Anda di halaman 1dari 18

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut fungsinya, susunan saraf otonom dibagi menjadi dua bagian yaitu susunan saraf simpatik dan susunan saraf parasimpatik. Pada umumnya kedua saraf ini bekerja secara berlawanan tetapi dalam beberapa hal khasiatnya berlainan sekali atau bahkan bersifat sinergis. Rangsangan dari susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu penghantar yang disebut transmitter neurohormon atau neurotransmitter. Bila rangsangan tersebut berasal dari sistem saraf simpatis maka neurohormon yang bekerja adalah noradrenalin (adrenalin) atau norepinefrin (epinefrin). Sebaliknya, apabila rangsangan tersebut berasal dari sistem saraf parasimpatis, maka neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin.1,2 Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, dan penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.1,2 Berdasarkan khasiatnya obat-obatan saraf otonom dibagi menjadi obat yang berkhasiat terhadap sistem saraf saraf simpatis dan obat yang berkhasiat terhadap sistem saraf parasimpatis. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatis meliputi adrenergik (simpatomimetik) dan antiadrenergik (simpatolitik). Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatis meliputi kolinergik (parasimpatomimetik) dan antikolinergik (parasimpatolitik).1,2 Obat-obat adrenergik merupakan salah satu jenis obat yang cukup sering digunakan pada kepentingan klinis baik diagnosis dan penatalaksanaan penyakit mata. Obat adrenergik umumnya digunakan sebagai agen midriatik, antiglaukoma dan obat vasokonstriktor.3 Untuk itulah penulis ingin mengupas lebih dalam mengenai obat adrenergik yang cukup sering digunakan pada praktik klinis mata, selain sebagai

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

tugas telaah ilmiah sebagai syarat untuk menjalani kegiatan kepanitraan senior (KKS) di departemen Ilmu Penyakit Mata RSUP Haji Adam Malik Medan, telaah ilmiah ini juga diharapkan dapat digunkaan pembaca untuk menambah ilmu, khususnya mengenai obat adrenergik yang digunakan pada praktik klinis di bidang oftalmologi.

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fisiologi Sistem Saraf Otonom Pada Mata Traktus uvea terdiri dari 3 struktur: iris, badan siliar, dan koroid. Otot polos pada iris dan badan siliar tidak sama dengan otot polos pada bagian tubuh lainnya, yaitu berasal dari neuroektoderm.4 Iris adalah jaringan berpigmen yang mempunyai fungsi menggerakkan diafragma antara bilik mata depan dan belakang, mengatur jumlah cahaya yang mencapai retina. Struktur yang dinamis ini, dapat dengan tepat dan cepat merubah diameter pupil pada rangsangan cahaya dan obat-obatan. Badan siliar memanjang dari akar iris sampai ora serrata. Di sisi temporal dengan ukuran 5,66,3 mm dan sisi nasal 4,6-5,2 mm. Terbagi dalam dua bagian : bagian anterior pars plicata (lebar 2 mm) dan posterior pars plana (lebar 4 mm). Pars plicata mengandung 70 jari-jari yang menghadap prosesus siliaris yang membentuk bilik mata belakang.4

Gambar 2.1. Badan Siliar Masing-masing prosesus siliaris dibatasi oleh lapisan epitel berpigmen yang bersambungan dengan retina pigment epithelium (RPE) dan lapisan epitel tak berpigmen yang bersambungan dengan neuroretina. Masing-masing prosesus juga mempunyai arteriole sentral yang berakhir pada jaringan yang kaya kapiler. Kapiler-kapiler dari stroma dan tiap-tiap prosesus siliaris saling berhubungan, yang akan memudahkan jalan cairan dan makromolekul. Ikatan
3

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

yang rapat antara sel epitel tak berpigmen yang berdekatan membentuk bloodaqueous barrier.4 Badan siliar mengatur komposisi dan produksi humor akuos dan mempengaruhi lingkungan dan metabolisme ion dari lensa, kornea, dan trabecular meshwork. Fungsi ini membutuhkan adaptasi dari badan siliar untuk menyesuaikan perubahan yang cepat pada daerah permukaan dari konstriksi ke dilatasi dan untuk pergerakan ion-ion. Badan siliar adalah target farmakologis utama dalam terapi glaukoma. Banyak terapi glaukoma bekerja pada penurunan tekanan intra masing.4 Iris badan siliar diperkaya dengan berbagai tipe reseptor yang berikatan dengan berbagai agonis dan antagonis dan growth factor.4 Dinamika Humor Akuos Humor akuos merupakan cairan jernih tak berwarna yang secara aktif disekresi oleh prosesus siliaris. Humor akuos mengisi bilik mata depan dan belakang, dibentuk dari plasma darah dan disekresi oleh epitel siliar tak berpigmen. Humor akuos merupakan sumber makanan dari lensa dan kornea yang avaskuler dan sebagai sarana untuk pembuangan. 1. Produksi Humor Akuos Humor akuos diproduksi melalui dua tahap:

okuler, seperti obat-obat adrenergik dan kolinergik dan

prostaglandin bekerja melalui reseptor-reseptor dan alur transduksi sinyal masing-

temasuk

adrenergik,

muskarinik

kolinergik, dan peptidergik, prostaglandin, serotonin, platelet activating factor

Pembentukan filtrasi plasma dalam stroma dan badan siliar Pembentukan akuos dari hasil filtrasi melalui blood-aqueous barrier.

Terdapat dua mekanisme yaitu: Sekresi aktif dari epitel siliar tak berpigmen yang menghasilkan jumlah yang banyak. Sekresi pasif melalui ultrafiltrasi dan difusi.

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Gambar 2.2 Dinamika Humor Akuos 2. Pembuangan Humor Akuos Humor akuos mengalir dari bilik mata belakang melalui pupil ke dalam bilik mata depan, dan keluar dari mata melalui dua jalur yang berbeda. 1. Jalur trabekular (konvensional) dengan jumlah hamper 90% dari pembuangan akuos
2. Jalur uveosklera (nonkonvensional) dengan jumlah 10% sisa dari

pembuangan akuos.2,4 Inervasi pada Iris Badan Siliar Otot sfingter dan muskulus siliaris pada iris-badan siliar diinervasi oleh serat parasimpatis dari nervus III (oculomotorius), dan impuls-impuls kolinergik diteruskan ke otot oleh asetikolin (Ach). Serabut otot dilator dari iris diinervasi oleh saraf simpatis dari ganglion servikalis superior, dan impulsimpuls saraf adrenergik diteruskan ke sel-sel otot oleh norepinefrin (NE). Pada iris badan siliar terdapat dua tipe utama reseptor reseptor adrenergik yang menerima impuls otonom yaitu reseptor kolinergik yang menerima impuls dari neuron-neuron kolinergik, dan dari neuron-neuron adrenergik. Reseptor-reseptor yang terdapat pada sfingter iris dan muskulus siliaris adalah tipe kolinergik muskarinik, dan yang terdapat pada dilator iris adalah tipe alfa adrenergik.2,4 Macam Reseptor

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Konsep dari sebagian besar obat-obatan, hormon, dan neurotransmiter dalam menghasilkan efek biologis adalah berinteraksi dengan reseptor. Reseptor dari neurotransmiter dan hormon peptida terletak pada permukaan sel, sedangkan reseptor hormon steroid terletak intraseluler. Secara farmakologis dan molekuler, terdapat tiga tipe utama reseptor adrenergik yaitu alfa-1, alfa-2, dan beta, dimana masing-masing dibagi lagi kedalam 3 atau 4 subtipe. Reseptor alfa-1 terdiri dari 3 subtipe yaitu alfa-1A, 1B, dan 1C. Reseptor alfa-2 terdiri dari 4 subtipe yaitu alfa-2A, 2B, 2C, dan 2D. Reseptor beta terdiri dari 3 subtipe yaitu beta1, 2, dan 3. Reseptor alfa-2 berfungsi memperantarai penghambatan umpan balik dari terminal saraf simpatik dan parasimpatik presynap. Reseptor beta-1 terutama ditemukan di jantung, yang berfungsi memperantarai efek stimulasi. Reseptor beta-2 berfungsi memperantari relaksasi otot polos pada pembuluh darah dan di bronkus. Pada mata manusia terdapat reseptor adrenergik alfa-1, alfa-2, beta-1 dan beta-2. Reseptor alfa-2 pada mata manusia terletak pada epitel iris, epitel siliar, muskulus siliaris, retina dan retina pigment epithelium (RPE). Pada badan siliar, iris, dan RPE didominasi oleh reseptor subtipe alfa-2B dan 2C. Sedangkan pada neurosensori retina didominasi subtipe alfa-2A dan sedikit alfa-2C.4
2.2

Farmakologi

Obat

Adrenergik

Pada

Aspek

Klinik

Oftalmologik 2.2.1 Definisi Obat Adrenergik Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang

ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.1 Obat adrenergik dapat digolongkan menjadi tiga yaitu berdasarkan mekanisme kerja. Menurut mekanisme kerja dapat dibagi menjadi :

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

1. Adenergik yang berefek langsung Golongan ini bekerja secara langsung, membentuk kompleks dengan reseptor khas. Contohnya epinefrin. 2. Adrenergik yang berefek tidak langsung Adrenergik ini bekerja dengan melepaskan katekolamin, terutama norepenefrin, dari granul- granul penyimpanan diujung saraf simpatetik atau menghambat pemasukan norepinefrin pada membran saraf. Contoh : amfetamin, etilamfetamin. 3. Adrenergik yang berefek campuran Adrenergik ini dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan adrenoreseptor dan melepaskan katekolamin dari tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan katekolamin. Contoh : efedrin, fenilpropanolamin. 1 2.2.2 Penggunaan Obat Adrenergik Pada Bidang Oftalmologi Berdasarkan efek farmakologis atau penggunaan terapi pada aspek klinik oftalmologik, obat adrenergik dapat digunakan sebagai :
1. Midriatik menyebabkan midriasis dengan cara menimbulkan kontraksi otot

pelebaran iris mata. Otot dilator pupil yang radial dan iris mengandung reseptor ; pengaktifan oleh obat seperti phenylephrine menyebabkan midriasis. Contoh: fenilefrin, hidroksiamfetamin, dan kokain.
2. Antiglaukoma menurunkan produksi humor akuos dan meningkatkan aliran

keluar humor akuos. Stimulan alfa dan beta juga mempunyai efek penting dalam tekanan intraokular. Bukti yang ada menunjukkan bahwa agonis meningkatkan aliran keluar cairan bola mata, sementara antagonis menurunkan produksi cairan bola mata. Contoh : apraklonidin dan brimonidin.
3. Dekongestan mata menimbulkan efek vasokonstriksi di sekitar pembuluh

darah konjungtiva dan okular. Contoh : divefrin HCl, efedrin sulfat, epinefrin HCl, fenilefrin HCl, nafazolin HCl.1,5

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Penggunaan Obat Adrenergik Pada Kepentingan Diagnosis dan Terapi Okular Midriatik (Dilatasi Pupil) Fenilefrin

Hidroksiamfetamin Kokain

Agen Antiglaukoma (Menurunkan Produksi Akuos) Apraklonidin Brimonidine

Agen Antiglaukoma (Meningkatkan Aliran Akuos) Epinefrin Dipivefrine

Vasokonstriktor Fenilefrin Naphazoline

Oxymetazoline Tabel 2.1 Penggunaan Obat Adrenergik

Tabel 2.1 Penggunaan Obat Adrenergik Pada Kepentingan Diagnosis dan Terapi Okular3

