Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/305189444

MENDEFINISIKAN KEMBALI ARSITEKTUR TROPIS DI INDONESIA

Article · April 2000

CITATION READS

1 1,564

2 authors, including:

Tri Harso Karyono


Tanri Abeng University
74 PUBLICATIONS   229 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Air conditioning and the neutral temperature of the Indonesian university students View project

All content following this page was uploaded by Tri Harso Karyono on 12 July 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MENDEFINISIKAN KEMBALI ARSITEKTUR TROPIS DI INDONESIA

Tri Harso Karyono


Desain Arsitektur, vol. 1, April, 2000, pp.7-8.

Satu di antara sederet alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi
alam atau iklim di mana manusia berada, tidak selalu dapat menunjang aktifitas yang
dilakukannya secara baik. Kadangkala alam menurunkan hujan lebat, kadang menjatuhkan
sengatan matahari yang sangat tajam, atau menghembuskan angin yang terlalu keras.
Sementara aktifitas manusia yang sangat bervariasi memerlukan kondisi iklim tertentu di
sekitarnya yang bervariasi pula.
Permainan sepak bola masih dapat dilangsungkan di bawah guyuran hujan, tapi tidak
demikian halnya dengan tennis, tennis meja dan lainnya. Aktifitas bermain layang-layang
mengharapkan angin yang relatif kencang sementara permainan bulu tangkis tidak dapat
berlangsung di bawah hembusan angin yang melaju dengan cepat.
Demikian pula dengan aktifitas manusia lainnya: mengetik, melukis, tidur, makan,
membaca, dan sebagainya pada umumnya memerlukan kondisi-kondisi fisik iklim tertentu
agar aktifitas tersebut dapat dilangsungkan secara baik. Untuk melangsungkan aktifitas
kantor misalnya diperlukan ruang dengan kondisi visual yang baik di mana intensitas cahaya
mencukupi, diperlukan kondisi termal yang mendukung di mana suhu udara berada dalam
rentang nyaman tertentu, demikian pula diperlukan kondisi audial dengan intensitas
gangguan bunyi yang rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan.

Arsitektur dan Iklim Setempat


Karena cukup banyak aktifitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan di luar akibat
ketidak sesuaian kondisi iklim luar, maka manusia membuat bangunan. Dengan bangunan
diharapkan iklim luar yang tidak menunjang penyelenggaraan aktifitas manusia dapat
‘dimodifikasi’ - dirubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih sesuai, sehinga aktifitas
manusia dapat dilangsungkan dengan baik.
Namun usaha manusia untuk merubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi
iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dengan membuat
bangunan manusia dapat menyingkirkan hujan agar tidak mengguyur tubuhnya. Dengan
bangunan pula manusia di daerah tropis dapat menghindari sengatan matahari. Juga
dengan bangunan manusia dapat mengurangi laju angin yang kencang. Namun dalam
banyak kasus manusia di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termal yang
nyaman di dalam bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru

1
merasakan udara ruang yang panas, sehingga kadangkala mereka lebih memilih berada di
luar bangunan.
Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan iklim dalam
bangunan yang dirancangnya, maka ia secara benar mengartikan bahwa bangunan adalah
alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan
aktifitas manusia dicoba untuk dirubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai dengan
tuntutan tersebut. Udara luar yang terlalu panas atau terlalu dingin dirubah oleh bangunan
menjadi ‘tidak terlalu’ panas atau ‘tidak terlalu’ dingin.
Para arsitek yang kebetulan hidup, belajar arsitektur dan berprofesi di negara maju
yang beriklim sub tropis, dengan suhu udara luar rata-rata rendah, secara sadar atau tidak,
atau karena harus mengikuti aturan membangun setempat, selalu melakukan tindakan yang
benar. Karya arsitektur yang mereka rancang selalu diikuti dengan pertimbangan
pemecahan problematik iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat dengan
dinding rangkap tebal, di mana di antara lapisan dinding ditambahkan bahan isolasi panas
agar panas di dalam bangunan tidak mudah merambat ke udara luar yang bersuhu sangat
rendah, sehingga suhu udara di dalam bangunan dapat dipertahankan tetap hangat.
Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna mengatasi iklim Sub
Tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut sebagai karya Arsitektur Sub Tropis.
Karya arsitektur yang mereka rancang ada sebagian yang disebut sebagai arsitektur
Victorian, Georgian, Tudor, dan lainnya. Sementara sebagian lain disebut atau
diklasifikasikan sebagai Arsitektur Modern (Modern Architecture), Arsitektur Pasca Modern
(Post Modern Architecture), Arsitektur Modern Baru (New Modern), Arsitektur Teknologi
Tinggi (High-tech Architecture), Arsitektur Dekonstruksi (Deconstruction Architecture), dan
sebagainya. Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi problematik
iklim setempat tidak selalu diberi sebutan dengan nama iklim tersebut, karena pemecahan
masalah iklim merupakan suatu tuntutan mendasar yang ‘wajib’ dipenuhi oleh suatu karya
arsitektur di manapun dia dibangun.
Sebutan tertentu terhadap karya arsitektur hanya diberikan terhadap ciri-ciri tertentu
yang dimiliki oleh karya tersebut yang kehadirannya ‘tidak wajib’, yang kemudian memberi
warna atau corak terhadap arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur yang ‘bersih’ tanpa
embel-embel dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut
sebagai Arsitektur Modern. Arsitektur yang mengembangkan pemikiran dekonstruksi Derrida
kemudian disebut Arsitektur Dekonstruksi. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentu
yang menyangkut bentuk, ritme, aksentuasi, dan sebagainya, dapat diklasifikasikan (Charles
Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya Arsitektur Post Modern, New Modern, dan
lainnya. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan Arsitektur Sub Tropis

2
meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub tropis guna mengantisipasi
problematik iklim tersebut.

Arsitektur Tropis
Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa muncul sebutan Arsitektur Tropis?. Julukan
ini seakan-akan menyepadankan Arsitektur Tropis dengan Arsitektur Modern, New Modern,
Dekonstruksi dan lainnya, di mana jenis yang disebut belakangan lebih mengarah pada
pemecahan estetika: bentuk, ritme, hirarki ruang, dan sebagainya? Sementara Arsitektur
Tropis, sebagaimana arsitektur sub tropis, adalah karya arsitektur yang mencoba
memecahkan problematik iklim setempat. Dalam hal ini iklim tropis.

Gambar 2.1. Grha Sabha Pramana,


Universitas Gajah Mada, Yogya:
Bangunan dengan atap lebar
melindungi bangunan dari air hujan
dan sengatan matahari, namun
belum menjamin dapat mengatasi
udara panas di dalam bangunan

Sumber: Tri H. Karyono

Bagaimana problematik yang ditimbulkan iklim tropis dipecahkan secara desain atau
rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam. Arsitek dapat menjawab
dengan warna post modern, dekonstruksi, high-tech, atau apapun, seperti halnya yang
terjadi dalam arsitektur sub tropis. Dengan demikian pemahaman Arsitektur Tropis yang
selalu beratap lebar, berteras atau apapun menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting adalah
apakah rancangan tersebut sanggup mengatasi problematik yang ditimbulkan iklim tropis:
hujan deras, terik matahari, suhu udara tinggi, kelembaban tinggi (untuk tropis lembab), dan
kecepatan angin rendah, sehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam
terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis.
Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak
masuk ke dalam bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan suhu udara tinggi di
dalam bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain yang tepat. Dengan pemahaman

3
semacam ini bentuk arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub tropis, menjadi sangat
terbuka kemungkinannya. Arsitektur tropis dapat bercorak atau berwarna apa saja
sepanjang bangunan tersebut mampu merubah kondisi iklim luar yang tropis tidak nyaman
menjadi iklim dalam yang nyaman bagi manusia di dalamnya.

Gambar.2.2. Gedung S. Widjojo,


Jakarta Pusat: Solusi arsitektur
tropis sangat terbuka sepanjang
permasalahan iklim tropis dapat
diatasi oleh bangunan

Sumber: Tri H. Karyono

Dengan pemahaman semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak hanya dilihat
dari sekadar ‘bentuk’ atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih
kepada kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembaban cukup
rendah, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan,
dan terhindar dari terik matahari. Sehingga penilaian terhadap baik buruknya karya arsitektur
tropis harus diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria di atas: bagaimana fluktuasi
suhu ruang (dalam unit derajat celcius), bagaimana fluktuasi kelembaban (dalam unit
persen), bagaimana intensitas cahaya (dalam unit lux), bagaimana aliran/kecepatan udara
(dalam unit meter per detik), adakah air hujan masuk ke dalam bangunan, adakah terik
matahari mengganggu penghuni dalam bangunan, dan sebagainya sehingga pengguna
bangunan dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di
luar bangunan.
Saya menganggap bahwa definisi atau pemahaman arsitektur tropis di Indonesia
hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan,
diseminarkan dan diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keakhlian dalam bidang Sejarah
atau Teori Arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dalam konteks ‘budaya’. Padahal

4
kalau ditengok lebih dalam, kata ’tropis’ sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan budaya
atau kebudayaan. Bahwa iklim tropis akan membentuk budaya atau kebudayaan tertentu
yang dipengaruhi iklim tropis yang berbeda dengan budaya atau kebudayaan lain yang
dibentuk oleh iklim lain bukanlah sesuatu yang dapat dibantah. Tropis berkaitan dengan
‘iklim’, yakni iklim tropis. Sehingga pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek
iklim. Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitektur – yang cenderung dipelajari
oleh disiplin ilmu Sains Bangunan atau Sains Arsitektur akan dapat memberikan jawaban
lebih tepat dan terukur apakah suatu bangunan dikategorikan sebagai arsitektur tropis. Para
akhli arsitektur tropis: Koenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha, Lippsmeier, Nick Baker, dan
lainnya mendalami keilmuan terkait dengan Sains Bangunan, bukan Sejarah atau Teori
Arsitektur.
Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat
dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering dicampur adukan dengan pengertian
‘arsitektur tradisional’ atau ’vernakular’ di Indonesia yang secara menonjol, dengan
keterbatasan teknologi masa itu, cenderung dipecahkan melalui pendekatan iklim tropis.
Bagi masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam merupakan unsur yang paling
dipertimbangkan, bahkan dihormati atau dikeramatkan dalam membangun rumah atau
bangunan lain. Tidak mengherankan jika ekspresi iklim sangat menonjol dalam karya
arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan membayangkan bentuk-bentuk
arsitektur tradisional atau vernakular Indonesia (arsitektur Tapanuli, Minangkabau, Toraja,
dan lainnya) ketika mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan - yang tidak
seluruhnya benar ini, pembicaraan tentang arsitektur tropis selalu diawali. Dari sini pula
pemahaman arsitektur tropis lalu memiliki konteks dengan budaya, yakni budaya atau
kebudayaan tradisional Indonesia. Mereka yang mendalami ilmu sejarah dan teori arsitektur
kemudian dapat berbicara banyak mengenai budaya dalam kaitannya dengan arsitektur.
Perlu dipahami bahwa arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi
di seluruh negara yang beriklim tropis (basah), dengan budaya yang berbeda-beda.
Sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak relevan.
Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan
Arsitektur Tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur Tropis dapat berbentuk
apa saja – tidak harus serupa dengan bentuk-bentuk Arsitektur Tradisional yang banyak
dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada
pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim Tropis, yakni: terik matahari, suhu tinggi,
hujan, kelembaban tinggi, dan sebagainya.

5
6

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai