Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TEKNIK PEMUKIMAN

“PERMUKIMAN KUMUH DI
KELURAHAN UJUNA KOTA PALU”

Disusun Oleh:

Hairil Wa’iz Pantua


Npm 92211410141034

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO
2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Permukiman Kumuh Di Kelurahan Ujuna Kota Palu” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Teknik Pemukiman. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam menyelasaikan makalah ini.

Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, saya
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki
makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2


DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3
BAB I ................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 5
2.1 Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
3.1 Tujuan Masalah .................................................................................................. 5
BAB II............................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 6
A. Pengertian Permukiman, Kumuh, Permukiman Kumuh .................................... 6
B. Faktor Penyebab Terjadinya Permukiman Kumuh .......................................... 12
C. Akibat Permukiman Kumuh Bagi Masyarakat ................................................ 20
D. Peran Masyarakat Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh ............................. 20
E. Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh ............................ 26
BAB III ........................................................................................................................... 29
PENUTUP....................................................................................................................... 29
A. Kesimpulan....................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai mahluk yang berbudaya, kawasan perkotaan dengan kelengkapan
fasilitas dan kegiatan perekonomian kota dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat
pedesaan untuk bermigrasi ke kota. Adanya migrasi tersebut tentu mempunyai motivasi
tersendiri dan salah satu diantaranya adalah mencari lapangan pekerjaan. Bermukimnya
sejumlah penduduk dalam kota berkonsekuensi pada penyediaan perumahan dalam
kawasan perkotaan dan tidak semudah mendapatkannya seperti daerah asal migran
tersebut. Pembangunan perumahan illegal dikawasan pusat kota diakibatkan tingginya
harga lahan yang ada sehingga dalam beberapa lokasi pusat kota tumbuh lingkungan
perumahan secara illegal. Permasalahan perkotaan yang terkait dengan perumahan ilegal
yang terdapat dalam pusat kota dapat terjadi karena disebabkan kondisi yang tidak
seimbangnya pengaturan perumahan dan pertumbuhan penduduk kota di setiap saat
dapat berubah. Gejala tersebut umumnya terjadi pada daerah bantaran sungai Palu
dimana saat ini walaupun sudah diatasi oleh pemerintah dengan pengadaan rumah susun
ataupun penataan perumahan masih tetap bermunculan rumah-rumah liar disekitarnya.
Meningkatnya pemukim illegal maka akan ditunjang dengan faktor sosial budaya yang
dimiliki warga masyarakat yang ada di lingkungan pemukiman tersebut.

Perkembangan kota Palu saat ini sangat pesat dengan tumbuh kembangnya
lingkungan permukiman yang terencana maupun yang tidak terencana dimana yang
terencana kemungkinan bisa tertatur dan lingkungannya akan mudah dan nyaman
dinikmati akan tetapi hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memiliki
rumah tinggal tersebut. Bagi rumah tinggal yang tidak terencana dan cenderung menjadi
kumuh juga akan terlihat di kawasan pusat kota karena hal ini juga pasti terjadi bagi
masyarakat yang datang di kota Palu dengan dalih mencari lapangan pekerjaan dan tidak
mempunyai banyak dana untuk mencari lahan karena mahalnya lahan yang ada di
kawasan pusat kota maka mereka akan mengisi lahan perkotaan secara illegal.

Kota Palu atau sering di sebut kota teluk merupakan Ibu Kota Provinsi Sulawesi
Tengah. Kota Palu berada pada kawasan dataran lembah palu dan teluk. Kota Palu
dibagi dalam delapan kecamatan dan 43 kelurahan. Kota Palu memiliki populasi
penduduk Kota 367.342 jiwa menurut data BPS tahun 2016 serta memiliki luas wilayah
395,06 kilometer persegi. Seiring meningkatnya jumlah penduduk Kota Palu dari tahun
ke tahun jika ditinjau dari data BPS tiap tahunnya, kepadatan Kota Palu makin meningkat
sehingga perlu dilakukan perencanaan yang berkelanjutan terhadap kawasan
permukiman Kota Palu. Dengan melihat beberapa kondisi permukiman yang ada di Kota
Palu serta berdasarkan hasil tinjauan pemerintah kota, terdapat beberapa kawasan
permukiman kumuh di Kota Palu.

4
Kelurahan Ujuna merupakan salah satu kawasan permukiman kumuh. Ujuna berada
di Kecamatan Palu Barat, Memiliki Luas 0,5 Km2. Kawasan ini berada di sempadan
Sungai Palu. Jika terjadi hujan di hulu sungai dan hilir sungai, sungai akan meluap dan
meyebabkan banjir.

Menurut Khomarudin (1997) permukiman kumuh dapat didefinisikan suatu


lingkungan yg berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha) dengan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya
dibawah standard, sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan
kesehatan serta hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar
perundang-undangan yang berlaku.

2.1 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan permukiman, kumuh, permukiman kumuh?
2. Apa faktor penyebab terjadinya permukiman kumuh?
3. Apa akibat permukiman kumuh bagi masyarakat?
4. Bagaimana peran masyarakat dalam mengatasi permukiman kumuh?
5. Bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permukiman kumuh?

3.1 Tujuan Masalah


Tujuan yang ingin dicapai yaitu sebagai berikut :
1. Menjelaskan tentang pengertian permukiman, kumuh, permukiman kumuh
2. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya permukiman kumuh
3. Untuk mengetahui apa akibat permukiman kumuh bagi masyarakat
4. Menjelaskan apa saja peran masyarakat dalam mengatasi permukiman kumuh
5. Menjelaskan apa saja upaya-upaya pemerintah dalam mengatasi permukiman kumuh

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Permukiman, Kumuh, Permukiman Kumuh


1. Pengertian Permukiman
Pemukiman sering disebut perumahan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata
housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human
settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau
kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana ligkungannya. Perumahan
menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan
pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta
sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan
pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan
demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.

2. Pengertian Kumuh
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku
yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata
lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang
sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Menurut kamus ilmu-ilmu
sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah yang kotor yang bangunan-bangunannya
sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang
ditempati oleh penduduk dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan
perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat.
Slum’s merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak layak huni
atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman (Utomo Is Hadri, 2000).
Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot (kumuh)
baik perumahan maupun permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam kamus sosiologi
Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi rendah dengan
gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono, 1985).

3. Pengertian Permukiman Kumuh


Secara umum permukiman di perkotaan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
permukiman yang layak huni dan permukiman yang tidak layak huni. Mereka yang
tinggal di permukiman layak huni biasanya adalah mereka yang memiliki kondisi
ekonomi menengah ke atas, sedangkan mereka yang menempati permukiman yang
tidak layak huni adalah mereka yang memiliki ekonomi menengah ke bawah atau
dikenal dengan menempati wilayah permukiman kumuh. Umumnya di Negara
berkembang di wilayah perkotaannya banyak terdapat permukiman kumuh. Di wilayah
perkotaan, permukiman kumuh dapat berada dekat dengan wilayah pusat kota ataupun
ada juga yang berada jauh dari pusat kota (Sukmaniar dkk, 2020c). Adanya
6
permukiman kumuh diperkotaan harus disadari oleh semua pihak dan jika sudah
terbentuk permukiman kumuh tersebut maka akan sulit dihindari (Hariyanto, 2010).

Kepadatan bangunan dapat terjadi karena banyaknya terjadi pembangunan


permukiman dan ini akan terus terjadi secara berkelanjutan (Rindarjono, 2012). Fasilitas
umum yang tidak memadai, bangunan rumah yang padat dan tidak layak huni adalah ciri
dari permukiman kumuh (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No
2 tahun 2016). Wilayah tersebut merupakan wilayah yang rentan akan terjadinya bencana,
baik bencana alam maupun bencana sosial. Kerentanan yang terjadi seperti kerentanan
ekonomi (Sukmaniar dkk, 2020a). Bencana alam seperti terjadinya banjir dan bencana
sosial seperti kemiskinan dan kriminalitas. Terjadinya banjir dan kriminalitas adalah
kerawanan yang dapat terjadi di permukiman kumuh (Sukmaniar dkk, 2021b).

