Anda di halaman 1dari 16

DISLOKASI BUDAYA DI PULAU BALI

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Pendidikan Pancasila
Semester Gasal Tahun Akademik 2020/2021
Dosen Pengampu: Dr. Dewi Gunawati, S.H, M.Hum

Kelompok 2 :
1. Mahatvavirya Fahradilla Az Zahra S (E0020274)
2. Deva Athaya Dhiya Ramadhanti (E0020135)
3. Intan Kusumaning Jati (E0020225)
4. Osama Wara Pambayun (E0020348)
5. Hanifa Fathia Rahma (E0020214)
6. Vincensia Mutiara R (E0020438)

Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

1
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Ibu Dewi Gunawati selaku dosen mata kuliah pendidikan
pancasila yang telah membimbing dan memberi ilmu kepada kami, dan juga
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Pancasila yang diberikan
oleh dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila. Dalam makalah ini, materi yang
penulis sajikan membahas tentang “Dislokasi Budaya di Pulau Bali”.
Walaupun makalah ini dapat selesai dengan baik, penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar tercapai apa yang
diharapkan bersama dan untuk memperlancar tugas dalam menyusun makalah
selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Surakarta,15 Desember 2020

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Contoh Kasus Culture Dislocation......................................................................5
B. Dampak Culture Dislocation di Bali...................................................................7
C. Strategi Masyarakat dan Pemerintah Bali terhadap Pencegahan Culture
Dislocation..................................................................................................................11
BAB III...........................................................................................................................13
PENUTUP.......................................................................................................................13
A. Kesimpulan.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dislokasi budaya adalah tercerabutnya akar-akar kebudayaan lokal
sebagai dampak negatif perkembangan pariwisata yang pesat. Dislokasi
budaya melahirkan kegelisahan psikologis yang memungkinkan
munculnya ikatan-ikatan baru dengan kepatuhan baru pula. Namun
nantinya, masyarakat tidak lagi digerakkan oleh kepatuhan nilai adat dan
budaya, tetapi semata-mata untuk kepentingan pragmatis. Semua itu tidak
terlepas dari berbagai dampak negatif dari perkembangan pariwisata yang
pesat dan globalisasi. hal itu harus dapat diantisipasi dengan baik agar Bali
ke depan tetap aman, nyaman, dan kehidupan seni budayanya tetap lestari.
Bali merupakan salah satu potensi kekayaan yang dimiliki negara
Indonesia. Maka dari itu penulis ingin menjelaskan mengenai contoh kasus
cultural dislocation di Bali, dampak dari adanya cultural dislocation dan
strategi pencegahan cultural dislocation di Bali. Dengan adanya makalah
ini penulis berharap dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bali agar dapat
menanggulangi terjadinya cultural dislocation. Kita sebagai generasi muda
hendaknya berpartisipasi dalam menjaga kelestarian budaya yang dimiliki
Indonesia agar tidak tergerus oleh dampak negatif globalisasi yang dapat
menghilangkan nilai-nilai tradisi dan nilai lokal bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa contoh kasus culture dislocation?
2. Apa saja dampak culture dislocation di Bali?
3. Bagaimana strategi masyarakat dan pemerintah Bali terhadap
pencegahan culture dislocation?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui contoh kasus culture dislocation.
2. Untuk mengetahui dampak culture dislocation di Bali.
3. Untuk mengetahui strategi masyarakat dan pemerintah Bali
terhadap pencegahan culture dislocation.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Contoh Kasus Culture Dislocation


Pulau Bali adalah pulau yang sangat terkenal dimata pariwisata
dunia. Pulau Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata (DTW) yang sangat
populer, tidak saja di Indonesia tetapi juga mancanegara. Citra dan
identitas Bali sebagai daerah tujuan wisata yang indah, agung, eksotis,
lestari, dengan perilaku masyarakatnya yang ramah dan bersahaja,
ditopang oleh adat istiadat dan budayanya. Selain itu Bali juga terkenal
akan arsitektur tradisional Bali atau yang sering disebut style-bali sudah
ada sejak zaman dahulu dan menjadi warisan budaya.Dalam 3 dasa warsa
perkembangan pariwisata Bali menunjukan perkembangan begitu pesat di
era tahun 1980an hingga 1992. Akibatnya adalah membawa konsekuensi
dan menimbulkan beberapa permasalahan dan keutuhan bagi Bali sendiri,
sebagai akibat pengaruh globalisasi, urbanisasi, tantangan dan ancaman
Bali diekploitasi secara berlebihan oleh investor. Banyaknya investor
asing masuk disektor pariwisata justru berujung pada pertumbuhan
ekonomi Bali tanpa multiplikasi efek karena belum diatur pemerintah
daerah.
Dalam perkembangannya, selalu ada faktor yang menghambat, dan
bagaimana jika hal ini terus terjadi, bagaimana dapat melihat pariwisata
Bali di masa yang akan datang,solusi apa yang akan dilakukan untuk
menangkal beberapa pengaruh, agar Bali tetap eksis sepanjang zaman.
Permasalahan yang dihadapi pariwisata Bali kedepan, adalah seperti
resonansi, sumber daya, daya dukung, daya tahan yang membentengi Bali
agar kuat menangkis berbagai pengaruh luar. Seperti contoh kasus
dibawah ini:

6
Ketut Pugeg (65) berjalan menepi saat mobil BMW biru tepat berada
di belakangnya. Si pengendara mobil membuka kaca pintu. Seorang lelaki
bule berkacamata hitam menengok dan memandangi Pugeg dari ujung
kaki hingga ke ujung rambut. Tidak ada senyum dari si bule, begitu juga
dengan Pugeg. Hanya sepintas, mata mereka saling pandang, kemudian
mobil melaju meninggalkan Pugeg. Badan Pugeg yang mulai ringkih
kembali berjalan menyusuri sebuah jalan di kawasan Kelurahan
Kerobokan, Kabupaten Badung. Hanya diselimuti kaos putih polos kusam,
menyelipkan sebuah arit di punggungnya, Pugeg berhenti di sebuah lahan
penuh rumbut. “Dumun nike tanah tiange gus, mangkin sampun beli bule.
Mangkin kanggeang tiang ngerereh maman sampi driki” ujarnya sambil
menunjuk bangunan villa mewah di sebelah lahan penuh rumput (Dulu itu
tanah saya, tapi sekarang sudah dibeli oleh bule. Sekarang saya hanya di
tanah ini mencari rumput untuk makan sapi).
Kini, yang tersisa hanyalah tanahnya ini. Itu pun sudah diincar makelar
tanah dan dibujuk beberapa saudaranya untuk dijual saja. Memang tanah
Pugeg berada di tepi jalan, sementara di sisi kanan dan kirinya sudah
terbangun villa-villa mewah. Pugeg terjepit. Pernah ia berniat menjual
tanah itu, tapi setelah itu tidurnya tidak tenang dan selalu bermimpi buruk.
Dalam mimpinya, leluhur Pugeg sangat marah kalau ia sampai menjual
tanah warisan ini. Oleh karena itu, hingga saat ini ia bertekad sampai akhir
hayatnya tidak akan pernah menjual sisa terakhir tanah warisan leluhurnya
ini.
Wilayah Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kini
memang menjadi primadona kalangan ekspatriat dan kelas menengah
Indonesia untuk berinvestasi. Berjejer-jejer villa megah dibangun hingga
ke bibir-bibir pantai. Selain villa, sarana hiburan seperti café, diskotik
serta ruko-ruko, salon, spa, pusat perbelanjaandan restoran berbagai jenis
makanan tanpa jenuh selalu hadir silih berganti di kawasan Kerobokan.
Maka tidak heran jika sampai pagi buta, geliat kehidupan di Kerobokan
tidak pernah terhenti. Semua sarana kebutuhan para ekspatriat telah

7
terpenuhi di Kerobokan. Hanya dengan 10 menit bersepeda motor, mereka
bisa menikmati dentum musik para DJ di diskotik-diskotik di wilayah
Kuta.
Maka, mulailah industri pariwisata menerjang Kuta. Seolah tanpa
henti, pembangunan infrastruktur pariwisata melalap setiap jengkal tanah
di seluruh wilayah Kuta. Saat pariwisata Kuta jenuh, yang menjadi incaran
adalah daerah-daerah di sekitarnya yang masih “perawan” dari tangan-
tangan investasi.Kisah tersebut paling tidak bisa merefleksikan bagaimana
manusia Bali memang benar-benar berada di wilayah frontier (garis
depan). Ruang-ruang di garis depan bertemunya kekuatan global dalam
rangka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
ada di Bali. Penetrasi global melalui investasi pariwisata menjadi pemantik
perubahan sosial budaya paling nyata di Bali selama lebih dari 100 tahun.
Makalah ini mendiskusikan bagaimana masuknya investasi global
bernama industri pariwisata tersebut menggugat nilai-nilai budaya
masyakarat tempatan (Bali). Juga melahirkan beragam siasat-siasat
perjuangan manusia Bali menegakkan identitas budaya di atas tanahnya
sendiri. Tanah-tanah manusia Bali telah lama tergerus oleh rakusnya
industri pariwisata untuk pembangunan infrastruktur. Alih fungsi lahan
dan “hilangnya” tanah-tanah Bali dari ikatan relasi historis dengan
manusianya terus terjadi. Tanah-tanah tersebut telah dikuasai oleh investor
pariwisata yang sebelumnya sama sekali tidak punya relasi historis dengan
tanah tersebut.

B. Dampak Culture Dislocation di Bali


Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Alih Fungsi Lahan
1. Dampak Sosial
Selain semakin pesatnya fasilitas pariwisata yang bahkan sampai
merambah lahan pertanian masyarakat sebagai lahan pembangunan,
investor rupanya juga telah jelih dalam melihat arah perkembangan
daerah Kerobokan sebagai daerah yang memiliki nilai lebih dari

8
sekedar daerah destinasi wisata. Hal itu terbukti dengan banyaknya
hotel dan villa mewah yang dibangun di daerah tersebut. Selain itu,
menjamurnya berbagai sarana hiburan, seperti café, diskotik, salon dan
spa, pusat perbelanjaan, restoran, dan jenis usaha lainnya juga
mempengaruhi perkembangan daerah Kerobokan yang dahulu
merupakan daerah yang tenang, namun saat ini menjadi daerah yang
seakan tidak pernah lepas dari keramaian.
Dengan banyaknya wisatawan yang bermukim dengan berbagai
fasilitas dan sarana hiburan yang disediakan, tentunya akan membawa
dampak sosial yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat
setempat, Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat setempat
pun telah berubah. Masyarakat yang dahulu mengandalkan sektor
pertanian sebagai mata pencahariannya, namun saat ini, masyarakat
harus beralih ke sektor pariwisata demi memenuhi kebutuhan hidupnya
dan juga kebutuhan wisatawan. Bukan hanya mata pencaharian saja
yang sudah terpengaruh, namun hal tersebut juga menimbulkan
terjadinya perubahan terhadap gaya hidup dan komunikasi masyarakat
setempat. Akibatnya, masyarakat setempat mulai mengikuti gaya
berpakaian bahkan pola hidup masyarakat modern.
Keberadaan sektor pariwisata yang semakin pesat telah membuat
aktivitas masyarakat setempat lebih banyak dihabiskan untuk bekerja
di sektor pariwisata. Hal itu mengakibatkan masyarakat mulai
kekurangan waktu untuk saling bersosialisasi. Sikap gotong royong
yang awalnya menjadi ciri khas masyarakat setempat perlahan mulai
memudar. Masyarakat kini justru hanya fokus dengan kesibukan
mereka masing-masing sehingga menyebabkan kurangnya rasa
kebersamaan antara individu yang satu dengan yang lainnya.

2. Dampak Ekonomi
Pesatnya pembangunan sektor pariwisata di daerah Kerobokan
juga memberikan dampak di bidang ekonomi. Sebelum adanya

9
perkembangan pada sektor pariwisata hampir seluruh masyarakat
setempat bemata pencaharian sebagai seorang petani. Hal itu
dikarenakan tersedianya lahan yang luas sehingga sangat mendukung
kegiatan bertani. Namun semenjak pesatnya pembangunan di sektor
pariwisata, memaksa masyarakat setempat untuk beralih mata
pencaharian pada sektor pariwisata. Saat ini sebagian besar dari
masyarakat setempat sudah bekerja pada sektor pariwisata. Hal
tersebut juga didukung dengan adanya kebijakan jatah 10% untuk
masyarakat setempat yang bekerja di beberapa fasilitas dan saran
hiburan yang terbangun di daerah mereka, seperti hotel, villa, café,
restoran, dan lain sebagainya. Namun, masyarakat setempat yang
bekerja di industri perhotelan, villa, maupun restoran yang dikelola
investor hanya menduduki sebagai staff biasa atau manajemen tingkat
bawah dan belum ada yang menduduki manajemen tingkat atas.
Terjadinya pergeseran karakteristik masyarakat yang diakibatkan
pesatnya pembangunan pada sektor pariwisata menimbulkan semakin
berkurangnya seseorang yang bermata pencaharian sebagai petani.
Jumlah petani saat ini bahkan didominasi oleh petani yang sudah lanjut
usia yakni bekisar umur lebih dari 50 tahun sedangkan petani dengan
usia muda atau berumur 50 tahun ke bawah sudah sangat jarang
ditemukan. Hal itu dikarenakan pemikiran masyarakat setempat yang
sudah mulai terbuka akan peluang bekerja yang lebih menjanjikan.
Masyarakat setempat beranggapan bahwa sektor pariwisata jauh lebih
menjanjikan dibandingkan dengan mereka harus bekerja sebagai
seorang petani.
Semakin terbukanya peluang bekerja di luar sektor pertanian telah
mengakibatkan berkurangnya sumber daya manusia produktif pada
sektor pertanian. Timbulnya persepsi buruk kaum muda pada sektor
pertanian juga memperburuk keadaan. Banyak kaum muda
beranggapan bahwa pekerjaan sebagai seorang petani adalah hal yang
buruk dengan alasan penghasilan yang rendah dan pekerjaan sebagai

10
aseorang petani tidak nyaman dan kotor. Terjadinya hal tersebut
sekiranya juga disebabkan karena kurangnya peran serta dinas
pertanian dalam mengelola lahan pertanian dan kurang maksimal
dalam melakukan penyuluhann kepada para petani sehingga
mengakibatkan ketidakkondusifan pada sektor pertanian.
Semakin meningkatnya harga lahan saat ini mengakibatkaa pola
pemikiran terutama para petani yang hanya mampu menghasilkan
panen sebanyak 3 kali dalam setahun tertarik untuk menjual lahan
yang mereka miliki. Luas lahan yang semakin sempit bahkan terhimpit
di antara bangunan megah, seperti hotel, villa, maupun bangunan
lainnya, membuat hasil panen mereka semakin berkurang sehingga
berpengaruh pula pada penghasilan yang diterima. Hal itu lah yang
kemudian membuat para petani tertarik menjual lahan mereka untuk
dialih fungsikan sebagai fasilitas atau sarana pendukung pariwisata.
Sebagian besar petani yang sudah memiliki pola pikir yang jauh lebih
modern memilih untuk tidak menjual lahan yang mereka miliki, namun
mereka lebih memilih untuk menyewakan lahan tersebut. Hal itu
dikarenakan dengan menyewakan lahan yang mereka miliki akan lebih
banyak mendatangkan keuntungan dibandingkan mereka harus
menjual lahan tersebut.

3. Dampak Lingkungan
Pembangunan sektor pariwisata yang semakin pesat juga
berdampak pada terjadinya perubahan lingkungan di daerah tersebut
yang dahulunya merupakan daerah persawahan yang subur, namun
saat ini sudah beralih fungsi sebagai daerah bisnis pariwisata, baik
pembangunan hotel, villa, restoran, maupun jenis usaha lainnya.
Semakin pesatnya pembangunan pada sektor pariwisata mendatangkan
dampak buruk bagi lahan pertanian para petani karena menurunnya
kualitas air di daerah mereka akibat tercemar oleh limbah bahan kimia
maupun minyak jenuh sisa hasil produksi restoran. Hal itu tentu sangat

11
meresahkan para petani karena dikhawatirkan akan menyebabkan
kegagalan penen. Tidak hanya itu, pesatnya pembangunan pada sektor
pariwisata juga menyebabkan terjadinya penyumbatan saluran irigasi
yang didominasi oleh sampah unorganik, seperti sampah plastik, botol,
dan kaca.
Terjadinya perubahan lingkungan akibat pesatnya pembangunan
pada sektor pariwisata nyatanya telah dilaporkan kepada pihak-pihak
terkait, seperti DPRD, Dinas Pertanian, maupun Dinas Bina Marga
sekalipun, namum belum ada pembenahan yang signifikan terkait
permasalahan tersebut. Hal itu menyebabkan masyarakat setempat
harus turun langsung menanggulangi segala permasalahan yang terjadi.

C. Strategi Masyarakat dan Pemerintah Bali terhadap Pencegahan


Culture Dislocation
Penanganan dampak dominasi budaya global terhadap budaya
lokal salah satunya dilakukan melalui pengembangan kualitas sumber daya
manusia (SDM) masyarakat Bali, perluasan akses, dan relevansi
pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal Bali. Upaya tersebut
diharapkan dapat mengenalkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat
Bali terhadap budaya Bali untuk mencegah terjadinya cultural dislocation
atau dislokasi budaya. Nilai-nilai lokal dimanfaatkan sebagai alat
penyaring adanya globalisasi yang dapat menyebabkan terjadinya cultural
dislocation.
Agar masyarakat Bali mampu mempertahankan identitas
budayanya untuk mencegah terjadinya dislokasi budaya, salah satunya
dengan memiliki ketahanan budaya lokal yang tinggi. Sedyawati
(2007:37) memaknai ketahanan budaya sebagai kemampuan sebuah
kebudayaan untuk mempertahankan jatidirinya, tidak dengan menolak
segala unsur asing dari luarnya, melainkan dengan menyaring, memilih,
dan jika perlu memodifikasi unsur-unsur budaya luar sehingga tetap sesuai
dengan karakter dan citra bangsa. Dalam hal ini Catur Guru sangat
berperan dalam menanamkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimulai dari
lingkungan keluarga.
Secara filosofis, nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakat
akan berpengaruh terhadap jalannya proses pendidikan. Contohnya dalam
masyarakat Bali dengan adanya agama Hindu, yaitu Panca Sradha dan
filsafat-filsafat kehidupan lainnya, seperti Tri Rna, Tri Guru, Tri Pramana,

12
Tri Mandala, Catur Asmara, Catur Purusartha, dan lain-lain. Nilai-nilai
dan orientasi budaya daerah yang memiliki nilai positif bagi pendidikan,
menjadi hal yang penting dalam upaya menangkal sisi negatif pengaruh
globalisasi yang dapat menyebabkan cultural dislocation. Potensi budaya
Bali merupakan potensi kearifan lokal yang perlu dilestarikan kepada
generasi muda Bali melalui pendidikan karakter, sehingga jatidiri mereka
semakin kuat ditengah gempuran budaya global.
Untuk mewariskan nilai-nilai lokal melalui pendidikan dalam
konteks globalisasi agar mencegah terjadinya cultural dislocation, Cheng
(2005) menyarankan menggunakan tiga teori, yang pertama teori pohon
yang memiliki karakteristik dasar bahwa pendidikan harus mengakar pada
nilai-nilai lokal dan tradisi lokal tetapi menyerap sumber dari luar yang
relevan. Teori ini mengharapkan individu bertindak lokal dan tumbuh
secara global. Kedua, teori kristal dengan karakteristik dimilikinya bibit
atau benih yang dapat dikristalisasikan dan diakumulasikan pada
pengetahuan global persis seperti bentuk lokalnya. Ketiga, teori sangkar
burung yang bercirikan keterbukaan terhadap pengetahuan dan budaya
luar tetapi dibatasi dengan framework (kerangka kerja) yang jelas sebagai
proteksi adanya globalisasi. Teori ini diharapkan dapat menciptakan
pribadi lokal dengan pandangan global yang dapat bertindak lokal dengan
pandangan global yang terfilter. Jika teori tersebut dapat di
implementasikan pada masyarakat Bali, maka orang Bali akan mampu
memproteksi pengaruh-pengaruh negatif globalisasi yang bisa
menimbulkan terjadinya cultural dislocation.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ruang-ruang di garis depan bertemunya kekuatan-kekuatan global
dalam rangka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang ada di Bali. Penetrasi global melalui investasi
pariwisata menjadi pemantik perubahan sosial budaya paling nyata
di Bali selama lebih dari 100 tahun. Tanah-tanah manusia Bali
telah lama tergerus oleh rakusnya industri pariwisata untuk
pembangunan infrastruktur. Alih fungsi lahan dan “hilangnya”
tanah-tanah Bali dari ikatan relasi historis dengan manusianya terus
terjadi. Tanah-tanah tersebut telah dikuasai oleh investor pariwisata
yang sebelumnya sama sekali tidak punya relasi historis dengan
tanah tersebut.
2. Dampak:
a. Sosial: terjadinya perubahan terhadap gaya hidup dan
komunikasi masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat
setempat mulai mengikuti gaya berpakaian bahkan pola
hidup masyarakat modern.
b. Ekonomi: Para petani tertarik menjual lahan mereka untuk
dialih fungsikan sebagai fasilitas atau sarana pendukung
pariwisata. Sebagian besar petani yang sudah memiliki pola
pikir yang jauh lebih modern memilih untuk tidak menjual
lahan yang mereka miliki, namun mereka lebih memilih
untuk menyewakan lahan tersebut. Hal itu dikarenakan
dengan menyewakan lahan yang mereka miliki akan lebih
banyak mendatangkan keuntungan dibandingkan mereka
harus menjual lahan tersebut.
c. Lingkungan: dahulunya merupakan daerah persawahan
yang subur, namun saat ini sudah beralih fungsi sebagai
daerah bisnis pariwisata, baik pembangunan hotel, villa,
restoran, maupun jenis usaha lainnya. Semakin pesatnya
pembangunan pada sektor pariwisata mendatangkan
dampak buruk bagi lahan pertanian para petani karena
menurunnya kualitas air di daerah mereka akibat tercemar

14
oleh limbah bahan kimia maupun minyak jenuh sisa hasil
produksi restoran.
3. Penanganan dampak dominasi budaya global terhadap budaya
lokal salah satunya dilakukan melalui pengembangan kualitas
sumber daya manusia (SDM) masyarakat Bali, perluasan akses,
dan relevansi pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal Bali.
Upaya tersebut diharapkan dapat mengenalkan dan meningkatkan
kecintaan masyarakat Bali terhadap budaya Bali untuk mencegah
terjadinya cultural dislocation atau dislokasi budaya
B. Saran
1. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang kaya akan
keberagaman dan merupakan aset bangsa. Cultural dislocation
yang timbul karena adanya globalisasi akan menjadi ancaman bagi
keutuhan budaya Indonesia khususnya pulau Bali yang menjadi
pulau sejuta pariwisata. Maka dari itu sebagai generasi muda
khususnya masyarakat Bali hendaknya bergotong royong menjaga
kelestari budaya Bali agar tidak terjadi cultural dislocation dengan
menerapkan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai lokal yang
berpedoman pada Pancasila.
2. Sebagai warga negara Indonesia, hendaknya kita dapat
meminimalisir terjadinya culture dislocation karena dampak atau
pengaruh yang didapat dari culture dislocation sangat merugikan
kita.
3. Masyarakat dan pemerintah saling bahu-membahu untuk
melakukan strategi pencegahan culture dislocation melalui
pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat
Bali, perluasan akses, dan relevansi pendidikan berbasis budaya
dan kearifan lokal Bali. Upaya tersebut diharapkan dapat
mengenalkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat Bali
terhadap budaya Bali untuk mencegah terjadinya cultural
dislocation atau dislokasi budaya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Suwardani, Ni Putu. 2015. Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk


Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. Jurnal Kajian
Bali, 5(2):256-261

Suryawan, I Surya. 2011. Teater Globalisme: Pariwisata, Interkoneksi Global,


dan Nasib Manusia Bali di Garis Depan. 1(1):152-181

16

Anda mungkin juga menyukai