DISUSUN OLEH :
D051171511
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2020
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR TABEL...............................................................................................................iii
BAB III
A. Jenis Penelitian...............................................................................................................11
B. Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................................................12
C. Populasi dan Sampel......................................................................................................13
D. Jenis dan Sumber Data ..................................................................................................13
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................14
F. Teknik Analisis Data .....................................................................................................15
G. Kriteria Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data..............................................................16
H. Konsep Operasional .......................................................................................................18
BAB IV
BAB V
A. Kesimpulan.....................................................................................................................31
B. Saran..............................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.Peta Perkembangan Perumahan, Tahun 2006-2017 (Sumber: Analisis Penelitian, 2018)
Gambar 5. peta desa Cikoang (Sumber :Jurnal Pola Tata Ruang peruahan dan Perkembangannya
Ditinjau Dari Aspek Sosial Budaya
Gambar 10. Peta kontur desa Cikoang (Sumber : Cad mapper 2020)
Gambar 15. Peta Ruang Kegiatan Budaya dan Pergerakan pada Maudu Lompoa (Sumber : Google
igame)
Gambar 21. Peta Ruang Kegiatan Budaya dan Pergerakan Pada Maudu Lompoa (sumber : Jur nal
Pola Tata Ruang Perumahan Dan Perkembangannya Ditinjau Dari Kearifan Lokal Desa Cikoang)
3
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki daerah perairan yang luas
sehingga secara otomatis negara ini memiliki wilayah pesisir yang sangat banyak. Wilayah
pesisir yang relatif sempit tetapi memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non hayati
yang besar, sumber daya buatan, serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat. Daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut secara ekologis disebut
wilayah pesisir.
Lingkungan pemukiman adalah tempat atau daerah untuk bermukim, yang
berkontadisi sebagai tempat kediaman untuk menetap,dalam istilah pemukima n
terkandung pengertian konstektual yang selaras untuk bertempat tinggal; dari keselaran ini
kemudian akan merangsang tumbuhnya niat untuk tinggal menetap bersama-sama dengan
penghuni yang lain membentuk wadah (unsur fisik spatil) dan mengadakan kegiatan
masyarakat (unsur non fisik) dalam satu lingkungan atau kawasan.atau dengan kata lain
pemukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan manusia yang didalamnya terdapat
tata kehidupan sosial budaya serta unsur-unsur fisik yang mewadahi (Tuan,
1972:29)dengan demikian tatanan lingkungan permukiman sebagai hasil bentuk arsitektur,
proses dan komponen pembentuknya tidak terlepas dari masalah karakteristik masyarakat.
Salah satu daerah pesisir di Indonesia yang terdapat Kabupaten Takalar Provinsi
Sulawesi Selatan adalah desa pesisir Cikoang yang terletak di Kecamatan
Manggarabombang. Desa Cikoang yang terletak di pesisir sungai Cikoang ini berjarak
sekitar 20 km dari pusat kota Takalar. Desa Cikoang memiliki ciri khas tersendiri yang
menjadikannya berbeda dari desa pesisir lainnya. Salahsatu tradisinya yang terkenal dan
menjadi ikonik adalah Maudu Lompoa. Cikoang adalah desa dengan mayoritas pengatut
islam yang taat yang memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Daerah ini terdiri dari
karakteristik masyarakatnya, kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan, hingga
kepercayaan mereka terhadap mitos-mitos membuat mereka memiliki ciri atau pola
tersendiri dalam kehidupan sosial mereka. Pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik
menyebutkan jumlah penduduk desa Cikoang mencapai 2.913 jiwa, selanjutnya di tahun
2015 sebanyak 3.007 jiwa, dan di tahun 2016 meningkat menjadi 3.022 jiwa. Dapat dilihat
5
tingkat pertumbuhan bahwa jumlah pendududuk desa ciakoang bertambah dari tiap
tahunnya
Analisis karakteristik masyarakat pesisir Desa Cikoang untuk mengetahui secara
spesifik mengenai sistematika kehidupan masyarakat Desa Cikoang.Terutama dalam aspek
sosial, ekonomi dan budaya yang sangat berhubungan erat dengan interaksi kehidupan
masyarakat tersebut. Kegiatan estimasi dan analisis mengenai karakteristik masyarakat
pesisir ini tentunya akan mendapatkan berbagai informasi yang akurat. Informasi tersebut
tentunya manjadi bahan promosi kepada masyarakat luar tentang karakteristik masyarakat
pesisir terhadap pola pemukiman di Desa Cikoang yang memiliki ciri khas
tersendiri.Terutama bagi promosi dalam aspek keunikan budaya. Oleh karena itu perlu
adanya pemahaman yang maksimal mengenai karakteristik masyarakat pesisir Desa
Cikoang Kabupaten Takalar.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
D. MANFAAT PENELITIAN
2. Untuk menambah keterampilan peneliti dalam menulis karya tulis berupa jurnal ataupun
artikel, dan menambah wawasan peneliti tentang pengaruh karakteristik masyarakat
pesisir terhadap pola permukiman di desa Cikoang.
E. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini meliputi mengenai faktor-faktor yang memenga r uhi
karakteristik masyarahat sehingga terhadap terbentuk pola pemukiman warga yang
menjadi ciri khas masyarakat di Desa Cikoang Kabupaten Takalar.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
c. Tata ruang (zona) merupakan pembagian daerah kegiatan penghuni dalam suatu
permukiman, yang diatur berdasarkan struktur keyakinan, aturanaturan adat atau
kebiasaan masyarakat setempat;
d. Ragam hias, yaitu unsur-unsur dominan yang banyak ditemukan pada permukima n,
baik alami maupun buatan manusia (craftmanship). Ragam hias juga ada yang
memiliki latar belakang kebudayaan yang berhubungan dengan kepercayaan
masyarakat adat setempat, ada juga yang tidak.
Abdullah (2000), juga membedakan pola permukiman secara garis besar menjadi 2 tipe
yaitu; pola permukiman yaitu :
a. Mengumpul (compact settlement), pola ini dapat berbentuk radial, linier, dan papan
catur
b. Menyebar (scattered, dispersed), pola ini dapat berbentuk multi pusat dan tersebar
murni.
a. Sub Kelompok Komunitas (Cluster) yaitu pola permukiman tipe ini berbentuk
cluster, terdiri dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-
ruang penting.
b. Face to face yaitu pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian
sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat.
Kawasan tepian air (waterfront) merupakan area pertemuan antara sisi daratan dan
sisi perairan yang berbatasan dengan laut, danau, sungai dan sejenisnya (Hornby, 1987).
Secara umum waterfront development dapat diartikan sebagai suatu proses dan hasil
pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air. Air disini jenisnya
bermacam-macam seperti air laut, air sungai, air danau, dimana semua itu merupakan salah
satu aspek waterfront. Menurut Torre (1989), ada beberapa aspek yang dapat membantu
keberhasilan dalam pengembangan suatu kawasan waterfront, antara lain:
1. Citra/image Citra atau image yang terbentuk sangat terkait dengan fasilitas dan
pelayanan kegiatan yang diwadahi. Kesan ini perlu diciptakan, karena akan
memberikan sisi pandang tersendiri tentang kawasan tepian air. Memberikan berbagai
11
fasilitas dan pelayanan kegiatan seperti rekreasi, sarana olah raga, fasilitas hunian,
maupun restoran serta keindahan visual yang khas sangatlah penting. Khususnya dalam
membentuk citra atau image lingkungan yang baik dan menarik pada kawasan tepian
air tersebut.
2. Pengalaman (experience) Dengan memberikan akses ke air, kawasan tepian air dapat
memberikan sebuah pengalaman yang mengasyikan dan pengetahuan khas yang
bertumpu pada karakter atau ciri-ciri khas air. Hal ini dapat dicapai dengan
menyediakan ruang-ruang bermain, memelihara kehidupan flora-fauna yang ada dan
menonjolkan fasilitas-fasilitas yang berkenaan dengan pengendalian karakter air
seperti : saluran pintu air, kanal, danadanau buatan pengatur air dan sebagainya.
3. Fungsi Keberadaan fungsi tersebut antar lain memberikan jaminan aksesibilitas atau
pencapaian, sirkulasi dan parkir yang memenuhi kebutuhan pada saat-saat puncak
keramaian, kemudahan dan kenyamanan pergerakan pejalan kaki, memberi
pengalaman mengasyikan bagi pengunjung, menciptakan lingkungan ekologis yang
memenuhi syarat serta menyediakan fasilitas (hunian, rekreasi, olahraga, perbelanjaan)
yang memadai dan menarik setiap saat.
C. Pengertian Masyarakat
Banyak deskripsi yang dituliskan oleh para pakar mengenai pengertian
masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin
socius, berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka
yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau dengan istila h
ilmiah, saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 2009: 116). Menurut Phil Astrid S.
Susanto (1999: 6), masyarakat atau society merupakan manusia sebagai satuan sosial dan
suatu keteraturan yang ditemukan secara berulang ulang, sedangkan menurut Dannerius
Sinaga (1988: 143), masyarakat merupakan orang yang menempati suatu wilayah baik
langsung maupun tidak langsung saling berhubungan sebagai usaha pemenuha n
kebutuhan, terkait sebagai satuan sosial melalui perasaan solidaritas karena latar belakang
sejarah, politik ataupun kebudayaan yang sama.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dimaknai bahwa masyarakat merupakan
kesatuan atau kelompok yang mempunyai hubungan serta beberapa kesamaan seperti
sikap, tradisi, perasaan dan budaya yang membentuk suatu keteraturan. Adapun macam-
macam masyarakat yaitu:
1. Masyarakat modern
Masyarakat modern merupakan masyarakat yang sudah tidak terikat pada
adat-istiadat. Adat-istiadat yang menghambat kemajuan segera ditinggalkan untuk
mengadopsi nila-nilai baru yang secara rasional diyakini membawa kemajuan,
sehingga mudah menerima ide-ide baru (Dannerius Sinaga, 1988: 156). Berdasar
pada pandangan hukum, Amiruddin (2010: 205), menjelaskan bahwa dalam
masyarakat modern mempunyai solidaritas sosial organis. Menurut OK. Chairuddin
(1993: 116), solidaritas organis didasarkan atas spesialisasi. Solidaritas ini muncul
karena rasa saling ketergantungan secara fungsional antara yang satu dengan yang
lain dalam satu kelompok masyarakat. Spesialisasi dan perbedaan fungsional yang
seperti diungkapkan tersebut memang kerap dijumpai pada masyarakat modern.
Selain adanya solidaritas organis, Amiruddin (2010: 206) juga menjelaska n
bahwa hukum yang terdapat dalam masyarakat modern merupakan hukum restruktif
yaitu hukum berfungsi untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan untuk
membentuk kembali hubungan yang sukar atau kacau kearah atau menjadi normal.
Jadi masyarakat modern merupakan yang sudah tidak terpaku pada adat-istiadat dan
cenderung mempunyai solidaritas organis karena mereka saling membutuhkan serta
hukum yang ada bersifat restruktif.
2. Masyarakat tradisional
Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang masih terikat dengan
kebiasaan atau adat-istiadat yang telah turun-temurun. Keterikatan tersebut
menjadikan masyarakat mudah curiga terhadap hal baru yang menuntut sikap
rasional, sehingga sikap masyarakat tradisional kurang kritis (Dannerius Sinaga,
1988: 152). Menurut Rentelu, Pollis dan Shcaw yang dikutip dalam (P. J Bouman.
1980: 53) masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang statis tidak ada
perubahan dan dinamika yang timbul dalam kehidupan.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat tradisiona l
merupakan masyarakat yang melangsungkan kehidupannya berdasar pada patokan
kebiasaan adat-istiadat yang ada di dalam lingkungannya. Kehidupan mereka belum
terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkunga n
sosialnya, sehingga kehidupan masyarakat tradisional cenderung statis.
Menurut P. J Bouman (1980: 54-58) hal yang membedakan masyarakat
tradisional dengan masyarakat modern adalah ketergantungan masyarakat terhadap
lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap
13
alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam. Oleh karena itu
masyarakat tradisional mempunyai karakteristik tertentu yang menjadi ciri pembeda
dari masyarakat modern. Adapun karakteristik pada masyarakat tradisiona l
diantaranya:
a. Orientasi terhadap nilai kepercayaan kebiasaan dan hukum alam tercermin dalam
pola berpikirnya
b. Kegiatan ekonomi masyarakat bertumpu pada sektor agraris
c. Fasilitas pendidikan dan tingkat pendidikan rendah
d. Cenderung tergolong dalam masyarakat agraris dan pada kehidupannya
tergantung pada alam sekitar
e. Ikatan kekeluargaan dan solidaritas masih kuat
f. Pola hubungan sosial berdasar kekeluargaan, akrab dan saling mengenal
g. Kepadatan penduduk rata-rata perkilo meter masih kecil
h. Pemimpin cenderung ditentukan oleh kualitas pribadi individu dan faktor
keturunan (Dannerius Sinaga, 1988: 156).
15
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan menjelaskan pengaruh karakteristik masyaraka t
terhadap pola pemukiman. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan fenomena -
fenomena obyektif berdasarkan survey, observasi, behavior mapping, wawancara,
literatur dan trigulasi data. Oleh karena itu, maka digunakan metode penelitia n
gabungan kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan fenomena
aspek fisik dan non fisik terhadap konfigurasi ruang permukiman.
Lokasi penelitian ini memiliki luas 5.58 km2, dengan jumlah penduduk pada
tahun 2017 mencapai 3.022 jiwa, dimana penduduk laki-laki 1.404 jiwa, dan penduduk
perempuan 1.618 jiwa. Terdapat 672 keluarga dalam lokasi ini, dengan 14 RW/RT yang
terdapat didalamnya. Adapun waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29
Oktober 2020 bertepatan dengan hari Maulid Nabi Muhammad SAW yang dimana
acara Maudu’ Lompoa dilaksanakan.
C. Jenis Data
Adapun jenis data yang telah dijaring dalam penelitian ini untuk menemuka n
solusi permasalahan dijelaskan pada tabel 3.1
1. Aspek Sosial
Budaya
• Aspek mata Menjelaskan
pencaharian : pola
a. Sistem mata kegiatan
pencaharian. terkait
1. Aspek Survey,
b. Pola dengan mata
sosial Data observasi,
hubungan pencaharian
primer kuisioner dan
masyarakat dan
rekapitulasi
terkait pengaruhnya
aktivitas terhadap
kerja. pola
permukiman.
Menjelaskan
fenomena
• Tradisi Survey,
budaya
2. Aspek Budaya bermukim Data observasi,
masyarakat
• Sistem primer kuisioner dan
dan
kekerabatan rekapitulasi
pengaruhnya
terhadap
17
pola
permukiman.
2. jalan
• Tata letak
bangunan Menjelaskan
Survey,
konfigurasi Data
• Bentuk observasi dan
bangunan ruang primer
peta citra
2. Bangunan permukiman
• Orientasi
bangunan
• Pola ruang
terbuka
19
pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperole h
kebenaran handal.
5. Melakukan analisis
Setelah data terklasifikasi dengan jelas, analisis data bisa dilakukan untuk
menemukan pola. Pada tahap ini ada perbedaan yang menonjol antara penelitia n
kuantitatif dan kualitatif. Riset kuantitatif lumrahnya menerapkan statistik.
Sedangkan riset kualitatif menerapkan coding. Keduanya bisa dilakukan secara
manual atau dengan bantuan software komputer. Berikut ini akan saya jelaskan
secara singkat analisis data pada kedua metode penelitian dan software apa saja
yang bisa digunakan.
21
BAB IV
Gambar 6. peta desa Cikoang (Sumber :Jurnal Pola Tata Ruang peruahan dan Perkembangannya Ditinjau Dari Aspek
Sosial Budaya
Secara geografis, Desa Cikoang adalah salah satu desa yang terletak di pesisir selatan
Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada posisi 1190 25’
– 1190 28’ LS dan 50 31’– 50 34’ BT. Dengan luas wilayah 555,49 Ha Desa Cikoang
berjrak 7,90 Km dari ibu kota Kecamtan Mangarabombang. Sedangkan Jarak Desa
Cikoang dengan ibu kota Kabupaten Takalar yaitu 15,50 Km. Adapun batas – batas dari
desa Cikoang secara administrasi yaitu:
Di tengah-tengah desa ini terdapat aliran sungai yang oleh warga Cikoang disebut sebagai
Muara Cikoang. Sungai inilah yang selalu dijadikan sebagai lokasi pelaksanaan Maudu
Lompoa setiap tahunnya. Secara keseluruhan, luas daerah desa Cikoang adalah sebesar 555,5
Ha. Luas tersebut meliputi empat dusun di dalamnya, yaitu dusun Cikoang, dusun Bontobaru,
dusun Bila-bilaya dan dusun Jonggowa.
23
Gambar 8. Block plan desa pesisir cikoang (sumber : CAD Mapper)
Pola pemukiman masyarakat Cikoang tidak memiliki aturan tertentu dan setelah semua
proses administrasi kepemilikan tanah sudah dimiliki, maka pemilik memiliki hak untuk
membangun. Dan karena masyarakat desa Cikoang mayoritas muslim maka akan dilaluka n
acara syukuran dan doa untuk mendirikan bangunan.
1. Karakteristik perumahan
Seperti masyarakat Sulawesi pada umumnya, rumah di desa Cikoang adalah rumah
panggung yang selain menjadi rumah tinggal tinggal dan juga setiap rumah memiliki bentuk
yang berbeda yang menjadi status sosial masyarakat antara bangsanwan dan masyarakat biasa.
Gambar 10. Perumahan pinggir sungai desa cikoang ( Sumber : Google Earth)
Gambar 11. Peta kontur desa Cikoang (Sumber : Cad mapper 2020)
25
Seluruh wilayah Cikoang terletak pada dataran rendah dengan jarak ketinggian terdekat
dari permukaan laut adalah setinggi 2 m. Dari keseluruhan luas wilayah Cikoang, 45,86 %
digunakan untuk perkebunan, 30,26 % merupakan lahan persawahan, 6,20 % adalah lahan
pemukiman warga, dan sisanya adalah lahan pekarangan, perkantoran dan prasarana umum
lainnya. Seperti wilayah lain di Indonesia pada umumnya, Cikoang juga beriklim tropis. Rata-
rata curah hujan yang turun adalah 1.883 mm tiap tahunnya di mana musim hujan berlangsung
pada bulan Desember sampai Maret. Sedangkan pada bulan April sampai November terjadi
musim kemarau. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan hujan juga turun pada
musim kemarau, hanya saja pada bulan Desember sampai Maret adalah bulan di mana hujan
turun paling sering.