Permukiman kumuh merupakan permasalahan yang menimpa setiap wilayah salah


satunya terletak di Kecamatan Palu Barat Kelurahan Ujuna dengan kategori kumuh
sedang. Peningkatan kekumuhan berlangsung setelah terjadinya bencana alam tahun 2018
yang menimbulkan berbagai permasalahan. Permukiman kumuh menimbulkan dampak
negatif terhadap kualitas lingkungan hal tersebut masih berlangsung sampai saat ini
sehingga memunculkan berbagai alternatif penanganan. Kelurahan Ujuna adalah kawasan
yang terdampak kumuh ditandai dengan bangunan yang sangat padat, prasarana
lingkungan yang belum memadai.

7
Gambar 1 : Permukiman Kumuh di Kelurahan Ujuna

1. Karakteristik Permukiman Kumuh


Menurut Constantinos A. Doxiadis (1968: 21-35) (Pigawati, 2015) terdapat lima
elemen dasar pemukiman:
a. Nature (alam), adalah lahan yang dapat dimanfaatkan untuk membangun tempat
tinggal maupun fungsi lainnya
b. Man (manusia), baik pribadi maupun kelompok yang membangun atau bertempat
tinggal
c. Society (masyarakat), dimana didalamnya terdapat interaksi dan hubungan sosial
antar manusia sehingga membentuk ikatan tertentu sebagai masyarakat
d. Shells (rumah), yakni bangunan tempat tinggal manusia dengan fungsi masing-
masing
e. Networks (jaringan), dengan kata lain sarana prasarana yang mendukung fungsi
lingkungan baik alami maupun buatan manusia.

Karakteristik perumahan kumuh dan permukiman kumuh yaitu merupakan satuan


intitas perumahan dan prmukiman, yang mengalami degradasi kualitas, dan kondisi
banguan memiliki kepadatan tinggi, tidak teratur dan tidak memenuhi syarat serta kondisi
saran prasara tidak memenuhi syarat (batasan sarana dan prasarana di tetapkan dalam
lingkup keciptakaryaan) yaitu jalan lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air
bersih/minum, pengelolaan persampahan, pengeloloaan air limbah, dan proteksi
kebakaran. karakteristik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan
indikator dalam proses identfikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
8
Kriteria perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kriteria kekumuhan ditinjau dari :
a. Bangunan gedung
b. Jalan lingkungan;
c. Penyediaan air minum
d. Drainase lingkungan
e. Pengelolaan air limbah
f. Pengelolaan persampahan
g. Proteksi kebakaran

(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Pasal
4 Ayat 2) (Indonesia, 2016) Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat karena ini merupakan kriteria terbaru dan telah disahkan oleh pemerintah. Adapun
kriteria menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2016 ditinjau
dari:

1. Bangunan Gedung
Bangunan gedung merupakan bangunan rumah sebagai tempat
tinggal bagi penghuninya. Kriteria kekumuhan ditinjau dari bangunan gedung yaitu :

1.1 Ketidakteraturan Bangunan


Ketidakteraturan bangunan merupakan bangunan permukiman yang tidak memenuhi
ketentuan tata bangunan dalam Rencana Detil Tata Ruang dan Rencana Tata
Bangunan Lingkungan, paling sedikit pengaturan bentuk, besaran, perletakan, dan
tampilan bangunan pada suatu zona. Ketidakteraturan bangunan juga ditinjau dari
ketidak memenuhan ketentuan tata bangunan dan tata kualitas lingkungan dalam
RTBL mengenai pengaturan blok lingkungan, kapling, bangunan, ketinggian dan
elevasi lantai, konsep identitas lingkungan, dan wajah jalan.

1.2 Tingkat kepadatan bangunan


Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan
keteraturan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata
ruang seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maupun Koefisien Lantai Bangunan
(KLB) yang melebihi Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).

1.3 Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat


Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat yaitu kondisi bangunan gedung
permukiman yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis. Adapun persyaratan teknis
yang dimaksud yaitu mengenai pengendalian dampak lingkungan, keselamatan
bangunan gedung, kesehatan bangunan gedung, kenyamanan bangunan gedung.dan
pembangunan bangunan gedung diatas atau dibawah tanah, air, maupun sarana dan
prasarana umum.

9
2. Jalan Lingkungan
Kriteria kekumuhan ditinjau dari jalan lingkungan yaitu jaringan jalan lingkungan tidak
melayani seluruh lingkungan permukiman, dan kualitas permukaan jalan lingkungan yang
buruk yaitu terjadi kerusakan pada permukaan jalan sehingga mengganggu kenyamanan
aksesibilitas lingkungan permukiman.

3. Penyediaan Air Minum


Kriteria kekumuhan ditinjau dari penyediaan air minum yaitu ketidaktersediaan akses
aman air minum yaitu kondisi dimana penduduk di lingkungan permukiman tidak dapat
mengakses air minum yang memenuhi standar kesehatan, dan tidak terpenuhinya
kebutuhan air minum setiap individu dalam lingkungan permukiman yaitu 60 liter/hari.

4. Drainase Lingkungan
Kriteria kekumuhan ditinjau dari drainase lingkungan yaitu drainase lingkungan tidak
mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan dengan tinggi
lebih dari 35 cm selama lebih dari 2 jam dan terjadi ketika saat air pasang mulai naik.

5. Air Limbah
Kriteria pengelolaan ditinjau dari air limbah yaitu sistem dan sarana prasarana pengelolaan
air limbah yang tidak sesuai dengan standar teknis yang berlaku yaitu tidak memiliki
sistem yang memadahi seperti kakus/kloset yang terhubung dengan tangki septik baik
secara individual maupun komunal, tidak tersedianya sistem pengolahan air limbah
setempat atau terpusat.

6. Pengelolaan Persampahan
Kriteria kekumuhan ditinjau dari pengelolaan persampahan yaitu prasarana dan sarana
persampahan tidak sesuai dengan persyaratan teknis seperti tempat sampah dengan
pemilahan sampah pada skala domestik atau rumah tangga, tempat pengumpulan sampah
dengan sistem 3R (reduce, reuse, recycle), gerobak atau truk sampah pada skala
lingkungan, tempat pengolahan sampah terpadu pada skala lingkungan. Sistem
pengelolaan persampahan yang tidak memenuhi persyaratan teknis pada lingkungan
permukiman yaitu pewadahan dan pemilahan domestik, pengumpulan lingkungan,
pengangkutan lingkungan, dan pengolahan lingkungan. Tidak terpeliharanya sarana dan
prasarana pengelolaan persampahan sehingga terjadi pencemaran lingkungan sekitar oleh
sampah, baik sumber air bersih, tanah, maupun jaringan drainase.

7. Proteksi Kebakaran
Kriteria kekumuhan ditinjau dari proteksi kebakaran yaitu kondisi dimana
ketidaktersediaan pasokan air yang diperoleh dari sumber alam dan buatan, jalan
lingkungan yang memudahkan masuk keluarnya kendaraan pemadam kebakaran, sarana
komunikasi untuk pemberitahuan terjadi kebakaran, data tentang sistem proteksi
kebakaran lingkungan mudah diakses.

10
2. Ciri-Ciri Permukiman Kumuh
Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi
Suparlan adalah :
a. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
b. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan
penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

Gambar 2 : Kondisi hunian rumah yang mencerminkan penghuninya kurang mampu

c. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan
ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya
kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
d. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara
tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud
sebagai :
• Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat
digolongkan sebagai hunian liar.
• Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah
RW.
• Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau
bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
e. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya
mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu
juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya
pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda
tersebut.
f. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor
informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.

11
Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa permukiman kumuh memiliki ciri
“kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan
penghuninya yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan ruang tersebut berada pada
suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya sehingga berubah menjadi fungsi
permukiman, seperti muncul pada daerah sempadan untuk kebutuhan Ruang Terbuka
Hijau. Keadaan demikian menunjukan bahwa penghuninya yang kurang mampu untuk
membeli atau menyewa rumah di daerah perkotaan dengan harga lahan/bangunan yang
tinggi, sedangkan lahan kosong di daerah perkotaan sudah tidak ada. Permukiman tersebut
muncul dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi rumah yang kurang
baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam kondisi kesehatan penghuni. Dengan
begitu, permukiman yang berada pada kawasan SUTET, semapadan sungai, semapadan
rel kereta api, dan sempadan situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Permukiman Kumuh


1. Faktor-faktor fisik penyebab permukiman kumuh
a. Kondisi Kepadatan Bangunan
Kepadatan bangunan merupakan total seluruh bangunan di bagi luas wilayah
(unit/ha). Ciri kepadatan bangunan dapat diidentifikasi melalui jumlah bangunan
yang tinggi, sesak dan padat serta bangun terlihat dominan dikawasan hunian.
Parameter kepadatan secara kuantitatif mengacu pada jumlah populasi per hektar.
Pada permukiman kumuh tingkat kepadatan bangunan mencapai 250 atau lebih
perhektarnya dan memiliki ukuran yang kecil-kecil (Rindarjono, 2012:27).
Banyaknya jumlah penduduk membuat semakin meningkatnya ruang untuk
bermukim, sedangkan kondisi lahan sangat terbatas sehingga tidak ada jarak antar
bangunan, terjadi selanjutnya adalah pemadatan bangunan (densification) yang
mengakibatkan kawasan tersebut jadi kumuh dikarenakan rumah sangat padat dan
dibangun secara berdekatan.
Hasil tersebut di atas sesuai dengan karakteristik permukiman kumuh oleh
Peraturan Menteri PekerjaannUmum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas perumahan kumuh dan
permukiman kumuh yang menyatakan bahwa permukiman kumuh dapat ditinjau
dari tingginya jumlah kepadatan bangunan yang tidak sesuai dengan perencanaan
penataan ruang.

b. Kondisi Drainase
Drainase adalah prasarana yang memiliki fungsi untuk menyalurkan air yang
belebihan dari suatu tempat ke badan air penerima. Drainase perkotaan adalah
drainase di wilayah kota yang berfungsi mengelola atau mengendalikan air
permukaan, sehingga tidak mengganggu dan/atau merugikan masyarakat.
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT//2014). Karakteristik
permukiman kumuh dapat dilihat dari kondisi drainase lingkungannya (PERMEN
PU NO 2 Tahun 2016). Pengendalian air yang ada di permukaan agar masyarakat
tidak terganggu disebut drainase. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

12
(Silvia, 2017: 7) terkait kondisi drainase di permukiman kumuh yang berada di
kelurahan ujuna menyatakan bahwa kondisi drainase yang ada masih memiliki
kualitas yang kurang baik, masih terlihat sampah yang dan menyebabkan genangan
baik di dalam drainase maupun di badan jalan saat intensitas hujan tinggi.
Peningkatan kualitas permukiman kumuh yaitu kriteria kekumuhan dapat
ditinjau dari kondisi drainase lingkungan dimana drainase lingkungan tidak mampu
mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan, drainase tidak
terhubung dengan drainase kota, tidak dipelihara dengan baik serta terjadi
akumulasi limbah padat dan cair di dalamnya dan kualitas konstruksi bangunan
drainase buruk.

Gambar 3 : Kondisi Drainase di Kelurahan Ujuna

13
c. Jaringan Air Bersih
Kebutuhan manusia yang sangat penting salah satunya adalah air. Kebutuhan
rumah tangga harus terlayani oleh air bersih. Aman dikonsumsi dan memenuhi
standar kesehatan merupakan syarat dari air bersih. Jaringan air bersih perkotaan
di Indonesia pada umumnya dilayani oleh PAM. Berdasarkan standar (SNI 03-
1733-2004), setiap 250 orang dapat menggunakan satu kran umum. Kapaasitas
minimal 30 L/orang untuk setiap harinya. Peningkatan kualitas terhadap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh yaitu kriteria kekumuhan dapat dilihat
dari tidak tersedianya air bersih yakni ketidak tersediaan air minum yang aman bagi
masyarakat serta tidak terpenuhi nya kebutuhan air minum masyarakat, merupakan
kondisi dimana kebutuhan air masyarakat 60 liter per orang untuk setiap harinya
tidak mencapai batas minimum.
Berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat di Rt04 Rw 04 kelurahan Ujuna
Kecamatan Palu Barat bahwa penyediaan air bersih berasal dari sumur galidan
sumur bor, sumur yang memenuhi syarat fisik yaitu jernih, tidak berasa, tidak
berwarna dan tidak berbau sebanyak 56 responden (82,35%) dan 12responden
(17,64%) yang tidak memiliki ketersediaan air bersih Menurut asumsi peneliti hal
ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pentingnya sumber air minum yang memenuhi syarat fisik dan juga karena masih
rendahnya taraf perekonomian masyarakat setempat.

d. Jaringan Air Limbah


Limbah dapat digolongkan menjadi 2 yakni limbah cair dan limbah padat.
Limbah yang bersumber dari air sisa buangan rumah tangga maupun limpahan air
hujan yang tidak terserap tanah disebut limbah cair. Pengelolaan limbah cair yang
tepat harus dialirkan melalui sumur resapan dan harus diperhatikan agar tidak
mencemari sumber air bersih. Limbah padat merupakan limbah yang berasal dari
kakus dan harus dibuang ke dalam septic tank. Jaringan air limbah di daerah
permukiman kumuh kelurahan ujuna sebagian besar masih memiliki pengelolaan
air limbah yang buruk, hal tersebut karena tidak memiliki septic tank baik secara
individual maupun komunal untuk penampungan limbah, dalam kondisi yang
buruk.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rt 04 Rw 04 Kelurahan Ujuna
Kecamatan Palu Barat di dapatkan hasil responden yang tidak memiliki saluran
pembuangan air limbah sebanyak 49 (72,05%), yang memiliki saluran
pembuangan air limbah sebanyak 19 responden (27,94%). Dalam hal pembuangan
air limbah di kelurahan ujuna mayoritas keluarga responden mengalirkan
limbahnya ke sekitar rumah dan mengalirkan ke penampungan atau peresapan
.Alasan masyarakat tidak memiliki saluran pembuangan air limbah antara lain
karena mereka belum mengetahui cara-cara pembuatan saluran yang baik dan
benar, karena kondisi tanah yang cukup bagus karena mudah meresap, serta mereka
kebanyakan bermukim di pinggiran sungai maka untuk memudahkan mereka
biasanya langsung mengalirkan ke laut tanpa pengolahan terlebih dahulu. Lebih
praktis dan tidak membutuhkan biaya.

14
e. Persampahan
Sampah merupakan barang buangan dari sisa rumah tangga. Sampah dibedakan
menjadi dua yaitu sampah organik contohnya dedaunan, sisa makanan, buahan dan
sebagainya serta sampah non organic contohnya kaleng, kaca, plastik, keramik.
Prosedur pengelolaan sampah dikerjakan menurut tahapannya, mulai dari sampah
dibuang ke tong sampah selanjutnya di angkut dengan gerobak sampah ke TPS
(Tempat Pembuangan Sampah Sementara) dan setelah itu dipindahkan ke TPA
(Tempat Pembuangan Akhir).
Pengangkutan sampah oleh petugas kebersihan hanya dilakukan seminggu
sekali sehingga sampahnya menumpuk dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Warga akhirnya membuang sampah sembarangan yakni disekitar rumah mereka
atau membuangnya ke laut, fenomena ini terjadi di pemukiman kumuh.
Peningkatan kualitas tehadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang
digunakan sebagai ciri-ciri kumuh dapat dilihat melalui cara pengelolaan
sampahnya yakni sarana prasarana sampah yang tidak tepat dengan syarat yang
berlaku seperti tempat sampah skala rumahan dan skala lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat Rt 04 Rw 04 kelurahan Ujuna
Kecamatan Palu Barat, di peroleh masrarakat yang tidak memiliki tempat
penampungan sampa sebanyak 50 responden (73,52%), yang memiliki tempat
penampungan sampah yaitu sebanyak 18 responden (26,47%). Pembuangan
sampah di Rt 04 Rw 04 kelurahan ujuna dilakukan responden beserta keluarganya
dengan berbagai cara, ada yang membuang sampahnya ke sekitar rumahnya, ada
yang membuang sampahnya di lubang sampah dan mayoritas dari mereka
membuang sampahnya ke sungai. Data ini menunjukkan bahwa masalah
pembuangan sampah di kelurahan ujuna sebagian besar belum memenuhi syarat
kesehatan.Alasan utama responden membuang sampahnya ke sungai karena
selain lebih praktis juga karena tidak adanya lokasi untuk membuang sampahnya.
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran responden tentang
penanganan sampah rumah tangga masih sangat rendah. Selain itu kesadaran
perilaku hidup bersih dan sehat juga masih kurang. Sehingga dengan demikian
perlu penanganan yang serius dari pihak instansi khususnya Dinas Kesehatan,
Dinas Kebersihan dan Puskesmas serta dukungan dari pemerintah setempat agar
tercipta suatu lingkungan masyarakat yang bersih dan sehat melalui penanganan
sampah rumah tangga yang saniter. Melalui pendidikan kesehatan guna untuk
memberikan pengertian dan pemahaman akan dampak yang akan ditimbulkan oleh
sampah yang dibuang disembarang tempat.

15
Gambar 4 : Sampah yang di buang sembarangan di sungai

f. Jaringan Jalan
Prasarana jalan mepunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Jalan memiliki fungsi utama agar memudahkan mobilitas kendaraan dan manusia.
Fungsi penting jalan adalah jalur untuk evakuasi darurat. Sistem tingkatan jalan
dikelompokkan menjadi enam macam, yakni jalan lokal perimer, jalan lokal
sekunder, jalan kolektor primer, jalan kolektor sekunder, jalan arteri primer, jalan
arteri sekunder. Menurut SNI 03-6891-2004. Mengenai tata cara perencanaan
lingkungan daerah perkotaan, menjelaskan tentang penggunan jalan sesuai
klasifikasinya yaitu pertama Damija (daerah milik jalan), yang ke dua Damaja
(daerah manfaat jalan) dan yang ke tiga Dawasja (daerah pengawasan jalan).

2. Faktor sosial, ekonomi, dan budaya

A. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam menciptakan situasi


proses belajar mengajar dengan tujuan membuat peserta didik aktif dalam
pengembangan potensinya untuk mempunyai kepribadian, akhlak mulia, kekuatan
spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, keagamaan, ataupun keterampilan yang
dibutuhkan bagi peserta didik itu sendiri, masyarakat dan Negara. Pendidikaan
dapat membantu manusia mendapatkan ilmu dan keterampilan yang diperlukan
untuk hidup dan berkompetisi dengan yang lainnya.
Tingkat pendidikan yang rendah akan mengakibatkan rendahnya pengetahuan
serta pemahaman masyarakat akan pentingnya rumah yang sehat. Kebanyakan
yang ditemui pada permukiman kumuh memiliki jenjang pendidikan serta
keterampilan yang rendah. Penduduk yang memiliki pendidikan yang rendah maka

16
akan mempengaruhi pola berfikirnnya dan biasanya acuh terhadap kebersihan
lingkungan. Tinggi rendahnya pendidikan juga berdampak pada keadaan
perekonomian masyarakat yang menentukan jenis matapencarian penduduk.

B. Migrasi Masuk
Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain dengan tujuan menetap
ataupun tinggal sementara didarah yang baru disebut migrasi. Masyarakat migran
yang baru datang tanpa bekal dalam hal pengetahuan, keterampilan dan modal akan
menempati ruang-ruang terbuka yang illegal yang secara umum dalam kondisi
yang kumuh. Migrasi masuk yang menjadi penyebab permukiman kumuh merujuk
pada proses perpindahan penduduk ke suatu daerah yang tidak diikuti dengan
penyediaan infrastruktur perumahan yang memadai dan tidak diatur dengan baik
oleh pemerintah setempat. Dalam konteks ini, "migrasi masuk" merujuk pada
kedatangan penduduk dari luar ke suatu wilayah, baik dari pedesaan ke perkotaan
maupun antar kota atau negara. Penyebab migrasi masuk yang berujung pada
permukiman kumuh meliputi beberapa faktor :
1. Ketidakmampuan Infrastruktur : Ketika jumlah penduduk yang bermigrasi
masuk melebihi kapasitas infrastruktur perumahan yang ada, terjadi
penumpukan penduduk dalam ruang yang terbatas. Ini sering kali terjadi di
perkotaan di negara berkembang di mana pertumbuhan perkotaan terjadi
dengan cepat namun infrastruktur tidak dapat mengimbangi.
2. Ketidakstabilan Ekonomi : Migrasi masuk dapat dipicu oleh kondisi ekonomi
yang buruk di daerah asal, dengan harapan menemukan peluang kerja atau
kondisi hidup yang lebih baik di daerah tujuan. Namun, ketika penduduk yang
bermigrasi gagal menemukan pekerjaan atau tidak mampu membeli atau
menyewa perumahan yang layak, mereka cenderung menetap dalam kondisi
permukiman kumuh.
3. Kurangnya Perencanaan Perkotaan : Kurangnya perencanaan perkotaan yang
baik dapat menyebabkan pertumbuhan kota yang tidak teratur dan tidak
terkendali. Tanpa regulasi yang memadai, penduduk cenderung mendirikan
permukiman di lahan-lahan terbuka atau wilayah yang rentan terhadap
bencana alam, seperti tepi sungai atau lereng bukit.
4. Ketidakmampuan Pemerintah : Pemerintah yang tidak mampu atau tidak
efektif dalam menyediakan perumahan yang terjangkau dan layanan dasar
seperti air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan di wilayah yang menerima
migrasi masuk dapat menyebabkan terbentuknya permukiman kumuh.
5. Diskriminasi dan Ketidaksetaraan Sosial : Kadang-kadang, migrasi masuk
diiringi oleh diskriminasi atau ketidaksetaraan sosial, di mana penduduk yang
bermigrasi terpinggirkan dan sulit mengakses perumahan yang layak dan
layanan publik.

Dengan demikian, migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan penyediaan


infrastruktur perumahan yang memadai dan kurangnya perencanaan perkotaan
yang baik dapat menjadi penyebab utama terbentuknya permukiman kumuh.

17
C. Pendapatan
Pendapatan adalah banyaknya uang yang didapat pekerja baik dari sektor formal
maupun sektor informal dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama pada
suatu keluarga. Mayoritas penghuni permukiman kumuh pada umumnya memiliki
pendapatan kecil, hal ini dikarenakan masyarakat memiliki akses yang terbatas dari
lapangan pekerjaan. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat otomatis akan
mempengaruhi kemampuan membeli masyarakat tersebut. Faktor pendapatan
memiliki pengaruh terhadap terbentuknya permukiman kumuh juga dikarenakan
ketidakmampuan penghuni untuk memperbaiki kualitas bangunan dan lingkungan
permukimannya. Penduduk yang memiliki pendapatan rendah biasanya hanya bisa
membangun rumah dalam kondisi yang minim. Disisi lain bertambahnya jumlah
pendatang mengakibatkan pemerintah tidak mampu menyediakan permukiman
yang layak sehingga masyarakat yang tidak memiliki banyak modal akan memilih
tinggal di tempat yang tidak layak dan illegal seperti bantaran rel kereta api, pinggir
sungai, dan tempat yang tidak layak lainnya.
Perumahan di bantaran sungai Palu erat kaitannya dengan pendapatan
masyarakat. Rata-rata pemukim mempunyai keluarga yang cukup banyak sehingga
pendapatan sehingga dapat diprediksi bahwa sekitar 17 % saja dapat dikatakan
hidup layak meskipun mereka merupakan komunitas masyarakat berpenghasilan
rendah tetapi secara sosial ekonomi mereka cendrung homogeny, akan tetapi
sebagian msyarakat bertumpu pada ekonomi informal. Faktor pendapatan ini pula
menyebabkan berubahnya fungsi ruang rumah tinggal dan lingkungan perumahan
menjadi tempat usaha untuk mencari nafkah sebagai wujud dan aksesibilitas yang
mencerminkan adanya hubungan erat antara pemukim dan lingkungannya.
Pendapatan yang rendah, otomatis kemampuan pemilik rumah untuk melakukan
perbaikan rumah huniannya sangatlah kecil kemungkinannya. Memenuhi
kebutuhan pangan sangatlah menjadi prioritas utama bagi mereka.

