Anda di halaman 1dari 97

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat
dan karunia yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini
yang berjudul “Permukiman Kumuh di Kawasan Buloa , Kelurahan Buloa,
Kecamatan Tallo, Kota Makassar” dengan baik sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.

Laporan ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dosen mata kuliah Sistem Perumahan Permukiman yang telah


memberikan arahan dan bimbingan selama proses penyusunan laporan
ini.
2. Serta rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
per satu yang telah memberikan berbagai kontribusi yang berguna dalam
penyusunan Laporan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak


kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak demi perbaikan dan peningkatan pengetahuan penulis dalam
hal penyusunan laporan ini. Serta besar harapan penulis agar laporan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.

Gowa, Januari 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

LAMPIRAN.............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

D. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................3

E. Sistematika Pembahasan...............................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5

A. Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman......................5

B. Ketentuan Keserasian Kawasan....................................................................8

C. Penyelenggaraan Keserasian.......................................................................20

D. Kepadatan Bangunan..................................................................................21

E. Koefisien Dasar Bangunan..........................................................................22

F. Ketinggian Bangunan..................................................................................23

G. Fungsi Dan Klasifikasi Bangunan Gedung.................................................24

H. Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.......................................................31

G. Fungsi Dan Peranan Garis Sempadan Dan Ruang Jalan.............................40

H. Jarak Garis Sempadan Jalan........................................................................41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................43

A. Lokasi Penelitian.........................................................................................43

B. Waktu Penelitian.........................................................................................43

C. Jenis Data yang digunakan..........................................................................43


D. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................43

E. Teknik Analisis...........................................................................................44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................45

A. Tinjauan Umum Kota Makassar.................................................................45

B. Tinjauan Umum Kecamatan Tamalate.......................................................50

C. Tinjauan Umum Kelurahan Mannuruki......................................................52

D. Intensitas Penggunaan Lahan......................................................................53

C. Analisis Penggunaan Lahan di Kelurahan Manuruki.................................54

D. Evaluasi Penggunaan Lahan.......................................................................55

BAB V PENUTUP.................................................................................................38

A. Kesimpulan.................................................................................................59

B. Saran............................................................................................................59

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................60
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan bagi kota-kota besar di Indonesia, persoalan pemukiman
kumuh merupakan masalah yang serius menyebabkan lahirnya berbagai
persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk
menangani dan mengawasinya.
Arti dari pemukiman itu sendiri adalah bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan,
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan kata “kumuh”
menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai kotor atau cemar.
Jadi, bukan padat, rapat becek, bau, reyot, atau tidak teraturnya, tetapi justru
kotornya yang menjadikan sesuatu dapat dikatakan kumuh.
Menurut UU No.4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan
pemukiman : pemukiman kumuh adalah pemukiman tidak layak huni antara
lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata
ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas,
rawan penyakit sosial dan penyakit lijngkungan, kualitas umum bangunan
rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan
keberlangsungan kehidupan dan penghuninya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pemukiman kumuh adalah tempat tinggal/hunian yang dibangun diatas tanah
negara atau tanah swasta tanpa persetujuan dari pihak yang berkait dan tidak
adanya atau minimnya sarana dan prasarana yang memadai yang kotor dan
tidak layak huni serta membahayakan.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan
kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait.
Pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut
tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan. Pengembangan kawasan
permukiman akibat tidak tertata dan semakin berkurangnya lahan

4
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

permukiman mendorong peningkatan permukiman kumuh salah satunya di


Kota Makassar.
Dari 14 keamatan di kota Makassar, warga yang tinggal dalam kawasan
kumuh paling tinggi adalah di Kecamatan Tamalate, kedua di Kecamatan
Rappocini, selanjutnya berturut-turut Kecamatan Tallo.
Permukiman kumuh di Kecamatan tallo khususnya di Kelurahan Buloa
yang merelokasi permukiman warga yang berada di sepanjang daerah aliran
Sungai Tallo ke daratan, dengan orientasi bangunan menghadap sungai.
Kondisi kawasan tersebut memang sangat kumuh. Banyak rumah warga yang
berdiri di atas sungai dengan status kepemilikan lahan yang masih “samar-
samar”. Kawasan pemukiman Buloa berada di tepian air yang dijadikan
sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar
atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan
yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman. Dari
uraian diatas maka kami bermaksud mengangkat judul peneitian
“Permukiman Kumuh di Kawasan Buloa , Kelurahan Buloa, Kecamatan
Tallo, Kota Makassar”.
B. Rumusan Masalah
1. Mengidentifikasi kawasan kumuh di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo,
Kota Makassar?
2. Bagaimana konsep penanganan kawasan kumuh di Kelurahan Buloa,
Kecamatan Tallo, Kota Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui mengidentifikasi kawasan kumuh di Kelurahan Buloa,
Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
2. Untuk mengetahui konsep penanganan kawasan kumuh di Kelurahan
Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.

5
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

D. Kegunaan Penelitian
1. Dari hasil kegiatan penelitian ini, maka kita dapat mengidentifikasi
kawasan kumuh di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
2. Kami berharap dari hasil penelitian ini, dapat meberikan konsep
penanganan kawasan kumuh di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota
Makassar.
E. Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun ruang lingkup penelitian ini secara garis besar meliputi 2
kajian pokok, yaitu:
1. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah dalam penulisan laporan ini dibahas
mengenai batasan wilayah permukiman kumuh yang berada di Kawasan
Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Pada tingkat pembahasan materi pada skala makro dan mikro
secara umum dibahas mengenai : Klasifikasi Kawasan Permukiman
Kumuh yang Membahas tentang klasifikasi kelas permukiman kumuh
apakah termasuk kelas berat, sedang, dan ringan. Mengetahui factor-faktor
penyebab timbulnya kawasan kumuh. kondisi sosial, ekonomi dan
lingkungan masyarakat yang bermukim dikawasan kumuh.

6
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, laporan ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan
dalam sistematika pembahasan berikut ini:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup penelitian, sistematika
pembahasan, alur pikir.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian permukiman kumuh, pengertian perumahan dan kawasan
kumuh, dasar hukum perumahan dan kawasan permukiman kumuh, faktor-
faktor penyebab meningkatnya jumlah kawasan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Berisi tentang jenis penelitian/studi kasus, lokasi penelitian, populasi
dan sampel, variabel Penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis,
definisi operasional.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang gambaran umum kota makassar dan gambaran umum
lokasi penelitian
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari team
penyusunan mengenai isi pokok dari data yang dikumpulkan, serta
menurut pengamatan penyusun di lapangan.

7
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

G. Alur Pikir

Permukiman Kumuh di Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo

Input Identifikasi faktor-fator yang mempengaruhi


permukiman kumuh kawasan Buloa

Karakteristk Karakteristk Sosial Karakteristk Ekonomi


Lingkungan wilayah wilayah Kawasan wilayah Kawasan
Kawasan Buloa Buloa Buloa

Analiss karakteristik hunian Draft Permen PU


Analisis pelayanan sarana dan prasarana 2013
Proses Indentifikasi karakteristik lingkungan Perda Standart
permukiman kawasan Buloa Kebijakan Tata
Analsis pengaruh lingkungan sekitar Ruang
Kebijakan Tata
Guna Laan

Permukiman kumug rendah


Permukiman kumuh sedang
Permukiman kumuh berat

Output

Konsep penanganan kawasan kumuh di


Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota
Makassar.

8
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemukiman Kumuh
1. Pengertian Pemukiman Kumuh
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya
pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya
adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman.
Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah
beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitik beratkan
pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Pemukiman
memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta
sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitik
beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu
manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat
hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih, 2007).
Tumbuhnya pemukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi
yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk
mencari nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian
terbanyak pada sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor
informal bersumber pada urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau
dari kota satu ke kota lainnya. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di
mana mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi desapun tidak dapat
lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah, sedangkan yang
migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu menampung, karena
lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya pemanfaatan
ruangyang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas
lingkungan bahkan kawasan pemukiman, terutama di daerah perkotaan
yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis,
kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di
bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004).

9
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

2. Pengertian Kumuh
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan
tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas
menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap
yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah
yang belum mapan. Gambaran seperti itu diungkapkan oleh Herbert J.
Gans dengan kalimat
“Obsolescence per se is not harmful and designation of an area as a
slum for thereason alone is merely a reflection of middle clas standards
and middle alas income”. “Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan
dapat pula ditempatkan sebagai akibat”. Ditempatkan di mana pun juga,
kata kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang bersifat negatif.
Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari:
1) Sebab Kumuh
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup
dilihat dari:
a) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur ala seperti air dan udara,
b) segi masyarakat/sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan
oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalu lintas, sampah.
c) Akibat Kumuh
Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala
antara lain:
- kondisi perumahan yang buruk,
- penduduk yang terlalu padat,
- fasilitas lingkungan yang kurang memadai,
- tingkah laku menyimpang,
- budaya kumuh,
- apatis dan isolasi (Kurniasih, 2007).

10
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

3. Kawasan Kumuh
Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana
air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang
terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Kurniasih, 2007). Ciri-ciri
pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1984) adalah:
a. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
b. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan
ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu
atau miskin.
c. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi
dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman
kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata
ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
d. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti
yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan
dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
1) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan
karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
2) Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari
sebuah Rukun Tetangga, atau sebuah Rukun Warga.
3) Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai
sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan
terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
e. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak
homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat
kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya.
Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya

11
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi


mereka yang berbeda-beda tersebut.
f. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka
yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata
pencaharian tambahan di sektor informil (Kurniasih, 2007).
Menurut Sinulingga (2005) ciri kampung/pemukiman kumuh
terdiri dari:
1) Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat
para ahli perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa
apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80
jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara
perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki
persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan
terhadap penyakit.
2) Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda
empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah
tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah
bersinggungan satu sama lain.
3) Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan
biasa terdapat jalanjalan tanpa drainase, sehingga apabila
hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
4) Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali.
Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke
saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang
membuangnya ke sungai yang terdekat.
5) Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim,
memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli
secara kalengan.
6) Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-
bangunan pada umumnya tidak permanen dan malahan
banyak yang darurat.

12
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

7) Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan


terhadap penularan penyakit.
8) Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status
tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik
tidak memiliki status apa-apa.
Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman, yang menyatakan bahwa: untuk mendukung terwujudnya lingkungan
pemukiman yang memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan
keandalan bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang tidak sesuai tata ruang,
kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana
lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan
kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai lingkungan pemukiman
kumuh.Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat
tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan
sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat
kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan
serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.
B. Ciri dan Karakteristik Permukiman Kumuh
Ciri dari pemukiman kumuh adalah letak dan bentuk perumahan yang
tidak teratur,sarana infra struktur kota sangat sedikit bahkan tidak ada sama
sekali, tingkat pendidikan yangrendah, kepadatan bangunan dan penduduknya,
pendapatan penduduk yang rendah, sertapada umumnya penduduknya bekerja
disektor informal. Bangunan yang padat dan materialbangunannya dalam
keadan darurat tetapi karakteristk pemukiman kumuh sebenarnyaterbagi-bagi
dan tertentu. Menurut Silas (Anas,1995), ada tiga bentuk dasar
pemukimankumuh, yaitu :
1) Opostumis , yaitu pemukiman kumuh yang tumbuh karena adanya
spekulasi demimendapatkan ganti rugi bila digusur. Kondisi ini
berlangsung secara perlahan-lahanmenempati lahan kosong yang ada pada
tempat terlarang di pusat kota.

13
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

2) Menetap dan permanen, yaiu pemukiman kumuh yang terjadi secara


organis akibatsemakin patnya penduduk pada suatu kawasan. Pemukiman
ini berasal dari lingkunganyang teratur tetapi lambat laun menjadi kumuh
akibat kurang kontrolnya penendalianpembangunan oleh penghuni
pemukiman tersebut.
3) Transito,  yaitu bentuk  pemukiman  yang  kumuh  yang  sifatnya
sementara  dan  sebagian besar penghuninya menetap untuk sementara
waktu. Bentuk dasar pemukiman kumuh menjadi bahan perbedaan untuk
menilai jenis pemukiman yang cepat berkembang dan meluas di wilayah
perkotaan.
Menurut Subakti (1984),karakteristik khusus lingkungan kawasan
pemukiman kumuh, yaitu :
1) Permukiman tersebut dihuni oleh penduduk yang padat karena migrasi
tinggi dari desa.
2) Perkampungan tersebut dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah dan
hidup dibawah garis kemiskinan.
3) Permukiman tersebut berkualitas rendah dan masuk dalam kategori kumuh
darurat yaitubangunan yang terbuat dari bahan-bahan tradisional seperti
bambu, kayu, alang-alang danbahan-bahan yang cepat hancur.
4) Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, perkampungan miskin ini
selalu ditandai dengan tersebarnya penyakit menular dan lingkungan fisik
yang kotor.
5) Kurangnya pelayanan kota (urban service) seperti: air minum, fasilitas
mandi, cuci, wc, listrik, sistem buangan kotoran dan sampah serta
perlindungan kebakaran.
6) Pertumbuhan tidak terencana sehingga penampilan fisiknya tidak teratur
dalam bangunan, halaman dan jalan-jalan, juga sempitnya ruang antar
bangunan.
7) Penghuni permukiman ini memiliki gaya hidup pedesaan, karena sebagian
besar penghuninya adalah migran dari desa yang masih mempertahankan