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

2.2.3

Penggunaan Obat Adrenergik Sebagai Agen Midriatik Efek agen simpatomimetik pada mata termasuk dilatasi pupil melalui

perangsangan kontraksi otot dilator pupil yang radial dari iris yang mengandung reseptor .1 2.2.3.1 Adrenalin (Epinefrin) Adrenalin bekerja pada serat dilator pupil dan secara langsung menyebabkan dilatasi setelah instilasi empat tetes larutan 1:10000. Instilasinya diulang dalam 5 menit. Epinefrin juga dapat digunakan dalam terapi glaukoma sudut terbuka. Adrenalin dapat dikombinasi dengan prokain dan atrofin dalam bentuk injeksi konjungtiva untuk menyebabkan efek midriasis pada beberapa kasus iritis.6,7 2.2.3.2 Fenilefrin Farmakologi Fenilefrin adalah suatu simpatomimetik amin yang secara struktur mirip dengan epinefrin. Fenilefrin bekerja pada reseptor 1 dan hampir tidak mempunyai efek pada resptor . Efek farmakologiknya, fenilefrin merupakan suatu adrenergik yang bekerja secara langsung. Setelah aplikasi topikal, fenilefrin menyebabkan kontraksi pada muskulus dilator iris dan otot polos arteriol konjungtiva, menyebabkan dilatasi pupil dan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah konjungtiva. Otot Mueller kelopak mata atas juga distimulasi sehingga memperlebar fissure palpebra. Selain itu, fenilefrin juga dapat menurunkan tekanan intraokular pada mata normal dan pada mata dengan glaukoma sudut terbuka.6,7 Indikasi Fenilefrin digunakan untuk dilatasi pupil dalam tujuan diagnostik (untuk pemeriksaan fundus lengkap) dan berbagai kondisi patologis pada mata (contoh : uveitis (sinekia posterior)), glaukoma sudut terbuka pada konjungsi dengan miotik, refraksi, pemeriksaan oftalmoskop dan sebelum terapi intraokular.6,7

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Kontraindikasi Obat ini dikontraindikasikan pada kasus-kasus hipersensitifitas terhadap fenilefrin, glaukoma sudut tertutup, pasien dengan diabetes yang ketergantungan insulin, pada pasien hipertensi yang mendapatkan obat reserpine atau guantenidine, aneurisma, dan penyakit jantung.6,7 Bentuk Sediaan Obat Fenilefrin tersedia dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 0,12%, 2,5% dan 10%.5 Dosis : Untuk dilatasi pupil digunakan dalam bentuk larutan konsentrasi 2.5% dan 10%. Dilatasi maksimum terjadi dalam 45-60 menit bergantung pada konsentrasi yang digunakan dan jumlah tetesan yang diberikan. Ukuran pupil biasanya kembali ke ukuran semula dalam 4-6 jam.

Fenilefrin 1% digunakan untuk diagnosis sindrom horner. Fenilefrin 0.12% digunakan sebagai dekongestan. Untuk tujuan diagnostik digunakan 1 tetes larutan fenilefrin 2.5% pada tiap mata diikuti oleh satu tetes tambahan lainnya dalam 5-10 menit. Efek midriasis terjadi 15-30 menit setalah pemberian dan bertahan dalam 4-6 jam.6

Efek Samping : Tabel 2.2 Efek samping dalam penggunaan obat fenilefrin7 Efek Okular Nyeri transien Lakrimasi Keratitis Rebound miosis Rebound conjunctival chemosis Hipoksia konjungtiva 2.2.3.3 Hidroksiamfetamin Efek Sistemik Hipertensi Sakit kepala Pendarahan subarachnoid Aritmia ventricular Takikardia Refleks bradikardi Pemutihan pada kulit

10

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Farmakologi Hidroksiamfetamin memiliki struktur kimia yang mirip dengan norepinefrin. Hidroksiamfetamin diklasifikasikan sebagai obat agonis adrenergik yang bekerja secara tidak langsung, yang mana obat ini bekerja dengan cara meningkatkan sekresi norepinefrin dari terminal saraf adrenergic. Hidroksiamfetamin umumnya bekerja dengan menstimulasi reseptor tetapi juga dapat menstimulasi reseptor . Hidroksiamfetamin umumnya digunakan sebagai agen midriatik, namun pemberian obat ini juga dapat menyebabkan efek vasokontriksi pada konjungtiva.6,7 Indikasi Hidroksiamfetamin digunakan untuk mendilatasikan pupil yang dapat dipergunakan sebagai prosedur diagnostik dari pemeriksaan oftalmoskop pada mata.6,7 Kontraindikasi Kontraindikasi penggunaan topikal hidroksiamfetamin untuk midriasis rutin sama dengan kontraindikasi penggunaan fenilefrin.6,7 Bentuk Sediaan Obat Hidroksiamfetamin yang digunakan tersedia dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 1%.6,7 Onset dan Durasi Kerja Efek midriasisnya biasanya terjadi dalam 15 menit setelah pemberian dan mencapai dilatasi maksimal dalam 60 menit dan bertahan selama 6 jam.7 Efek Samping Dapat menyebabkan iritasi okular pada pengunaan yang rutin. Obat ini juga dapat menyebabkan hipertensi, takikardi, dan aritmia ventrikular.6,7

2.2.3.4 Kokain Hidroklorida

11

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Farmakologi Kokain hidroklorida adalah suatu alkaloid yang digunakan sebagai obat tetes kokain hidroklorida 2-4%. Kokain hidroklorida bekerja sebagai midriatik dengan menghambat kerja enzim aminaoksidase. Kokain hidroklorida bersifat toksik terhadap sel epitel kornea sehingga penggunaan klinis obat ini sangat terbatas. Akan tetapi efek toksik kokain hidroklorida terhadap kornea, dapat digunakan untuk penetrasi obat yang lebih besar melalui kornea.6,7 Indikasi Efek Kontraindikasi Kokain memiliki efek terhadap adrenergic perifer dan efek stimulasi terhadap sistem saraf pusat , karenanya kokain sebaiknya digunakan dengan pengawasan pada pasien dengan penyakit jantung atau hipertiroid.7 Efek Samping Efek sistemik absorbs sistemik kokain adalah stimulasi sistem saraf pusat. Gejala dan tandanya termasuk eksitasi, nadi yang cepat dan ireguler, sakit kepala, konvulsi, dan delirium.6,7 2.2.3 Penggunaan Obat Adrenergik Sebagai Agen Antiglaukoma Agonis simpatomimetik yang digunakan dalam terapi glaukoma dibagi menjadi agen nonselektif yang mengaktivasi kedua reseptor alfa dan beta dan agen selektif yang hanya bekerja pada reseptor alfa saja. Obat agonis nonselektif direpresentasikan atas epinefrin dan dipivefrin. Sementara untuk yang selektif agonis alfa terdiri dari apraklonidin dan brimonidin.8 2.2.3.1 Epinefrin Epinefrin merupakan campuran agonis adrenergik dan , adalah suatu agen adrenergik topikal yang digunakan untuk menurunkan tekanan intraokular pada glaukoma sudut terbuka. Stimulasi reseptor adrenergik menurunkan ultrafiltrasi karena vasokonstriksi dan penurunan aliran darah korpus siliaris. Efek okular kokain dapat digunakan sebagai agen midriatik, vasokonstriktor dan anestesi.6,7

12

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

predominan epinefrin meningkatkan aliran keluar humor akuos baik pada jalur konvensional (jaringan trabekular) dan jalur nonkonvensional (uveoskleral) untuk menurunkan tekanan intraokular. Pemberian topikal epinefrin menyebabkan induksi pada reseptor adrenergik 1 yang menyebabkan vasokonstriksi konjungtiva, yang bermanifestasi sebagai efek pemutih dan midriasis.8,9 Indikasi Epinefrin digunakan pada pengobatan glaukoma sudut terbuka. Selain itu epinefrin juga dimanfaatkan sebagai vasokonstriktor dan agen midriatik.8,9 Kontraindikasi Epinefrin dikontraindikasikan pada glaukoma sudut tertutup karena dapat menyebabkan midriasis sehingga dapat memblok pupil yang nantinya dapat memperberat glaukoma.10 Bentuk Sediaan Obat Epinefrin tersedia dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 0.5%, 1%, dan 2%.5,9 Dosis Pemberian epinefrin sebanyak satu tetes dengan frekuensi satu atau dua kali sehari. 5,9 Efek Samping Epinefrin sering kali menyebabkan ititasi okular dengan konjungtivitis ocular. Selain itu, efek samping sistemik epinefrin juga harus diperhatikan, termasuk nadi yang cepat dan ireguler. 9,10 2.2.3.2 Dipivefrin Dipivefrin adalah suatu prodrug epinefrin, yang artinya obat tersebut harus mengalami biotransformasi terlebih dahulu sebelum menghasilkan efek farmakologik. Dipivefrin dikonversi ke bentuk epinefrin di dalam mara oleh esterase pada kornea, iris, dan badan siliaris. Dipivefrin digunakan untuk menurunkan frekuensi dan magnifikansi beberapa efek samping yang dihasilkan oleh epinefrin.10 2.2.3.3 Apraklonidin