D. Jenis Pekerjaan
Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan memperoleh
upah demi untuk memenuhi kebutuhan hidup disebut pekerjaan. Pekerjaan dibagi
menjadi 2 jenis yaitu pekerjaan sektor formal dan sektor informal. Pekerjaan pada
sektor formal yaitu pekerjaan yang bekerja di perusahaan sebagai pekerja yang
terlatih (skilled worker). Para pekerja pada sektor formal mendapat pelindungan
hukum yang kuat, memiliki kontrak yang resmi, dan berada dalam organisasi yang
berbadan hukum kuat. Contoh pekerjaan formal seperti guru, dokter, polisi, tentara,
dan lainnya. Pekerjaan pada sektor informal yaitu jenis pekerjaan yang
bertanggung jawab atas perseorangan dan tidak memiliki badan hukum serta hanya
berdasarkan kesepakatan. Contoh dari pekerjaan informal adalah petani, pembantu
rumah tangga, tukang becak, pemulung, pedagang, dan lainnya.
Sebagian besar masyarakat di kelurahan ujuna hanya berpendidikan SD sebesar
55%. Dengan pendidikan yang rendah masyarakat mengalami keterbatasan dalam
hal mencari pekerjaan. Sehingga sebagian besar masyarakat bekerja sebagai buruh
bangunan dan pemulung. Jika tidak ada pekerjaan, masyarakat banyak yang jadi

18
pengangguran. Pendapatan masyarakat yang sangat minim inilah yang juga
membuat masyarakat tidak mampu mendapatkan tanah dan membangun rumah
yang layak huni. Penghasilan yang ada tidak mencukupi kebutuhan keluarga
sehari-hari sehingga masyarakat membuka usaha kios atau warung makan kecil-
kecilan di sekitar rumah mereka. Tempat inilah yang menjadi area berinteraksi
sosial masyarakat bantaran sungai.

E. Extended Family System


Extended family system adalah suatu system yang dianut oleh penghuni
permukiman kumuh dalam kebiasaan mereka yang saling tolong menolong untuk
menampung family atau para pendatang yang baru datang ke kota. Jalinan
kekeluargaan yang amat kuat karena adanya jalinan antara penolong dan yang di
tolong. Kuatnya jalinan tolong menolong ini tidak terbatas pada berapa jumlah
orang yang di tampung, mereka selalu menyediakan tempat untuk mereka tinggal
(Rindarjono, 2012:194). Extended Family system ini merupakan proses pemadatan
permukiman secara internal yaitu dengan penambahan ruang tanpa menambah luas
bangunan tempat tinggal guna menampung anggota keluraga baru. Penambahan
ruang dilakukan dengan menambah sekat-sekat baru di dalam rumah.
Extended Family System atau Sistem Keluarga Diperluas dapat menjadi faktor
yang berkontribusi terhadap terbentuknya permukiman kumuh dalam beberapa
cara:

a. Kepadatan Penduduk: Dalam sistem keluarga diperluas, beberapa generasi


keluarga mungkin tinggal bersama-sama di rumah yang sama atau area yang
terbatas. Hal ini dapat menyebabkan penumpukan penduduk dalam suatu
wilayah, terutama jika infrastruktur perumahan tidak memadai. Akibatnya,
daerah tersebut dapat menjadi terlalu padat dan kurang teratur, menyebabkan
terbentuknya permukiman kumuh.
b. Keterbatasan Sumber Daya: Dalam keluarga diperluas, sumber daya seperti air
bersih, sanitasi, atau ruang hunian mungkin harus dibagi di antara banyak
anggota keluarga. Jika sumber daya ini terbatas atau tidak mencukupi, hal ini
dapat menyebabkan kondisi lingkungan yang tidak sehat dan tidak layak huni,
yang merupakan ciri khas dari permukiman kumuh.
c. Ketergantungan Ekonomi: Dalam sistem keluarga diperluas, terdapat
ketergantungan ekonomi yang kuat di antara anggota keluarga. Jika beberapa
anggota keluarga mengalami kesulitan ekonomi, hal ini dapat mempengaruhi
secara langsung anggota keluarga lainnya. Dalam situasi di mana banyak
anggota keluarga terlibat dalam pekerjaan yang tidak stabil atau
berpenghasilan rendah, mereka mungkin terpaksa tinggal dalam permukiman
kumuh karena keterbatasan finansial.
d. Ketergantungan Sosial: Dalam sistem keluarga diperluas, terdapat
ketergantungan sosial yang kuat di antara anggota keluarga. Jika salah satu
anggota keluarga menghadapi masalah seperti pengangguran, kesehatan yang
buruk, atau kebutuhan lainnya, anggota keluarga lainnya mungkin merasa

19
bertanggung jawab untuk membantu. Namun, jika dukungan ini tidak
didukung oleh infrastruktur sosial atau layanan publik yang memadai, hal ini
dapat mengarah pada terbentuknya permukiman kumuh di mana keluarga
mencoba untuk tetap bersama atau berdekatan untuk saling memberi
dukungan.

Dengan demikian, meskipun Sistem Keluarga Diperluas dapat memberikan


dukungan sosial yang kuat dan memperkuat ikatan keluarga, dalam konteks kondisi
sosial dan ekonomi yang tertentu, hal ini juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi
terhadap terbentuknya permukiman kumuh. Upaya-upaya untuk meningkatkan
infrastruktur perumahan, sumber daya ekonomi, dan layanan sosial di wilayah-wilayah
dengan sistem keluarga diperluas dapat membantu mengurangi risiko permukiman
kumuh.

C. Akibat Permukiman Kumuh Bagi Masyarakat


1. Kesehatan yang buruk: Permukiman kumuh seringkali tidak memiliki akses yang
memadai terhadap air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan. Kondisi ini dapat
menyebabkan penyebaran penyakit menular dan kondisi kesehatan yang buruk bagi
penduduknya. Mengatasi masalah kesehatan di permukiman kumuh memerlukan
pendekatan yang komprehensif, termasuk peningkatan akses terhadap layanan
kesehatan, perbaikan sanitasi dan infrastruktur lingkungan, pendidikan kesehatan,
serta program pembangunan ekonomi yang inklusif.
2. Kesenjangan sosial dan ekonomi: Permukiman kumuh sering kali menjadi tempat
tinggal bagi kelompok-kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.
Kondisi ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi antara kelompok
masyarakat yang kaya dan miskin.
3. Rendahnya kualitas hidup: Kondisi lingkungan yang buruk, termasuk kepadatan
penduduk yang tinggi, kekurangan fasilitas sanitasi, dan kurangnya akses terhadap
layanan publik, dapat menyebabkan rendahnya kualitas hidup bagi penduduk
permukiman kumuh.
4. Risiko bencana: Permukiman kumuh sering kali terletak di wilayah yang rentan
terhadap bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, atau gempa bumi. Kondisi ini
meningkatkan risiko kerugian jiwa dan kerusakan properti bagi penduduknya.
5. Permasalahan sosial: Permukiman kumuh sering menjadi tempat tinggal bagi
kelompok-kelompok marginal, yang rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan
penyalahgunaan.

D. Peran Masyarakat Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh


1. Peran Masyarakat Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh
Peran masyarakat dalam mengatasi permukiman kumuh sangatlah penting karena
mereka adalah pihak yang langsung terlibat dan memiliki pemahaman yang mendalam
tentang masalah yang mereka hadapi. Peran serta masyarakat terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh meliputi :

20
a) Pada tahap proses pendataan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh
Peran serta masyarakat pada proses pendataan lokasi perumahan kumuh dan
permukiman kumuh dilakukan dalam bentuk:
• Partisipasi pada proses pendataan lokasi perumahan kumuh dan permukiman
kumuh, dengan cara mengikuti survei lapangan dan memberikan data dan
informasi yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
• Pemberian pendapat terhadap hasil penetapan lokasi perumahan kumuh dan
permukiman kumuh dengan dasar pertimbangan berupa dokumen atau data
dan informasi terkait yang telah diberikan saat proses pendataan.
b) Pada tahap perencanaan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh
Peran serta masyarakat pada tahap perencanaan penanganan perumahan kumuh dan
permukiman kumuh dilakukan dalam bentuk :
• Berpartisipasi aktif dalam pembahasan yang dilaksanakan pada tahapan
perencanaan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
• Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang
dalam penyusunan rencana penanganan perumahan kumuh dan permukiman
kumuh.
• Memberikan dukungan pelaksanaan rencana penanganan perumahan kumuh
dan permukiman kumuh pada lokasi terkait sesuai dengan kewenangannya.
• Menyampaikan pendapat dan pertimbangan terhadap hasil penetapan rencana
penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh dengan dasar
pertimbangan berupa dokumen atau data dan informasi terkait yang telah
diajukan dalam proses penyusunan rencana.
c) Pada tahap peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh Peran
serta masyarakat pada tahap peningkatan kualitas perumahan kumuh dan
permukiman kumuh dilakukan dalam bentuk:
• Berpartisipasi aktif dalam sosialisasi dan rembuk warga pada masyarakat yang
terdampak.
• Berpartisipasi aktif dalam musyawarah dan diskusi penyepakatan rencana
pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali.
• Membantu pemerintah daerah dalam upaya penyediaan tanah yang berkaitan
dengan proses pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali terhadap
rumah, prasarana, sarana, dan utilitas umum.
• Membantu menjaga ketertiban dalam pelaksanaan pemugaran, peremajaan,
dan pemukiman kembali.
• Mencegah perbuatan yang dapat menghambat atau menghalangi proses
pelaksanaan pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali.
• Melaporkan perbuatan yang dapat menghambat atau menghalangi proses
pelaksanaan pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali kepada instansi
berwenang agar proses pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali
dapat berjalan lancar.

