Anda di halaman 1dari 21

Kuliah online 1:

MK. Green Building, Program Studi Arsitektur FTSP USTJ


Oleh : Dr. Ir. M. Amir Salipu, MT
A. Arsitektur Tropis

Esplanade – Theatres on the Bay. Arsitektur tropis di Singapura yang dirancang oleh
dua konsultan arsitek, Michael Wilford & Partners (MWP) dan DP Architecs (DPA) dari
Singapura. Fungsi bangunan sebagai gedung teater menggunakan pengkondisian
udara mekanis. Meskipun demikian, penempatan kisi-kisi penghalang sinar matahari
di seluruh permukaan kacanya yang dibuat untuk mengurangi radiasi sinar matahari
yang memasuki interior bangunan membuat bangunan ini layak disebut arstektur
tropis modern.
Tri Harso Karyono dalam jurnal Arsitektur tropis dan bangunan hemat
energi, menjelaskan pengertian arsitektur tropis (lembab) adalah suatu
rancangan arsitektur yang mengarah pada pemecahan problematik iklim
tropis (lembab).

Iklim tropis lembab sendiri dicirikan oleh beberapa faktor iklim (climatic
factors) sebagai berikut:

1. Curah hujan tinggi sekitar 2000-3000 mm/tahun;


2. Radiasi matahari relatif tinggi sekitar 1500 hingga 2500 kWh/m2
/tahun;
3. Suhu udara relatif tinggi untuk kota dan kawasan pantai atau
dataran rendah (Jakarta antara 23°C hingga 33°C);
4. Kelembaban tinggi;
5. Kecepatan angin relatif rendah.

Kondisi iklim tropis lembab tersebut di atas ternyata tidak seluruhnya


dapat mendukung keberlangsungan aktifitas manusia tropis secara
nyaman.
Dalam banyak hal justru sebagian besar tuntutan kenyamanan fisik
manusia tidak sesuai dengan kondisi iklim yang ada. Dengan
kelembaban yang tinggi, manusia tropis, yang melakukan aktifitas kantor,
sekolah, dan lainnya, cenderung menghindari air hujan mengenai
tubuhnya.

Air hujan yang membasahi pakaian dirasakan sebagai faktor yang


membuat manusia merasa tidak nyaman, di mana kulit terasa lengket.
Sementara itu hal semacam ini tidak terlalu dirisaukan oleh mereka yang
berdiam di iklim dengan kelembaban rendah, seperti di kawasan sub-
tropis.

Dengan kelembaban rendah di kawasan semacam ini, air hujan yang


membasahi tubuh dan pakaian akan segera kering dengan sendirinya,
sehingga manusia tidak perlu cemas tersiram air hujan atau salju.

Di lain pihak, dengan radiasi matahari yang cukup tinggi, ditambah suhu
udara yang tinggi, manusia tropis cenderung menghindari sengatan
matahari langsung karena dapat mengakibatkan ketidaknyamanan
termal.
Sedangkan mereka yang tinggal di daerah dengan iklim dingin
cenderung tidak mengkhawatirkan hal ini, di mana radiasi
langsung matahari justru dapat membantu menghangatkan tubuh
mereka di luar musim panas.

Dengan kelembaban yang tinggi, manusia tropis cenderung


memerlukan angin yang lebih kencang agar uap air (keringat)
yang berada pada permukaan kulit cepat menguap dan
memberikan efek dingin terhadap tubuh, sehingga kenyamanan
termal dapat dicapai. Untuk itulah pergerakkan angin di sekitar
dan di dalam bangunan menjadi sangat penting bagi
penyelesaian problematik arsitektur tropis terutama dalam
kaitannya dengan pencapaian kenyamanan termal bagi penghuni
bangunan.
Menurut Tri Harso Karyono, (2014:94-95), rancangan arsitektur tropis,
sebagaimana halnya pada arsitektur sub-tropis, dapat bercorak
seperti modern, pasca-modern, dekonstruksi, high-tech, dan
lainnya.
Hal yang penting dalam arsitektur tropis adalah, bahwa rancangan
tersebut harus sanggup mengatasi problematik yang ditimbulkan iklim
tropis, seperti hujan deras, terik matahari, suhu udara yang tinggi,
kelembaban tinggi (untuk daerah tropis basah) atau kecepatan angin yang
umumnya rendah.

Dengan demikian, pemahaman arsitetur tropis yang beratap lebar,


berteras dan lainnya tidak mutlak lagi. Bangunan beratap lebar mungkin
hanya mampu mencegah air hujan agar tidak masuk ke dalam bangunan,
namun permasalahan suhu udara yang tinggi belum tentu dapat
diselesaikan hanya dengan rancangan atap semacam itu. Diperlukan
solusi rancangan lain di luar itu.

Pemahaman semacam ini membuka cakrawala pemikiran dan konsep


baru tentang arstektur tropis. Dengan pemahaman semacam ini, arstektur
tropis dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan
tersebut dapat mengubah kondisi iklim tropis yang tidak nyaman menjadi
kondisi iklim yang nyaman bagi penyelenggaraan aktivitas manusia yang
berada di dalam bangunan.
Dengan pemahaman semacam ini pula kriteria arsitektur trpis tidak perlu
lagi hanya dilihat dari sekedar ‘bentuk’ dan estetika bangunan beserta
elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang ada di
dalamnya, yaitu suhu udara ruang rendah, kelembaban tidak terlalu
tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai,
terhindar dari hujan dan terik matahari.

Di luar estetika bangunan, penilaian terhadap baik dan buruknya sebuah karya
arsitektur tropis harus diukur secara kuantitatif berdasarkan parameter-
parameter iklim : fluktuasi suhu ruang (°C), fluktuasi kelembaban (%), intensitas
cahaya (lux), aliran atau kecepatan udara (m/s), termasuk di dalamnya terkait
dengan kemungkinan adanya air hujan yang masuk ke dalam bangunan, serta
kemungkinan masuknya terik radiasi matahari ke dalam bangunan sehingga
dapat mengganggu pengguna bangunan.

Bangunan yang dirancang menurut kriteria trpis semacam ini dituntut untuk
mampu memberikan kondisi fisik yang lebih nyaman dibanding kondisi fisik di
luar bangunan.

Contoh Arsitektur tropis modern dan arsitektur hijau dapat dilihat pada Aula
Barat ITB dan Gedung Sequis Centre (Gedung S. Wijoyo) berikut ini :
Denah Sequis Centre berbentuk
seperti perahu atau daun.
Bentuk ini tidak berbentuk
kotak seperti gedung pada
umumnya, namun memiliki ciri
khas yang unik.

Sequis Center termasuk gedung pertama di


Indonesia yang menerapkan konsep bangunan
hijau melalui penggunaan bahan GRC (Glassfiber
Reinforce Cement) sebagai shading pada fasad
bangunan. Keunikan bentuk shading pada fasad
gedung ini juga berfungsi mengurangi interaksi
langsung sinar matahari yang mendukung
efisiensi penggunaan pendingin ruangan.
B. Pemahaman Arsitektur Hijau
Arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengomsumsi sumber
daya alam, termasuk energi, air, dan material serta minim
menimbulkan dampak negative bagi lingkungannya. Arsitektur hijau
merupakan Langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang
berkelanjutan.

Keberlanjutan merupakan usaha manusia untuk mempertahankan


eksistensinya di muka bumi dengan meminimalkan perusakan alam
dan lingkungan di mana mereka tinggal.

GH Bruntland, Mantan Perdana Menteri Norwegia 1987,


memformulasikan pengertian Pembangunan Berkelanjutan
(sustainable development) sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan manusia masa kini tanpa mengorbankan
potensi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri (Tri Harso Karyono 2014:97-98).
C. Pengukuran dan Standar Pengukuran Arsitektur Hijau
Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diukur
berdasarkan standar tertentu. Berbagai standar dan alat ukur telah
banyak dirumuskan oleh negara-negara maju untuk mengukur tingkat
kehijauan suatu rancangan kawasan dan bangunan, (Tri Harso
Kayono, 2014:99-114) sebagai berikut :

1. BREEAM (Building Research Establishment’s


Environmental Assessment Method)
Standarisasi dan penilaian tingkat hijau suatu bangunan dimulai di
Inggris tahun 1990 Ketika Lembaga penelitian bangunan milik
pemerintah, Building Research and Establishment’s (BTE)
memformulasikan standar yang diberi nama Building Research and
Establishment’s Environmental Assessment Mehod (BREEAM).

BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di dunia,


paling lengkap, paling detail dan paling banyak digunakan di dunia
saat ini. Acuan ini membedakan delapan tipologi bangunan secara
terpisah di dalam penilaian, yaitu:
1) Bangunan Pengadilan (BREEAM Courts)
2) Bangunan Pendidikan (BREEAM Education)
3) Bangunan Industri (BREEAM Industrial)
4) Bangunan Kesehatan (BREEAM Healthcare)
5) Bangunan Perkantoran (BREEAM Offices)
6) Bangunan Perdagangan (BREEAM Retail)
7) Bangunan Penjara (BREEAM Prisons)
8) Bangunan Hunian (BREEAM Multi-Residential)

Sedangkan parameter yang dinilai BREEAM meliputi aspek:


Manajemen, Kesehatan dan kualitas hidup, Energi, Transportasi, Air,
Mineral, Limbah, Tata guna lahan dan ekologi, Polusi & Inovasi .

Standar ini memebrikan lima kategori hasil penilaian yaitu :


Pass, Good, Very Good, Exelent dan Outstanding.

Standar ini tidak praktis digunakan di negara berkembang seperti


Indonesia karena keterbatasan data dan standar bangunan pendukung
lainnya yang dimiliki oleh negara berkembang.
2. LEED (Leadership in Energy and Environmental
Design)
Standar ini dicetuskan oleh United States Green Building Council
(USGBC) tahun 1998, standar ini mengembangkan konsep BREEAM
untuk aplikasi lebih praktis.

LEED digunakan untuk menilai bangunan atau lingkungan binaan, baik


dalam tahap perencanaan maupun sudah terbangun. Tolok ukur
(parameter) yang digunakan dalam LEED untuk merating tingkat hijau
suatu bangunan atau lingkungan binaan adalah keberlanjutan Tapak
(sustanainable site), Penghematan air (Water efficiency), Energi dan
Atmosfer (Energy and Atmosphere), Material dan sumber daya (Material
and Resource), Kualitas Lingkungan Ruang Dalam (Indoor Environment
Quality), Inovasi dan Proses desain (Innovation and Design Process).

Sistem penilaian LEED menggolongkan enam tipe proyek, fasilitas atau


bangunan, yakni :
1. LEED untuk Bangunan Baru (LEED for New Construction: New construction
and Major renovations). Di dalamnya tercakup proyek bangunan baru dan
renovasi besar. Tipe proyek pertama ini paling banyak diajukan pemilik
bangunan untuk disertifikasi.
2. LEED untuk bangunan Eksisting (LEED for Existing Buildings)
3. LEED untuk Ruang (Interior) komersil (LEED for Comercial Interiors)
4. LEED untuk Core Bangunan dan Selubung Bangunan (LEED for Core and
Shell), terkait dengan seluruh bangunan di luar elemen interior.
5. LEED untuk Rumah (LEED for Home)
6. LEED untuk Pengembangan Lingkungan Perumahan (LEED for Neighborhood
Development)
7. LEED untuk Sekolah (LEED for School)
8. LEED untuk Bangunan Perbelanjaan (LEED for Retail) : untuk fasilitas ini
dinilai berdasarkan dua versi, pertama berdasarkan butir (1) Bangunan Baru
dan renovasi Besar dan butir (3) Ruang Interior Komersial.

Standar LEED memberikan kemungkinan skor tertinggi penilaian 69, di mana di


dalamnya diberikan empat penggolongan sertifikat, yaitu : Certified (26-32
points), Silver (33-38 points), Gold (39-51 points) dan Platinum (52-69 poins)
3. NABERS (the National Australian Built Environment Rating System)

NABERS merupakan inisiatif pemerintah Australia yang dikelola oleh New South Wales
(NSW) Departement of Environment, Climate Change and Water (Departemen
Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Air).

Tipe bangunan yang masuk dalam lingkup pengukuran NABERS adalah bangunan
perkantoran (Offices) & bangunan rumah tinggal (homes), dalam pengembangan
adalah standar untuk bangunan hotel (hotels), sekolah (schools), dan bangunan
perbelanjaan (retail).

Standar NABERS mengukur tingkat hijau suatu bangunan eksisting atas dasar empat
parameter, yaitu :
1. Penggunaan energi & emisi gas rumah kaca (energy use & greenhouse emissions)
2. Penggunaan air (water use)
3. Penanganan Limbah (Waste)
4. Kualitas Lingkungan Ruang Dalam (indoor environment).

NABERS memberikan gambaran sederhana terhadap tingkat keberhasilan pemilik,


pengelola atau pengguna bangunan dalam mengoperasikan bangunannya sehingga
dampak negatif terhadap lingkungan dapat ditekan.
4. GREEN STAR (Standar Bangunan Hijau Australia)

Standar penilaian Green Star, dicetuskan oleh Green Building Council Australia
(GBCA) pada tahun 2002. GBCA merupakan Lembaga non profit yang dibentuk
untuk mengembangkan industry property di Australia yang memenuhi kriteria
keberlanjutan.

Dalam penilaian ini, bangunan dibagi ke dalam sejumlah tipe, yakni:


1. Bangunan Hunian (Green Star – Multi Unit Residential)
2. Bangunan Kesehatan (Green Star – Healthcare)
3. Bangunan Perblanjaan (Green Star – Retail Centre)
4. Bangunan Pendidikan (Green Star – Education)
5. Bangunan Perkantoran Baru (Green Star – Office Design)
6. Bangunan Perkantoran Existing (Green Star – Office As Built)
7. Interior Kantor (Green Star – Office Interiors)

Beberapam standar untuk tipe bangunan lain sedang dikembangkan,


diantaranya untuk bangunan industri, convention centre (termasuk di
dalamnya bangunan umum), dan bangunan campuran (mix use).
5. GREEN MARK (Standar Bangunan Hijau Singapura)

Standar yang dikeluarkan oleh Building Council Association (BCA) Singapore


pada buan Januari 2005 ini mencoba menstimulasi pengembangan bangunan
yang ramah lingkungan (environment-friendly buildings) dan mendorong para
pengembang, arsitek, kontraktor, agar lebih sadar terhadap perlunya
penerapan konsep arsitektur hijau, arsitektur ramah linkungan dari sejak
rancangan masih berwujud konsep, hingga pada tahap rancangan dan
pembangunan.

Standar ini memberikan penilaian pada tipe bangunan dan proyek, yakni :
1. Bangunan hunian (residential buildings)
2. Bangunan non hunian (non-residential buildings)
3. Bangunan existing (existing buildings)
4. Interior bangunan kantor (office interior)
5. Bangunan menapak tanah (landed houses)
6. Infrastruktur (infrastructure)
7. Taman baru dan lama (new and existing park)
Tingkat hijau suatu bangunan atau proyek diukur berdasarkan beberapa
kriteria atau parameter, yakni:

1. Efisiensi penggunaan energi (energy efficiency)


2. Eficiensi penggunaan air (water efficiency)
3. Perlindungan terhadap lingkungan (environmental protection)
4. Kualitas fisik ruang dalam (indoor environmental quality),
5. Aspek hijau lainnya dan inovasi desain (other green features and
innovation)

Bangunan yang dinilai dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi
(Certified), emas (Gold), emas plus (Gold Plus), dan platinum (Platinum).
6. GREENSHIP (Standar Bangunan Hijau Indonesia)
Greenship merupakan standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Lemaga
Konsul Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBCI) yang
dibentuk pada tahun 2009. GBCI tercatat sebagai anggota World Green Building
Council (WGBC) yang berpusat di Canada.

Standar bangunan hijau yang diberlakukan di Indonesia dengan sebutan Greenship.


Ada tujuh aspek yang dinilai dalam standar Greenship, yakni ;
1. Ketepatan Pengembangan Tapak (Appropriate Site Development)
2. Efisiensi energi dan Penghematan Energi (Energy efficiency and Conservation)
3. Penghematan Air (Water Conservation)
4. Sumber Material dan daur Ulang (Material Recource and Cycle)
5. Kesehatan Ruang Dalam dan Kenyamanan (Indoor Health and Comfort)
6. Kondisi Lingkungan Bangunan dan Manajemen Bangunan (Building Environment
and Manajement).

Masing-maing aspek dibagi ke dalam butir-butir penilaian yang lebih detail di mana
masing-masing butir memiliki skor tertentu. Tingkat hijau bangunan ditentukan oleh
total skor.
TERIMA KASIH

59

Anda mungkin juga menyukai