net/publication/280560986
CITATIONS READS
0 3,710
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Air conditioning and the neutral temperature of the Indonesian university students View project
All content following this page was uploaded by Tri Harso Karyono on 30 July 2015.
ABSTRAK
Permukiman ramah lingkungan (eco settlement) merupakan permukiman berkonsep hijau
atau berkelanjutan. Eco settlement merupakan langkah untuk merespons permasalahan
lingkungan permukiman yang muncul di berbagai belahan dunia. Penurunan kualitas
lingkungan, emisi karbondioksida secara berlebihan menimbulkan berbagai
permasalahan kehidupan manusia. Kelangkaan air bersih, kontaminasi tanah, air, dan
udara, pemanasan bumi dan perubahan iklim global memaksa semua pihak memikirkan
langkah-langkah penanggulangannya. Dunia arsitektur pun tidak tinggal diam. Sebagian
besar permasalahan di atas muncul sebagai konsekuensi ketidakcermatan arsitek dalam
mengolah fisik kulit bumi. Pertambahan penduduk dan perkembangan aktifitas manusia
memicu pembangunan fisik kawasan, meningkatkan jumlah hunian yang dibangun untuk
mengakomodasinya. Permukiman lama tumbuh dan berkembang, dibarengi munculnya
sejumlah permukiman baru. Sejumlah lahan terbuka hijau atau lingkungan alami dirubah
menjadi lingkungan binaan yang padat bangunan dan infra struktur. Terjadi penurunan
daya dukung lingkungan, menurunnya kemampuan alam dalam mensuplai air bersih,
menurunnya kemampuan lingkungan mempurifikasi limbah padat, cair, dan gas hasil
aktifitas manusia. Diperlukan suatu langkah pembangunan permukiman/perumahan yang
menerapkan konsep eco atau green settlement. Makalah ini membahas isu-isu di atas.
Latar belakang perlunya menerapkan konsep eco settlement dalam pembangunan
permukiman. Perlunya menyediakan sarana dan prasarana fisik permukiman yang aman,
nyaman, sehat, hemat energi, serta rendah emisi karbondioksida.
Kata kunci: arsitektur hijau, energi terbarukan, hemat energi, pemanasan bumi,
permukiman ramah lingkungan (eco settlement), tropis lembab
1. PENDAHULUAN
Laju pertambahan penduduk di negara berkembang seperti Indonesia secara langsung
meningkatkan kebutuhan sarana hunian beserta fasilitas pendukungnya. Kebutuhan
utilitas permukiman seringkali tidak cukup tersedia secara memadai karena keterbatasan
pelayanan kota di mana permukiman tersebut berada. Tidak tersedianya rencana induk
utilitas kota, serta tidak cukupnya peraturan yang membatasi perluasan bangunan rumah
mendorong terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan perusakan kawasan
permukiman. Kawasan permukiman atau perumahan cenderung rentan terhadap banjir.
Tidak memadainya sistem drainase serta berkurangnya area resapan akibat pertumbuhan
permukiman yang tidak terkendali hanya sedikit dari sejumlah penyebab sering terjadinya
banjir.
Melonjaknya kebutuhan sarana hunian bagi warga di kota-kota negara
berkembang cenderung sulit dielakkan. Kecepatan pertumbuhan manusia di kota
memerlukan imbangan kecepatan dalam penyediaan sarana hunian untuk
mengakomodasi. Berbagai masalah di sektor permukiman pun muncul akibat minimnya
fasilitas sarana dan prasarana penunjang kehidupan warga.
Pembangunan permukiman/ perumahan diperlukan bagi peningkatan kualitas
hidup manusia. Meskipun demikian, disadari atau tidak tidak, pembangunan seringkali
menimbulkan masalah lingkungan dan memicu terjadinya bencana, yang justru
menurunkan kualitas hidup.
MENAIKKAN
A KUALITAS
LINGKUNGAN
MERUBAH
KONSEKUENSI FISIK MEMPERTAHANKAN
PEMBANGUNAN LOKASI/ B KUALITAS
PERMUKIMAN KAWASAN LINGKUNGAN
2
Tidak jarang dijumpai penghuni merasa tidak nyaman (secara termal) dan sebagian di
antaranya menggunakan AC di unit hunian mereka. Lonjakan terhadap penggunaan
energi serta emisi karbondioksida sulit dielakkan.
Lemahnya pertimbangan ‘kenyamanan’ baik termal maupun visual dalam rancangan
rumah umumnya didasari oleh anggapan bahwa membuat bangunan ‘nyaman’ diperlukan
beaya ekstra, demikian pula untuk merancang permukiman hijau ramah lingkungan. Ini
merupakan anggapan yang keliru. Bangunan nyaman, hemat energi, dan berkonsep hijau
dapat dibangun dengan beaya awal sama jika arsitek menguasai strategi perancangan
tersebut.
Rancangan permukiman ramah lingkungan atau permukiman hijau adalah suatu
rancangan yang secara arsitektur, lingkungan, dan sistem mekanikal-elektrikal menekan
penggunaan energi yang bersumber dari energi fosil tanpa mengorbankan kenyamanan
(termal dan visual) yang dibutuhkan penghuni, menekan penggunaan sumber daya alam
lain termasuk material bangunan, dan mampu menekan dampak negatif terhadap
lingkungan termasuk emisi CO2, banjir, kontaminasi air, tanah dan udara.
Akibat keterbatasan pengetahuan dan kekeliruan dalam mengadopsi rancangan
arsitektur dari negara-negara barat, cukup banyak bangunan rumah tinggal di kota besar
di Indonesia justru dirancang bertentangan dengan konsep arsitektur hijau. Pada saatnya
nanti, hal ini akan memunculkan permasalahan lingkungan: banjir, tanah longsor,
pemanasan kawasan, dan pemanasan global.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia saat ini bukan
saja membuat kehidupan menjadi semakin mudah, cepat dan nyaman, namun tanpa
disadari, di sisi lain menciptakan ketergantungan manusia terhadap teknologi yang
konsumtif energi. Tanpa adanya pemahaman tentang konsep arsitektur ramah lingkungan
atau arsitektur hijau, kawasan permukiman dan perumahan akan menyumbang banyak
masalah bagi keberlanjutan lingkungan secara lebih luas.
3
tropis seperti halnya, hujan deras, terik matahari, suhu udara tinggi, kelembaban tinggi
(untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang umumnya rendah.
Dengan pemahaman ini kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari
sekadar 'bentuk' atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada
kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembaban tidak tinggi,
pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan, dan
terhindar dari terik matahari. Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria tropis
semacam ini pengguna bangunan harus dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman
dibanding ketika mereka berada di luar bangunan.
4
kenyamanan di dalam bangunan, maka rating ’hijau’ nya semakin tinggi dan bangunan
dianggap semakin ramah lingkungan.
. Sementara LEED digunakan untuk menilai bangunan atau lingkungan binaan baik
dalam tahap pra-rancangan maupun terbangun. Parameter yang digunakan LEED lebih
bervariasi dibanding NABERS. Di antara tolok ukur (parameter) yang digunakan dalam
LEED untuk menilai tingkat keberlanjutan suatu bangunan atau lingkungan binaan adalah:
aspek pemilihan tapak, pengolahan tapak (termasuk peningkatan kualitas tapak), konsep
pedestrian, konsep transportasi kawasan, konservasi air, konservasi energi (hemat
energi), penggunaan energi terbarukan, penggunaan material yang berkelanjutan
(renewable, re-use, re-cycle), material penutup tanah yang berpori, material yang rendah
memberikan efek heat island (roof garden, green paving), dan penggunaan material
bangunan yang sehat tidak mengkontaminasi lingkungan.
Sektor penting yang berpengaruh dalam konsep arsitektur ramah lingkungan adalah
pelestarian sumber daya alam, di antaranya adalah penggunaan energi fosil. Rumah
berperan sebagai alat pencapaian kenyamanan fisik manusia dengan cara memodifikasi
lingkungan alamiah yang tidak diinginkan menjadi lingkungan buatan yang nyaman.
Bangunan rumah merupakan 'filter' (penyaring) faktor-faktor alamiah yang menyebabkan
ketidaknyamanan: hujan, terik matahari, angin kencang, udara panas tropis agar tidak
masuk ke dalam rumah.
Cukup banyak bangunan rumah di Indonesia yang dirancang tanpa pertimbangan
penghematan energi sehingga berkonsekuensi terhadap tingginya beaya operasional
listrik setiap bulannya. Jika rumah dirancang tanpa pertimbangan energi, maka kesulitan
akan muncul di kemudian hari, yakni dalam hal menanggulangi beban operasional listrik
yang tinggi serta emisi CO2 dari mesin pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar
fosil.
5
Hemat energi sebagai bagian penting dalam usaha merancang arsitektur
permukiman/perumahan ramah lingkungan sebagian merujuk pada penghematan energi
yang tidak terbarukan. Penghematan ini dapat berupa penekanan penggunaan energi
(listrik) yang bersumber dari bahan bakar fosil, atau menggunakan energi listrik non fosil
yang tergolong sebagai sumber energi terbarukan seperti energi matahari (solar sel),
energi angin, enegi air, dan lainnya.
6
4. REKOMENDASI RANCANGAN KAWASAN PERMUKIMAN/ PERUMAHAN RAMAH
LINGKUNGAN DI INDONESIA
Ramah lingkungan dapat dicapai oleh kawasan permukiman jika dalam rancangan
permukiman memperhatikan sejumlah aspek terkait dengan pendekatan arsitektur hijau,
di antaranya adalah, pemilihan dan pengolahan tapak, penyediaan jalur pedestrian,
penyelesaian transportasi kawasan, konservasi air, penghematan energi, penggunaan
energi terbarukan, penggunaan material yang berkelanjutan, penutup permukaan tanah,
meminimalkan efek heat island, penggunaan material bangunan yang sehat, serta
perilaku warga masyarakat yang tanggap terhadap konsep keberlanjutan.
7
pelindung, sehingga pengguna jalan ataupun jalur tidak langsung terkena sengatan
matahari, sementara itu pemanasan perkerasan jalan dan jalur akibat radiasi langsung
matahari dapat diminimalkan, sehingga efek ‘heat island’ juga dapat dikurangi.
8
bangunan mempengaruhi tingkat kenyamanan fisik serta konsumsi energi, demikian pula
‘jarak’ antara bangunan atau fungsi yang saling terkait akan mempengaruhi konsumsi
energi untuk pencapaian/transportasi. Rancangan jalur-jalur pedestrian yang tidak
memadai akan membuat warga enggan berjalan kaki, cenderung menggunakan
kendaraan bermotor meskipun untuk menempuh jarak pendek sekalipun. Demikian pula
‘dimensi’ kawasan sangat mempengaruhi konsumsi energi. Kawasan
permukiman/perumahan dengan dimensi yang terlalu besar – dengan radius di luar
jangkauan warga berjalan kaki atau berspeda, mengkonsumsi energi lebih besar
dibanding permukiman/perumahan dengan dimensi kecil dengan radius kawasan yang
terjangkau pejalan kaki atau pengguna sepeda.
9
memerlukan penanganan rancangan yang lebih cermat agar kenyamanan termal
penghuni dapat dicapai tanpa menggunakan mesin pengkondisian udara (AC).
10
diberbagai waktu dan orientasi semakin rendah. Dinding tebal membuat fluktuasi suhu
semakin kecil.
11
tinggi dari suhu udara ruang di bawahnya. Untuk itu plafon perlu dijauhkan dari kepala
manusia agar kenyamanan termal lebih mungkin dicapai, dengan kata lain plafon perlu
ditinggikan.
4.6.2.6. Hindari radiasi matahari memasuki bangunan atau mengenai bidang kaca
Ketika sinar matahari secara langsung menembus bidang kaca, radiasi (dalam bentuk
gelombang pendek) yang dipancarkan akan memanaskan (menaikkan suhu) benda-
benda seperti halnya lantai, meja, kursi, manusia di dalam bangunan tersebut, selain
memanaskan kaca itu sendiri. Akibat pemanasan tersebut, benda-benda memancarkan
kembali panasnya ke udara di sekelilingnya, dalam bentuk radiasi gelombang panjang.
Karena secara umum bahan kaca tidak dapat meneruskan gelombang panjang,
panas yang dipancarkan benda-benda tersebut akhirnya terperangkap di dalam
bangunan. Hal ini mengakibatkan kenaikkan suhu ruang bangunan. Peristiwa ini disebut
dengan 'effek rumah kaca' (the green house effect). Effek rumah kaca memanaskan
ruang akibat dari pemanasan benda-benda di dalam ruang. Hal ini tidak menguntungkan
bagi penghuni bangunan. Pemanasan ruang akibat efek rumah kaca ini seringkali diatasi
dengan memasang mesin pendingin (AC) yang memerlukan energi besar, yang
seharusnya tidak diperlukan.
12
penting untuk menciptakan efek dingin bagi tubuh manusia. Ciptakan ruang-ruang terbuka
di sekitar rumah jika lahan memungkinkan agar terjadi aliran udara silang dengan baik.
Penghijauan atap atau atap hijau (green roof) merupakan salah satu cara untuk
mengurangi pemanasan bangunan dan pemanasan kawasan. Penghijauan atap atau
sering disebut sebagai atap bervegetasi atau atap-ekologis merupakan penghijauan di
atas permukaan atap datar yang sudah diberi lapisan water-profing. Penghijauan atap
dapat berupa taman atap yang dapat digunakan sebagai aktifitas manusia, atau sekadar
penghijauan yang diisi oleh tanaman-tanaman jenis tertentu yang umumnya tahan
terhadap lingkungan kering sehingga tidak banyak memerlukan air.
13
daerah dataran tinggi Dieng, rumah-rumah penduduk setempat banyak dicat hitam. Hal ini
diharapkan agar lebih banyak radiasi mathari yang dapat diserap bangunan sehingga
bangunan hangat.
Tekstur material permukaan luar bangunan juga berpengaruh terhadap
penyerapan radiasi panas matahari. Tekstur kasar menyerap lebih banyak panas
dibanding tekstur halus. Fenomena ini perlu dipahami arsitek untuk digunakan dalam
mengantisipasi iklim setempat secara benar.
5. PENUTUP
Permukiman/perumahan tropis ramah lingkungan merupakan suatu rancangan kawasan
dan bangunan rumah yang mempertimbangkan kondisi fisik lingkungan setempat, dan
menjawab permasalahan iklim tropis. Rancangan arsitektur kawasan dan bangunan harus
mempertimbangkan faktor lokasi/tapak, iklim setempat, sistem transportasi kawasan,
konservasi air hujan dan air tanah, meminimalkan limbah padat, cair dan gas,
penghijauan kawasan, dan lainnya yang sesuai dengan kaidah-kaidah perancangan
arsitektur ramah lingkungan atau arsitektur hijau – berkesinambungan.
Penghematan energi merupakan bagian penting dalam konsep perancangan
arsitektur permukiman ramah lingkungan. Penghematan energi dapat menyisakan
sumber energi bagi generasi mendatang serta meminimalkan emisi CO2 sebagai
penyebab utama pemanasan bumi dan perubahan iklim global.
Di samping aplikasi rancangan arsitektur, keberhasilan membangun permukiman
ramah lingkungan juga banyak ditentukan oleh perilaku warga. Diperlukan perilaku yang
ramah lingkungan, pola hidup hemat, tidak konsumtif, disiplin, tertib, mematuhi aturan
hidup bersama, memelihara lingkungan alami dan lainnya, agar kualitas lingkungan
permukiman/perumahan dapat terjaga dan dapat mendukung kehidupan warga secara
layak, aman, nyaman dan sehat.
14
6. SUMBER BACAAN
Blowers, Andrew (ed.)(1993), Planning for a sustainable environment a report by the
Town and Country Planning Association, Earthscan Publications Ltd., London.
Dean Hawkes (1996), The Environmental Tradition Studies in the architecture of
environment, E&FN Spon
Givoni B. (1969), Man, Climate and Architecture, Elsevier Publishing Company Ltd.,
London
http://en.wikipedia.org/wiki/Leadership_in_Energy_and_Environmental_Design
http://www.seattle.gov/dpd/GreenBuilding/OurProgram/DesignToolsStrategies/LEED/defa
ult.asp
http://en.wikipedia.org/wiki/NABERS - Home Page.mht
Karyono, T.H. (1995), Arsitektur dan Energi, Harian Kompas, 21 September 1995
Karyono, T.H. (1995), Higher PMV causes Higher Energy Consumption in Air-conditioned
Buildings: A Case Study in Jakarta, Indonesia, in Standards for Thermal Comfort
Indoor Air Temperature Standards for the 21st Century, edited by Fergus Nicol,
Michael Humphreys, Oliver Sykes and Susan Roaf, E & Spon and Chapman &
Hall, London, UK.
Karyono, T.H. (1995), Shaping the City through Energy Conservation, Paper for the
Workshop on Urban Regeneration: Development through Conservation, Towards
Shaping World Cities, King's Manor, University of York, 23-24 March 1995.
Karyono, T.H. (2000), Mendefinisikan Kembali Arsitektur Tropis di Indonesia, Majalah
Desain Arsitektur, vol. 1, April, pp.7-8.
Karyono, T.H. (2000), Report on Thermal Comfort and Building Energy Studies in Jakarta,
Journal of Building and Environment, vol. 35, pp 77-90, Elsevier Science Ltd., UK.
Karyono, T.H. (2000), Konsep Kantung Pedestrian Kota Tropis, Kompas, 6 Desember
Karyono, T.H. (2004), 5 Tips Rumah Adem Tak Boros Listrik. Majalah IDEA, Edisi 8, 1
September
Karyono, T.H. (2004), Bangunan Hemat Energi: Rancangan Pasif dan Aktif, Kompas, 31
Oktober.
Karyono, T.H. (2006), et al: Report on thermal comfort study in Bandung, Proceedings of
International Conference ‘Comfort and Energy Use in Building Getting Them Right’,
Cumberland Lodge, Windsor Park, United Kingdom, 27-30 April 2006.
Karyono, T.H. (2007), ‘Silaban’s House: Climate and Thermal Assessment, ’Workshop
Silaban’s House, Gedung SPMA, Bogor, Juni 2007
Karyono, T.H. (2007), ‘Pemanasan Bumi Dan Tanggung Jawab Arsiteki’, Seminar sehari
Pemanasan Bumi, Universitas Katolik Atmajaya, Yogyakarta, 6 September
15
Karyono, T.H. (2007), Rumah Susun Tropis Hemat Energi di Indonesia, Makalah
Lokakarya Rumah Susun (RUSUN) Hemat Energi, Universitas Parahyangan,
Bandung, 8 September
Karyono, T.H. (2008), Bandung Thermal Comfort Study: Assessing the Applicability of an
Adaptive Model in Indonesia, Architectural Science Review, vol. 51.1, March, pp.
59-64, Australia.
Karyono, T.H. (2008), Strategi Murah Membuat Rumah Sejuk. Majalah IDEA-RENOVASI,
Edisi , Vol 1, Maret
Karyono, T.H. (2008), Arsitektur Permukiman Tropis Berkelanjutan, Prosidings Seminar
Nasional Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Universitas Budi Luhur, Jakarta, 8 April 2008
Karyono, T.H. (2008), Kota Hemat Energi: Antisipasi Ekonomi dan Pemanasan Bumi,
Seminar Green Entrepeneur dengan Tema Peluang Bisnis Teknologi di Balik
Perubahan Iklim Global , Hotel Mulia, Jakarta, 25 Juni
Karyono, T.H. (2008), Menggagas Zero Energy Building, Harian Kompas, 31 Agustus
Lippsmeier, G, et al (1980), Tropenbau Building in the Tropics, Germany Callwey Verlag,
Muenchen.
Roaf, S, et al. (2001), Ecohouse A Design Guide, Architectural Press, Oxford, UK
Roaf, S, Crichton, D, Nicol, F (2005), Adapting Buildings and Cities for Climate Change A
21st Century Survival Guide, Architectural Press – Elsevier, UK
Szokolay, SV (1978), Solar Energy and Building, The Architectural Press, London
Vale, Brenda and Robert (1996), Green Architecture, Thames and Hudson, London
World Commission on Environment and Development (1987), Our Common Future,
Oxford Univ. Press.
16