21
d) Pada tahap pengelolaan perumahan dan permukiman hasil peningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh Peran serta masyarakat pada
tahap pengelolaan perumahan dan permukiman hasil peningkatan kualitas terhadap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh dilakukan dengan cara :
• Berpartisipasi aktif pada berbagai program pemerintah daerah dalam
pemeliharaan dan perbaikan di setiap lokasi perumahan kumuh dan
permukiman kumuh yang telah tertangani.
• Berpartisipasi aktif secara swadaya dan dalam kelompok swadaya masyarakat
pada upaya pemeliharaan dan perbaikan baik berupa dana, tenaga maupun
material.
• Menjaga ketertiban dalam pemeliharaan dan perbaikan rumah serta prasarana,
sarana, dan utilitas umum di perumahan dan permukiman.
• Mencegah perbuatan yang dapat menghambat atau menghalangi proses
pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan.
• Melaporkan perbuatan yang dapat menghambat atau menghalangi proses
pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan kepada instansi yang berwenang agar
proses pemeliharaan dan perbaikan dapat berjalan lancar.

2. Partisipasi Masyarakat Dalam Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh


Muhaimin (1987) mengemukakan bahwa teori partisipasi masyarakat dapat dilihat
dalam dua matra, yaitu : matra sosial dan matra modernitas. Pada matra ini terlihat nuansa
partisipasi secara horizontal dan vertikal. Untuk matra sosial dikemukakan oleh muhaimin
(1987:132), sebagai berikut:
• Pola umum; Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan pemerintah dan non
pemerintah nyaris seimbang. Artinya ,bila terjadi kerjasama antara keduanya , yang
terwujud adalah kegiatan semi-pemerintah, maka partisipasi dalam kegiatan tersebut
cenderung meningkat.
• (2) Pola dualistik; Partisipasi masyarakat dalam kegiatan non-pemerintah lebih tinggi
daripada partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang disponsori
pemerintah. Dengan perkataan lain, kegiatan yang dimotori non-pemerintahan lebih
mampu menarik dukungan masyarakat daripada yang disponsori pemerintah. Jika hal
ini benar, maka bisa jadi disebabkan oleh kegiatan pemerintah tersebut tidak dikelola
dengan baik.

Ditinjau dari aspek pendekatannya, Ramos dan Ramon (1980) menyatakan bahwa
topdown approach kurang tepat digunakan. Sebaliknya ,bottom-up approach lebih sesuai
karena lebih mengutamakan manajemen partisipasi. Kesesuaian pendekatan ini didasarkan
atas kondisi aktual, dimana paket pelayanan perkotaan di indonesia kurang menjanjikan
kelompok sosial ekonomi tertentu (periveral), sehingga kebutuhan dan masalah
sebenarnya dalam masyarakat kadangkala berbeda dengan yang ada dalam program
pemerintah. Keadaan ini menyebabkan sebagian masyarakat berpaling pada organisasi
sosial kemasyarakatan yang dianggap berhasil meng-identifikasi kebutuhannya.

22
Lang (1994) dalam Trisutomo (1997:4) mengemukakan bahwa sejumlah model
kebutuhan hidup manusia telah diuji oleh berbagai perancang bangunan (misalnya
Alexander, 1969; Peterson, 1969; Mikellides, 1980). Hasil pengujian menunjukan bahwa
pembangunan lingkungan buatan, termasuk peningkatan kualitas permukiman, haruslah
mempertimbangkan perilaku manusianya. Lang selanjutnya menyebutkan minimal ada
lima model psikhologi yang menguraikan tentang kebutuhan dasar hidup manusia yaitu
yang dikemukakan oleh: Leighton (1959), Cantril (1965), Steele (1973), dan Maslow
(1978). Meskipun tiap model memiliki penekanan yang berbeda bahkan bila
diperbandingkan sesama model saling tumpah-tindih, namun secara keseluruhan model
tersebut berusaha mengemukakan kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya.

Mengacu kepada teori dari Maslow, maka dalam konteks peningkatan kualitas
permukiman di Kawasan Pusat Kota Palu (KPKP), dapat dikemukakan bahwa orang akan
termotivasi untuk berpartisipasi apabila kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi pada
permukiman tersebut. Peningkatan kualitas permukiman di KPKP diselaraskan dengan
kebijakan dan program pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah kota, sehingga
tidak terjadi tumpang tindih di lapangan. Sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan
program tersebut senantiasa diharapkan untuk mengefektifkan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan di Kota Palu agar memberikan hasil yang optimal, berdaya-guna dan
berhasil-guna.

Kebijakan pembangunan kota yang ditetapkan selama ini merupakan acuan dalam
penyusunan program peningkatan kualitas permukiman. Kebijakan tersebut termuat
dalam Program Pembangunan Kota Palu tahun 2000 – 2004. Sejalan dengan kebijakan
tersebut, peningkatan kualitas permukiman berdasarkan fungsi tata ruang kota dan
wilayah dianggap penting dilaksanakan secara optimal dengan tetap memadukan isi
kebijakan tata ruang dan wilayah Kota Palu dengan rencana Struktur tata ruang wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan perkataan lain, pelaksanaannya disesuaikan dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sehingga tujuan
pembangunan kota palu dapat dicapai dan dikembangkan sesuai potensi yang dimilikinya.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut tidak dapat mengabaikan ketentuan yang


menghendaki keterkaitan perencanaan pembangunan kota dengan kegiatan konservasi
dan preservasi suatu kawasan. Untuk mencapai tujuan tersebut, peningkatan kualitas
permukiman di KPKP diarahkan pada terwujudnya prinsip keterpaduan, keterkaitan dan
keseimbangan antar kawasan, serta keserasian antar sektor dalam memanfaatkan ruang
(area) bagi kegiatan pembangunan.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat


Ada beberapa faktor penting yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam
peningkatan kualitas permukiman di Kawasan Pusat Kota Palu (KPKP) sebagai berikut:
a) Tingkat Keamanan
Tingkat keamanan lingkungan permukiman merupakan salah satu faktor yang
dianggap berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal itu

23
berdasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat yang bermukim pada kawasan yang
bebas dari gangguan keamanan dan ancaman lingkungan cenderung bersedia terlibat
dalam upaya peningkatan kualitas permukimannya. Jadi, manakala masyarakat
tersebut diperhadapkan pada persoalan tanggung jawab dalam mensukseskan program
pembangunan, maka akan ditanggapi secara positif. Dengan demikian, tanggapan
masyarakat terhadap upaya peningkatan kualitas permukimannya diaktualisasikan
dalam berbagai bentuk dan jenis sesuai kecenderungan perbedaan gangguan
lingkungan yang dirasakan ataupun dialami.

b) Intensitas Berinteraksi Sosial


Dalam penelitian ini dikumpulkan data tentang intensitas berinteraksi sosial yang
dilakukan oleh warga dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan di
lingkungannya. Hal ini penting di bahas karena asumsinya menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang dikelola oleh organisasi
non-pemerintah biasanya lebih tinggi bobotnya dibandingkan jika di sponsori oleh
pemerintah. Dengan perkataan lain, kegiatan yang diwadahi oleh organisasi yang
tumbuh dari bawah (masyarakat) akan lebih mampu menarik partisipasi aktif
masyarakat.

Organisasi sosial kemasyarakatan seperti LKMD/LMD, Karang Taruna dan


Organisasi Pemuda, LSM, Arisan, dan lain-lain, berfungsi untuk mendorong
masyarakat agar senantiasa berpartisipasi sesuai unit fungsionalnya, sehingga
organisasi tersebut dapat berfungsi sebagai mitra pemerintah. Dalam menjalankan
fungsi dan peranannya, organisasi sosial kemasyarakatan itu mengikut sertakan
sebanyak mungkin anggotanya dalam pembangunan, baik sebagai pencetus gagasan
(ide), motivator, maupun sebagai penggerak dan pelaksana.