14
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

pola kehidupan tradisional, bersuasana seperti di desa dan bergotong


royong.
8) Secara sosial terisolasi dari permukiman masyarakat lainnya.
9) Perkampungan ini pada umumnya berlokasi di sekitar pusat kota dan
seringkali tidak jelas status hukum tanah yang ditempati.
C. Dimensi Permukiman Kumuh
Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek penting,
yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang
terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam suatu
ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. Oleh
karena itu permukiman kumuh harus senantiasa dipandang secara utuh dan intégral
dalam dimensi yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang
senantiasa harus mendapat perhatian serius (Suparno, 2006) adalah; Permasalahan
lahan di perkotaan, Permasalahan prasarana dan sarana dasar, Permasalahan sosial
ekonomi, Permasalahan sosial budaza, Permasalahan Tata Ruang Kota,
Permasalahan Aksesibilitas.
D. Tipologi Permukiman Kumuh
Berdasar pada kajian dan pengamatan di lapangan, secara umum lingkungan
permukiman kumuh dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) tipologi permukiman
kumuh (Ditjen Perumahan dan Permukiman; 2002) yaitu; Permukiman kumuh
nelayan, Permukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi, Permukiman
kumuh di pusat kota, Permukiman kumuh di pinggiran kota, Permukiman kumuh
di daerah pasang surut, Permukiman kumuh di daerah rawan bencana,
Permukiman kumuh di tepi sungai.
E. Teori Pendekatan Pembangunan Kumuh
Pendekatan yang saat ini diadopsi dalam pelaksanaan peningkatan kualitas
permukiman kumuh antara lain adalah locally based demand, pembangunan yang
berkelanjutan dengan pendekatan TRIDAYA, kesetaraan gender, dan penataan
ruang yang partisipatif. Sebagaimana telah diatur didalam Pasal 5 UU No. 4 tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman, bahwa setiap warga negara mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta di dalam pembangunan
perumahan dan permukiman dan pada Pasal 29 juga dinyatakan bahwa setiap

15
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan di dalam pembangunan perumahan dan permukiman,
pemberdayaan masyarakat dan para pelaku kunci lainnya di dalam
penyelenggaraannya merupakan hal pokok yang harus dijalankan guna
mewujudkan visi perumahan dan permukiman tersebut.
F. Metode Penetapan Kawasan Kumuh
Metode penetapan kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan metode
analisis komprehensif dimana penilaian dilakukan dengan sistem pembobotan
pada masing-masing kriteria. Dengan metode Analisis Komprehensif digunakan
metode kualitatif dan kuantitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyusun daftar panjang lokasi kawasan kumuh berdasarkan pendapat dari
beberapa pakar, praktisi, stakeholder, akademisi dan kelompok masyarakat
dengan mempertimbangkan luas, jumlah rumah dan jumlah penduduk pada
kawasan kumuh serta peruntukan kawasan berdasarkan RTRW.
2. Melakukan penilaian tingkat kekumuhan berdasarkan parameter dan kriteria
yang telah ditetapkan, yang tujuannnya untuk mengetahui derajat kekumuhan
3. Menginformasikan kondisi dan karakteristik kawasan kumuh terpilih
(berdasarkan hasil penilaian tingkat kekumuhan) untuk mengetahui kondisi
prasarana dan sarana permukiman agar penaganan yang akan dilakukan tepat
sasaran sesuai dengan skala prioritas. Dalam analisis ini, status kawasan
kumuh dibagi dalam 3 kelas, yaitu : K1 = Kumuh Ringan, K2 = Kumuh
Sedang, K3 = Sangat Kumuh/Kumuh Berat Untuk jelasnya mengenai
penetapan kriteria kawasan kumuh dapat dilihat pada tabel berikut:

16
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

Tabel 2.1 Pembobotan Terhadap Kriteria dan Kelas Kawasan Kumuh

17
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

Perhitungan tingkat kekumuhan didekati dengan menggunakan rumus sebagai


berikut:

dimana: I = Tingkat Kekumuhan , B = Nilai bobot kriteria, N = Komponen


penilaian Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai
berikut :
1) Kumuh ringan (K1) = 1 – 2
2) Kumuh sedang (K2) = 2-3
3) Kumuh Berat (K3) = 2-4
G. Kriteria dan Indikator Permukiman Kumuh

18
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

Adapun kriteria permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut:


1) Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha).
2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah.
3) Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar.
4) Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan
kesehatan.
Hunian dibangun di atas tanah milik negara atau orang lain dan di luar
perundang-undangan yang berlaku. Dan berikut adalah Standar Nasional
Indonesia tentang Permukiman yang dipaparkan dalam Tabel 2.2:

Tabel 2.2 Kriteria Permukiman Kumuh


Klasifikasi kawasan kumuh
No. Indikator/Parameter Kumuh Kumuh
Kumuh Berat
Sedang Ringan

1 Kepadatan Penduduk >100 rmh/Ha 80-100 rmh/Ha 60-80 rmh/Ha

2 Jumlah Bangunan Temporer >60% 40-60% 30-40%

3 Koefisien Dasar Bangunan >70% 50-70% 30-50%

4 Jarak Hadap Antar Bangunan <1,5 meter 1,5 - 3 meter 3 -5 meter

400-500 300-400
5 Kepadatan Penduduk >500 jiwa/Ha
jiwa/Ha jiwa/Ha

Tingkat Pertumbuhan 1,7-2,1% / 1,2-1,7% /


6 >2,1% / Tahun
Penduduk Tahun Tahun

Kondisi Jalan
7 >70 Buruk 50-70% Buruk 30-50% Buruk
Lingkungan/Jalan Setapak

Area Kawasan
8 >50% 25-50% 10-25%
Genangan/Banjir

Tingkat Pelayanan Air


9 Bersih Perpipaan dan Air <30% 30-50% 60-80%
Limbah

Tingkat Pelayanan
10 < 50% 50-70% 70-80%
Persampahan
Sumber : Standar Nasional Indonesia

19
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

a. Identifikasi Permasalahan Kekumuhan


Identifikasi permasalahan kekumuhan merupakan tahap identifikasi
untuk menentuan permasalahan kekumuhan pada objek kajian yang
difokuskan pada aspek kualitas fisik bangunan dan infrastruktur
keciptakaryaan pada suatu lokasi.
Identifikasi permasalahan kekumuhan dilakukan berdasarkan
pertimbangan pengertian perumahan kumuh dan permukiman kumuh,
persyaratan teknis sesuai ketentuan yang berlaku, serta standar pelayanan
minimal yang dipersyaratkan secara nasional. Atas dasar itu, maka
identifikasi permasalahan kekumuhan dilakukan pada beberapa aspek
berikut ini :

a) Kondisi Bangunan, dengan beberapa kriteria sebagai berikut :


1) Sebagian besar bangunan pada lokasi tidak memiliki keteraturan,
dalam hal dimensi, orientasi dan bentuk tapak maupun bangunan
2) Lokasi memiliki kepadatan bangunan yang tinggi, yaitu tingginya
jumlah bangunan per hektar sesuai klasifikasi kota yang
bersangkutan
3) Sebagian besar bangunan pada lokasi tidak memenuhi persyaratan
teknis, khususnya persyaratan teknis untuk hunian sederhana
(sistem struktur, pengamanan petir, penghawaan, pencahayaan,
sanitasi dan bahan bangunan)
b) Kondisi Jalan Lingkungan, dengan beberapa kriteria sebagai berikut :
1) Cakupan pelayanan jalan lingkungan tidak memadai terhadap luas
area, artinya sebagian besar lokasi belum terlayani jalan
lingkungan, serta
2) Sebagian besar kualitas jalan lingkungan yang ada kondisnya
buruk artinya kerataan permukaan jalan yang tidak memadai bagi

20
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

kendaraan untuk dapat dilalui oleh kendaraan dengan cepat, aman,


dan nyaman
c) Kondisi Drainase Lingkungan, dengan beberapa kriteria sebagai
berikut :
1) Sebagian besar jaringan drainase pada lokasi yang ada tidak
mampu mengatasi genangan minimal, yaitu genangan dengan
tinggi lebih dari 30 cm selama 2 jam dan tidak lebih dari 2 kali
setahun
2) Cakupan pelayanan jaringan drainase yang ada tidak memadai
terhadap luas area, artinya sebagian besar lokasi belum terlayani
jaringan drainase

d) Kondisi Penyediaan Air Minum, dengan beberapa kriteria sebagai


berikut:
1) Sebagian besar luas area memiliki sistem penyediaan air minum
yang tidak memenuhi persyaratan teknis, baik jaringan perpipaan
yang terdiri dari unit air baku, unit produksi, unit distribusi, unit
pelayanan dan unit pengelolaan, maupun jaringan bukan perpipaan
yang terdiri dari sumur dangkal, sumur pompa tangan, bak
penampungan air hujan, terminal air, mobil tangki air, instalasi air
kemasan, atau bengunan perlindungan mata air, serta
2) Cakupan pelayanan penyediaan air minum yang ada tidak memadai
terhadap populasi, artinya sebagian besar populasi belum terpenuhi
akses air minum yang aman sebesar 60 liter/orang/hari
e) Kondisi Pengelolaan Air Limbah dengan beberapa kriteria sebagai
berikut:
1) Sebagian besar luas area memiliki sistem pengelolaan air limbah
yang tidak memenuhi persyaratan teknis, baik sistem pengelolaan

21
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

air limbah setempat secara individual atau komunal, maupun


sistem pengolahan air limbah terpusat, serta
2) Cakupan pelayanan pengolahan air limbah yang ada tidak memadai
terhadap populasi, artinya sistem pengolahan air limbah yang ada
belum mampu menampung timbulan limbah sebesar 5-40
liter/orang/hari
f) Kondisi Pengelolaan Persampahan, dengan beberapa kriteria sebagai
berikut :
1) Sebagian besar luas area memiliki sistem pengelolaan persampahan
yang tidak memenuhi persyaratan teknis, baik dalam hal
pewadahan, pengumpulan, pengangukatan dan pengolahan, serta
2) Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang ada tidak
memadai terhadap populasi, artinya sistem pengelolaan
persampahan yang ada belum mampu menampun timbulan sampah
sebesar 0,3 kg/orang/hari
g) Kondisi Pengamanan Kebakaran, dengan beberapa kriteria sebagai
berikut:
1) Sebagian besar luas area memiliki pasokan air untuk pemadam
yang tidak memadai, baik dari sumber alam (kolam air, danau,
sungai, sumur dalam) maupun buatan (tangki air, kolam renang,
reservoir air, mobil tangki air dan hidran) serta
2) Sebagian besar luas area memiliki jalan lingkungan yang tidak
memadai untuk mobil pemadam kebakaran, yaitu jalan lingkungan
dengan lebar jalan minimum 3,5 meter dan bebas dari hambatan
apapun

b. Identifikasi Pertimbangan Lain (Non Fisik)


Identifikasi pertimbangan lain (non fisik) merupakan tahap
identifikasi untuk menentukn skala prioritas penanganan perumahan
kumuh dan permukiman kumuh yang teridentifikasi dengan sudut pandang
lain yang mempengaruhi efektifitas/keberhasilan program penanganan.

22
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

Identifikasi pertimbangan lain dilakukan oleh Pemerintah Daerah


berdasarkan pertimbangan non fisik yang relevan. Identifikasi
pertimbangan lain dapat dilakukan dengan menggunakan :
a) Nilai Strategis Lokasi, dengan kriteria sebagai berikut :
Lokasi terletak pada fungsi strategis kawasan/wilayah, artinya
keberadaan lokasi mendukung fungsi tertentu dalam konstelasi
kawasan/wilayah, seperti fungsi pemerintahan, fungsi industry, fungsi
perdagangan dan jasa, dan fungsi lainnya
b) Kepadatan Penduduk, dengan kriterai sebagai beirkut :
Lokasi memiliki kepadatan penduudk yang tinggi, arinya jumlah
penduduk per hektar pada lokasi relative tinggi sesuai klasifikasi kota
yang bersangkutan
c) Potensi sosial ekonomi, dengan kriteria sebagai berikut :
Lokasi memiliki potensi sosial ekonomi tinggi yang potensial
dikembangkan, artinya pada lokasi terdapat potensi kegiatan ekonomi
seperti budidaya, industry, perdagangan maupun jasa, maupun potensi
kegiatan sosial budaya seperti kesenian, kerajinan dan lain sebagainya
d) Dukungan Masyarakat, dengan kriteria sebagai berikut :
Dukungan masyarakat terhadap proses penanganan kekumuhan
tinggi, artinya masyarakat mendukung program penanganan bahkan
berperan aktif sehingga tercipta situasi yang kondusif dalam
pelaksanaan fisik
e) Komitemn Pemerintah Daerah, dengan kriteria sebagai berikut :
Pemerintah daerah memiliki komitemn tinggi dalam penangan
lokasi, dimana komitmen pemerintah daerah terhadap lokasi dalam ha
lini dinilai dari alokasi anggaran, program regulasi, kebijakan maupun
kelembagaan
c. Identifikasi Legalitas Lahan
Identifikasi legalitas lahan merupakan tahap identifikasi untuk
menentukan permasalahan legalitas lahan pada objek kajian setiap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang difokuskan pada status

23
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar

lahan, kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang dan persyaratan


administrasi bangunan. Identifikasi legalitas lahan dilakukan dengan
menggunakan :
a. Aspek Status Lahan, dengan beberapa kriteria sebagai berikut :
1) Keseluruhan lokasi memuliki kejelasan status tanah, baik dalam
hal kepemilikan maupun izin pemanfaatan tanah dari pemilik tanah
(status tanah legal)
2) Sebagian atau keseluruhan lokasi tidak memiliki kejelasan status
tanah, baik merupakan milik orang lain, milik negara dan milik
masyarakat adat tanpa izin pemanfaatan tanah dari pemilik tanah
maupun tanah sengketa (status tanah illegal atau squatters)

b. Aspek Keseuaian Rencana Tata Ruang, dengan beberapa kriteria


sebagai berikut :
1) Keseluruhan lokasi berada pada zona peumahan dan permukiman
sesuai RTR (sesuai)
2) Sebagian atau keseluruhan lokasi berada tidak pada zona
perumahan dan permukiman sesuai RTR (tidak sesuai)
c. Aspek Pelayanan Administrasi Bangunan, dengan beberapa kriteria
sebagai berikut :
1) Keseluruhan bangunan pada lokasi telah memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB)
2) Sebagian atau keseluruhan bangunan pada lokasi tidak memiliki Iin
Mendirikan Bangunan (IMB)

d. Tabel Kriteria dan Indikator


Berdasarkan penjabaran dalam penentuan kriteria dan indicator pada
sub bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan formula kriteria dan
indicator sebagai berikut :

24
Tabel 2.3 Kriteria dan Indikator Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

A. Identifikasi Permasalahan Kekumuhan

1. Kondisi 1) 76% - 100% Bangunan Tidak Memiliki Keteraturan 5


Bangunan a. Keteraturan
2) 51% - 75% Bangunan Tidak Memiliki Keteraturan 3 Peta,Wawancara, Observasi
Bangunan
3) 25% - 50% Bangunan Tidak Memiliki Keteraturan 1

b. Kepadatan Untuk Kota Metro & Kota Besar Peta,Wawancara, Observasi


Bangunan
1) Kepadatan Bangunan sebesar >300 Unit/Ha 5

2) Kepadatan Bangunan sebesar 299-251 Unit/Ha 3

3) Kepadatan Bangunan sebesar <250 Unit/Ha 1

Untuk Kota Sedang & Kota Kecil

1) Kepadatan Bangunan sebesar >250 Unit/Ha 5

2) Kepadatan Bangunan sebesar 249-201 Unit/Ha 3

3) Kepadatan Bangunan sebesar <200 Unit/Ha 1


Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

1) 76% - 100% Bangunan Tidak Memenuhi Persyaratan 5


Teknis

2) 51% - 75% Bangunan Tidak Memenuhi Persyaratan


c. Persyaratan 3 Wawancara, Data Sekunder,
Teknis
Teknis Observasi
3) 25% - 50% Bangunan Tidak Memenuhi Persyaratan
Teknis 1

2. Kondisi 1) Cakupan Layanan Jalan Lingkungan Tidak Memadai di 5


Jalan 76% - 100% Luas Area
Lingkungan
a. Cakupan 2) Cakupan Layanan Jalan Lingkungan Tidak Memadai di
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pelayanan 51% - 75% Luas Area

3) Cakupan Layanan Jalan Lingkungan Tidak Memadai di


25% - 50% Luas Area 1

b. Kualitas 1) Kualitas Jalan Buruk pada 76% - 100% Luas Area 5 Wawancara, Observasi
Jalan
2) Kualitas Jalan Buruk pada 51% - 75% Luas Area 3
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

3) Kualitas Jalan Buruk pada 25% - 50% Luas Area 1

1) Drainase Lingkungan Tidak Mampu Mengatasi 5


Genangan Minimal di 76% - 100% Luas Area

a. Persyaratan 2) Drainase Lingkungan Tidak Mampu Mengatasi


3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Teknis Genangan Minimal di 51% - 75% Luas Area

3) Drainase Lingkungan Tidak Mampu Mengatasi


3. Kondisi
Genangan Minimal di 25% - 50% Luas Area 1
Jaringan
1) 76% - 100% Luas Area Tidak Terlayani Drainase
Drainase
Lingkungan
5
b. Cakupan 2) 51% - 75% Luas Area Tidak Terlayani Drainase
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pelayanan Lingkungan
1
3) 25% - 50% Luas Area Tidak Terlayani Drainase
Lingkungan

4. Kondisi a. Persyaratan 1) SPAM Tidak Memenuhi Persyaratan Teknis di 76% - 5 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Penyediaan Teknis 100% Luas Area
Air Minum
2) SPAM Tidak Memenuhi Persyaratan Teknis di 51% -
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

75% Luas Area 3

3) SPAM Tidak Memenuhi Persyaratan Teknis di 25% -


50% Luas Area 1

1) Cakupan pelayanan SPAM tidak memadai terhadap


76% - 100% populasi
5
b. Cakupan 2) Cakupan pelayanan SPAM tidak memadai terhadap
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pelayanan 51% - 75% populasi
1
3) Cakupan pelayanan SPAM tidak memadai terhadap
25% - 50% populasi

5. Kondisi a. Persyaratan 1) Pengelolaan Air Limbah Tidak Memenuhi Persyaratan 5 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pengelolaan Teknis Teknis di 76% - 100% Luas Area
Air Limbah
2) Pengelolaan Air Limbah Tidak Memenuhi Persyaratan
Teknis di 51% - 75% Luas Area 3

3) Pengelolaan Air Limbah Tidak Memenuhi Persyaratan


Teknis di 25% - 50% Luas Area
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

1) Cakupan pengolahan air limbah tidak memadai terhadap


76% - 100% populasi
5
b. Cakupan 2) Cakupan pengolahan air limbah tidak memadai terhadap
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pelayanan 51% - 75% populasi
1
3) Cakupan pengolahan air limbah tidak memadai terhadap
25% - 50% populasi

6. Kondisi 1) Pengelolaan Persampahan Tidak Memenuhi Persyaratan


Pengelolaan Teknis di 76% - 100% Luas Area 5
Air Limbah
a. Persyaratan 2) Pengelolaan Persampahan Tidak Memenuhi Persyaratan
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Teknis Teknis di 51% - 75% Luas Area

3) Pengelolaan Persampahan Tidak Memenuhi Persyaratan 1


Teknis di 25% - 50% Luas Area

b. Cakupan 1) Cakupan Pengelolaan Persampahan Tidak Memadai 5 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pelayanan terhadap 76% - 100% Populasi
3
2) Cakupan Pengelolaan Persampahan Tidak Memadai
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

terhadap 51% - 75% Populasi

3) Cakupan Pengelolaan Persampahan Tidak Memadai 1


terhadap 25% - 50% Populasi

1) Pasokan Air Damkar Tidak Memadai di 76% - 100%


Luas Area
5
a. Persyaratan 2) Pasokan Air Damkar Tidak Memadai di 51% - 75%
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Teknis Luas Area
1
7. Kondisi 3) Pasokan Air Damkar Tidak Memadai di 25% - 50%
Pengamana Luas Area
n 1) Jalan Lingkungan untuk Mobil Damkar Tidak Memadai
Kebakaran di 76% - 100% Luas Area
5
b. Cakupan 2) Jalan Lingkungan untuk Mobil Damkar Tidak Memadai
3 Peta RIS, Wawancara, Observasi
Pelayanan di 51% - 75% Luas Area
1
3) Jalan Lingkungan untuk Mobil Damkar Tidak Memadai
di 25% - 50% Luas Area

B. Identifikasi Pertimbangan Lain (Dapat Ditentukan Lain Oleh Pemda Atas Berbagai Pertimbangan Non Fisik)
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

1. Nilai a. Lokasi terletak pada fungsi strategis kawasan/wilayah


5 Dokumen RTR, Wawancara,
Strategis b. Lokasi tidak terletak pada fungsi strategis 1 Observasi
Lokasi kawasan/wilayah

2. Kepadatan Untuk Kota Metro & Kota Besar Statistik, Wawancara, Observasi
Penduduk 5
a. Kepadatan Penduduk pada Lokasi sebesar >750 Jiwa/Ha
3
b. Kepadatan Penduduk pada Lokasi sebesar 401 - 749 1
Jiwa/Ha
5
c. Kepadatan Penduduk pada Lokasi sebesar >400 Jiwa/Ha
3
Untuk Kota Sedang & Kota Kecil 1

a. Kepadatan Penduduk pada Lokasi sebesar >500 Jiwa/Ha

b. Kepadatan Penduduk pada Lokasi sebesar 201 - 499


Jiwa/Ha

c. Kepadatan Penduduk pada Lokasi sebesar >200 Jiwa/Ha


Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

a. Lokasi memiliki potensi sosial ekonomi tinggi yang


3. Potensi potensial dikembangkan 5
Sosial Statistik, Wawancara, Observasi
b. Lokasi tidak memiliki potensi sosial ekonomi tinggi 1
Ekonomi
yang potensial dikembangkan

a. Dukungan masyarakat terhadap proses penanganan

4. Dukungan kekumuhan tinggi 5


Wawancara, Observasi
Masyaraka b. Dukungan masyarakat terhadap proses penanganan 1

kekumuhan rendah

5. Komitmen a. Komitmen Penanganan Oleh Pemda Tinggi 5 Dokumen Kebijakan,


Pemda b. Komitmen Penanganan Oleh Pemda Rendah 1 Wawancara, Observasi

C. Identifikasi Legalitas Lahan

1. Status Tanah a. Keseluruhan lokasi memiliki kejelasan status tanah, baik + Wawancara, Dokumen
dalam hal kepemilikan maupun izin pemanfaatan tanah 1 Pertanahan
dari pemilik tanah (status tanah legal)
-
b. Sebagian atau keseluruhan lokasi tidak memiliki
1
kejelasan status tanah, baik merupakan milik orang lain,
Aspek Kriteria Indikator Nilai Sumber Data

milik negara, milik masyarakat adat tanpa izin


pemanfaatan maupun tanah sengketa (status tanah ilegal
atau squatters)

a. Keseluruhan lokasi berada pada Zona Permukiman +


2. Kesesuain sesuai RTR (sesuai) 1
Dokumen RTR, Wawancara
RTR b. Sebagian atau keseluruhan lokasi berada tidak pada -

Zona Permukiman sesuai RTR (tidak sesuai) 1

a. Keseluruhan bangunan pada lokasi telah memiliki IMB +


3. Persy Adm
1
Bangunan b. Sebagian atau keseluruhan bangunan pada lokasi belum Wawancara, Dokumen Perizinan
-
(IMB) memiliki IMB 1
Sumber: Draf Permen PU Tahun 2013

1. Penentuan Kriteria Permukiman Kumuh


a. Kriteria Fisik
1) Merupakan kelompok rumah atau hunian (dengan asumsi jumlah rumah ≥ 20 unit)
2) Kondisi bangunan dibawah standar minimum
3) Jenis bangunan sebagian besar temporer/semi permanen
4) Penghuni melebihi kapasitas bangunan
5) Kepadatan bangunan tinggi
6) Jarak antar bangunan rendah
7) Kondisi dan kelengkapan prasarana dan sarana buruk/terbatas
8) Kerawanan lingkungan (banjir/kebakaran)
9) Tata letak bangunan tidak teratur
b. Kriteria Sosial
1) Status sosial rendah
2) Tingkat pendidikan rendah
3) Natalitas dan mortalitas tinggi
4) Pengangguran tinggi
5) Kepadatan penduduk tinggi
6) Kerawanan kesehatan (rawan penyakit menular berbasis lingkungan, rawan gizi buruk
7) Kerawanan sosial (kriminalitas, kesenjangan sosial)
8) Budaya apatis terhadap lingkungan
c. Kriteria Ekonomi
1) Tingkat kemiskinan penduduk tinggi
2) Penghasilan penduduk rendah dan tidak tetap
3) Kegiatan usaha ekonomi penduduk sebagian besar di sektor informal
4) Produktivitas rendah
5) Potensi ekonomi belum dimanfaatkan
6) Akses ekonomi terbatas
Tabel 2.4 Kriteria Fisik
Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

Fisik 40% Tingkat kesesuaian Kesesuaian <25% 50


dengan rencana Kesesuaian 25-50% 30
tata ruang Kesesuaian >50% 20
Tingkat kepadatan >100 unit/ha 50
Bangunan 50-100 unit/ha 30
<50 unit/ha 20
Tingkat kualitas Jumlah bangunan temporer >50% 50
fisik bangunan Jumlah bangunan temporer 25-50% 30
Jumlah bangunan temporer <25% 20
Jarak antar Jarak <1,5 m 50
Bangunan Jarak 1,5-3 m 30
Jarak >3 m 20
Keteraturan tata Tidak teratur 50
letak bangunan Kurang teratur 30
Sangat teratur 20
Kondisi pelayanan Jumlah rumah yang terlayani <25% 50
air bersih Jumlah rumah yang terlayani 25-50% 30
Jumlah rumah yang terlayani >50% 20
Kondisi sanitasi Jumlah rumah yang memiliki jamban 50
<25%
Lingkungan Jumlah rumah yang memiliki jamban 30
Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

25-50%
Jumlah rumah yang memiliki jamban 20
>50%
Kondisi pelayanan Jumlah rumah yang terlayani <25% 50
Persampahan Jumlah rumah yang terlayani 25-50% 30
Jumlah rumah yang terlayani >50% 20
Kondisi drainase Genangan ketika hujan >50% 50
Genangan ketika hujan 25-50% 30
Genangan ketika hujan <25% 20
Kondisi Jalan Jalan rusak >70% 50
Jalan rusak 50-70% 30
Jalan rusak <50% 20

Tabel 2.5 Kriteria Ekonomi


Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

Pendapatan <Rp 500.000 per bulan 50


Ekonomi 30%
Penduduk Rp 500.000 – 1.000.000 per bulan 30
Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

>Rp 1.000.000 per bulan 20


Pekerjaan utama Tidak tetap 50
Penduduk Sektor informal 30
Karyawan/pegawai 20
Jarak ke tempat <1 km 50
Kerja 1-10 km 30
>10 km 20
Tingkat Sangat strategis 50
kestrategisan letak Kurang strategis 30
kampung kumuh Tidak strategis 20
Fungsi kawasan Pusat bisnis dan perdagangan 50
Sekitar Pusat pemerintahan dan perkantoran 30
Permukiman dan lainnya 20

Tabel 2.6 Kriteria Sosial


Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

Sosial 30% Kepadatan >500 jiwa/ha 50

Penduduk 400-500 jiwa/ha 30

<400 jiwa/ha 20

Pertumbuhan >2% 50

Penduduk 1,7-2% 30

<1,7% 20

Tingkat pendidikan Jumlah penduduk yang tamat 50


wajib belajar 9 tahun <25%

Jumlah penduduk yang tamat 30


wajib belajar 9 tahun 25-50%

Jumlah penduduk yang tamat 20


wajib belajar 9 tahun >50%

Tingkat Jumlah Pengangguran >50% 50

Pengangguran Jumlah Pengangguran 25-50% 30


Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

Jumlah Pengangguran <25% 20

Status gizi balita Gizi balita buruk dan kurang 50


>10%

Gizi balita buruk dan kurang 5- 30


10%

Gizi balita buruk dan kurang 20


<5%

Angka kesakitan >15% 50

DBD 5-15% 30

<5% 20

Angka kesakitan >15% 50

Diare 5-15% 30

<5% 20

Angka kesakitan >15% 50

ISPA 5-15% 30
Bobot Nilai Bobot
Kriteria Variabel Parameter
Kriteria Parameter

<5% 20
2. Pembobotan Kriterian Kawasan Permukiman Kumuh
a. Vitalitas Non Ekonomi
1) Pembobotan Tingkat Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang
Bobot penilaian penggunaan ruang kawasan perumahan
permukiman tersebut berdasarkan Rencana Tata Ruang yang
berlaku sebagai berikut:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang sebagian besar
penggunaannya sudah tidak sesuai atau kurang dari 25% yang
masih sesuai.
b) Nilai 30 (tiga puluhu) ntuk kawasan yang penggunaannya
masih sesuai antara lebih besar dari 25% dan lebih kebil dari
50%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan yang sebagian besar atau
lebih dari 50% masih sesuai untuk permukiman.
2) Pembobotan Tingkat Kondisi Bangunan
Bobot penilaian kondisi bangunan pada kawasan
permukiman dinilai dengan sub peubah penilai terdiri atas:
a) Tingkat Pertambahan Bangunan Liar
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang pertambahan
bangunan liarnya tinggi untuk setiap tahunnya.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan yang pertambahan
bangunan liarnya seddanguntuk setiap tahunnya.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan yang pertambahan
bangunan liarnya rendah untuk setiap tahunnya.
b) Kepadatan Bangunan
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang Kepadatan
bangunan lebih dari 100 rumah per hektar.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan yang kepadatan
bangunannya mencapai antara 60 sampai 100 rumah per
hektar.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan kepadatan
bangunannya kurang dari 60 rumah per hektar.
c) Kondisi Bangunan Temporer
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang bangunan
temporernya tinggi yaitu lebih 50%.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan yang bangunan
temporernya sedang atau antara 25% sampai 50%.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan yang bangunan
temporernya rendah yaitu kurang dari 25%.
d) Tapak Bangunan (Building Coverage)
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang tapak (koefisien
dasar) bangunan mencapai lebih dari 70%.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan yang tapak
bangunannya antara 50% sampai 70%.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan yang tapak
bangunannya rendah yaitu kurang dari 50%.
e) Jarak Antar Bangunan
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan jarak antar
bangunan kurang dari 1,5 meter.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan jarak antar
bangunan antara 1,5 sampai 3 meter.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan jarak antar
bangunan lebih dari 3 meter.
3) Pembobotan Kondisi Kependudukan
a) Tingkat Kepadatan Penduduk
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan tingkat
kepadatan penduduk sangat tinggi yaitu lebih dari 500 jiwa
per hektar.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan tingkat
kepadatan penduduk antara 400 sampai 500 jiwa per hektar.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan tingkat
kepadatan penduduk rendah yaitu kurang dari 400 jiwa per
hektar.
b) Tingkat Pertumbuhan Penduduk
(1) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan tingkat
pertumbuhan penduduk sangat tinggi yaitu lebih dari 2,1%
per tahun.
(2) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan tingkat
pertumbuhan penduduk antara 1,7 sampai 2,1% per tahun.
(3) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan tingkat
pertumbuhan penduduk rendah yaitu kurang dari 1,7% per
tahun.
Berdasarkan ketentuan pembobotan diatas, secara digramatis
pembobotannya bisa dilihat pada Gambar 2.1

Gam
bar 2.1. Pembobotan Kriterian Vitalitas Non Ekonmi
b. Vitalitas Ekonomi Kawasan
1) Tingkat Kepentingan Kawasan Terhadap Wilayah Sekitarnya
Penilaian konstelasi terhadap kawasan sumber ekonomi
produktif dengan bobot nilai sebagai berikut:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan permukiman kumuh yang
tingkat kepentingannya terhadap wilayah kota sangat strategis.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan permukiman kumuh yang
tingkat kepentingannya terhadap wilayah kota cukup strategis.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan permukiman kumuh yang
tingkat tingkat kepentingannya terhadap kawasan kota kurang
strategis.
2) Jarak Jangkau Ke Tempat Bekerja
Penilaian jarak jangkau perumahan terhadap sumber mata
pencaharian dengan bobot sebagai berikut:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang mempunyai jarak
terhadap mata pencaharian penduduknya kurang dari 1 km.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan yang mempunyai jarak
terhadap mata pencaharian penduduknya antara 1 sampai
dengan 10 km.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan yang mempunyai jarak
terhadap mata pencaharian penduduknya lebih dari 10 km.
3) Fungsi Sekitar Kawasan
Penilaian fungsi sekitar kawasan dengan bobot sebagai
berikut:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan yang berada dalam
kawasan pusat kegiatan bisnis kota.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan berada pada sekitar pusat
pemerintahan dan perkantoran.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan sebagai kawasan
permukiman atau kegiatan lainnya selain pusat kegiatan bisnis
dan pemerintahan/perkantoran.
Berdasarkan ketentuan pembobotan di atas, secara digramatis
pembobotannya bisa dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2. Pembobotan Kriteria Vitalitas Ekonomi

c. Status Kepemilikan Tanah


1) Dominasi Status Sertifikat Lahan
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan jumlah status
tidak memiliki sertifikat lebih dari 50%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan jumlah status
sertifikat HGB lebih dari 50%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan jumlah status
sertifikat Hak Milik lebih dari 50%.
2) Dominasi Status Kepemilikan
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan jumlah dominasi
kepemilikan tanah negara lebih dari 50%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan jumlah dominasi
kepemilikan tanah masyarakat adat lebih dari 50%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan jumlah dominasi
kepemilikan tanah milik masyarakat lebih dari 50%.
Berdasarkan ketentuan pembobotan di atas, secara digramatis
pembobotannya bisa dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.3. Pembobotan Kriteria Status Tanah

d. Keadaan Prasarana dan Sarana


1) Kondisi Jalan
Sasaran pembobotan kondisi jalan adalah kondisi jalan
lingkungan permukiman.
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kondisi jalan buruk lebih 70%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kondisi jalan sedang antara 50%
sampai 70%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kondisi jalan baik kurang 50%.
2) Kondisi Drainase
Sasaran pembobotan kondisi drainase adalah drainase di
kawasan permukiman.
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan tingkat volume
genangan air sangat buruk yaitu lebih dari 50%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan tingkat volume
genangan air sedang yaitu antara 25% sampai 50%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan tingkat volume
genangan air normal yaitu kurang dari 25%.
3) Kondisi Air Bersih
Pembobotan kondisi air bersih dilakukan berdasarkan
kondisi jumlah rumah penduduk di kawasan permukiman yang
sudah memperoleh aliran air dari sistem penyediaan air bersih.
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
sistem perpipaan air bersih kurang dari 30%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
sistem perpipaan air bersih antara 30% sampai 60%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
sistem perpipaan air bersih lebih besar dari 60%.
4) Kondisi Air Limbah
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
air limbah berat kurang dari 30%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
air limbah antara 30% sampai 60%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
air limbah lebih dari 60%.
5) Kondisi Persampahan
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
air limbah berat kurang dari 50%.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
air limbah antara 50% sampai 70%.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan dengan tingkat pelayanan
air limbah lebih dari 70%.
Berdasarkan ketentuan pembobotan di atas, secara digramatis
pembobotannya bisa dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Pembobotan Kriteria Prasarana Sarana

e. Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota


1) Rencana Penanganan (master plan penanganan kawasan kumuh)
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan sudah ada rencana.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dalam proses rencana.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan belum ada rencana.
2) Pembenahan fisik
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan sudah ada pembenahan
fisik.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dalam proses pembenahan
fisik.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan belum ada pembenahan
fisik.
3) Penanganan kawasan Pembobotan dilakukan terhadap upaya-upaya
penanganan kawasan dengan bobot sebagai berikut:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk kawasan sudah ada penanganan.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk kawasan dalam proses penanganan.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk kawasan belum ada penanganan.
Berdasarkan ketentuan pembobotan di atas, secara digramatis
pembobotannya bisa dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Pembobotan Kriteria Komitmen Daerah

f. Prioritas Penanganan
Untuk menentukan lokasi kawasan permukiman yang menjadi
prioritas penanganan digunakan kriteria-kriteria dibawah ini, yang
dihitung berdasarkan waktu tempuh menggunakan kendaraan umum
sebagai berikut:
1) Kedekatan dengan Pusat Kota Metropolitan
Variabel ini memiliki bobot 30, dengan nilai bobot
berdasarkan klasifikasi:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk waktu tempuh kurang dari 30
menit.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk waktu tempuh antara 30 sampai 60
menit.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk waktu tempuh lebih dari 60 menit.
2) Kedekatan dengan Kawasan yang menjadi Pusat Pertumbuhan
Bagian Kota Metropolitan
Variabel ini memiliki bobot 30, dengan nilai bobot
berdasarkan klasifikasi:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk waktu tempuh kurang dari 30
menit.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk waktu tempuh antara 30 sampai 60
menit.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk waktu tempuh lebih dari 60 menit.
3) Kedekatan dengan Kawasan Lain (Perbatasan) Bagian Kota
Metropolitan
Variabel ini memiliki bobot 20, dengan nilai bobot
berdasarkan klasifikasi:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk waktu tempuh kurang dari 30
menit.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk waktu tempuh antara 30 sampai 60
menit.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk waktu tempuh lebih dari 60 menit.
4) Kedekatan dengan Letak Ibukota Kota/Kabupaten Bersangkutan
Variabel ini memiliki bobot 20, dengan nilai bobot
berdasarkan klasifikasi:
a) Nilai 50 (lima puluh) untuk waktu tempuh kurang dari 30
menit.
b) Nilai 30 (tiga puluh) untuk waktu tempuh antara 30 sampai 60
menit.
c) Nilai 20 (dua puluh) untuk waktu tempuh lebih dari 60 menit.
Berdasarkan ketentuan pembobotan di atas, secara digramatis
pembobotannya bisa dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Pembobotan Kriteria Prioritas Penanganan

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka diketahui bahwa variabel-


variabel pada kriteria-kriteria vitalitas non ekonomi, vitalitas ekonomi,
status tanah, kondisi prasarana dan sarana, serta komitmen
pemerintah (daerah) masing-masing memiliki bobot 1 (satu) satuan.
Dengan satuan yang sama maka setiap variabel kriteria memiliki bobot
yang sama atau setara. Sedangkan variabel pada kriteria prioritas
penanganan memiliki bobot secara berurutan masing-masing 3 (tiga), 3
(tiga), 2 (dua), dan 2 (dua) satuan. Bobot yang berbeda akan
menghasilkan lokasi-lokasi kumuh yang prioritas untuk ditangani.

d. Dasar Penilaian Kriteria Kawasan Permukiman Kumuh


Beberapa metoda yang dapat digunakan dalam melakukan
penilaian kriteria antara lain Analytical Hierarchical Process (AHP) dan
Social Process Spread Sheet (SPSS) yang berbasis komputer
menggunakan program spread sheet excell atau dengan metoda
pembobotan dan penilaian secara manual.
Dalam pedoman ini digunakan modifikasi antara program spread
sheet excell dengan sistem pembobotan yang dapat memberikan
kemudahan dalam melaksanakan penilaian terhadap kriteria-kriteria
penentuan kawasan permukiman kumuh.
Kegiatan penilaian dengan sistem pembobotan pada masing-
masing kriteria pada umumnya dimaksudkan bahwa setiap kriteria
memiliki bobot pengaruh yang berbeda-beda. Selanjutnya dalam
penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung pada preferensi
individu atau kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-
masing kriteria.
Penilaian akhir identifikasi kawasan permukiman kumuh dilakukan
sebagai akumulasi dari hasil perhitungan terhadap kriteria sebagaimana
dikemukakan diatas. Dari penjumlahan berbagai peubah akan diperoleh
diperoleh total nilai maksimum dan minimum setiap variabel kriteria.
Proses penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan
kedalam:
a. Penilaian dinilai Kategori Tinggi.
b. Penilaian dinilai Kategori Sedang.
c. Penilaian dinilai Kategori Rendah.
Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian berdasarkan
kategori tersebut diatas maka dilakukan penghitungan terhadap akumulasi
bobot yang telah dilakukan dengan formula sederhana sturgess yaitu:
a. Dihitung koefisien ambang interval (rentang) dengan cara
mengurangkan Nilai Tertinggi (hasil penilaian tertinggi) dari hasil
pembobotan dengan Nilai Terrendah (hasil penilaian terendah) dari
jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
b. Koefisien ambang rentang sebagai pengurang dari Nilai Tertinggi akan
menghasilkan batas nilai paling bawah dari tertinggi.
c. Untuk kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap
batas terendah dari akan menghasilkan batas tertinggi untuk Kategori
Sedang, dan seterusnya.

e. Formula Penilaian
Berdasarkan formula kriteria dan indicator tersebut, maka dapat
dirumuskan formula penilaian (skoring) sebagai berikut :
1. Tingkat kekumuhan = Total Nilai A
2. Pertimbangan Lain = Total Nilai B
3. Legalitas Lahan = Total Nilai C

Tabel 2.7 Identifikasi Tingkat Kekumuhan Kawasan


No Nilai Keterangan
1. 15-34 Kumuh Ringan
2. 35-54 Kumuh Sedang
3. 55-75 Kumuh Berat
Sumber: Draf Permen PU Tahun 2013

Tabel 2.8 Identifikasi Pertimbangan Lain (Non Fisik)


No Nilai Keterangan
1. 5-11 Pertimbangan Lain Ringan
2. 12-18 Pertimbangan Lain Sedang
3. 19-25 Pertimbangan Lain Berat
Sumber: Draf Permen PU Tahun 2013

Tabel 2.9 Identifikasi Legalitas Lahan


No Nilai Keterangan
1. (+) Status Lahan Legal
2. (-) Status Lahan Tidak Legal
Sumber: Draf Permen PU Tahun 2013

f. Tata Cara Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan


Peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh
harus dilakukan sesuai dengan hasil penilaian berbagai aspek kekumuhan
(tingkat kekumuhan, perimbangan lain dan legalitas lahan). Peningkatan
kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh untuk berbagai aspek
kekumuhan akan berbeda-beda pendekatan penangannya, dimana secara
hirarki peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh
paling rendah adalah pemugaran dan paling tinggi adalah permukiman
kembali. Adapaun klasifikasi peningkatan kualitas perumahan kumuh dan
permukiman kumuh berdasarkan aspek kekumuhan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2.10 Klasfikasi Aspek Kekumuhan dan Penanganannya
Priorita
Kekumuhan Pertimbangan Lain Legalitas Lahan Penanganan
s

1 Berat Tinggi Legal


Permukiman
4 Berat Sedang Legal Kembali atau
Peremejaan
7 Berat Rendah Legal

1 Berat Tinggi Ilegal Permukiman


Kembali atau
4 Berat Sedang Illegal
Legalisasi Lahan lalu
7 Berat Rendah Illegal Peremajaan

2 Sedang Tinggi Legal

5 Sedang Sedang Legal Peremajaan

8 Sedang Rendah Legal

2 Sedang Tinggi Ilegal Permukiman

5 Sedang Sedang Illegal Kembali atau


Legalilasi Lahan lalu
8 Sedang Rendah Illegal
Peremejaan
Priorita
Kekumuhan Pertimbangan Lain Legalitas Lahan Penanganan
s

3 Ringan Tinggi Legal Pemugaran

6 Ringan Sedang Legal

9 Ringan Rendah Legal

3 Ringan Tinggi Ilegal Permukiman


Kembali atau
6 Ringan Sedang Illegal
Legaliasi Lahan lalu
9 Ringan Rendah Illegal Pemugaran
Sumber: Draf Permen PU Tahun 2013

Dalam mendukung upaya peningkatan kualitas perumahan kumuh dan


permukiman kumuh, terdapat dua bentuk penangana yang dibutuhkan yaitu
penanganan fisik dan non fisik. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka
dalam pedoman ini hanya akan diatur arahan penanganan yang bersifat fisik
sedangkan penanganan non fisik tetap diidentifikasi sebagai rekomendasi
kepada instansi dan program terkait lain. Arahan penanganan untuk penangan
fisik terdiri dari :
1. Ketentuan pengananan fisik berdasarkan bentuk penanganan aspek fisik
dan tipologi lokasi,
2. Kriteria dan tata cara pemugaran,
3. Kriteria dan tata cara peremajaan
4. Kriteria dan tata cara permukiman kembali.

Sedangkan berkaitan dengan status legalitas lahan, rekomendari


penangan perumahan kumuh dan permukiman kumuh berupa legalisasi lahan
pada lokasi illegal dilaksanakan dengan mnegacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam konek pengadaan lahan dalam pencegahan dan
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Adapun ketentuan penanganan fisik diatur sesuai dengan factor permasalahan
kekumuhan setiap lokasi yang teridentifikasi. Beberapa factor permasalahan
kekumuhan pada suatu lokasi yaitu Aspek bangunan dan lingkungan, Jaringan
jalan lingkungan, Jaringan drainase lingkungan, Sistem penyediaan air
minum, Sistem pengelolaan air limbah dan Sistem pengelolaan persampahan.
Berdasarkan amanah dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tenatng Perumahan dan Kawasan Permukiman, maka bentuk penanganan fisik
yang merupakan upaya peningkatan kualitas meliputi :
1. Pemugaran
2. Peremajaan
3. Permukiman kembali
Untuk lebih jelasnya mengenai ketentuan penanganan fisik untuk
bangunan dan lingkungan serta infrastruktur keciptakryaan sesuai dengan
bentuk dapat diketahui melalui tabel berikut :
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota
Makassar

Tabel 2.11 Penanganan Fisik Bangunan dan Lingkungan serta Infrastruktru Keciptakaryaan
Peningkatan Program Penanganan Fisik Infrastruktur
Kualitas
Bangunan dan Jalan
Permukiman Drainase Air Minum Air Limbah Sampah
Lingkungan Lingkungan
Kumuh

Pemugaran a. Perawatan a. Pemelihataan a. Pemeliharaan a. Pemeliharaan a. Pemeliharaan a. Pemeliharaan


b. Rehabilitasi rutin jalan pencegahan rutin unit pencegahan rutin PSP
c. Rekonstruksi b. Pemeliharaan unit sistem SPAM unit b. Pemeliharaan
d. Restorasi berkala jalan drainase b. Pemeliharaan pengolahan air berkala PSP
b. Pemeliharaan berkala unit limbah
keadaan SPAM b. Pemeliharaan
darurat unit urusan Rumah
sistem drainase Tangga unit
pengolahan air
limbah
Peremejaan a. Penataan a. Rehabilitasi a. Pemeliharaan a. Rehabilitas a. Pemeliharaan a. Pembangunan
kawasan secara jalan koneksi unit unit SPAM perbaikan unit PSP
mendasar b. Peningkatan sistem pengolahan air
dengan kapasitas jalan drainase limbah
Permukiman Kumuh, Kawasan Buloa, Kelurahan Buloaa, Kecamatan Tallo, Kota
Makassar

Peningkatan Program Penanganan Fisik Infrastruktur


Kualitas Bangunan dan Jalan
Drainase Air Minum Air Limbah Sampah
Permukiman Lingkungan Lingkungan
Kumuh
pengaturan
petak bangunan
b. Pembangunan
infrastruktur
keciptakaryaan
Permukiman a. Pembangunan a. Pembangunan a. Pembangunan a. Pembangunan a. Pembangunan a. Pembangunan
Kembali permukiman di jalan baru unit sistem SPAM unit unit PSP baru
lokasi baru drainase baru baru pengolahan air
b. Pembangunan limbah baru
kembali di
permukiman
lama dengan
model baru
(Rumah
Susun)
H. Sebab dan Proses Terbentuknya Pemukiman Kumuh
Dalam perkembangan suatu kota sangat erat kaitannya dengan mobilitas
penduduknya. Masyarakat yang mampu cenderung memilih tempat huniannya
keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan
cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota khususnya kelompok
masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota. Tidak tersedianya
fasilitas perumahan yang terjangkau oleh kantong masyarakat yang kurang
mampu serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha menjadi penyebab
timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan. Ledakan penduduk di
kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak
terkendali juga dapat menjadi salah satu penyebab terbentuknya pemukiman
kumuh. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara
pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan
pemukiman-pemukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari
alternatif tinggal di pemukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di
kota.
Dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan
maupun dibangunkan oleh orang lain dapat mengakibatkan munculnya
lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki
prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan
kesehatan.
I. Upaya Mengatasi Pemukiman Kumuh
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman
kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi
dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan,
peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta
peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan
institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat
diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha
perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Cara
Mengatasi Pemukiman Kumuh:
1 Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki   kondisi
kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2 Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh yang dilakukan dengan
membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta
menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.

Selain usaha dari pemerintah diharapkan masyarakat juga ikut terlibat


dalam mengatasi pemukiman kumuh di perkotaan. Sehingga diperlukan
kerjasama antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat untuk mengatasi
adanya pemukiman kumuh. Namun, pemukiman kumuh tidak dapat diatasi
dengan pembangunan fisik semata-mata tetapi yang lebih penting yaitu
mengubah prilaku dan budaya dari masyarakat di kawasan kumuh. Jadi,
masyarakat juga harus menjaga lingkungannya agar tetap bersih, rapi, tertur
dan indah. Sehingga akan tercipta lingkungan yang nyaman, tertib dan asri.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian/Studi Kasus


Jenis penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dan bersifat
dekskriptif kuantitatif dan kualitatif, yang merupakan jenis studi kasus
dengan pengamatan langsung dilapangan yang memberikan gambaran
terhadap objek yang diteliti.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui kondisi permukiman kumuh
yang terdapat di Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota
Makassar dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif karena
didasarkan atas perhitungan angka yang datanya berwujud bilangan (skor atau
nilai) yang dianalisis dengan menggunakan standar kriteria dan indikator
permukiman kumuh. Sehingga akan diketahui tingkat kekumuhan yang
terdapat dalam kawasan tersebut dan juga menghasilkan suatu konsep
penanganan dalam permukiman kumuh.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa,
Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut ( Sedermayanti, 2002 ) Populasi adalah himpunan
keseluruhan karakteristik dan objek yang akan diteliti, dan pengertian
lainnya dari populasi adalah keseluruhan atau totalitas objek psikologis
yang dibatasi oleh kriteria tertentu.
Populasi pada peneitian ini meliputi penduduk yang mendiami
Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau
keadaan tertentu yang akan diteliti, karena tidak semua data dan informasi
akan diproses dan tidak semua orang atau benda akan diteliti melainkan
cukup dengan menggunakan sampel yang mewakiliknya. Kemudian
dalam pengambilan sampel dari populasi tersebut digunakan teknik
probalility sampling dimana teknik sampling ini merupakan teknik
pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap
unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (
Sugiyono; 80 : 2013 )
Teknik menetukan jumlah sampel berdasarkan jumlah KK ( Kepala
Keluarga ) diwilayah Kawasan Kumuh Buloa kemudian jumlah sampel
yang didapat didistribusikan secara proporsional menurut besaran
presentase jumlah populasi yang ada di Kawasan Kumuh Buloa. Jumlah
KK yang ada di Kawasan Kumuh Buloa sebesar 105 KK. Untuk
mengetahui jumlah sampel KK di lokasi penelitian dapat menggunakan
rumus sebagai berikut :
N . p (1− p)
n= .................................................................... ( 1
( N −1 ) D+ p( 1− p)
)

B2
D= ............................................................................................
4
( 2)

Dimana :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
p = Proprsi populasi yaitu 0,5
B = Bound od error dalam pengambilan sampel 90% yaitu 0,1

Dari perhitungan ( 1 ) dan ( 2) diperoleh sampel sebesar :

B2
D= =¿ ¿
1
N . p (1− p)
n=
( N −1 ) D+ p( 1− p)

105 x 0.5(1−0.5)
n=
( 105 x 0.5−1 ) 0.01+0.5(1−0.5)

52.5(0.5)
n=
( 51.5 ) 0.01+0.5( 0.5)

26.25
n=
0.51+ 0.25

26.25
n=
0.76

n=34.53 sampel dibulatkan menjadi 35 sampel

Berdasarkan jumlah populasi yang tedapat pada lokasi penelitian


maka dapat kita ketahui jumlah sampel adalah 35 sampel.
D. Variabel Penelitian
Variabel dapat diartikan ciri dari individu, objek, gejala, peristiwa
yang dapat diukur secara kuantitatif ataupun kualitatif (Sudjana, 1984).
Variable dipakai dalam proses identifikasi, ditentukan berdasarkan kajian teori
yang dipakai. Semakin sederhana suatu rancangan penelitian semakin sedikit
variable penelitian yang digunakan. Adapun variabel yang digunakan dalam
penelitian ini dapat diketahui melalui tabel berikut ini :

Tabel 3.1. Variabel Penelitian


No Sasaran Variabel Data Sumber
1. Identifikasi kawasan a. Aspek Fisik dan Non Fisik Data Primer Survey
kumuh di Kelurahan dan Sekunder Lapangan dan
1) Aspek Fisik berupa:
Buloa, Kecamatan SK Kumuh
 kondisi bangunan
Tallo, Kota Kota Makassar
Makassar  kondisi jalan
lingkungan

 kondisi drainase
No Sasaran Variabel Data Sumber
lingkungan

 kondisi penyediaan
air minum

 kondisi pengelolaan
air minum

 kondisi pengelolaan
persampahan

 kondisi pengaman
kebakaran

2) Aspek Non Fisik


berupa:
 nilai strategis
kawasan
 kepadatan penduduk
 potensi sosial
ekonomi
 dukungan
masyarakat
 komitmen
pemerintah daerah
 legalitas lahan
b. Aspek Sosial berupa:
 tingkat pendidikan
 kerawanan kesehatan
 kerawanan sosial
c. Aspek Ekonomi berupa:
No Sasaran Variabel Data Sumber
 tingkat kemiskinan
penduduk
 penghasilan penduduk
 pekerjaan penduduk
2. Mengetahui konsep Adapun bentuk konsep Data Survey

dan penanganan penanganannya yakni : Primer dan Lapangan, SK

kawasan kumuh di a. Pemugaran Sekunder Kumuh Kota

Kelurahan Buloa, Makassar dan


b. Peremajaan
Kecamatan Tallo, Draft Permen

Kota Makassar. c. Permukiman kembali PU tahun 2013

E. Jenis dan Sumber Data


Data yang diperoleh kaitannya dengan penelitian ini bersumber dari
beberapa instansi terkait seperti BPS Kota Makassar, dengan jenis data
sebagai berikut:
1. Data Primer yang diperloeh melalui observasi langsung di lapangan
berupa
2. Data Sekunder yang diperoleh pada instansi terkait dengan salah satu
teknik penyaringan data yang berupa letak geografis wilayah tersebut dan
aspek demografi
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari :
1. Teknik observasi yaitu pencarian data dengan mengidentifikasi data
melalui pengukuran serta pengambilan data secara langsung di lapangan.
Kegiatan observasi dilakukan secara sistematis untuk menjajaki masalah
dalam penelitian serta bersifat eksplorasi.
2. Teknik pustaka yaitu cara pengumpulan data informasi dengan membaca
atau mengambil literature laporan, bahan perkuliahan dan sumber-sumber
lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti
3. Survey instansi, yaitu pengumpulan data melalui instansi terkait guna
mendapatkan data kualitatif dan data kuantitatif objek studi
4. Studi dokumentasi, untuk melengkapi data maka diperlukan informasi dari
dokumentasi yang ada hubungannya dengan objek yang menjadi studi.
Dengan cara mengambil gambar dan dokumentasi foto.
5. Teknik wawancara yaitu suatu bentuk komunikasi verbal semacam
percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara dengan
masyarakat setempat untuk memperoleh data yang bersifat fisik dan non
fisik yang bersifat historical yang dialami masyarakat.