Letak desa Cikoang yang berada di daratan rendah dan dengan kondisi tanah yang tidak
terlalu tandus menjadikan petani sebagai sumber mata pencaharian utama di desa ini. Sumber
mata pencaharian lain yang tidak kalah pentingnya dari petani adalah nelayan, penambak
garam di bagian pesisir sungai Cikoang, serta selebihnya adalah penganyam, pedagang dan
juga pegawai negeri sipil. Tanaman padi yang menjadi sumber makanan pokok penduduk di
Cikoang hanya bergantung pada sawah tadah hujan, sehingga produksi padi hanya berlangsu ng
sekali dalam setahun. Di musim kemarau, sawah diolah kembali untuk menanam tanaman lain,
seperti jagung dan kacang hijau.
Kepadatan
Luas Rumah
No Desa/Kelurahan Penduduk Persentase Penduduk/Km
(Km2) Tangga
2
1 Cikoang 5.56 3.210 672 7.81 54.35
F. Bidang Pendidikan
Meskipun letak desa Cikoang agak jauh dari kota, namun penduduknya masih bisa
tersentuh oleh pendidikan. Hingga saat ini, telah ada lima bangunan sekolah di dalamnya yang
terdiri atas 3 sekolah dasar, 1 SMP dan 1 SMA. Sekolah-sekolah tersebut adalah SDN.
Jonggowa SDN. Inp. Bonto-bonto, SDN. Inp. Kampung Parang, SLTP Neg. 3
Mangarabombang dan SMU Neg. 1 Mangarabombang.
27
Gambar 12. SDN Jonggowa (Sumber : google image)
G. Sosial Budaya
1. Maudu’ Lompoa
Islam adalah agama yang menjadi agama yang mayoritas dianut oleh mayarakat
desa Cikoang, sesuai dengan tradisi islam tiap tahun yang merayakan maulid,
masyarakat desa Cikoang memiliki cara tersendiri untuk merayakannya yang
menjadi cirikhas tersendiri desa tersebut yang dengan masyarakat setempat sebut
Maudu’ lompoa. Maudu’ Lompoa berarti Maulid Besar atau lebih dikenal sebagai
puncak peringatan maulid yang telah dimulai sejak tahun 1621 telah menjadi
kegiatan tahunan masyarakat Cikoang. Kegiatan ini ditujukan untuk menanamka n
kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Maudu Lompoa
merupakan pesta keagamaan masyarakat Cikoang yang sarat dengan nilai- nila i
budaya yang terus dilestarikan turuntemurun. Menurut Sasongko (2005:89) konteks
budaya terkait dengan ruang permukiman menyatakan untuk menjelaskan makna
dari organisasi ruang dalam konteks tempat (place) dan ruang (space) harus
dikaitkan dengan budaya.
Perayaan Maudu Lompoa atau maulid Nabi Muhammad SAW merupakan ritual
yang bersifat permanen, karena dilaksanakan rutin sekali setahun di sepanjang
sungai Cikoang, baruga dan rumah adat Karaeng Laikang. Menurut Arifin, Mimi
(2013) baruga digunakan hanya pada saat-saat tertentu secara periodik, karena lebih
sering tidak termanfaatkan, sehingga cenderung berfungsi sebagai simbol teritori.
29
Gambar 15 Perayaan Maudu Lompoa Cikoang (Sumber : Google image)
Gambar 16. Peta Ruang Kegiatan Budaya dan Pergerakan pada Maudu Lompoa (Sumber : Google igame)
Kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Cikoang dari dulu sekarang
dilaksanakan di sungai, rumah adat dan baruga. Hal tersebut menunjukkan pemakaian ruang
yang tetap pada perayaan maulid sebagai tempat ritual. Perayaan maulid dilaksanakan secara
bergilir yakni sekitar ±16 hari (12-28 Rabiul Awal) dengan orang yang merayakan berbeda-
beda setiap harinya di masjid-mesjid desa Cikoang dengan pembacaan kitab barazanji (kitab
sejarah Nabi Muhammad).
3. Mandi syafar
Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 10 bulan shafar menurut perhitungan tahun
hijriah. Masyarakat Desa meyakini mandi shafar ini menghindarkan mereka dari sakit, bahaya,
musibah maupun santet. Mandi Safar diperuntukkan untuk para lelaki, yang melaksanaka n
maudu lompoa, selain itu bertujuan mensucikan diri dari hadas. Mandi safar di pimpin oleh
anrongguru dan dimulai dengan membaca doa dan dilaksanakan di muara sungai Cikoang. Hal
ini menunjukkan bahwa sungai tetap digunakan sebagai tempat ritual mandi syafar. Selain itu,
mandi syafar juga dilaksanakan rutin sekali setahun di sepanjang Sungai Cikoang sebelum
perayaan maudu lompoa.
Sistem adat sebagai kearifan tradisional diterapkan pada (1) sistem pemerintahan, (2)
sistem perkawinan, (3) budaya siri’ na pacce, (4) ritual persiapan dan pelaksanaan serta benda-
benda yang digunakan dalam kegiatan budaya maudu lompoa. Sistem pemerintahan yang
berada di Desa Cikoang memiliki dua sistem, yaitu sistem pemerintahan desa dinas dan sistem
pemerintahan desa adat. Sistem pemerintahan dinas dipimpin oleh kepala desa sedangkan
sistem pemerintahan adat di pimpin oleh pemangku adat Karaeng Laikang dan Ketua lembaga
adat. Sistem perkawinan dalam pernikahan anak perempuan Sayyid ada aturan tidak tertulis
yang harus ditaati, yaitu bagi filosofi, (3) nilai susila, (4) nilai religi, (5) nilai kejujuran, (6)
nilai solidaritas, dan (7) nilai keberanian. Generasi muda masyarakat Sayyid Cikoang perlu
memperhatikan budaya siri’ na pacce agar budaya ini tetap lestari dan selaras dengan
perkembangan zaman agar tidak tergerus oleh globalisasi. Adapun ritual yang harus dilakukan
dalam rangka persiapan Maudu Lompoa meliputi A’jene-jene sappara (mandi di bulan safar);
Anyongko jangang (mengurung ayam); Angngalloi ase (penjemuran padi); A’dengka ase
(menumbuk padi); A’tanak minyak (membuat minyak dari kelapa); Anyongkolok kanre
(menanak nasi)
31
Gambar 17. Balla Karaeng Laikang (Sumber : Google image)
Rumah adat karaeng Laikang adalah yang terletak di muara Cikoang, Desa Cikoang
yang menjadi tempat perkumpulan dan musyawarh warga dan tempat penyambutan dan
penerimaan tokoh-tokoh penting saat ada yang berkunjung ke desa pesisir ini, dan tentunya
akan menjadi salahsatu tempat yang paling meriah dan ramai pada saat perayaan Maudu
Lompoa.
H. Agama (religi)
Islam adalah agama yang menjadi mayoritas masyarakat desa Cikoang. Walaupun
sibuk mencari ikan dan bertani, mereka tidak pernah melupakan shalat dan selalu berdoa
kepada Allah SWT terbukti dengan dibangunnya masjid Cikoang yang diambil dari nama desa
ini sendiri. Masjid yang berada di daerah pesisir ini menjadi tempat masyarakat melakukan
ritual keagamaan dan melakukan shalat 5 waktu sesuai dengan syariat islam.
Syekh Djalalluddin merupakan orang yang berperan penting dalam ajaran Agama Islam
di Desa Cikoang. Warga menganggap beliau merupakan seorang ulama petuah dari Aceh yang
selama hidupnya merantau dari pulau satu ke pulau lainnya dengan tujuan mengajarkan hal
baik. Pada mulanya Syekh Djalalludin bertemu dengan seorang Raja Gowa di daerah Banjar.
Raja Gowa tersebut memiliki anak perempuan yang bernama Daeng I Acara Tamami. Saat itu
Raja Gowa memperkenalkan putrinya kepada Syekh Jalalluddin, dan akhirnya ia melamar putri
Raja tersebut untuk dijadikan istri. Selang beberapa tahun ia dan istrinya berlayar ke beberapa
pulau. Saat ia dikaruniai 3 orang anak yang terdiri dari dua anak laki-laki dan satu orang
perempuan yang bernama sayyid Umar, Sahabuddin, dan Saripah Nur, kemudian ia kembali
ke Gowa dan menetap di kampung halaman istrinya. Syekh Jalalluddin berkeliling melihat
kampung istrinya. Mereka sekeluarga beserta pengawalnya berlayar di sekitar muara sungai
Desa Cikoang.
Maulid Nabi dilaksanakan pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Islam. Maulid
pertama diadakan di bawah pohon asam yang terletak di Desa Cikoang pada tahun 1625
yang di pimpin oleh Syekh Djalalluddin. Saat acara itu hidangannya sederhana seperti
kaddo minyak’ (nasi ketan) yang dilengkapi dengan dengan lauk ayam goreng.
Kemudian akan diadakan ritual pembacaan albarazanji, dan bacaan surah-surah dari Al
Qur‟an. Semakin hari pengikut Syekh Djalalludin bertambah banyaknya. Penduduk
Cikoang yang merantau akan meyempatkan pulang ke Cikoang untuk turut serta dalam
ritual ini. Karena jumlah orang yang ikut serta dalam ritual ini semakin banyak mak a
di namakan maulu lompoa. Ritual ini merupakan ritual paling banyak mengikutsertaka n
orang dalam pelaksanaanya di Cikoang. Setelah Syekh Djalalluddin kembali berlayar
33
dan meninggalkan Desa Cikoang, warga masih rutin hingga saat ini mengadakan ritual
maudu lompoa.