Data yang disajikan diatas menceminkan bahwa cukup banyak warga masyarakat
yang aktif di dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Atas dasar itu, dapat dipahami
bahwa organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di KPKP belum maksimal
pemanfaatannya sebagai wadah untuk berpartisipasi dalam peningkatan kualitas
permukiman.

c) Kebutuhan Prasarana dan Sarana Permukiman


Ketersediaan prasarana dan sarana permukiman yang dibutuhkan oleh masyarakat
berpengaruh terhadap keinginannya untuk berpartisipasi dalam peningkatan kualitas
permukimannya. Hal ini penting karena keinginan masyarakat berpartisipasi dalam
pembangunan sangat diperlukan, artinya partisipasi masyarakat tumbuh dengan
sendirinya jika prasarana dan sarana permukimannya sesuai dengan kebutuhan dan
keinginannya.

Peningkatan kualitas permukiman berdasar pada kebutuhan dan keinginan warga


masyarakat terlihat dari ada atau tidaknya prasarana dan sarana permukiman yang
dibutuhkan oleh masyarakat tersebut. Kegunaan prasarana dan sarana tersebut bukan

24
saja dirasakan oleh masyarakat setempat, melainkan pula bagi masyarakat pada
umumnya. Selain itu, kebutuhan ini mencerminkan pula jenis prasarana sarana yang
perlu diprioritaskan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan permukiman.

d) Penghargaan
Pemberian penghargaan kepada mereka yang berprestasi merupakan salah satu
faktor yang mendorong motivasi. Baik bagi yang memberi penghargaan tersebut
maupun bagi orang lain. Hal ini logis karena dengan penghargaan itu orang akan
mersasa memperoleh imbalan dari apa yang telah dilakukannya, dan bagi orang lain
akan terdorong untuk berbuat yang sama. Kaitannya dengan peningkatan kualitas
permukiman, pemberian penghargaan kepada orang atau mereka yang dinilai tingkat
partisipasinya sangat aktif, tentunya akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat
lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pada penelitian ini disajikan data tentang
perlunya pemberian penghargaan sebagaimana dimaksudkan diatas.

e) Kesempatan Menerapkan Kemampuan


Masyarakat dapat termotivasi untuk berprestasi dalam kegiatan pembangunan,
bilamana masyarakat tersebut memiliki peluang atau kesempatan untuk menerapkan
kemampuan atau keahliannya dalam kegiatan tersebut. Hal ini logis, karena dengan
demikian masyarakat itu akan dapat memperoleh manfaat dari kegiatan yang
diikutinya. Selain itu, masyarakat yang memanfaatkan peluang ini akan merasa dapat
mengembangkan potensi dirinya dengan adanya kegiatan ini. Dengan demikian,
masyarakat tersebut akan selalu berupaya untuk senantiasa dapat terlibat dalam
kegiatan-kegiatan sejenis.

f) Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dianggap berhubungan
dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal itu berdasarkan pada
pemikiran bahwa masyarakat yang berada pada tingkat “adaption” cenderung lebih
aktif dan skeptis dalam menanggapi permasalahan yang dihadapi. Jadi, manakala
masyarakat tersebut diperhadapkan pada persoalan tanggung jawab dalam
mensukseskan program pembangunan, maka akan ditanggapi secara bijaksana,
artinya masyarakat tersebut akan mudah untuk turut serta dalam program. Hal ini
logis, karena masyarakat semacam ini sudah mengetahui dan memahami arti, fungsi
dan tujuan dari program. Dengan demikian, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
program peningkatan kualitas permukiman diaktualisasikan dalam berbagai bentuk
dan jenis sesuai kecenderungan perbedaan tingkat pengetahuannya.

g) Kepemimpinan Tokoh Masyarakat dan Aparat Pemerintah


Kepemimpinan bersama aparat pemerintah merupakan faktor yang mempengaruhi
keinginan warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam peningkatan kualitas
permukiman. Secara praktis, diasumsikan bahwa pengambilan keputusan yang hanya
dilakukan oleh pemimpin akan berbeda konsekuensi logisnya dengan model
pengambilan keputusan yang melibatkan warga masyarakat. Tentu saja model

25
pengambilan keputusan yang kedua dapat diterima dan dilaksanakan dengan
semangat partisipatif oleh masyarakat karena didalamnya terdapat refleksi
keinginannya.

Terkait dengan asumsi di atas, peran pemimpin dengan gaya kepemimpinannya,


baik pemimpin formal maupun non-formal, sangat menentukan keberhasilan setiap
kegiatan. Khusus mengenai keberhasilan program peningkatan kualitas permukiman
ini terletak pada ada tidaknya pemimpin yang dapat bertindak sebagai motivator,
memiliki sikap terbuka dan bersedia menerima masukan dari masyarakat. Dengan
perkataan lain, pemimpin tersebut lebih proaktif mencari masukan dan pemecahan
masalah yang dihadapi. sehingga tampak arti penting keberadaannya di tengah
masyarakat.

Tipe kepemimpinan yang “delegatif” diasumsi mampu memperoleh tingkat


partisipasi yang tinggi dari masyarakat. Hal ini logis, karena dalam tipe kepemimpinan
semacam ini, setiap masalah didiskusikan, dan pemimpin mendelegasikan
pengambilan keputusan seluruhnya kepada masyarakat serta masyarakat diberi hak
melaksanakan keputusan serta menyelesaikannya sesuai dengan keputusan
masyarakat itu sendiri.

E. Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh


Pemerintah Kota Palu telah meluncurkan Program KOTAKU sebagai inisiatif untuk
secara komprehensif mengatasi masalah kumuh di wilayahnya. Program ini dijalankan
melalui Dinas PUPR dengan fokus utama pada kolaborasi antara pemerintah daerah dan
partisipasi aktif masyarakat. Dengans tujuan mendorong peningkatan kualitas hidup di
permukiman kumuh, program ini merangkum berbagai strategi, termasuk pembangunan
infrastruktur, pendampingan sosial, dan dukungan ekonomi. Salah satu lokasi kumuh yang
menjadi fokus Program KOTAKU adalah Kelurahan Ujuna di Palu. Pasca bencana,
kelurahan ini menghadapi sejumlah tantangan serius, seperti penutupan akses jalan,
kerusakan jalan, drainase yang tersumbat, dan risiko banjir yang mengancam masyarakat
setempat, apalagi kelurahan ujuna berada di sempadan sungai palu. Oleh karena itu,
Evaluasi Program KOTAKU di Kelurahan Ujuna menjadi aspek krusial untuk menilai
sejauh mana keberhasilan implementasinya dalam mengatasi permasalahan kumuh di
wilayah tersebut.

Kebijakan dan program harus selalu dievaluasi untuk memastikan kesinambungan dan
keberlanjutan. Evaluasi memainkan peran kunci dalam menentukan hasil, dampak,
kualitas, manfaat, dan efektivitas kebijakan atau program, terutama dalam konteks
perencanaan wilayah dan perkotaan. Evaluasi adalah proses penting dalam menyediakan
informasi berharga bagi pengambil keputusan untuk membuat keputusan yang tepat.
Pemerintah Kota Palu meluncurkan program Kotaku untuk mengatasi kekumuhan dengan
kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Program ini awalnya fokus pada
peningkatan kualitas permukiman kumuh, namun melalui pembaruan kebijakan, fokusnya
berubah menjadi "Peningkatan Kualitas Permukiman Berbasis Mitigasi Bencana."

26
Program ini mencakup perbaikan infrastruktur, pendampingan sosial, dan dukungan
ekonomi.

Masalah termasuk penutupan akses jalan, kerusakan ruas jalan, drainase tertimbun, dan
banjir. Kelurahan Ujuna diidentifikasi sebagai lokasi kumuh, dengan luas area kumuh
sebesar 0,054 km². Pentingnya evaluasi dalam Program Kotaku di Kota Palu adalah untuk
menilai keberhasilan program dalam mengurangi kawasan kumuh. Evaluasi yang efektif
dan efisien diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan dan sasaran penanganan
kawasan kumuh. Evaluasi ini mencakup aspek perbaikan infrastruktur, penguatan
kapasitas pemerintah daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian, evaluasi merupakan alat penting dalam memastikan kesuksesan dan dampak
positif Program Kotaku di Kota Palu, terutama dalam konteks penanganan kawasan kumuh
dan mitigasi bencana.

1. Strategi Program Kotaku Dalam Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Di Kelurahan


Ujuna
Pencegahan permukiman kumuh di Kelurahan Ujuna dilakukan melalui perumusan tujuan,
kebijakan, dan strategi. Kegiatan ini difokuskan pada beberapa RT yang diidentifikasi
sebagai permukiman kumuh. Tujuannya adalah meminimalkan masalah kumuh di
Kelurahan Ujuna, termasuk area yang rawan kumuh, sesuai dengan rencana pembangunan
daerah melalui pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat. Pola
penentuan ditetapkan berdasarkan keadaan kekumuhan dan legalitas tanah, dengan
penanganan pola Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh melalui Pemugaran
(perbaikan dan pembangunan ulang untuk mengembalikan fungsi hunian), Peremajaan
(pembongkaran menyeluruh dengan tempat tinggal sementara bagi yang terdampak), dan
Pemukiman Kembali (pembangunan di lokasi baru sesuai rencana tata ruang untuk kondisi
lebih baik, fokus pada keselamatan dan keamanan), rencana pengembangan perumahan
mencakup izin lokasi, penggunaan tanah, mendirikan bangunan, dan izin lainnya.
Fokusnya pada 7 aspek kelayakan, termasuk standar teknis dan tahap pemanfaatan.
Tujuannya adalah memastikan kesesuaian sistem pelayanan, kapasitas, dimensi, dan
kualitas material dengan fungsi yang ditetapkan. Kondisi keberfungsian bangunan,
infrastruktur, serta PSU harus dijaga agar tidak terpengaruh dan Pemberdayaan dilakukan
melalui dua pendekatan utama: pendampingan untuk meningkatkan kapasitas Kelompok
Swadaya Masyarakat melalui penyuluhan, pembimbingan, dan bantuan teknis, serta
pelayanan informasi melalui berbagai media terkait tata ruang, penataan bangunan,
perizinan, dan standar perumahan.

2. Evaluasi Pencapaian Pelaksanaan Program KOTAKU di Kelurahan Ujuna


a) Bangunan Gedung : Seluruh RW di Kelurahan Ujuna berkomitmen untuk
mematuhi kriteria bangunan gedung dalam program KOTAKU. Ini
mencerminkan kesadaran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang lebih
aman, nyaman, dan berkelanjutan. Dengan partisipasi aktif dari setiap warga,
Kelurahan Ujuna memiliki potensi besar untuk menjadi contoh pelaksanaan
program perumahan yang berkelanjutan. Keterlibatan semua RW dalam

27
mematuhi standar KOTAKU adalah langkah positif dalam meningkatkan
kualitas hidup bagi Masyarakat Kelurahan Ujuna.
b) Jalan Lingkungan : Program KOTAKU di Kelurahan Ujuna mengalami
penyesuaian terhadap indikator pencapaian jalan lingkungan. Menurut standar
Kementerian PUPR, lebar jalan 1,5 meter harus ada di seluruh RW. Namun,
terdapat perbedaan dalam saluran air dan tepi jalan antar RW. Beberapa RW
sudah sesuai standar, sementara beberapa RW lainnya belum. Misalnya, RW 4
memiliki saluran air hanya di RT 2, sedangkan RT 1, 3, 4, dan 5 tidak memiliki
saluran air. Selain itu, RW 5 belum memiliki permukaan jalan yang rata.
c) Drainase : Sebelum program KOTAKU, kondisi drainase di Kelurahan Ujuna
belum memenuhi standar Peraturan Menteri PUPR. Program ini mengalami
penyesuaian di beberapa RW, seperti RW 5 yang belum memenuhi standar.
Meskipun fasilitas drainase seperti gorong-gorong dan pintu air sudah ada di
beberapa RW, pemeliharaan hanya dilakukan di RW 2, bukan di RW 1, 3, 4, dan
5.
d) Air Bersih : Program KOTAKU di Kelurahan Ujuna telah berhasil menyediakan
air bersih yang aman di seluruh RW. Meskipun sudah memenuhi kebutuhan
minimal 60 liter per hari per orang, beberapa RT di RW 1 dan RW 5 masih perlu
peningkatan untuk memastikan penyediaan air bersih yang memadai bagi semua
warga.
e) Air Limbah : Pengolahan air limbah di Kelurahan Ujuna sesuai dengan indikator
ketercapaian. Sistem pengolahan limbah tersedia di semua RW, tetapi hanya di
RW 1, 2, dan 3 terdapat sistem pengolahan limbah setempat atau terpusat.
f) Pengelolaan Sampah : Program KOTAKU di Kelurahan Ujuna telah fokus pada
pengelolaan sampah, tetapi sebagian besar RW dan RT masih kurang memiliki
sarana dan prasarana yang memadai. Perlu dilakukan upaya lebih lanjut untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan sampah di wilayah ini.
g) Pengaman Kebakaran: Evaluasi program KOTAKU menunjukkan bahwa tiap
RW di Kelurahan Ujuna belum memiliki sarana dan prasarana proteksi kebakaran
di lingkungan permukiman, termasuk pasokan air, akses jalan, pos pemadam
kebakaran, APAR, mobil pompa, dan mobil tangga.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wilayah perkotaan merupakan wilayah yang menjadi tempat penduduk untuk
melakukan migrasi. Semakin banyak penduduk yang bermigrasi ke perkotaan
mengakibatkan wilayah tersebut semakin padat. Mereka yang tidak mampu untuk tinggal
di permukiman yang layak, akhirnya menempati wilayah permukiman kumuh. Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya permukiman kumuh dapat berasal dari kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Permukiman kumuh
menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hal tersebut masih
berlangsung sampai saat ini sehingga memunculkan berbagai alternatif penanganan.
Kelurahan Ujuna adalah kawasan yang terdampak kumuh ditandai dengan bangunan yang
sangat padat, prasarana lingkungan yang belum memadai serta untuk mengatasi
permasalahan di permukiman kumuh harus melibatkan semua pihak mulai dari
pemerintah hingga masyarakat agar masalah-masalah yang muncul dapat segera
dihilangkan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Tokii, Y. F. V., Awalia, R., & Winarta, A. (2023). Konsep Penataan Kawasan Permukiman
Kumuh Berbasis Eco- Settlements Di Kelurahan Ujuna Kota Palu. Journal Of Urban
And Regional Planning Of Tadulako, 2 (1), 93-102.

Saputra, W., Sukmaniar., & Hermansyah, M. H. (2022). Permukiman Kumuh Perkotaan:


Penyebab, Dampak Dan Solusi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 1(1), 12-17.

Simanuntak, D. N. (2022). Analisis Karakteristik Lingkungan Pemukiman Kumuh Di


Kelurahan Belawan Bahagia, Kecamatan Medan Belawan. Jurnal Kajian Ilmu dan
Pendidikan Geografi, 5(1), 10-21

Sari, A. R., & Ridlo, M. A. (2021). Studi Literature : Identifikasi Faktor Penyebab Terjadinya
Permukiman Kumuh Di Kawasan Perkotaan. Jurnal Kajian Ruang, 1(2), 160-176.

Fachruddin, P. A. (2010). The Characteristics Of Inhabitants Palu Rivers Flood Basin. Jurnal
Ruang, 2(1), 56-71.

Arisani, R. E., Ali, A., & Fattah, V. Y. (2017). Revitalisasi Kawasan Permukiman Pada
Aktifitas Perekonomian Masyarakat Di Bantaran Sungai Palu. Jurnal Katalogis, 5(10),
130-139.

Noegroho, N. (2012). Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Permukiman Kumuh Di


Kawasan Perkotaan : Study Kasus Kegiataan PLP2K-BK Di Kota Medan Dan Kota
Payakumbuh. 3(1), 23-33.

Kandusu, F., Miswan., Yani, A. (2019). Gambaran Kondisi Sanitasi Lingkungan Pada
Kawasan Kumuh Di Kelurahan Ujuna Kecamatan Palu Barat. Jurnal Kolaboratif Sains,
2(1), 1-9.

Salam, M. R. (2010). Partisipasi Masyarakat Dalam Peningkatan Kualitas Permukiman


Dikawasan Pusat Kota Palu. Jurnal Ruang, 2(2), 8-32.

30

Anda mungkin juga menyukai