G. Teknik Analisis
Teknik analisis adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
pengelolaan dan menganalisis data-data guna menjawab permasalahan dan
untuk pencapaian tujuan yang diharapkan dalam studi dengan
pengorganisasian data dan penentuan kategori. Terdapat beberapa alat analisis
yang digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut :
1. Analisis Deskriptif Kualitatif
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dan bertujuan
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang diselidiki.
Jenis analisis ini digunakan untuk menganalisa data dengan
menggambarkan hasil responden, data tabulasi serta pengidentifikasian
faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam permasalahan permukiman
kumuh di Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota
Makassar.
2. Analisis Deskriptif Kuantitatif
Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan
setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul.
Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan
variable dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variable dari
seluruh responden, menyajikan data tiap variable yang diteliti, melakukan
perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan
perhitungan
Jenis analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan keadaan suatu
gejala yang telah direkam melalui alat ukur kemudian diolah sesuai dengan
fungsinya. Hasil pengolahan tersebut selanjutnya dipaparkan dalam bentuk
angka-angka sehingga dapat memberikan gambaran secara teratur, ringkas
dan jelas, mengenai suatu gejala, peristiwa atau keadaan sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan. Seperti halnya dalam permasalahan permukiman
kumuh ini akan diketahui tingkat kekumuhan dengan menggunakan skor
yang diperoleh pada Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo,
Kota Makassar.
H. Defenisi Oprasional
Untuk lebih memperjelas ruang lingkup penelitian ini, maka ada beberapa
definisi operasional yang perlu dipahami sebagai berikut :
1. Permukiman kumuh yang dimaksud adalah permukiman kumuh di
Kawasan Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
Suatu permukiman dimana kondisi perumahan dan lingkungannya
dalam keadaan buruk, serta keadaan sosial ekonomi penduduknya
sangat rendah.
2. Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan
tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan
kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda
atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada
golongan bawah yang belum mapan
3. Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana
dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik
standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,
kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan
prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya

BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH

A. Tinjauan Umum Kota Makassar


1. Gambaran Umum Wilayah Kota Makassar
Kota Makassar terletak di ujung selatan Pulai Sulawesi dengan
cakupan wilayah merupakan wilayah pesisir dan bahkan mempunyai 5
pulau dimana terdapat di kelurahan yang berada di pulau.
Luas wilayah kota Makassar tercatat 175,77 km2 yang meliputi 14
kecamatan dan terbagi dalam 143 kelurahan, 971 RW dan 4.789 RT
dimana Kecamatan Biringkanaya mempunyai luas wilayah yang sangat
besar 48,22 km atau luas kecamatan tersebut merupakan 27,43 persen dari
seluruh luas Kota Makassar dan yang paling kecil adalah Kecamatan
Mariso 1,82 km atau 1,04 persen dari luas wilayah Kota Makassar. Batas
administrasi wilayah Kota Makassar berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene


Kepulauan
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Gowa
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

2. Penggunaan Lahan di Kota Makassar


Jenis penggunaan Lahan yang terdapat di Kota Makassar terdapat
28 jenis, adapun jenis penggunaan lahan dengan luas terbesar yakni
permukiman dengan luas 8003.79 Ha. Sedangkan jenis penggunaan lahan
terkecil yaitu lahan kosong dengan luas 0.27 Ha. untuk lebih jelasnya
dapat diketahui melalui tabel berikut :
Tabel 4.1. Jenis Penggunaan Lahan di Kota Makassar Tahun 2015
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1 Benteng 8,99
2 Dermaga 6,18
3 Genangan 75,85
4 Industri 667,02
5 Kawasan Olah Raga 33,27
6 Kawasan Pelabuhan 63,95
7 Kebun 913,64
8 Kolam 2,07
9 Komersial 49,21
10 Ladang 15,33
11 Lahan Kosong 0,27
12 Lapangan 80,44
13 Makam 66,7
14 Mangrove 357,39
15 Militer 74,43
16 Olah Raga 5,39
17 Pekuburan 0,56
18 Pelbuhan 13,45
19 Pemerintahan 22,97
20 Pendidikan 247,37
21 Permukiman 8.003,79
22 Rawa 143,77
23 Sawah 2.659,36
24 Semak 102,69
25 Sirkuit 4,03
26 Taman 4,03
27 Tambak 2.401,7
28 Tanah Kosong 1.553,15
Total 17.577
Sumber : Hasil Calculate Geometry (Arcgis), 2015
3. Aspek Demografi di Kota Makassar
Penduduk Kota Makassar Tahun 2014 tercatat sebanyak 1.369.606
jiwa yang terdiri dari676.744 laki-laki dan 692.862 perempuan. Sementara
itu jumlah penduduk Kota makassar tahun 2013 tercatata sebanyak
1.408.072 jiwa. Jumlah penduduk yang paling terbanyak terdapat di
Kecamatan Biringkanaya dengan jumlah 185.030 jiwa dan jumlah
penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Ujung Pandang dengan jumlah
penduduk 27.802 jiwa.

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Menurut Kelurahan dan Jenis Kelamin di Kota
Makassar Tahun 2013
No. Kecamatan Penduduk (Jiwa) Jumlah
(Jiwa)
Laki-laki Perempuan
1 Mariso 28.940 28.850 57.790
2 Mamajang 29.456 30.780 60.236
3 Tamalate 90.644 92.395 183.039
4 Rappocini 76.753 81.572 158.325
5 Makassar 41.289 42.261 83.550
6 Ujung Pandang 13.114 14.688 27.802
7 Wajo 14.772 15.486 30.258
8 Bontoala 27.104 28.474 55.578
9 Ujung Tanah 24.170 23.963 48.133
10 Tallo 68.747 68.513 137.260
11 Panakukkang 71.816 73.316 145.132
12 Manggala 63.997 63.918 127.915
13 Biringkanaya 92.002 93.028 185.030
14 Tamalanrea 53.151 54.873 108.024
Kota Makassar 695.955 712.117 1.408.072
Sumber : Kota Makassar Dalam Angka 2014

Diagram 4.4. Jenis Penggunaan Lahan di Kota Makassar Tahun 2015


1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0

Sumber : Hasil Calculate Geometry (Arcgis), 2016


Berdasarkan diatas, dapat kita ketahui bahwa jenis penggunaan
lahan yang ada di Kota Makassar dapat kita ketahui bahwa penggunaan
lahan di Kota Makassar lebih didominasi oleh penggunaan lahan
Permukiman. Dimana penggunaan lahan permukiman merupakan
penggunaan lahan terbesar yang ada di Kota Makassar dengan luas
8003.79 Ha. Sedangkan jenis penggunaan lahan terkecil yaitu lahan
kosong dengan luas 0.27 Ha.

Diagram 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Makassar


Tahun 2013
100
90
80
70
60
50
40
30 Laki-laki
20 Perempuan
10
0
iso at
e ar aj
o ah g
ay
a
ar al a ss n an n
M a m a k W Ta uk
k
ka
T M ng ak ng
u n ri
Uj Pa Bi

Sumber : Makassar dalam Angka 2014.


Berdasarkan tabel 4.3 dan Diagram 4.1 diatas, dapat kita ketahui
jumlah penduduk yang ada disetiap Kecamatan di Kota Makassar untuk
Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan
Biringkanaya dengan jumlah penduduk sabesar 185.030 jiwa dengan
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 92.002 jiwa dan jumlah penduduk
yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 93.028 jiwa. Untuk wilayah
dengan jumlah penduduk terbanyak kedua berada di Kecamatan
Tamalanrea dengan total jumlah penduduk sebanyak 108.024 jiwa dengan
jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 53.151 jiwa dan
untuk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 54.873 jiwa. Sedangkan
untuk wilayah Kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil berada di
Kecamatan Ujunga Pandang dengan total jumlah penduduk yang ada
sebesar 27.802 jiwa dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 13.114 jiwa dan untuk yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 14.688 jiwa. Total dari jumlah penduduk keseluruhan yang ada
di Kota Makassar sebesar 1.408.072 jiwa dengan jumlah penduduk yang
berjenis kelamin laki-laki sebesar 695.955 jiwa dan untuk yang berjenis
kelamin perempuan sebesar 721.117 jiwa.

4. Tenaga Kerja
Pada tahun 2013 pencari kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga
Kerja Kota Makassar sebanyak 11.246 orang yang terdiri dari laki-laki
sebanyak 5.285 orang dan perempuan 5.961.
Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa pencari kerja menurut
tingkat pendidikan terlihat bahwa tingkat pendidikan sarjana yang
menempati peringkat pertama yaitu sekitar 47,95% disusul tingkat
pendidikan SMA sekitar 39,19%.
Tabel 4.3. Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar Dirinci Menurut Tingkat
Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kota Makassar
Tingkat
Laki-laki Perempuan Jumlah Presentase
Pendidikan
SD 8 0 8 0,07

SLTP 14 4 18 0.16

SMA 2.151 2.256 4.407 39,19

D1, D2, D3 624 796 1.402 12,63

Sarjana 2.488 2.905 5.393 47,95

5.285 5.285 5.961 11.228 100,00

3.200 3.200 4.003 7.203 100,00


Jumlah
2.004 2.004 2.343 4.317 100,00

4.823 4.823 5.389 10.212 100,00


Sumber : Kota Makassar Dalam Angka 2014

5. Pendidikan
Pembangunan bidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) suatu
negara akan menentukan karakter dari pembangunan ekonomi dan sosial,
karena manusia pelaku aktif dari seluruh kegiatan tersebut.
Pada tahun 2013/2014 di Kota Makassar, jumlah SD sebanyak 493
unit dengan jumlah guru sebanyak 6.790 orang dan jumlah murid
sebanyak 150.255 orang. Jumlah SLTP sebanyak 192 unit dengan jumlah
guru sebanyak 3.984 orang dan jumlah murid sebanyak 62.758 orang.
Jumlah SLTA sebanyak 117 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.837
orang dan jumlah murid sebanyak 54.625 orang. Jumlah keseluruhan
sekolah, kelas, murid dan guru di Kota Makassar dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 4.4. Jumlah Sekolah, Kelas, Murid dan Guru Dirinci Menurut Kecamatan
di Kota Makassar
Kode
Kecamatan Sekolah Kelas Murid Guru
Wilayah
010 Mariso 11 31 558 52
020 Mamajang 17 39 704 102
030 Tamalate 38 87 1.573 216
031 Rappocini 39 90 1.615 235
040 Makassar 21 48 869 104
050 Ujung pandang 22 51 911 160
060 Wajo 9 21 373 42
070 Bontoala 17 39 704 93
080 Ujung Tanah 8 18 331 58
090 Tallo 17 39 704 68
100 Panakkukang 44 101 1.822 234
101 Manggala 45 104 1.863 175
110 Biringkanaya 64 147 2.650 292
111 Tamalanrea 36 83 1.490 165
2013/2014 388 898 16.167 1.996
2012/2013 354 999 16.768 1.382
7.371
2011/2012 351 799 14.662 1.918
2010/2011 341 789 14.586 1.867
Sumber : Kota Makassar Dalam Angka 2014

6. Kesehatan
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan bisa dilihat dari 2
aspek kesehatan yaitu sarana kesehatan dan SDM.
Pada tahun 2013 di Kota Makassar terdapat 34 rumah sakit, yang
terdiri dari 8 rumah sakit pemerintah/ABRI, 25 rumah sakit swasta, dan 1
rumah sakit lainnya. Jumlah puskesmas yaitu 113 unit yang dapat
dikategorikan menjadi 43 puskesmas, 40 puskesmas pembantu, dan 30
puskesmas keliling. Sumber Daya Manusia (SDM) seperti dokter praktek
sebanyak 2.953 orang dan bidan praktek sebanyak 66 orang.
7. Agama
Perkembangan pembangunan di bidang spritual dapat dilihat dari
besarnya sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan
pada tahun 2013 untuk umat islam berupa masjid berjumlah 1.080 unit,
tempat peribadatan umat kristen berupa gereja masing-masing 133 unit
gereja protestan dan 8 unit gereja khatolik, tempat peribadatan umat
budha, hindu dan konghucu masing-masing berjumlah 26 unit, 2 unit, dan
1 unit.

Tabel 4.5. Jumlah Tempat Peribadatan Dirinci Menurut Kecamatan dan Agama di
Kota Makassar
Kode Kristen Pura
Masji Wihara
Wilaya Kecamatan (Hindu Kelenteng
d Khatolik Protestan (Budha)
h )
010 Mariso 44 3 1 0 1 0
020 Mamajang 52 5 1 0 0 0
030 Tamalate 130 8 0 0 1 0
031 Rappocini 131 4 0 0 0 0
040 Makassar 37 22 1 0 5 0
050 Ujung pandang 20 16 1 0 4 0
060 Wajo 26 2 0 0 11 0
070 Bontoala 30 3 1 0 2 0
080 Ujung Tanah 29 1 0 0 1 0
090 Tallo 79 4 0 0 0 0
100 Panakkukang 101 35 2 0 1 0
101 Manggala 106 5 0 0 0 0
110 Biringkanaya 167 47 0 1 0 0
111 Tamalanrea 128 8 1 1 0 0
2013 1.080 163 8 2 26 1
2012 1.076 137 8 8 2 5
7.371 Makassar
2011 1.076 137 8 4 2 5
2010 1.073 - - - - -
Sumber : Kota Makassar Dalam Angka 2014
B. Tinjauan Umum Kecamatan Tallo
1. Gambaran Umum Wilayah
Kecamatan Tallo
Kecamatan Tallo merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di
Kota Makassar, terdiri dari 15 kelurahan dengan luas wilayah 8,75 km,
kelurahan Lakkang memiliki wilayah terluas yaitu 1,65 km², terluas kedua
adalah kelurahan Tammua dengan luas wilayah 0,98 km², sedangkan yang
paling kecil luas wilayahnya adalah kelurahan Wala-walaya dengan luas
0,11 km². Batas administrasi wilayah Kecamatan Tallo berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Makassar
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tamalanrea
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bontoala dan
Kecamatan Panakukang
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bontoala dan
Kecamatan Ujung Tanah.

Sebanyak 3 kelurahan di Kecamatan Tallo merupakan daerah


pantai dan 12 kelurahan lainnya merupakan daerah bukan pantai dengan
topografi ketinggian antara permukaan laut. Menurut jaraknya, letak
masing-masing kelurahan dari kecamatan ke ibukota kabupaten atau kota
berkisar 1-2 Km. Jarak kelurahan lakkang adalah kelurahan terjauh
jaraknya yaitu 3-4 Km dari ibukota kecamatan.
Kecamatan tallo terdiri dari 15 kelurahan dengan luas wilayah
8,75 Km2. Dari luas wilayah terluas yaitu 1,65 Km2, terluas kedua adalah
kelurahan Tammua dengan luas wilayah 0,98 Km2, sedangkan yang paling
kecil luas wilayahnya adalah kelurahan Wala-walaya dengan luas 0,11
Km2.

Tabel 4.6. Luas Daerah Menurut Kelurahan di Kecamatan Tallo Tahun 2014
No. Desa/Kelurahan Luas (Km2)
1 Bunga eja Beru 0,30
2 Lembo 0,33
3 Kalukuang 0,41
4 La’latang 0,46
5 Rappo Jawa 0,16
6 Tammua 0,92
7 Rappokalling 0,89
8 Wala-walaya 0,31
9 Ujung Pandang Baru 0,41
10 Suangga 0,50
11 Panampu 0,46
12 Kaluku Bodoa 0,89
13 Buloa 0,61
14 Tallo 0,61
15 Lakkang 1,65
Jumlah 8,91
Sumber : Kecamatan Tallo Dalam Angka 2014

Diagram 4.4. Luas Daerah Menurut Kelurahan di Kecamatan Tallo Tahun


2014

3% 4%
19% 5%
5%
2%
7%
10%

7%

10%
10%
3%
5% 6% 5%

Bunga eja Beru Lembo Kalukuang


La’latang Rappo Jawa Tammua
Rappokalling Wala-walaya Ujung Pandang Baru
Suangga Panampu Kaluku Bodoa
Buloa Tallo Lakkang

Tabel 4.7. Banyaknya RT/RW dan Lingkungan di Kecamtan Tallo Tahun 2014
No. Desa/Kelurahan RT RW Lingkungan
1 Bunga eja Beru 30 5 -
2 Lembo 31 5 -
3 Kalukuang 26 5 -
4 La’latang 28 4 -
5 Rappo Jawa 42 5 -
6 Tammua 27 6 -
7 Rappokalling 39 5 -
8 Wala-walaya 27 5 -
9 Ujung Pandang Baru 20 5 -
10 Suangga 29 6 -
11 Panampu 44 6 -
12 Kaluku Bodoa 51 7 -
13 Buloa 27 6 -
14 Tallo 26 5 -
15 Lakkang 8 2 -
Jumlah 455 77 -
Sumber : Kecamtan Tallo Dalam Angka 2015

2. Aspek Demografi
Kecamatan Tallo memiliki jumlah penduduk 137.997 jiwa , dengan
jumlah penduduk laki-laki 69.137 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
68.860 jiwa. Dengan julmlah penduduk terbesar terdapat di Kelurahan
Kalukuboddoa dengan jumlah penduduk 22.487 jiwa, sedangkan jumlah
penduduk paling rendah terdapat di Kelurahan Lakkang dengan jumlah
penduduk 961 Jiwa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.8

Tabel 4.8. Jumlah Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Tallo Tahun 2014
Jenis Kelamin
No. Kelurahan Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. Bunga Eja Beru 4.588 4.499 9.087
2. Lembo 5.864 5.663 11.527
3. Kalukuang 2.203 2.452 4.655
4. La’latang 2.042 2.300 4.342
5 Rappo Jawa 31.163 3.160 6.323
6. Tammua 3.163 3.160 9.794
7. Rappokalling 4.998 4.796 14.812
8. Wala-walaya 7.379 7.433 7.496
9. Ujung Pandang baru 3.716 3.780 3.654
10. Suwangga 4.584 1.820 9.110
11. Panampu 8.884 8.667 17.561
12. Kalukuboddoa 11.223 11.264 22.487
13. Buloa 4.089 3.908 7.997
14. Tallo 4.083 4.108 8.191
15 Lakkang 487 474 961
Jumlah 69.137 68.860 137.997
Sumber : Bps Kecamatan Tallo 2015

Diagram 4.5. Jumlah Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan


Tallo Tahun 2014
35,000

30,000

25,000

20,000

15,000

10,000

5,000

0
ru bo ng ng w
a ua ng lay bar
a u ga pu oa lo
a l lo ng
B e Lem kua ’lata o Ja mm alli a g a ng am odd Bu Ta kka
Ej
a lu La app Ta ok la-w dan w n b La
a Ka pp a n Su Pa luku
g R a a
n R W P Ka
Bu g
j un
U

Laki-Laki Perempuan

Berdasarkan tabel 4.8 dan Diagram 4.5 diatas, dapat kita ketahui
jumlah penduduk yang ada disetiap Kelurahan di Kecamatan dengan
jumlah total keseluruhan penduduk di Kecamatan Tallo adalah 137.997
jiwa. Kelurahan yang ada di Kecamatan Tallo dengan jumlah penduduk
terbesar berada di Kelurahan Kalukubodoa dengan jumlah penduduk
sebesar 22.487 dengan jumlah penduduk laki-laki adalah sebesar 11.264
jiwa. Untuk wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak kedua berada di
Kelurahan Panampu dengan total jumlah penduduk sebesar 17.561 jiwa
dengan jumlah penduduk yang berjenis Kelamin Perempuan sebanyak
8.677 jiwa. Sedangkan untuk Kelurahan dengan jumlah penduduk
terkecil berada di Kelurahan Lakkang dengan total jumlah penduduk
sebesar 961 jiwa dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin
perempuan sebesar 474 jiwa.
3. Penggunaan Lahan di Kecamatan
Tallo
Jenis penggunaan lahan yang terdapat di Kecamatan Tallo
sebanyak 13 jenis penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Tallo yang
masing-masing tersebar di Kelurahan yang ada di Kecamatan Tallo. Total
Luas Penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Tallo sebesar 3.397,31 Ha.
Untuk lebih jelasnya dapat diketahui melalui tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8. Penggunaan Lahan di Kecamatan Tallo Tahun 2016

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Danau 6,04

2 Genangan 4,68

3 Industri 27,09

4 Kebun 28,05

5 Pemakan/Makam 6,90

6 Mangrove 56,05

7 Pelabuhan 13,45

8 Permukiman 2.603,47

9 Rawa 4,56

10 Sawah 0,03

11 Sungai/Kanal 217,12

12 Tambak 374,75

13 Tanah kosong 55,12


Total 3.397,31
Sumber : Hasil Calculate Geometry (Arcgis), 2016

4. Pendidikan
Pada tahun ajaran 2014/2013 kumlah TK di Kecamatan Tallo
sebanyak 15 sekolah dengan 755 orang murid dan 52 orang guru. Pada
tingkat Sekolah Dasar baik megeri maupun sawasta dan madrasah ibtidayah
masing-masing berjumlah sebanyak 54 sekolah dengan 14.462 murid, dan
643 orang guru. Untuk tingkat SLTP baik negeri maupun swasta dan
madrasah tsanawiyah sebanyak 17 sekolah dengan 5.051 orang murid dan
316 orang guru. Sedangkan untuk tingkat SMA negeri, swasta, SMK dan
madrasah aliyah terdapat 8 sekolah dengan 3.482 orang murid dan 386
orang guru.
5. Kesehatan
Jumlah sarana kesehatan tahun 2014 di Kecamatan Tallo tercatat
rumah sakit 3 rumah bersalin dan 69 posyandu. Untuk tenaga medis, tercatat
58 orang dokter umum, 9 orang dokter spesialis, 18 oarng dokter gigi,
dengan jumlah paramedis sebanyak 23 orang bidan desa, 40 orang
perawat/mantri, 23 orang dukun bayi dan 21 orang dukun pijat.
6. Agama
Ditinjau dari agama yang dianut, tercatat bahwa mayoritas
penduduk Kecamatan Tallo adalah beragama Islam. Jumlah tempat ibadah
di Kecamatan Tallo cukup memadai karena terdapat 68 buah Mesjid, 8 buah
langgar/surau, dan 4 buah Gereja.
Tabel 4.9. Fasilitas Ibadah di Kecamatan Tallo Tahun 2014
No Desa/Kelurahan Masjid Langgar/surau Gereja Pura Vihara Lainnya Jumlah
1 Bunga Eja Beru 3 1 - - - - 4
2 Lembo 5 1 - - - - 6
3 Kalukuang 3 1 - - - - 4
4 La’latang 3 - - - - - 3
5 Rappo Jawa 3 - - - - - 3
6 Tammua 6 2 - - - - 8
7 Rappokalling 6 - - - - - 6
8 Wala-walaya 5 1 - - - - 6
Ujung Pandang
9 3 - 1 - - - 4
baru
10 Suwangga 4 1 2 - - - 7
11 Panampu 4 - - - - - 4
12 Kalukuboddoa 11 1 - - - - 12
13 Buloa 6 - - - - - 6
14 Tallo 4 - 1 - - - 5
15 Lakkang 2 - - - - - 2
Jumlah 68 8 4 - - - 80
Sumber : Bps Kecamatan Tallo 2015

C. Tinjauan Umum Kelurahan Buloa


1. Gambaran Umum Wilayah
Kelurahan Buloa
Kelurahan Buloa merupakan salah satu kelurahan dari 15 kelurahan di
Kecamatan Tallo, dengan luas wilayah 0,61 Km2 . Kelurahan Buloa
terbagi menjadi 6 rw , dengan jumlah penduduk 7.622 Jiwa. Batas
administrasi wilayah Kelurahan Buloa berbatasan dengan:
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tallo
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tamalanrea
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Ujung Pandang
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kalukuboddoa
2. Aspek Demografis
Kelurahan Buloa memiliki jumlah penduduk 7.622 jiwa , dengan
jumlah penduduk laki-laki 3.841 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
3.781 jiwa., adapun banyaknya penduduk menurut kelompok umur dan jenis
kelamin di Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo Tahun 2014 dapat dilihat
pada tabel 4.10

Tabel 4.10. Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan Jenis


Kelamin Di Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo Tahun 2014
Kelompok Jenis Kelamin
Jumlah
Umur Laki-laki Perempuan
0-4 437 417 855
5-9 381 338 719
10-14 347 315 662
15-19 356 384 740
20-24 452 423 876
25-29 393 370 763
30-34 346 347 693
35-39 289 264 554
40-44 205 200 405
45-49 185 179 364
50-54 137 123 260
55-59 100 103 204
60-64 70 118 188
65+ 142 199 341
Jumlah 3.841 3.781 7.622
Sumber : Bps Kecamatan Tallo 2015
3. Penggunaan Lahan
Jenis penggunaan lahan yang terdapat di Kelurahan Buloa
sebanyak 6 jenis penggunaan lahan yang ada di Kelurahan Buloa yang
masing-masing tersebar di RT/RW yang ada di Kelurahan Buloa. Total Luas
Penggunaan lahan yang ada di Kelurahan Buloa sebesar 88,5 Ha. Untuk
lebih jelasnya dapat diketahui melalui tabel 4.11 berikut:

Tabel 4.11. Penggunaan Lahan di Kelurahan Buloa Tahun 2016

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Kebun 0,1

2 Permukiman 46,0

3 Rawa 13,0
4 Sungai/Kanal 7,4

5 Tambak 6,5

6 Tanah kosong 15,4

Total 88,5
Sumber : Hasil Calculate Geometry (Arcgis), 2016

D. Tinjauan Umum Kawasan Kumuh Buloa


1. Gambaran
Umum Wilayah Kawasan Kumuh Buloa
Kawasan Kuwuh Buloa berada di tepian air yang dijadikan
sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar
atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan
yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman,
Kawasan Buloa memiliki luas wilayah 1,26 ha dengan jumlah penduduk
525 jiwa. Klurahan Buloa memiliki titik kordinat 119o6’31.97’’ BT dan
5O6’43.78”LS.

a. Aspek
Fisik Kawasan
1. Kondidi Bangunan
Permasalahan utama permukiman dalam kawasan kumuh
yang harus dipenuhi dalam suatu kawasan, yaitu persyaratan
administrasi yang meninjau legalitas lahan dan persyaratan teknis
yang meninjau keandalan dan fungsi bangunan serta penataan dari
bangunan itu sendiri. Dalam konteks perumahan dan permukiman
kumuh , didominasi fingsi bangunan yang ada dalam kawasan
tersebut adalah fungsi hunian dengan kualifikasi sederhana.

Tabel 4.12.Kondisi Bangunan Di Kawasan Kumuh Buloa Tahun 2016


Tingkat Ketidak
Kondisi Bangunan Persyaratan Teknis
Keteraturan
Luas
Tidak
Lahan Jumla Luas
Kepadatan Persentase Memiliki Persentase
(Ha) h Kawasan
(Unit/Ha) (%) Persyarata (%)
(Unit) (Ha)
n

2. Kondisi Jalan Lingkungan


Dalam konteks perumahan kumuh dan permukiman
kumuh, ketentuan mengenai jalan lingkungan disesuaikan juga
dengan persyaratan teknis dalam peraturan perundang-undangan
di bidang permukiman yang berlaku. Hal ini berkaitan dengan
ketentuan geometrik, perencanaan teknis dan lalu lintas dalam
skala lingkungan hunian dan kawasan permukiman tersebut.
mengenai Kondisi jalan Lingkungan dalam Kawasan Buloa dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.13. Kondisi Jalan Lingkungan Di Kawasan Buloa Tahun 2016


Panjang Lebar Luas Kondisi
No. Jalan
(m) (m) (m) Baik (m) Buruk (m)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7
8
Jumlah
Rata – Rata
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2016

3. Kondisi Drainase Lingkungan


Jaringan drainase dalam skala kawasan ataupun dalam
skala kota memliki tujuan untama untuk mengalirkan air agar
tidak terjadi genangan. Dalam kepentingan skala permukiman
yang lebih luas dalam upaya mengurangi genangan air, khususnya
di daerah bekas rawa-rawa perlu disediakan kolam retensi yang
berfungsi menyimpan dan meresapkan air ke dalam tanah. Jika
ditinjau dari bangunannya, sarana drainase terdiri dari sarana
badan penerima air dan bangunan pelengkap. Masing-masing
sarana terdiri dari prasarana pendukungnya, mengenai Kondisi
bagunan dalam Kawasan Buloa dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.14. Kondisi Drainase Lingkungan Di Kawasan Buloa Tahun 2016


Kondisi Drainase Kondisi Genangan
Lebar Tinggi Tinggi
Panjang Volume Volume Persentase
Rata-Rata Rata- Rata-
(m) (m3) (m3) (%)
(m) Rata (m) Rata (m)

Sumber: Survei Lapangan Tahun 2016

4. Kondisi Penyediaan Air Minum


Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dapat dilakukan
melalui sistem jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan.
Adapun mengenai Kondisi SPAM Kawasan Buloa dapat dilihat
pada tabel berikut:

Tabel 4.15. Kondisi Penyediaan Air Minum Di Kawasan Buloa Tahun


2016
Sumber Cakupan
Persentase (%)
Air Bersih pelayanan (KK)
PDAM
Sumur Bor
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2016

5. Kondisi Pengelolaan Air Limbah


Sistem pengolahan air limbah terdiri dari dua jenis yaitu
sistem pengolahan air limbah setempat, baik secara individual
maupun komunal, serta sistem pengolahan air limbah terpusat.
Untuk di Kawasan Buloa.Melihat dari kawasan penelitian kami
yang berada di Kelurahan Buloa khususnya di RW 5 bahwasanya
pengelolaan limbah yang ada di daerah tersebut sangatlah buruk
di karenakan tidak adanya saluran pembuangan khusus untuk
pengelolaan air limbah masyarakat di Kawasan Buloa. Keadaan
perumahan di Kawasan Buloa berdiri di atas sempadan sungai
secara langsung yang mengakibatkan pengelolaan air limbah di
Kawasan Buloa langsung di buang saja di daerah laut yang
memungkinkan terjadinya pencemaran air yang menambah nilai
kumuh di perumahan masyarakat di Kawasan Buloa.

6. Kondisi Pengelolaan Persampahan

Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi degradasi


lingkungan pada kawasan pemukiman, maka dibutuhkan sistem
pengolaan persampahan. Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi
persampahan di Kawasan Buloa dapat dilihat pada tabel berikut
ini.

Tabel 4.16 Kondisi Pengelolaan Persampahan Kawasan Buloa Tahun 2016


Tempat Sampah Tidak
Memiliki Persyaratan Cakupan Pelayanan
Tempat Jumlah
Teknis
Sampah (Unit)
Jumlah Persentase Terlayani Tidak
(Unit) (%) (%) Terlayani (%)
Bak
Sampah
Kontainae
r
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2016
7. Kondisi Pengaman Kebakaran
Salah satu permasalah kawasan kumuh adalah rentan
terjadinya kebakaran. Faktor-faktor penyebab terjadinya
kebakaran pada kawasan kumuh diantaranya tingkat kerapatan
antar bangunan yang sangat tinggi, penggunaan lahan yang tidak
teratur, lebar jalan yang semakin menyempit, sanitasi yang buruk
dan ditambah dengan kelalaian manusia (Human Eror).
Berdasarkan hasil survey di Kawasan Buloa, Kecamatan
Tallo, sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 20/PRT/M/2009
tentang Pedoman Teknis manajemen Proteksi Kebakaran, maka
kawasan ini dapat dikatakan belum memenuhi standar pelayanan
minimum proteksi kebakaran. Hal ini dapat terlihat dari
kepadatan bangunan yang cukup tinggi, serta prasaranan air dan
Jalan yang belum memadai.

b. Aspek Non Fisik Kawasan


1. Nilai Strategis Kawasan
Salah satu bentuk penanganan pemukiman kumuh adalah
dengan merevitalisasi kawasan-kawasan tersebut menjadi
kawasan yang berpotensi, baik dari segi ekonomi maupun social.
untk mewujudkan hal ini maka perlu dilakukan identifikasi nilai
strategis kawasan.
Kawasan Buloa, Kecamatan Tallo merupakan kawasan
berada di kawasan pusat kota menurut RTRW Kota Makassar.
Namun, lokasinya yang jauh dari jalan-jalan utama perkotaan dan
prasarana jalan yang tidak mendukung, serta lokasi kawasan
yang berada di lokasi yang tidak semestinya, mengindikasikan
bahwa Kawasan Buloa harus ditangani lebih lanjut agar memiliki
berpotensi untuk dikembangkan.
2. Kepadatan Penduduk
Perkembangan lingkungan permukiman kumuh dan padat
tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk kota itu
sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Kepadatan penduduk
penting untuk melihat kondisi kependudukan yang sangat penting
terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh nantinya.
Adapun Kepadatan penduduk di Kawasan Buloa dapat dilihat
pada tabel berikut:

Tabel 4.17. Kepadatan Penduduk Di Kawasan Buloa Tahun 2016


Kepadatan Penduduk
Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa)
(Jiwa/Ha)

Sumber: Survei Lapangan Tahun 2016

3. Potensi Sosial Ekonomi


Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh salah
satunya dengan memperhatkan potensi ekonomi kawasan.
Dengan melihat potensi ekonomi kawasan memberikan
ketertarikan pada investor untuk dapat menangani kawasan
kumuh yang ada.
Berdasarkan RTRW Makassar, Kecamatan Tallo berada di
Kawasan Pusat Kota. Kawasan Buloa yang berada dalam wilayah
administratif Kecamatan Tallo, tak jauh dari kawasan ini terdapat
beberapa fasilitas social seperti Perguruan Tinggi Negeri, dan
beberapa fasilitas perkantoran. Namun, prasarana jalan dan lokasi
kawasan ini tidak strategis untuk dikembangkan, baik ekonomi
maupun sosialnya. Melihat kondisi ini dapat diindikasikan bahwa
Kawasan Tidung tidak memiliki potensi social ekonomi yang baik
untuk dikembangkan.
4. Dukungan Masyarakat
Permukiman kumuh merupakan salah satu masalah nyata
yang dihadapi oleh seluruh kota di Indonesia. Salah satu cara
memecahkan permasalahn pemukiman kumuh, tidak hanya
dengan peremajaan kawasan atau penataan kembali kawasan
kumuh, tapi juga dengan menyerap aspirasi masyarakat
permukiman kumuh.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Kawasan
Buloa, Kecamatan Tallo dukungan masyarakat terhadap
penanganan kawasan kumuh di daerah tersebut cukup tinggi.
Masyarakat sangat menginginkan adanya penanganan nyata,
terkhusus perbaikan pada aspek fisik Kawasan Buloa, seperti
prasarana dan penataan lingkungan.
5. Komitmen Pemerintah Daerah
Setelah mendapatkan dukungan dari masyarakat, yang
selanjutnya dibutuhkan adalah Komitmen pemerintah daerah
(kabupaten/kota/propinsi) apabila pemerintah daerah setempat
memiliki komitmen yang baik terhadap penanganan kawasan
kumuh, maka dapat diindikasikan bahwa pemerintah daerah
menginginkan adanya keteraturan pembangunan khususnya
kawasan yang ada di daerahnya. Sehingga permasalahan
kekumuhan perkotaan dapat dipecahkan.

Untuk Kawasan Buloa, Kecamatan Tallo, komitmen


pemerintah daerah cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
penetapan Perda RTRW Kota Makassar yang salah satunya
adalah penataan ruang Kecamatan Tallo.

c. Aspek Fisik Kawasan


1. Status Tanah
Menurut UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman, salah satu karakteristik pemukiman kumuh adalah
berada di atas lahan/tanah yang status hukumnya tidak jelas.
Melalui Identifikasi legalitas lahan, maka akan diperoleh basis
data kondisi status lahan dan kesesuaian RTR untuk setiap lokasi
perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang diidentifikasi
sebagai dasar penentuan kebijakan penanganan setiap lokasi.
Berikut ini data mengenai status tanah Kawasan Buloa,
Kecamatan Tallo :
Tabel 4.18. Status Tanah Di Kawasan Buloa Tahun 2016
No
Legalitas Lahan Jumlah (Unit) Persentase (%)
.
1 Legal
2 Ilegal
Jumlah
Sumber: Survei Lapangan Tahun 2016

2. Kesesuaian RTRW
RTRW Kota Makassar sebagai dasar penyelenggara
pengaturan tata ruang wilayah diharapkan mampu mengatasi
berbagai permasalahan penataan ruang di Kota Makassar, salah
satunya permasalahan pemukiman kumuh. Berdasarkan Hasil
survey, diketahui bahwa Kawasan Buloa, Kecamatan Tallo berada
dalam Zona Pemukiman sesuai yang ditetapkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar. Hanya saja
implementasi atas penyelenggaraan RTRW Kota Makassar belum
maksimal.
3. Pensyaratan Administrasi (IMB)
Kriteria status tanah sebagai mana tertuang dalam Inpres
No. 5 tahun 1990 tentang Peremajan Permukiman Kumuh adalah
merupakan hal penting untuk kelancaran dan kemudahan
pengelolaanya. Kemudahan pengurusan masalah status tanah
dapat menjadikan jaminan terhadap ketertarikan investasi dalam
suatu kawasan perkotaan. Salah satu cara untuk mengetahui status
tanah pada suatu kawasan adalah dengan melihat kelengkapan
administrai bangunan di kawasan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada
masyarakat di Kawasan Buloa, Kecamatan Tallo, didapatkan
bahwa 100% keluarga di Kawasan Buloa tidak melengkapi
kelengkapan administrasi bangunan (IMB). Untuk mengetahui
kondisi persyaratan administrasi (IMB) di Kawasan Buloa,
Kecamatan Tallo dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.12. Persyaratan Administrasi (IMB) Di Kawasan Buloa


Tahun 2016
No. Perizinan (IMB) Jumlah (Unit) Persentase (%)
Memiliki IMB
TidakMemiliki IMB
Jumlah
Sumber: Survei Lapangan Kawasan Kumuh Tahun 2016

E. Analisis dan Pembahasan


Dari hasil survey lapangan dapat diketahui bahwa dari Aspek Fisik
berupa kondisi bangunan terdapat bangunan yang baik dan juga ada
beberapa yang termasuk kondisi kurang baik,hal itu dilihat dari kondisi
dan koefisien dari bangunan itu sendiri seperti rumah untuk kondisi jalan
lingkungan sudah baik,hal itu dilihat dari akses masyarakat yang lancar
meskipun lebar jalan yang ada pada lokasi tidak memenuhi ukuran standar
sehingga kendaraan sulit menyesuaikan dengan lebar jalan. Dari kondisi
drainase sendiri pada lokasi ini kurang baik dan menjadi penyebab utama
banjir yang terjadi setiap musim hujan.
Di kawasan ini untuk penyediaan air bersih,warga sulit dalam
memperolehnya dikarenakan warga harus membeli air PDAM yang jarak
pemerolehannya pun jauh dari rumah warga,adapun sumber air lain yang
digunakan adalah dari sumur bor,sumur bor ini digunakan untuk konsumsi
warga.Untuk persampahan sendiri,sudah baik,partisipasi warga dalam
kepedulian lingkungan sudah sangat baik, menurut keterangan
warga,setiap minggu warga kerja bakti untuk kebersihan lingkungan.
Berdasarkan aspek non fisik berupa nilai strategis kawasan, kawasan
ini merupakan kawasan yang strategis karena mudah dijangkau dan
merupakan daerah perkotaan yang mudah untuk di akses. Dari aspek
social,partisipasi masyarakat dan masih sangat baik dilihat dari gotong
royong masyarakat dalam upaya kepedulian lingkungan. Berdasarkan
tingkat pendidikan, rata-rata pendidikan dari warganya yaitu tamatan
SMA, oleh karenanya pekerjaan dari warganya pun beragam seperti buruh
dan juga penghasilan pun beragam. Untuk pemenuhan kesehatan, terdapat
posyandu yang melayani masyarakat

a. Kondisi Bangunan

Tabel 4.13. Analisis Kondisi Bangunan Di Kawasan BuloaTahun 2016


Bobo
Aspek Kriteria Indikator Nilai
t
Keteraturan Persentase Bangunan Tidak Memiliki
Bangunan Keteraturan
Kondisi Kepadatan
Kepadatan Bangunan sebesar
Bangunan Bangunan
Persyaratan Persentase Bangunan Tidak Memenuhi
Teknis Persyaratan teknis
Cakupan Persentase Cakupan Jalan Lingkungan
Kondisi
Pelayanan Tidak Memadai
Jalan
Kualitas
Lingkungan Persentase Jalan Kualitas Buruk
Jalan
Persyaratan Persentase Drainase Lingkungan Tidak
Kondisi
Teknis Mampu Mengisi Genangan
Drainase
Cakupan Persentase Luas Area Tidak Terlayani
Lingkungan
Pelayanan Drainase Lingkungan
Persyaratan Persentase Spam Tidak Memiliki
Kondisi
Teknis persyaratan Teknis
Penyediaan
Cakupan Persentase Cakupan Pelayanan SPAM
Air
Pelayanan Tidak memadai
Persyaratan Persentase Pengelolaan Air Limbah Tidak
Kondisi Teknis Memenuhi Persyaratan Teknis
Pengelolaan Persentase Cakupan Pengelolaan Air
Cakupan
Air Limbah Limbah Tidak Memadai Terhadap Jumlah
Pelayanan
Populasi
Persentase Pengelolaan Sampah Tidak
Kondisi Persyaratan
Memenuhi Persyaratan Teknis di Luas
Pengelolaan Teknis
Area
Persampaha
Cakupan Cakupan Pengelolaan Persampahan Tidak
n
Pelayanan Memadai di Populasi
Kondisi Persyaratan Persentase Pasokan Air Tidak Memadai
Pengamanan Teknis Terhadap Luas Area
Kebakaran Cakupan Jalan Lingkungan Untuk Mobil Damkar
Bobo
Aspek Kriteria Indikator Nilai
t
Pelayanan Tidak Memadai di terhadap Luas Area
Jumlah
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2016

b. Pertimbangan Lain (Non Fisik)

Tabel 4.14. Analisis Pertimbangan Lain Di Kawasan Tidung Tahun 2016


Bobo
Kriteria Indikator Nilai
t
Nilai
Lokasi terletak pada fungsi strategis
Strategis  
kawasan/wilayah
Lokasi
Kepadatan
Kepadatan Bangunan Lokasi  
Bangunan
Lokasi Tidak/memiliki potensi social
Potensi
ekonomi tinggi yang potensial  
Sosial
dikembangkan
Dukungan
Dukungan masyarakat terhadap proses
Masyaraka  
penanganan kekumuhan tinggi
t
Komitmen Komitmen Penanganan Oleh Pemda
 
Pemda Tinggi
Jumlah  
Sumber: Hasil AnalisisTahun 2016

c. Legalitas Lahan

Tabel 4.15. Analisis Legalitas Lahan Di Kawasan Tidung Tahun 2016


Bobo
Kriteria Indikator Nilai
t
Keseluruhan lokasi memiliki kejelasan status
Status
tanah/Sebagian atau keseluruhan lokasi tidak  
Tanah
memiliki kejelasan status tanah
Keseluruhan lokasi berada pada Zona pemukiman
Kesuaian sesuai RTR (Sesuai)/Sebagian atau keseluruhan
 
RTR lokasi tidak berada pada Zona pemukiman sesuai
RTR (Tidak Sesuai)
Perst. Adm. Keseluruhan bangunan pada lokasi telah memiliki
Bangunan IMB/Sebagian atau keseluruhan bangunan pada  
(IMB) lokasi belum memiliki IMB
Jumlah  
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai