Anda di halaman 1dari 29

SESAJI REWANDA

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu :

Siti Noor Aini, S.Th.I., M.Hum., M.A

Disusun Oleh

Nama :
NIM :
Semester/ Kelas :
Program Studi : D3 Perhotelan
Jenjang : DIPLOMA III

SEKOLAH TINGGI PARIWISATA AMBARUKMO

YOGYAKARTA

2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
ABSTRAK...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................7
C. Tujuan Penelitian................................................................................................7
D. Manfaat Penelitian..............................................................................................7
E. Kerangka Teori...................................................................................................8
F. Metode Penelitian.............................................................................................12
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................14
A. Hasil..................................................................................................................14
B. Pembahasan......................................................................................................19
BAB II PENUTUP.....................................................................................................26
A. Simpulan...........................................................................................................26
B. Saran.................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................28

ii
ABSTRAK

Tradisi Sesaji Rewanda merupakan tradisi agama yang dilaksanakan oleh


masyarakat di Semarang, khususnya di kampung Talun Kacang. Tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan, berkah,
dan rejeki yang diberikan. Sesaji Rewanda juga memiliki kisah yang terkait
dengan Sunan Kalijaga dalam mencari kayu untuk pembangunan Masjid Agung
Demak. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mendokumentasikan
tradisi Sesaji Rewanda serta mengeksplorasi potensinya dalam konteks
pariwisata budaya. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
analisis SWOT. Data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara, dan
studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi Sesaji Rewanda memiliki daya
tarik yang khas dalam pariwisata budaya. Keunikan cerita dan makna di balik
tradisi ini, visual dan estetika gunungan yang indah, serta interaksi antara
masyarakat dan para monyet menjadi elemen-elemen yang menarik minat
wisatawan. Tradisi ini juga memberikan peluang untuk pengembangan pariwisata
budaya di Semarang, yang dapat meningkatkan kunjungan wisatawan dan
memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Pelestarian tradisi Sesaji
Rewanda menjadi penting, karena melalui tradisi ini, kekayaan budaya dan
warisan nenek moyang dapat terjaga dan diteruskan kepada generasi muda.
Partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga dan melestarikan tradisi ini menjadi
kunci keberlanjutan dan pengembangan tradisi Sesaji Rewanda.
Kata kunci: Sesaji Rewanda, tradisi agama, pariwisata budaya, pelestarian
budaya, Semarang.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tradisi adalah warisan budaya yang diteruskan dari generasi ke generasi


dan menjadi inti dari identitas suatu masyarakat. Tradisi tidak hanya
mempertahankan nilai-nilai dan kepercayaan yang berakar dalam sejarah, tetapi
juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, seperti seni, agama, adat
istiadat, dan pemahaman budaya. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam
tentang tradisi sangat penting untuk memahami dinamika sosial, perkembangan
masyarakat, dan warisan budaya suatu bangsa. Namun, perubahan sosial dan
teknologi yang cepat dalam beberapa dekade terakhir telah mengancam
keberlanjutan tradisi. Globalisasi dan arus informasi yang mudah diakses telah
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tradisi lokal di banyak negara,
termasuk Indonesia. Banyak aspek dari tradisi yang terabaikan atau bahkan
mengalami kemerosotan, menyebabkan hilangnya identitas budaya yang
berharga (Pranoto, 2019).

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti internet, media


sosial, dan platform digital, telah mengubah cara orang berinteraksi dan
mendapatkan informasi. Meskipun teknologi ini membawa banyak manfaat dan
kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, dampaknya terhadap tradisi dapat
menjadi bermasalah. Generasi muda cenderung lebih terpapar pada budaya
global dan arus informasi yang serba cepat, yang dapat mengaburkan
pemahaman dan minat mereka terhadap tradisi lokal. Selain itu, urbanisasi dan
mobilitas yang tinggi juga berdampak pada tradisi. Banyak orang yang
meninggalkan desa dan lingkungan tradisional mereka untuk mencari pekerjaan
dan peluang di kota-kota besar. Hal ini mengakibatkan pemisahan fisik dan

4
emosional dari akar budaya mereka, dan seringkali tradisi tersebut tidak dapat
dipertahankan atau dipraktikkan dengan sempurna dalam lingkungan baru (R.
Suryanto, 2018).

Kehilangan tradisi tidak hanya berdampak pada aspek budaya, tetapi juga
memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi. Tradisi dapat menjadi basis untuk
pariwisata budaya yang berkelanjutan dan dapat memberikan sumber
penghidupan bagi masyarakat lokal. Ketika tradisi hilang, komunitas tersebut
kehilangan peluang untuk mengembangkan ekonomi lokal dan mempertahankan
keberlanjutan lingkungan sosial mereka. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan
pendapatan dan ketergantungan yang lebih besar pada sektor ekonomi yang tidak
terkait dengan tradisi. Ketika tradisi tidak lagi menjadi daya tarik wisata atau
tidak dipraktikkan secara aktif, dampak ekonomi negatif dapat dirasakan oleh
komunitas lokal. Pengunjung yang tertarik pada kebudayaan dan tradisi daerah
cenderung menghabiskan uang mereka untuk membeli produk dan jasa lokal,
seperti kerajinan tangan, makanan tradisional, atau pertunjukan seni. Keberadaan
tradisi yang kuat dan hidup mendukung keberlanjutan ekonomi lokal,
menciptakan peluang kerja, dan mendorong pengembangan bisnis lokal
(Heryanto, 2020).

Selain dampak ekonomi, kehilangan tradisi juga dapat berdampak pada


aspek sosial. Tradisi memainkan peran penting dalam memperkuat identitas
kolektif dan rasa solidaritas dalam masyarakat. Mereka membentuk jaringan
sosial, hubungan antargenerasi, dan membawa makna dan nilai yang diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketika tradisi merosot atau terlupakan,
komunitas bisa mengalami hilangnya rasa persatuan dan kebersamaan. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan dalam pola interaksi sosial, meningkatkan tingkat
isolasi, dan mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional masyarakat.
Oleh karena itu, upaya untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali
tradisi menjadi sangat penting. Pemerintah, akademisi, praktisi budaya, dan

5
masyarakat lokal perlu bekerja sama untuk mengembangkan program dan
kebijakan yang mendukung pelestarian tradisi. Inisiatif seperti pendidikan
budaya, revitalisasi upacara adat, pendokumentasian warisan budaya, dan
pembangunan infrastruktur yang mendukung pariwisata budaya dapat menjadi
langkah-langkah yang efektif dalam mempertahankan tradisi serta mendukung
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal (Wijaya, 2017).

Unsur agama dalam tradisi memiliki peran yang sangat penting. Banyak
tradisi yang dijalankan oleh masyarakat didasarkan pada keyakinan agama dan
memiliki hubungan erat dengan praktik keagamaan. Agama sering menjadi
landasan moral dan spiritual bagi masyarakat, dan tradisi-tradisi yang terkait
dengan agama dapat memberikan identitas dan makna yang mendalam.
Misalnya, di Indonesia, tradisi-tradisi seperti perayaan Hari Raya Idul Fitri dalam
Islam, perayaan Nyepi dalam agama Hindu, atau upacara adat dalam agama adat
tertentu, semuanya berakar dalam keyakinan agama dan memiliki nilai sakral
bagi masyarakat setempat. Upacara keagamaan, ritual, dan praktik spiritual yang
terkait dengan tradisi ini mencerminkan hubungan manusia dengan yang
transenden, menggalang solidaritas antara anggota komunitas yang berbagi
keyakinan, dan menguatkan penghayatan dan pengamalan agama dalam
kehidupan sehari-hari .

Selain itu, unsur agama dalam tradisi juga memiliki daya tarik dalam
pariwisata budaya. Banyak wisatawan yang tertarik untuk mengalami dan
mempelajari tradisi keagamaan di destinasi wisata. Pariwisata religi menjadi
daya tarik yang signifikan, di mana wisatawan berkunjung ke tempat-tempat
suci, kuil, gereja, atau masjid untuk berpartisipasi dalam upacara keagamaan,
mempelajari tradisi spiritual, dan merasakan pengalaman yang menginspirasi
secara spiritual. Pariwisata budaya yang berfokus pada tradisi religius dapat
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Masyarakat dapat
menawarkan layanan dan produk yang terkait dengan tradisi keagamaan, seperti

6
suvenir religius, kuliner khas, atau akomodasi dekat situs suci. Selain itu,
pariwisata religius juga dapat memberikan kesempatan bagi penduduk setempat
untuk berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata, seperti menjadi pemandu wisata,
pemain musik atau penari dalam pertunjukan agama, atau penyedia layanan
penginapan (Kurniawan & Hartuti, 2016). Dengan demikian, unsur agama dalam
tradisi memiliki daya tarik yang kuat dalam pariwisata budaya. Memahami dan
melestarikan tradisi agama adalah penting tidak hanya untuk mempertahankan
identitas budaya dan spiritualitas masyarakat, tetapi juga untuk mendukung
sektor pariwisata yang berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi bagi
komunitas lokal. Salah satu tradisi dengan unsur religi yang dimiliki Indonesia
adalah tradisi Sesaji Rewanda di Semarang. Pada penelitian ini akan membahas
mengenai tradisi Sesaji Rewanda dengan tujuan untuk mengetahui prosesi dari
tradisi Sesaji Rewanda dan memahami makna dari tradisi tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tradisi Sesaji Rewanda sebagai Tradisi Agama di Semarang?


2. Bagaimana Daya Tarik Tradisi Sesaji Rewanda dalam dunia Pariwisata?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetaui Tradisi Sesaji Rewanda sebagai Tradisi Agama di Semarang


2. Untuk mengetahui Daya Tarik Tradisi Sesaji Rewanda dalam dunia
Pariwisata

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian tentang Tradisi Sesaji Rewanda dapat memberikan kontribusi


yang signifikan dalam pelestarian budaya lokal. Dalam konteks ini, penelitian
dapat membantu memahami asal-usul, makna, dan praktik tradisi tersebut.
Informasi yang dikumpulkan dapat digunakan untuk dokumentasi,

7
pengarsipan, dan pemeliharaan tradisi agar tidak hilang dalam perkembangan
zaman.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis

Penelitian tentang Tradisi Sesaji Rewanda akan memberikan


penulis kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang
tradisi tersebut. Melalui pengumpulan dan analisis data, penulis dapat
mempelajari aspek-aspek unik, makna, dan praktik dari tradisi tersebut.
Hal ini akan memperluas pemahaman penulis tentang warisan budaya dan
keberagaman tradisi di masyarakat.

b. Bagi Pembaca

Penelitian yang mendokumentasikan dan menganalisis Tradisi


Sesaji Rewanda akan memberikan pembaca pemahaman yang lebih
dalam tentang asal-usul, makna, dan praktik dari tradisi tersebut. Mereka
akan dapat memperoleh wawasan tentang kekayaan budaya, ritual,
simbolisme, dan nilai-nilai yang melandasi tradisi tersebut.

E. Kerangka Teori

1. Tradisi

Tradisi secara umum merujuk pada serangkaian praktik, kepercayaan,


nilai-nilai, ritual, dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi
dalam suatu kelompok atau masyarakat. Tradisi mencerminkan identitas
budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang dianggap penting oleh kelompok
tersebut. Tradisi dapat berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk
agama, adat istiadat, seni, bahasa, dan lain sebagainya (A. Suryanto &
Prayitno, 20019). Tradisi dalam dunia pariwisata merujuk pada penggunaan

8
elemen-elemen budaya dan warisan lokal sebagai daya tarik wisata. Ini
melibatkan pemanfaatan tradisi, festival, ritual, seni, kerajinan tangan, musik,
tarian, kuliner, dan praktik-praktik lain yang unik bagi suatu komunitas atau
destinasi pariwisata (Hidayah & Darmawan, 2018).

Tradisi budaya dan warisan lokal memberikan daya tarik unik bagi para
wisatawan. Wisatawan tertarik untuk mengalami dan mempelajari praktik-
praktik tradisional yang berbeda, mengamati upacara dan festival, mencicipi
makanan khas, atau menyaksikan pertunjukan seni tradisional. Tradisi ini
menciptakan pengalaman yang autentik dan berkesan bagi wisatawan.
Pariwisata berbasis tradisi dapat memberikan sumber pendapatan yang
signifikan bagi masyarakat lokal. Melalui penjualan produk kerajinan,
makanan khas, atau penyediaan layanan tur, masyarakat dapat memperoleh
pendapatan tambahan dan memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka. Ini
juga dapat meningkatkan keterampilan lokal, menggerakkan sektor pariwisata,
dan mendorong pengembangan usaha kecil dan menengah (Kusumadewi,
2017).

Pariwisata yang berfokus pada tradisi membantu memelihara dan


melestarikan warisan budaya lokal. Karena tradisi tersebut menjadi sumber
pendapatan dan minat wisatawan, masyarakat cenderung mempertahankan
dan merawat praktik-praktik tradisional mereka. Ini membantu melindungi
dan mengembangkan budaya lokal yang unik dari pengaruh modernisasi dan
perubahan sosial. Pariwisata berbasis tradisi mendorong pengembangan
infrastruktur dan keberlanjutan di destinasi wisata. Untuk memenuhi
permintaan wisatawan, perluasan akomodasi, transportasi, dan fasilitas
pendukung lainnya mungkin diperlukan. Hal ini dapat memicu investasi
dalam pengembangan destinasi pariwisata, memperbaiki infrastruktur lokal,
dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat.

9
2. Budaya

Budaya adalah keseluruhan pola kehidupan, sistem nilai, kepercayaan,


bahasa, seni, dan praktik-praktik lain yang dibagikan oleh anggota suatu
kelompok atau masyarakat. Budaya mencerminkan identitas, pemahaman, dan
cara hidup suatu kelompok, serta berkembang melalui interaksi sosial, warisan
budaya, dan proses pembelajaran (Prasetya, 2018). Budaya dalam dunia
pariwisata merujuk pada warisan budaya, tradisi, praktik, ekspresi seni, dan
nilai-nilai yang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Budaya dalam konteks
pariwisata mencakup aspek-aspek seperti seni, tarian, musik, arsitektur,
kuliner, pakaian tradisional, ritual keagamaan, serta kehidupan sehari-hari
masyarakat lokal (Purwanto & Sumarsono, 2017).

Budaya menjadi daya tarik utama bagi wisatawan yang ingin mengalami
dan memahami kekayaan budaya suatu destinasi. Mereka tertarik untuk
menyaksikan pertunjukan seni tradisional, mencoba makanan khas,
berpartisipasi dalam festival lokal, atau belajar tentang tradisi dan kehidupan
sehari-hari masyarakat setempat. Pariwisata dapat berkontribusi dalam
pelestarian dan pemeliharaan budaya. Ketika budaya menjadi sumber
pendapatan bagi komunitas lokal, mereka lebih cenderung melestarikan dan
menjaga warisan budaya mereka agar tetap hidup. Ini membantu melindungi
tradisi dari kemungkinan kepunahan dan pengaruh globalisasi yang dapat
mengancam keberlanjutan budaya.

3. Pariwisata

Pariwisata adalah aktivitas perjalanan dan kunjungan seseorang ke


tempat-tempat di luar tempat tinggalnya untuk tujuan rekreasi, liburan, bisnis,
atau pendidikan. Ini melibatkan kegiatan seperti mengunjungi objek wisata,
menginap di akomodasi wisata, berpartisipasi dalam kegiatan wisata, dan
menjelajahi atraksi dan daya tarik khas suatu daerah (Isdarmanto, 2021).

10
Pariwisata melibatkan perjalanan dari tempat tinggal seseorang ke tujuan
wisata. Perjalanan ini bisa melibatkan transportasi seperti pesawat, kereta,
kapal, atau mobil. Pariwisata melibatkan kunjungan ke tujuan wisata yang
memiliki daya tarik khusus, seperti situs sejarah, pantai, taman nasional,
tempat budaya, atau kota-kota wisata. Pariwisata melibatkan berbagai
aktivitas rekreasi, seperti berenang, berjalan-jalan, mendaki gunung,
berbelanja, mencicipi makanan khas, atau berpartisipasi dalam acara budaya.
Pariwisata juga merupakan industri yang melibatkan berbagai sektor seperti
akomodasi, restoran, transportasi, pemandu wisata, dan jasa-jasa lain yang
mendukung pengalaman wisatawan (Haryanti & Prabowo, 2020).

4. Wisata Religi

Wisata religi adalah perjalanan wisata yang memiliki fokus pada tujuan-
tujuan yang memiliki signifikansi keagamaan atau spiritual. Ini melibatkan
kunjungan ke tempat-tempat suci, tempat ibadah, situs bersejarah yang
berhubungan dengan kepercayaan agama tertentu, atau perayaan keagamaan
(Tjitropranoto & Sadikin, 2018). Tempat-tempat yang dikunjungi dalam
wisata religi memiliki nilai dan makna religius yang penting bagi pemeluk
agama tertentu. Mereka dapat menjadi situs suci, kuil, gereja, masjid, makam
tokoh agama, atau tempat-tempat ritual.

Wisata religi juga melibatkan pencarian pengalaman spiritual dan


koneksi dengan sesuatu yang lebih tinggi. Wisatawan religi dapat
berpartisipasi dalam ritual, meditasi, doa, atau refleksi untuk mencapai
pemahaman yang lebih dalam tentang agama mereka dan meningkatkan
spiritualitas pribadi. Wisata religi seringkali terkait dengan perayaan dan
festival keagamaan yang diadakan di tempat-tempat tertentu. Wisatawan religi
dapat mengunjungi tujuan wisata pada waktu-waktu tertentu untuk
berpartisipasi dalam upacara keagamaan dan perayaan bersama komunitas

11
lokal. Wisata religi juga memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk
mempelajari lebih lanjut tentang sejarah, doktrin, dan praktik keagamaan
suatu agama. Mereka dapat mengunjungi museum agama, pusat informasi
keagamaan, atau berinteraksi dengan para pemimpin agama dan praktisi
keagamaan (Hidayat & Hamdani, 2020).

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian tentang tradisi Sesaji Rewanda dengan pendekatan


kualitatif dan analisis SWOT, beberapa metode yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:

1. Observasi
Peneliti dapat terlibat secara langsung dalam tradisi Sesaji Rewanda
sebagai peserta atau pengamat untuk mengamati secara langsung proses dan
praktik yang terjadi. Observasi partisipatif memungkinkan peneliti untuk
mendapatkan wawasan mendalam tentang aspek-aspek budaya, tata cara, dan
makna di balik tradisi tersebut.
2. Wawancara
Metode wawancara mendalam dapat digunakan untuk mendapatkan
informasi dan perspektif langsung dari partisipan tradisi Sesaji Rewanda,
seperti warga kampung Talun Kacang yang melaksanakan tradisi tersebut.
Wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi
pemahaman, nilai, kepercayaan, dan pengalaman individu terkait dengan
tradisi tersebut.
3. Dokumentasi
Peneliti dapat mengumpulkan dan menganalisis berbagai dokumen
terkait dengan tradisi Sesaji Rewanda, seperti catatan sejarah, literatur lokal,
cerita rakyat, atau dokumentasi visual. Studi dokumen dapat memberikan

12
pemahaman tentang latar belakang, perubahan seiring waktu, dan konteks
budaya yang mempengaruhi tradisi tersebut.
4. Analisis SWOT
Setelah mengumpulkan data dari observasi, wawancara, dan analisis
dokumen, peneliti dapat menerapkan kerangka analisis SWOT. Analisis
SWOT melibatkan identifikasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses),
peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang berkaitan dengan tradisi
Sesaji Rewanda.
5.

13
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

a. Gambaran Umum Sesaji Rewanda


tradisi Sesaji Rewanda dilaksanakan pada tanggal 3 bulan Syawal oleh
warga kampung Talun Kacang, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunung Pati,
Semarang. Tradisi ini merupakan sebuah ritual yang diadakan oleh
masyarakat setempat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan YME atas
keselamatan, berkah, dan rejeki yang diterima. Sesaji Rewanda menjadi
bagian dari kehidupan budaya dan kepercayaan masyarakat Semarang,
khususnya di kampung Talun Kacang. Dalam tradisi ini, memberi makan kera
ekor panjang yang menjadi penghuni Goa Kreo menjadi salah satu elemen
penting. Tradisi ini mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dan
alam, serta rasa keterhubungan dengan makhluk hidup di sekitar mereka.
Warga Talun Kacang Kandri Gunung Pati melaksanakan adat Rewanda
Sesaji setiap sepertiga Syawal sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas keselamatan, berkah, dan keberhasilannya. Memberi
makan monyet ekor panjang yang hidup di Gua Kreo adalah ciri khas dari
kebiasaan ini. Tradisi ini mengandung makna religius dan spiritual bagi
masyarakat setempat. Melalui Sesaji Rewanda, warga Talun Kacang Kandri
Gunung Pati ingin mengekspresikan rasa syukur dan pengabdian mereka
kepada Tuhan atas berbagai anugerah yang diterima dalam kehidupan mereka.
Dalam pandangan kepercayaan mereka, memberi makan kera ekor panjang
merupakan salah satu cara untuk menghormati makhluk-makhluk Tuhan yang
ada di sekitar mereka.

14
Tradisi seperti Sesaji Rewanda memiliki daya tarik dalam konteks
pariwisata, terutama bagi wisatawan yang tertarik dengan wisata religi atau
budaya lokal yang unik. Wisatawan dapat mempelajari dan mengalami
langsung tradisi ini, serta memahami nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal
yang terkait. Selain itu, partisipasi dalam tradisi ini juga memberikan
kesempatan bagi wisatawan untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat
dan memperkaya pemahaman mereka tentang keberagaman budaya. Tradisi
Sesaji Rewanda tidak hanya memiliki makna religius, tetapi juga memiliki
nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Tradisi ini menjadi bagian penting dari identitas lokal masyarakat
Semarang dan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang tertarik dengan
kebudayaan dan tradisi unik daerah tersebut.
Dengan melibatkan masyarakat setempat dan memperkenalkan tradisi
ini kepada wisatawan, pariwisata budaya dan religi di Semarang dapat
berkembang. Wisatawan memiliki kesempatan untuk mempelajari dan
mengalami langsung tradisi ini, sambil memberikan dukungan ekonomi
kepada masyarakat lokal. Dalam konteks pariwisata, tradisi Sesaji Rewanda
menjadi salah satu aset yang dapat meningkatkan daya tarik destinasi dan
menciptakan pengalaman unik bagi pengunjung.
Tradisi Sesaji Rewanda terdiri dari dua suku kata, yaitu "Sesaji" yang
bermakna hadiah dan "Rewanda" yang berarti monyet. Dalam konteks ini,
"Sesaji" mengacu pada tindakan memberikan sesuatu sebagai bentuk
persembahan atau hadiah kepada Tuhan, sedangkan "Rewanda" mengacu pada
makhluk monyet yang menjadi objek pemberian tersebut. Tradisi Sesaji
Rewanda, dengan memberi makan kera ekor panjang di Goa Kreo sebagai
bagian dari ritual, melibatkan pemahaman dan keyakinan bahwa monyet
merupakan perwujudan dari keberadaan Tuhan atau simbol dari kekuatan
spiritual tertentu. Dalam tradisi ini, memberi makan monyet secara khusus
dianggap sebagai wujud penghormatan dan pemberian kepada Tuhan. Makna

15
dan simbolisme di balik tradisi Sesaji Rewanda dapat bervariasi tergantung
pada keyakinan dan interpretasi masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan
kekayaan dan keragaman budaya serta kepercayaan yang ada dalam
masyarakat Semarang, khususnya di kampung Talun Kacang.
b. Sejarah Sesaji Rewanda
Tradisi Sesaji Rewanda memiliki makna sebagai upacara memberi
hadiah kepada para monyet. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan dan mengenang kisah napak tilas Sunan Kalijaga dalam
mencari kayu untuk pembangunan Masjid Agung Demak. Menurut cerita
yang berkembang, ketika Sunan Kalijaga mencari kayu, beliau didampingi
oleh para monyet yang membantu menggulirkan batang kayu jati yang
kemudian dihanyutkan ke Sungai Kreo. Dalam legenda tersebut, peran para
monyet dianggap penting dalam proses perolehan kayu untuk pembangunan
masjid yang sangat bersejarah itu.
Perayaan tradisi Sesaji Rewanda di bulan Syawal ini ditandai dengan
pengarakan gunungan. Gunungan yang diarak dalam tradisi ini memiliki
variasi yang beragam, mulai dari gunungan yang terdiri dari buah-buahan,
sayur-sayuran, hingga ketupat. Gunungan tersebut melambangkan berbagai
macam hasil bumi dan makanan yang dipersembahkan sebagai bagian dari
upacara penghormatan kepada Tuhan. Tradisi ini merupakan perayaan yang
memadukan aspek religius, budaya, dan kearifan lokal. Selain sebagai bentuk
syukur dan penghormatan kepada Tuhan, tradisi Sesaji Rewanda juga menjadi
simbol dari kerjasama, kebersamaan, dan hubungan harmonis antara manusia
dengan alam serta makhluk-makhluk di sekitarnya.
c. Keunikan Sesaji Rewanda
Hal yang unik dalam tradisi Sesaji Rewanda adalah adanya gunungan
"sego kethek" yang menjadi bagian penting dari upacara tersebut. Sego
kethek, atau yang dikenal juga sebagai nasi monyet, merupakan gunungan
yang khusus diberikan kepada para monyet di Gua Kreo. Gunungan sego

16
kethek ini terdiri dari nasi yang disajikan bersama dengan sayuran, lengkap
dengan lauk pauk berupa tahu dan tempe yang dibungkus menggunakan daun
jati. Ukuran gunungan sego kethek ini biasanya cukup besar, dengan tinggi
mencapai 2,5 meter, memberikan kesan yang mengesankan saat diarak.
Pemberian sego kethek kepada para monyet di Gua Kreo menjadi
momen yang istimewa dalam tradisi Sesaji Rewanda. Hal ini menggambarkan
penghargaan dan perhatian yang diberikan oleh masyarakat setempat terhadap
keberadaan monyet dan kehidupan alam di sekitar mereka. Dalam konteks
budaya dan pariwisata, kehadiran gunungan sego kethek menjadi salah satu
daya tarik bagi wisatawan yang tertarik untuk melihat dan mengalami
langsung tradisi unik ini. Wisatawan dapat menyaksikan prosesi pengarakan
gunungan sego kethek dan menyaksikan interaksi antara masyarakat dengan
para monyet, sambil mempelajari makna dan simbolik di balik tradisi Sesaji
Rewanda.
Perayaan tradisi Sesaji Rewanda diawali pada pukul 09.00 WIB, di
mana para warga kampung Talun Kacang, tepatnya di Kampung Kandri,
memulai prosesi pengarakan gunungan. Prosesi ini melibatkan pengangkutan
gunungan dari kampung mereka menuju Gua Kreo dengan jarak sekitar 800
meter. Pada saat pengarakan, terdapat tarian khusus yang melibatkan empat
orang penari yang mengenakan kostum monyet. Tarian ini memiliki makna
simbolis, menggambarkan peran para sahabat Sunan Kalijaga dalam
membantu memindahkan kayu jati dalam legenda yang melatarbelakangi
tradisi ini.
Dalam tarian tersebut, keempat penari yang berperan sebagai sahabat
Sunan Kalijaga menampilkan gerakan-gerakan khas yang menggambarkan
kerjasama, kekompakan, dan semangat dalam menjalankan tugas yang
diberikan. Tarian ini memberikan nuansa khidmat dan menghidupkan kembali
cerita legendaris yang menjadi dasar dari tradisi Sesaji Rewanda. Prosesi
pengarakan dan tarian empat penari monyet ini menjadi salah satu momen

17
yang paling dinanti dalam perayaan tradisi ini. Melalui tarian tersebut,
masyarakat setempat dan pengunjung dapat merasakan kekuatan dan
keindahan cerita yang mengiringi tradisi Sesaji Rewanda, serta menghargai
peran dan kontribusi para sahabat Sunan Kalijaga dalam menjaga dan
meneruskan tradisi yang berharga ini.
Selanjutnya, di belakang prosesi pengarakan gunungan, terdapat replika
batang kayu jati yang melambangkan kayu jati yang dicari oleh Sunan
Kalijaga dalam perjalanan tersebut. Replika ini menjadi simbol yang
mengingatkan akan perjalanan bersejarah tersebut dan memberikan dimensi
visual yang kuat dalam tradisi Sesaji Rewanda. Setelah tiba di kawasan Goa
Kreo, prosesi upacara secara resmi dimulai. Upacara ini dipimpin oleh
sejumlah tokoh adat yang memiliki peran penting dalam menjaga dan
melanjutkan tradisi ini dari generasi ke generasi. Mereka memimpin dalam
memanjatkan doa dan ucapan syukur kepada Sang Pencipta atas berkah,
keselamatan, dan rejeki yang diberikan.
Selanjutnya, dalam suasana yang kental dengan semangat kebersamaan,
anak-anak yang mengenakan kostum monyet memulai tarian mereka diiringi
oleh tabuhan gamelan yang merdu. Tarian ini menjadi bagian penting dari
tradisi Sesaji Rewanda, menggambarkan keceriaan dan semangat dalam
perayaan ini. Para masyarakat lainnya juga ikut bergabung dalam tarian
tersebut, menciptakan suasana yang meriah dan memperkuat rasa
kebersamaan dalam tradisi ini. Melalui upacara, doa, dan tarian yang
dilakukan dalam tradisi Sesaji Rewanda, masyarakat setempat dan para
pengunjung dapat merasakan kekuatan spiritual, keindahan budaya, dan
kehangatan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan yang terpancar dalam
tradisi ini.
Setelah pembacaan doa dan peragaan tarian selesai, gunungan dalam
tradisi Sesaji Rewanda dibagikan kepada para warga yang hadir. Momen ini
menjadi saat yang dinantikan, di mana para warga akan berebut untuk

18
mendapatkan bagian dari gunungan yang ada. Tidak hanya para warga, tetapi
juga para monyet yang tinggal di sekitar Gua Kreo ikut serta dalam berebut
buah-buahan dan sayuran yang terdapat di dalam gunungan. Mereka turut
merasakan kelezatan dan keberkahan yang terkandung dalam tradisi ini.
Saat itulah tercipta momen kebersamaan yang unik antara masyarakat
dan monyet. Para warga dan monyet saling berbagi dan menikmati gunungan
bersama-sama, menciptakan ikatan emosional dan pengalaman yang tak
terlupakan. Kebersamaan ini juga menjadi refleksi dari hubungan harmonis
antara manusia dan alam serta simbol dari rasa syukur dan kebersyukuran
yang diungkapkan melalui tradisi Sesaji Rewanda. Dalam kesempatan ini,
semua pihak yang terlibat dapat merasakan kehangatan, kegembiraan, dan
kebersamaan yang tercipta melalui tradisi yang diwariskan dari generasi ke
generasi ini.

B. Pembahasan

1. Tradisi Sesaji Rewanda sebagai Tradisi Agama di Semarang


Tradisi Sesaji Rewanda merupakan salah satu tradisi agama yang
dijalankan oleh masyarakat di Semarang, Indonesia. Tradisi ini memiliki akar
religius yang kuat dan dipraktikkan sebagai wujud syukur dan penghormatan
kepada Tuhan atas berkah, keselamatan, dan rejeki yang diberikan. Tradisi
Sesaji Rewanda dilaksanakan setiap tanggal 3 Syawal oleh warga Kampung
Talun Kacang, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Tradisi
ini merupakan salah satu tradisi agama yang telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat dengan penuh
semangat mempersiapkan dan melaksanakan tradisi ini sebagai bentuk
pengabdian dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tradisi ini memiliki cerita dan makna yang mendalam. Sesaji Rewanda
terdiri dari dua kata. "Sesaji" berarti hadiah atau persembahan, sedangkan
"Rewanda" berarti monyet. Cerita di balik tradisi ini berkaitan dengan Sunan

19
Kalijaga, salah satu tokoh penyebar agama Islam di Indonesia. Konon, saat
mencari kayu untuk pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga
dibantu oleh para monyet yang menggulirkan batang kayu jati ke Sungai
Kreo. Batang kayu tersebut kemudian dihanyutkan ke sungai untuk kemudian
dibawa ke Demak. Sebagai penghargaan dan bentuk rasa syukur kepada para
monyet tersebut, tradisi Sesaji Rewanda dilakukan dengan memberikan
hadiah berupa makanan kepada monyet yang tinggal di Gua Kreo (Sayekti &
Wulandari, 2020).
Tradisi Sesaji Rewanda menjadi salah satu bentuk pengamalan agama
yang dijalankan oleh masyarakat Semarang. Tradisi ini tidak hanya
melibatkan unsur keagamaan, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan nilai-
nilai budaya, kebersamaan, dan kearifan lokal. Masyarakat meyakini bahwa
dengan melaksanakan tradisi ini, mereka dapat memperoleh berkah dan
keberkahan dari Tuhan serta memperkuat hubungan spiritual dengan alam dan
makhluk hidup di sekitar mereka (Anisah et al., 2021). Perayaan tradisi Sesaji
Rewanda dimulai pada pukul 09.00 WIB. Para warga bersama-sama
mengarak gunungan dari kampung mereka di Kampung Kandri ke Gua Kreo
yang berjarak sekitar 800 meter. Arak-arakan Sesaji Rewanda didahului oleh
tarian empat orang berkostum monyet. Tarian ini melambangkan para sahabat
Sunan Kalijaga yang membantu dalam memindahkan kayu jati. Para penari
dengan lincah menggerakkan tubuh mereka dan menirukan gerakan monyet,
menciptakan suasana yang khas dan menghidupkan cerita yang terkandung
dalam tradisi ini.
Selanjutnya, dalam arak-arakan tersebut, terdapat replika batang kayu
jati yang melambangkan kayu jati yang dicari oleh Sunan Kalijaga. Replika
ini menjadi simbol yang mengingatkan akan perjalanan bersejarah tersebut
dan memberikan dimensi visual yang kuat dalam tradisi Sesaji Rewanda.
Replika batang kayu jati ini juga menjadi pusat perhatian dan mengingatkan
masyarakat akan pentingnya menjaga dan menghormati warisan sejarah yang

20
telah ada. Setelah tiba di kawasan Gua Kreo, prosesi upacara dimulai. Upacara
ini dipimpin oleh sejumlah tokoh agama atau tokoh adat yang memanjatkan
doa dan ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Mereka mendoakan agar
masyarakat diberkahi dengan keselamatan, kesehatan, keberkahan, dan rejeki
yang berlimpah. Doa ini menjadi momen sakral yang menguatkan hubungan
spiritual antara masyarakat dengan Tuhan.
Setelah pembacaan doa dan peragaan tarian selesai, gunungan dalam
tradisi Sesaji Rewanda dibagikan kepada para warga yang hadir. Momen ini
menjadi saat yang dinantikan, di mana para warga akan berebut untuk
mendapatkan bagian dari gunungan yang ada. Gunungan tersebut berisi
makanan seperti buah-buahan, sayuran, ketupat, dan kue-kue tradisional.
Gunungan ini juga memiliki gunungan khusus yang disebut "sego kethek"
atau nasi monyet. Sego kethek berisi nasi, sayuran, tahu, tempe, dan lauk-pauk
lainnya yang dibungkus dengan daun jati. Tingginya gunungan sego kethek
mencapai 2,5 meter, memberikan kesan yang menarik dan unik dalam tradisi
ini. Tak ketinggalan, para monyet yang tinggal di sekitar Gua Kreo ikut serta
dalam berebut buah-buahan dan sayuran yang terdapat di dalam gunungan.
Tradisi ini menciptakan momen kebersamaan antara masyarakat dan monyet,
di mana mereka saling berbagi dan menikmati gunungan bersama-sama. Hal
ini menjadi gambaran kebersamaan, persaudaraan, dan rasa syukur yang
diungkapkan oleh masyarakat melalui tradisi Sesaji Rewanda.
Tradisi Sesaji Rewanda memiliki nilai yang mendalam dan beragam.
Selain sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan, tradisi ini juga
mengandung nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lokal. Tradisi ini
memperkuat rasa kebersamaan dan persatuan di antara masyarakat,
meningkatkan pemahaman tentang sejarah dan warisan budaya, serta
memberikan kebanggaan dan identitas bagi masyarakat Semarang. Tradisi
Sesaji Rewanda tidak hanya menjadi bagian integral dari kehidupan agama
masyarakat Semarang, tetapi juga memiliki daya tarik sebagai potensi

21
pariwisata budaya. Tradisi ini menarik minat wisatawan lokal maupun
mancanegara yang ingin menyaksikan keunikan dan kekayaan budaya
Indonesia. Pemerintah dan masyarakat setempat dapat memanfaatkan potensi
ini untuk pengembangan pariwisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
serta melestarikan dan mempromosikan kebudayaan lokal (Prawirohardjo,
2016).
Tradisi Sesaji Rewanda merupakan warisan budaya yang bernilai tinggi
dan perlu dijaga, dilestarikan, serta diapresiasi oleh generasi saat ini dan yang
akan datang. Tradisi ini menjadi bukti keberagaman dan kekayaan budaya
Indonesia yang terus hidup dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pemahaman dan penghormatan terhadap tradisi ini, kita dapat memperkuat
ikatan sosial, menghargai warisan nenek moyang, dan menjaga identitas
budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari keberagaman bangsa.
2. Daya Tarik Tradisi Sesaji Rewanda
Tradisi Sesaji Rewanda di Semarang memiliki daya tarik yang khas dan
unik dalam konteks pariwisata budaya. Tradisi ini menawarkan pengalaman
yang berbeda dan menarik bagi wisatawan yang ingin merasakan kehidupan
tradisional dan spiritual masyarakat Semarang. Salah satu daya tarik utama
dari Tradisi Sesaji Rewanda adalah keunikan cerita dan makna di baliknya.
Tradisi ini berasal dari kisah napak tilas Sunan Kalijaga dalam mencari kayu
untuk pembangunan Masjid Agung Demak. Konon, Sunan Kalijaga dibantu
oleh para monyet dalam menggulirkan batang kayu jati ke Sungai Kreo. Kisah
ini menjadi bagian dari tradisi Sesaji Rewanda yang memadukan elemen
agama, sejarah, dan kearifan lokal. Wisatawan dapat merasakan nuansa
sejarah dan spiritualitas yang kental melalui partisipasi dalam tradisi ini
(Setiawan, 2019).
Selain itu, visual dan estetika tradisi Sesaji Rewanda juga menjadi daya
tarik tersendiri. Pada perayaan ini, terdapat arak-arakan gunungan yang dihiasi
dengan buah-buahan, sayur-sayuran, ketupat, dan berbagai makanan

22
tradisional lainnya. Gunungan-guunungan ini memiliki tampilan yang indah
dan artistik, mencerminkan keragaman dan kekayaan budaya Semarang.
Terdapat pula gunungan khusus yang disebut "sego kethek" atau nasi monyet
yang tingginya mencapai 2,5 meter. Keberadaan sego kethek ini memberikan
pengalaman visual yang menarik dan menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan.
Tak kalah menariknya, interaksi antara masyarakat dan para monyet
menjadi daya tarik lain dalam tradisi Sesaji Rewanda. Para monyet yang
tinggal di sekitar Gua Kreo ikut serta dalam prosesi ini, di mana mereka ikut
berebut buah-buahan dan sayuran yang terdapat di dalam gunungan. Hal ini
menciptakan momen yang menggemaskan dan menghibur bagi wisatawan
yang dapat menyaksikan aksi lucu para monyet tersebut. Interaksi antara
manusia dan hewan ini juga memperlihatkan keharmonisan antara manusia
dan alam, serta menjadi contoh pentingnya menjaga ekosistem dan
keanekaragaman hayati (Wijayanti & Hartanto, 2020).
Tradisi Sesaji Rewanda juga memberikan peluang bagi pengembangan
pariwisata budaya di Semarang. Perayaan tradisi ini dapat menarik minat
wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin mengeksplorasi dan
memahami kekayaan budaya Indonesia. Dengan mempromosikan tradisi ini
sebagai atraksi wisata, pemerintah dan masyarakat setempat dapat
meningkatkan kunjungan wisatawan dan memperluas dampak ekonomi
pariwisata bagi masyarakat lokal. Selain itu, tradisi ini juga dapat menjadi
bagian dari upaya pelestarian dan pembelajaran budaya bagi generasi muda.
Dalam menjaga dan mengembangkan pariwisata Tradisi Sesaji Rewanda,
penting untuk melibatkan masyarakat secara aktif. Partisipasi dan peran
masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan tradisi ini sangat penting.
Melalui pelibatan mereka, tradisi Sesaji Rewanda dapat tetap hidup dan terus
berkembang sebagai warisan budaya yang berharga.
3. Analisis SWOT Tradisi Sesaji Rewanda

23
a. Kekuatan (Strengths) :
i. Tradisi Sesaji Rewanda memiliki makna religius yang kuat bagi
masyarakat lokal. Hal ini memberikan nilai spiritual dan mendalam pada
tradisi ini, sehingga menarik minat wisatawan yang mencari pengalaman
budaya dan spiritual.
ii. Gunungan-guangan Sesaji Rewanda, termasuk gunungan "sego kethek",
memiliki visual yang menarik dan estetis. Keunikan ini memberikan daya
tarik visual bagi wisatawan dan meningkatkan nilai estetika tradisi ini.
b. Kelemahan (Weaknesses) :
i. Tradisi Sesaji Rewanda dilaksanakan di kampung Talun Kacang, yang
mungkin memiliki keterbatasan aksesibilitas bagi wisatawan. Kurangnya
infrastruktur dan fasilitas pendukung dapat menjadi kendala bagi
wisatawan yang ingin mengunjungi tradisi ini.
ii. Promosi dan pemasaran yang terbatas dapat menjadi hambatan dalam
menjangkau wisatawan potensial. Upaya yang lebih aktif dalam
mempromosikan tradisi Sesaji Rewanda secara luas dapat meningkatkan
kesadaran dan minat wisatawan.
c. Peluang (Opportunities) :
i. Dalam beberapa tahun terakhir, minat wisatawan terhadap pariwisata
budaya semakin meningkat. Tradisi Sesaji Rewanda memiliki potensi
untuk menjadi atraksi pariwisata budaya yang menarik bagi wisatawan
yang mencari pengalaman unik dan otentik.
ii. Kerjasama dengan pemerintah, lembaga budaya, dan pelaku pariwisata
dapat membuka peluang untuk pengembangan dan promosi tradisi Sesaji
Rewanda. Dukungan dan sinergi dari berbagai pihak dapat membantu
memperluas jangkauan tradisi ini dan meningkatkan nilai pariwisata.
d. Ancaman (Threats) :
i. Perubahan sosial dan modernisasi dapat mengancam kelangsungan tradisi
Sesaji Rewanda. Nilai-nilai budaya yang tradisional dapat tergerus oleh

24
perkembangan sosial dan pengaruh budaya modern. Upaya pelestarian
menjadi penting untuk menjaga keberlanjutan tradisi ini.
ii. Semarang memiliki berbagai atraksi wisata yang menarik. Persaingan
dengan atraksi wisata lain di kawasan tersebut dapat menjadi ancaman
bagi popularitas dan kunjungan ke tradisi Sesaji Rewanda.
4.

25
BAB II

PENUTUP

A. Simpulan

Tradisi Sesaji Rewanda merupakan tradisi agama yang dilaksanakan oleh


masyarakat di Semarang, khususnya di kampung Talun Kacang. Tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan, berkah,
dan rejeki yang diberikan. Sesaji Rewanda juga memiliki kisah yang terkait
dengan Sunan Kalijaga dalam mencari kayu untuk pembangunan Masjid Agung
Demak. Tradisi Sesaji Rewanda memiliki daya tarik yang khas dalam konteks
pariwisata budaya. Keunikan cerita dan makna di balik tradisi ini, visual dan
estetika gunungan yang indah, serta interaksi antara masyarakat dan para monyet
menjadi elemen-elemen yang menarik minat wisatawan. Tradisi ini juga
memberikan peluang untuk pengembangan pariwisata budaya di Semarang, yang
dapat meningkatkan kunjungan wisatawan dan memberikan dampak ekonomi
bagi masyarakat lokal.
Pentingnya pelestarian tradisi ini juga terlihat, karena melalui tradisi Sesaji
Rewanda, kekayaan budaya dan warisan nenek moyang dapat terjaga dan
diteruskan kepada generasi muda. Partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga
dan melestarikan tradisi ini menjadi kunci keberlanjutan dan pengembangan
tradisi Sesaji Rewanda. Dalam konteks lebih luas, tradisi Sesaji Rewanda juga
merepresentasikan keberagaman budaya Indonesia dan pentingnya menjaga
identitas budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari keberagaman bangsa. Dalam
hal ini, tradisi agama seperti Sesaji Rewanda menjadi salah satu cerminan
kehidupan spiritual dan kearifan lokal masyarakat Semarang. Dengan
pemahaman dan penghargaan terhadap tradisi Sesaji Rewanda, kita dapat
memperkuat ikatan sosial, menghargai warisan nenek moyang, dan menjaga
identitas budaya sebagai bagian penting dalam keberagaman bangsa Indonesia.

26
B. Saran

Berdasarkan hasil penulisan makalah ini, berikut beberapa saran untuk


Tradisi Sesaji Rewanda :
1. Penting untuk melakukan upaya pelestarian dan dokumentasi secara baik
terhadap tradisi Sesaji Rewanda. Hal ini dapat dilakukan melalui
pengumpulan informasi, foto, video, dan penulisan yang terkait dengan tradisi
ini. Dokumentasi yang baik akan membantu memperkuat pengetahuan dan
pemahaman mengenai tradisi ini, serta mempermudah dalam pengajaran dan
penelitian di masa depan.
2. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga dan melestarikan tradisi Sesaji Rewanda. Melalui
sosialisasi, pendidikan, dan pengenalan tradisi ini kepada masyarakat lokal
dan wisatawan, diharapkan masyarakat semakin menghargai dan terlibat
dalam menjaga keberlanjutan tradisi ini.
3. Kerjasama dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, akademisi,
dan pihak terkait lainnya perlu ditingkatkan. Dengan adanya kerjasama yang
baik, dapat dilakukan pengembangan dan pengelolaan tradisi Sesaji Rewanda
secara berkelanjutan. Pemerintah dapat memberikan dukungan dalam bentuk
regulasi, promosi, dan pengelolaan destinasi wisata. Sementara itu, akademisi
dan pihak terkait lainnya dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk pengembangan tradisi ini.

27
DAFTAR PUSTAKA

Anisah, N., Pratama, M. R., & Sulistyowati, I. (2021). Analisis Nilai-Nilai


Keagamaan dalam Tradisi Sesaji Rewanda di Gunung Pati, Semarang. Jurnal
MUDRA (Jurnal Seni Budaya), 36, 116–124.
Haryanti, E., & Prabowo, H. (2020). Dampak Pariwisata terhadap Ekonomi Regional:
Studi Kasus di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Pariwisata Pesona, 5, 42–53.
Heryanto, A. (2020). Menggali Tradisi dalam Era Digital: Potret Perubahan dan
Kontinuitas dalam Budaya Indonesia. Jurnal Tradisi Dan Budaya, 10, 45–60.
Hidayah, R. A., & Darmawan, D. (2018). Fungsi Sosial Tradisi dalam Membentuk
Identitas Budaya Masyarakat Lokal di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik, 21, 143–155.
Hidayat, A., & Hamdani, D. (2020). Wisata Religi dalam Peningkatan Kualitas Iman
dan Taqwa: Studi Kasus di Desa Wisata Religi Sintren, Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah. Jurnal Pariwisata Ekonomi, 6, 1–11.
Isdarmanto, I. (2021). Pemanfaatan Sinergi Sumber Daya Masyarakat Sebagai
Strategi Kompetitif Untuk Pemulihan Bisnis Restoran Di Masa Pandemi Covid-
19. Kapita Selekta Pariwisata. http://stipram.org/index.php/ksp/article/view/49
Kurniawan, M. A., & Hartuti, P. (2016). Transformasi Nilai-Nilai Budaya dalam
Tradisi Turun Temurun Masyarakat Jawa Tengah. Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 18, 11–20.
Kusumadewi, S. (2017). Peran Tradisi dalam Mempertahankan Kearifan Lokal di Era
Globalisasi. Jurnal Budaya, 2, 1–15.
Pranoto, B. (2019). Peran Pendidikan dalam Pelestarian Tradisi Lokal di Era
Globalisasi. Jurnal Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa, 8, 32–45.
Prasetya, A. (2018). Kearifan Lokal: Pengelolaan Budaya dalam Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 29, 63–78.
Prawirohardjo, T. (2016). Kearifan Lokal dalam Tradisi Sesaji Rewanda di
Semarang. Jurnal Kajian Budaya, 3, 123–137.
Purwanto, A., & Sumarsono, N. (2017). Budaya Organisasi sebagai Faktor Penting
dalam Pencapaian Kinerja Organisasi. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan,
19, 60–67.
Sayekti, W., & Wulandari, E. (2020). Kearifan Lokal dalam Tradisi Sesaji Rewanda
di Gunung Pati Semarang. Jurnal Dinamika Pariwisata, 15, 99–111.
Setiawan, B. (2019). Pentingnya Pelestarian Tradisi Sesaji Rewanda sebagai Identitas

28
Budaya Lokal di Semarang. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 25, 137–151.
Suryanto, A., & Prayitno, R. (20019). Kontribusi Nilai-Nilai Budaya dalam
Melestarikan Tradisi di Masyarakat Desa. Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 3, 263–270.
Suryanto, R. (2018). Dinamika Tradisi dan Budaya di Era Modern: Studi Kasus
Masyarakat Sunda. Jurnal Antropologi Budaya, 5, 76–90.
Tjitropranoto, P., & Sadikin, A. (2018). Pengaruh Motivasi Religiusitas terhadap
Minat dan Keputusan Wisatawan Religi untuk Berkunjung ke Situs-situs
Bersejarah. Jurnal Pariwisata Pesona, 3, 132–142.
Wijaya, A. (2017). Tradisi Sebagai Identitas Lokal: Tinjauan dari Perspektif
Sosiologi. Jurnal Sosiologi Budaya, 4, 18–32.
Wijayanti, E. S., & Hartanto, R. (2020). Kontribusi Tradisi Sesaji Rewanda dalam
Pengembangan Pariwisata Budaya di Semarang. Jurnal Pariwisata, 5, 78–89.

29

Anda mungkin juga menyukai