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa Cikoang adalah sebagai petani, ini
dapat dilihat dari luas lahan pertanian desa Cikoang yang seluas 168.10 hektar atau 30% dari
keseluruhan wilayahnya.
Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulkan bahwa pengunaan lahan desa Cikoang
70% digunakan sebagai sumber mata pencaharian, baik itu berupa sawah, kebun maupun
tambak. Untuk mengoptimalkan kegunaan lahan di Desa Cikoang, maka pola
permukiman pola permukiman di Desa Cikoang yang terbentuk ada 2 macam, yaitu
mengelompok di daerah pesisir sungai Cikoang dan membentuk pola linear mengikuti
garis jalan dan garis sungai.
Gambar 19. (Peta daerah pesisir Cikoang (Sumber : pribadi)
• Pola Linear
Pola permukiman linear merupakan pola pemukiman yang memanjang. pola
permukiman linear ini terdiri dari berbagai macam, ada permukiman yang memanja ng
sepanjang jalan, ada pemukiman yang memanjang sepanjang rel kereta api dan ada juga pola
permukiman yang memanjang di sepanjang sungai. Pada sebelah barat pola pemukima n
masyarakat desa Cikoang memanjang mengikuti garis tepi sungai Cikoang dengan orientasi
bangunan menghadap ke arah sungai. Dengan dibagian belakang dimanfaatkan sebagai tambak
garam oleh warga. Ini karena sungai sebagai salahsatu sumber pencaharian masyarakat
4.4
35
Pola linear ini juga terbentuk akibat respon terhadap topografi yang ada. Di mana
keadaan tanah keras yang ada sepanjang pinggir sungai cikoang sehingga permukiman pun
berkembang mengikuti bentuk alami tapak. Selain permukiman, tambak juga dibuat dekat
dengan sungai menjadi salah satu respon terhadap iklim. Desa Cikoang sering mengala mi
kekeringan pada saat musim kemarau, oleh karena itu tambak garam dibuat dekat sumber air
(sungai) yang beralasan jika dibuat tambak dengan jarak yang jauh dari sumber air maka akan
memerlukan jarak yang jauh air untuk mengaliri tambak, sehingga dengan jarak dekat tersebut,
pada saat musim kemarau sekalipun petani garam tidak akan mengalami kekeringan yang
berlebihan. Juga karena sebagian besar masyarakat desa cikoang yang berada di daerah pesisir
adalah nelayan, maka mereka akan mencari cara untuk berada dekat dengan dengan sumber
mata pencahariannya serta manusia atau cara dia mencari makan tergantung dimana dia berada.
• Pola Mengelompok
Pola permukiman mengelompok juga dijumpai di daerah datar yang memungkinka n
penduduk mudah membangun rumah. Permukiman di daerah datar cepat berkembang karena
tanpa banyak halangan. Di daerah dataran rawa yang tanahnya basah dan lembek rumah-ruma h
dibangun pada lahan yang relatif kering. Pola pemukiman mengelompok dapat kita jumpai
pada bagian timur pesisir sungai Cikoang. Terbentuknya sebuah pola mengelompok ini juga
merupakan sebuah respon terhadap topigrafi wialayah tersebut, dimana permukima n
berkembang mengikuti pola atau bentuk lokasi tanah keras yang ada.
Terbentuknya sebuah pola mengelompok ini juga merupakan sebuah respon terhadap
tofografi wialayah tersebut, dimana permukiman berkembang mengikuti pola atau bentuk
lokasi tanah keras yang ada. Selain itu, pola mengelompok ini terjadi akibat pengaruh budaya
Desa Cikoang, dimana sungai merupakan suatu tempat yang sakral dan menjadi pusat upacara
adat dalam kegiatan Maudu’ lompoa.
2. Budaya masyarakat
Kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Cikoang yang disebut Maudu’
lompoa dari dulu sekarang dilaksanakan di sungai, rumah adat karaeng laikang dan baruga. Hal
tersebut menunjukkan pemakaian ruang yang tetap pada perayaan maulid sebagai tempat ritual.
Perayaan maulid dilaksanakan secara bergilir yakni sekitar ±16 hari (12-28 Rabiul Awal)
dengan orang yang merayakan berbeda-beda setiap harinya di masjid-mesjid desa Cikoang
dengan pembacaan kitab barazanji (kitab sejarah Nabi Muhammad). Selain kegiatan mauled
nabi, di cikoang juga ada kegiatan adat berupa Mandi Syafar. Upacara ini dilaksanakan pada
tanggal 10 bulan shafar menurut perhitungan tahun hijriah. Masyarakat Desa meyakini mandi
shafar ini menghindarkan mereka dari sakit, bahaya, musibah maupun santet. Mandi Safar
diperuntukkan untuk para lelaki, yang melaksanakan maudu lompoa, selain itu bertujuan
mensucikan diri dari hadas. Mandi safar di pimpin oleh anrongguru dan dimulai dengan
membaca doa dan dilaksanakan di muara sungai Cikoang. Hal ini menunjukkan bahwa sungai
tetap digunakan sebagai tempat ritual mandi syafar. Selain itu, mandi syafar juga dilaksanaka n
rutin sekali setahun di sepanjang Sungai Cikoang sebelum perayaan maudu lompoa.
Gambar 22 Peta Ruang Kegiatan Budaya dan Pergerakan Pada Maudu Lompoa (sumber : Jurnal Pola Tata Ruang
Perumahan Dan Perkembangannya Ditinjau Dari Kearifan Lokal Desa Cikoang)
Dari kondisi eksisting yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat kita ketahui bahwa
Desa Cikoang merupakan salahsatu desa adat yang memiliki keunikan budaya tersendiri. Desa
adat merupakan unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak
untuk mengurus wilayah (hak ulayat) dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa adat.
37
Desa adat mempunyai penyebutan yang beragam di berbagai wilayah seperti nagari, huta,
marga, dan negeri. Kegiatan adat di Desa Cikoang dilakukan di Sungai karena sungai dianggap
sebagai suatu tempat yang sakral dan memiliki dampak yang besar bagi masyarakat. Hal ini
sangat mempengaruhi pola permukiman, terutama masyarakat pesisir di Desa Cikoang.
Dapat dilihat dari peta di di atas, hampir secara keseluruhan permukiman Desa
Cikoang berpusat pada daerah sungai, dimana sungai di desa cikoang menjadi suatu pusat
kegiatan adat istiadat seperti maudu lompoa dan mandi syafar dan juga menjadi suatu
tempat yang disakralkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pola yang terbentuk di
Desa cikoang akibat adanya pengaruh budaya adalah pola mengelompok di daerah pesisir
sungai sungai Cikoang yang di perkuat dengan dibangunnya Balla Karaeng Laikang dan
Baruga yang sebagai tempat melaksanakan kegiatan tersebut.
3. Agama
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa awal muasal perkembangan islam di
desa Cikoang adalah pada saat kedatangan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid. Terbentuknya Desa
Cikoang bermula karena adanya perjanjian jual beli tanah yang dilakukan oleh seseorang dari
Binamu bernama Karaeng Cikondong kepada Raja Gowa. Setelah itu Karaeng Cikondong
bersama pengikutnya membangun suatu permukiman baru, sehingga terbentuk perumahan
masyarakat adat yang berada di sekitar sungai Cikoang yang berorientasi menghadap ke sungai.
Perkembangan permukiman di Desa Cikoang di tandai dengan kedatangan Sayyid Jalaludd in
Al-Aidid yang menyebarkan Islam.
Gambar 24. tata letak masjid desa Cikoang (sumber : pribadi)
Pola pemukiman yang terbentuk di sekitar masjid Cikoang adalah pola linear dengan
rumah berjajar memanjang mengikuti jalan dengan orientasi rumah menghadap ke jalan dan
dengan lapangan sepakbola yang berada di sebelah utara masjid. Keberadaan masjid ini tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola pemukiman yang terbentuk di sekelilingnya.
Masjid tersebut dibangun di tempat yang strategis karena berada di tengah-tengah pemukima n
warga. Yang pencaaiannya mudah ditinjau dari segala arah.
39
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Mutiara, Anugrah Ayu Citra. Penerapan Kearifan Lokal Masyarakat Desa Cikoang dalam
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Takalar. Diss. Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar, 2011.
Sarman, Sufrin, and Karto Wijaya. Pola Permukiman Pesisir Pantai, Studi Kasus: Desa
Talaga 1 Dan Desa Talaga 2 Kecamatan Talaga Raya Kabupaten Buton
Tengah. Jurnal Arsitektur ZONASI 1.1: 38-44.
Arifin, M., Resky, N. D., & Dollah, A. S. (2018). Pola Tata Ruang Perumahan Dan
Perkembangannya Ditinjau Dari Kearifan Lokal Desa Cikoang. Jurnal Linears, 1(2),
47-55.
Aprilian Wijaya, Rizki. 2012.Materi kuliah Penelitian Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir :
Sebuah Pengantar Diskusi Persiapan Ekspedisi Zooxanthellae XII Kabupaten
Sambas.Kalimantan Barat.
Sugiyono. 2012. Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kulaitatif dan R & D.
Bandung : Cv. Alfa Beta
Nikijuluw Victor.2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi
Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara
Terpadu. Bogor: IPB Bogor.
Kusnadi. 2000. Nelayan:Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama
Press.
41