Konflik
7. Bagaimana Efek Dari Konflik
8. Bagaimana Terori Konflik
BAB II
PEMBAHASAN
B. Suku Dayak
Sejarah Suku Dayak, Suku Dayak adalah salah satu suku di Indonesia
yang hidup di Pulau Kalimantan Kalimantan. Penduduk asli Kalimantan
non-Malaysia dan non-Muslim disebut sebagai "Dayak" secara umum.
Ada beberapa cara untuk mendefinisikan kata Dayak. Menurut Thomas
Lindblad, kata Dayak berasal dari kata Kenyah energi, yang berarti hulu
atau pedalaman. Menurut spekulasi Lindbland, istilah "Dayak" mungkin
berasal dari kata Melayu "aja", yang berarti "pribumi" atau "pribumi".
Selain itu, menurutnya istilah tersebut berasal dari kata Jawa Tengah yang
menunjukkan perilaku yang salah atau tidak pantas.
August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, mengklaim bahwa istilah "Dayak"
mulai dikenal pada tahun 1895, menurut peserta Proyek Pengkajian dan
Pengembangan Norma Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kalimantan Timur. Empat nama—Dayak, Dyak, Daya, dan Daya, yang berarti
"hulu"—diketahui ada bagi penduduk asli Kalimantan, menurut berbagai sumber
sastra. Orang Dayak diberi julukan ini karena mereka biasanya tinggal di
pedalaman atau di hulu sungai. Dalam sebuah seminar tahun 1993 tentang nama
Dayak dan asal usulnya, Simon Takdir, peneliti dari Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Dayaklogi, atau idrd, membantah pernyataan tersebut.
Takdir mengklaim bahwa nama Dayak berasal dari kata Melayu kuno
Daya, yang berarti Daya yang berfokus pada kemampuan magis. Kata "Primitif"
dan deskripsi orang Dayak sebagai komunitas pemburu, pengumpul makanan, dan
penghuni Rumah Panjang secara historis telah digunakan oleh berbagai organisasi
untuk membangun dan membentuk persepsi publik tentang "orang Dayak".
Mengingat penduduk asli Kalimantan sudah memiliki nama untuk kelompoknya,
penggunaan kata "Dayak" untuk menggambarkan mereka merupakan fenomena
yang menarik. Misalnya disebut Energi (Kanayatn: Orang Daya = orang darat) di
Sambas dan Pontianak dan Biaju (bi = dari; aju = hulu) di Banjarmasin.
Istilah Dayak yang berarti "orang darat" pada mulanya digunakan untuk
menyebut penduduk asli Kalimantan Barat, yaitu golongan Bidayuh. Kelompok
ini akhirnya mengadopsi moniker Dayak Darat untuk membedakan dirinya dari
Dayak Laut (kelompok Iban). Dalam perjanjian tahun 1826 antara Sultan Banjar
dan Hindia Belanda, istilah Biaju Mulia (wilayah sungai Kahayan) dan Biaju
Kecil (wilayah sungai Kapuas Murung) masing-masing diubah menjadi Dayak
Mulia dan Dayak Kecil, dan kata Dayak mulai menjadi digunakan di Banjarmasin.
Kelompok Ngaju-Ot Danum atau kelompok Barito menjadi sebutan lain bagi
masyarakat Dayak (Dayak, n.d.).
Istilah "Dayak" kemudian digunakan secara lebih luas untuk merujuk
pada kelompok pribumi setempat, khususnya non-Muslim atau non-Melayu, yang
berbicara dalam berbagai bahasa. Menurut Commans (1987), beberapa penulis
mengklaim bahwa kata "Dayak" mengacu pada orang, sementara yang lain
mengklaim bahwa itu mengacu pada pedalaman. Perintah tersebut menambahkan
bahwa yang terbaik adalah mempekerjakan mereka yang tinggal di hulu. Kata
“Dayak” mengandung arti “manusia” bagi orang Iban, sedangkan kata “Tunjung”
dan “Benuaq” berarti “hulu”, menurut Lahajir dkk. Mereka mengatakan bahwa
beberapa orang mengklaim istilah "Dayak" berkaitan dengan ciri-ciri karakter
tertentu yang dikenal orang Kalimantan, terutama kekuatan, keberanian,
ketabahan, dan keuletan. Penduduk asli Amerika biasanya tidak menggunakan
istilah ini, meskipun orang lain di luar daerah mereka menyebutnya sebagai
"Dayak". Ungkapan “Dayak” digunakan untuk menyebut penguasa kolonial yang
mengambil alih keadilan suku-suku yang tinggal di pedalaman Kalimantan hingga
akhir abad ke-19 (setelah Kejatuhan Perdamaian Anoi) (Maunati, 2004).
Suku Dayak di Kalimantan berakar pada migrasi Tionghoa dari Provinsi
Yunnan di Cina Selatan ke pulau Kalimantan antara 3000 dan 1500 SM.
Penelitian antropologi menunjukkan bahwa kelompok masyarakat Austronesia
yang berasal dari Cina selatan dan tiba secara bergelombang ke pulau-pulau di
Nusantara termasuk suku Dayak. Orang-orang Austronesia tiba pada Zaman
Neolitik sekitar 2 2500 SM ke Timor, Sulawesi, dan Kalimantan. Gelombang
kedua mencapai pulau Sumatera dan Jawa pada tahun 2000 SM. Gelombang
ketiga mencapai Halmahera pada tahun 1600 SM. Setelah itu, para Austronesia ini
menyebar ke pulau-pulau lain di Indonesia. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa
bangsa Austronesia ketika tiba di Papua hanya menguasai wilayah pesisir dan
dataran rendah hingga membaur dengan penduduk setempat.
Bangsa Austronesia juga mengembangkan teknologi kelautan, yang
memungkinkan mereka menjajah Madagaskar setelah mencapai pantai timur
Afrika dan Kepulauan Pasifik. Kemajuan Austronesia berikutnya berbeda
menurut geografi, medan, dan faktor lainnya, serta evolusi budaya yang beragam.
Gelombang imigran Austronesia ke Kalimantan akhirnya berevolusi selama
ribuan tahun menjadi orang Dayak, yang akhirnya menghuni hampir seluruh
pulau Kalimantan.
C. Lata Belakang Konflik
Khususnya dalam konteks keragaman sosial budaya, Indonesia
merupakan bangsa dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Aspek
keragaman yang paling menarik di Indonesia meliputi agama, suku,
bahasa, ras, dan peradaban yang berbeda. Sebagai contoh Suku Dayak di
Kalimantan memiliki budaya yang sangat khas, seperti Huma Betang
(Hubungan Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Banjar di Kalimantan
Lena Selvia, 2020). Setiap suku juga memiliki ciri khas tersendiri, sistem
lokal, pengetahuan dan struktur sosial.
“Hidup Bersama dengan Menjaga Kerukunan yang Kuat dan Menjaga
Rasa Kekeluargaan” merupakan nilai filosofi dari Huma Betang, sebuah
rumah atau tempat tinggal yang dijalankan oleh seorang kepala suku
Betang.
Pentingnya ideologi Huma Batang adalah tidak boleh ada perpecahan
antarsuku atau kelompok dan masyarakat harus hidup aman, damai. Untuk
mencegah perselisihan agama, tunjukkan nilai-nilai toleransi, hormat dan
menghargai perbedaan agama. seperti tumbuhnya falsafah masyarakat,
pemahaman budaya masyarakat, dan nilai-nilai kearifan lokal. Hubungan
dan komunikasi antar suku yang berbeda, seperti Dayak dan Madura, juga
dipengaruhi oleh keragaman budaya. Beberapa suku hidup berdampingan
di wilayah yang sama, masing-masing memiliki budaya, cara hidup yang
berbeda, dan Huma Betang adalah rumah atau tempat tinggal yang
dijalankan oleh Betang, yang kepercayaannya dapat menimbulkan
perselisihan atau perselisihan.
Konflik dapat dilihat sebagai interaksi antara dua pihak atau lebih, baik
orang maupun kelompok, yang memiliki tujuan atau kepentingan yang
berlawanan. Konflik tidak selalu berkonotasi buruk karena konflik dapat
memiliki nilai yang besar jika dikelola dan diarahkan secara efektif untuk
menciptakan keadaan yang lebih baik. Perselisihan akan memiliki nilai
negatif dan bahkan memiliki efek yang parah jika terjadi sebaliknya, seperti
ketika disertai dengan kekerasan baik terhadap orang maupun benda.
F. Proses Konflik
G. Pasca Konflik
Polisi akhirnya menangkap dua pejabat setempat yang diduga sebagai
dalang konflik besar ini dan menggunakannya untuk tujuan politik, diduga
membayar enam orang untuk pertunjukan Thor untuk mulai bercakap-
cakap di Sampit. Kedua pejabat itu adalah Fadli Kacer, yang sehari-hari
bekerja di Bappeda, dan Lewis, seorang pegawai. Berdasarkan pemaparan
versi Intel Polda Kalteng, menyebutkan sekitar 1.192 rumah dibakar, 16
mobil, dan belasan sepeda motor.
Serangan pada 18 Februari dini hari, suku Dayak dan suku non-Madrid
lainnya telah bertemu sebanyak 11 kali. Untuk melindungi akhir dari
konflik, dibuat kesepakatan damai antara suku Dayak dan suku Madura.
Perjanjian itu ditulis dalam sebuah buku dan memuat beberapa syarat di
samping yang lain. Ia pun menyiapkan 15 juta rupiah untuk membayar
para provokator. Sebuah monumen perdamaian juga didirikan di Sampit
untuk mendukung perdamaian.
Sampit saat ini merupakan kota yang memiliki kerukunan dan
ketenangan antarwarganya. Karena kebaikan dan keramahan suku Dayak
di Pulau Kalimantan, tidak ada alasan untuk takut untuk berkunjung. Yang
paling penting adalah tidak menantang tabu dan menjunjung tinggi norma-
norma yang ada terlepas dari ini. Apapun yang terjadi saat itu, kita semua
sangat berharap agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
I. Teori Konflik
Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik Sampit
diakibatkan oleh benturan budaya antara suku Dayak dan suku Madura.
dimana kedua etnis atau suku ini tidak mampu berakulturasi secara efektif.
Hal ini disebabkan hampir semua orang Madura masih mempertahankan
kelompoknya masing-masing dan jarang bercampur dengan suku lain.
Kondisi ekonomi di Kalimantan Tengah terkait dengan perebutan sumber
daya, yang menyebabkan etnis Dayak terpinggirkan oleh para pendatang,
terutama oleh etnis Madura yang lebih sukses atau berhasil, mendukung
hal tersebut. Namun, ini juga diperkuat oleh krisis struktur politik yang
dianggap tidak adil, dan pertarungan ini terjadi karena alasan yang
disebutkan.
PENUTUP
Kesimpulan
Konflik yang terjadi antara etnis Dayak dan etnis Madura secara
garis besar dikatergorikan sebagai konflik etnis, namun apabila di anlisis
lebih lanjut konflik ini terjadi akibat kurang nya komunikasi yang baik
antar etnis Dayak dan etnis Madura dan ditambah lagi peran pemerintah
yang kurang begitu singnifikan dan gesit ketika awal terjadi adanya
konflik ini. Konflik ini di awal adanya kasus pembunuhan dari suatu klub
malam dan Etnis Dayak menuduh bahwa yang menjadi pelaklunya adalh
suku Madura. Akibat dari kurang gesit nya poemerintah dari pengana
tersebut sehingga mencuat berita lainnya dan terjadi konflik yang
mengakibatkan banyak korban.
Akibat dari konflik ini banyak sekali kerugian yang diapat
kerugian harta benda, keluarga dan mata pencaharian. Mereka merasakan
rasa sedih, marah dan mereka hanya pasrah saja terjadinya perang atau
konflik tersebut. Dari pihak pemerintah mulai melakukan usaha usaha
untuk meredakan konflik ini di mulai dari mempertemukan perwakilan
setiap tokoh, dan berlanjut dengan meningkatkan keamanan yang mengrim
276 personel TNI dari Yonif 631\ATG ke sampit. Mengevakuasi para
warga dan mengadakan rehabilatas mental untuk memperbaiki dari rasa
trauma tersebut. Dan mengakap para provokator yang menjadi biang
konflik semakin membesar. Cara tersebut mulai memunculkan hasil yang
baik dan dapat menyelesaikan konflik yang pada akhirnya hanya
menyisakana rasa sedih dan duka yang dirakasan etnis Dayak dan etnis
Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Hubungan Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Banjar di Kalimantan Lena Selvia, K.
(2020). Keberagaman Hubungan Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Banjar di
Kalimantan. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(2), 208–216.
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n2.p208-216.2020
Lindblad, J. T. (n.d.). Between Dayak and Dutch : the economic history of Southeast
Kalimantan, 1880-1942. (No Title). Retrieved June 4, 2023, from
https://cir.nii.ac.jp/crid/1130000798359764480
Maunati, Yekti. (2004). Identitas Dayak : komodifikasi dan politik kebudayaan. 406.
https://books.google.com/books/about/Identitas_Dayak.html?
hl=id&id=FcxjDwAAQBAJ
SAMBAS DAN SAMPIT Dini Suryani, P. DI. (n.d.). KONFLIK DAN RESOLUSI
KONFLIK.
Senjata, Kuman, dan Baja: Nasib Masyarakat Manusia oleh Jared Diamond | Selamat
membaca. (n.d.). Retrieved June 4, 2023, from
https://www.goodreads.com/book/show/1842.Guns_Germs_and_Steel
https://bappenda.kotimkab.go.id/portal/page/66/sejarah-kab-kotim
Alexandra, F. (2018). Analisis Akar Konflik Sampit Melalui Teori Deprivasi. Global
and Policy Journal of International Relations, 6(02).
Wahid, A. Y., & Ihsan, A. B. (2004). SBY dan resolusi konflik: langkah-langkah
penyelesaian konflik di Aceh, Atambua, Maluku, Papua, Poso, dan Sampit. (No
Title).
Nadzifah, S. (2022). Perang Sampit (Konflik Suku Dayak Dengan Suku Madura) Pada
Tahun 2001. JURNAL SOSIAL Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 23(2), 14-18