13

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Farmakologi Apraklonidin merupakan suatu agonis 2-adrenoreseptor selektif relatif dikembangkan sebagai derivat agen antihipertensi klonidin. Apraklonidin menurunkan tekanan intraokular dengan cara menurunkan produksi akuos dan meningkatkan aliran keluar akuos melalui jalur uveoskleral (nonkonvensional). Apraklonidin juga memiliki efek hipotensi okular tambahan lainnya dengan mempengaruhi aliran darah okular. Apraklonidin dapat mempengaruhi tonus vaskular karena obat ini juga menstimulasi reseptor 1 pada otot polos vaskular sehingga menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah tersebut.9,10,11 Indikasi Apraklonidin digunakan untuk terapi glaukoma dengan cara menurunkan produksi akuos dan meningkatkan aliran keluar akuos melalui jalur uveoskleral (nonkonvensional).9,10 Kontraindikasi Apraklonidin dikontraindikasikan pada kondisi hipersensitifitas dan pada pasien dengan depresi sistem saraf pusat.9,10 Bentuk Sediaan Obat Apraklonidin tersedia dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 0.5% dan 1%.5,9,10 Dosis Satu tetes larutan 1% sebelum terapi laser segmen anterior dan tetesan berikutnya tergantung pada prosedur. Satu tetes larutan 0.5% dua atau tiga kali sehari sebagai terapi tambahan jangka pendek pada pasien glaukoma yang menerima pengobatan lainnya.5,9,10 Efek Samping Penurunan tekanan darah diastolik, bradikardi, dan gejala-gejala sistem saraf pusat, misalnya insomnia, iritabilitas, dan penurunan libido. Selain itu juga dijumpai efek samping pada ocular misalnya pemutihan konjungtiva, elevasi kelopak mata atas, midriasis, dan sensasi terbakar. 5 2.2.3.4 Brimonidin

14

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

Farmakologi Brimonidin menurunkan tekanan intraokuler melalui dua mekanisme kerja yaitu mengurangi produksi humor akuos dan meningkatkan pembuangan (outflow) humor akuos melalui jalur uveosklera. Penurunan tekanan intraokuler diperantarai oleh stimulasi adrenoseptor alfa-2 di mata.4,9 Indikasi Untuk menurunkan tekanan intraokuler pada pasien-pasien dengan glaukoma atau hipertensi okuli. Kemampuan untuk menurunkan tekanan intra okuler berkurang seiring waktu pada beberapa pasien. Hilangnya efek ini muncul pada onset yang bervariasi pada tiap pasien, dan sebaiknya dimonitor secara ketat. Pada konsentrasi 0,5%, brimonidin diindikasikan sebagai pencegah peningkatan tekanan intra okuler paska operasi pada pasien-pasien yang dilakukan argon laser trabeculoplasty (ALT).4,9 Kontraindikasi Kontraindikasi penggunaan brimonidin adalah pada pasien-pasien yang mengalami hipersensitif terhadap brimonidin tartrat dan komponennya. Juga pada pasien-pasien yang menggunakan terapi MAO (monoamin oksidase) inhibitor. Penggunaan pada anak berumur kurang dari 2 tahun juga merupakan kontraindikasi.4 Peringatan dan Perhatian Meskipun brimonidin mempunyai efek minimal pada tekanan darah secara klinis, perhatian harus dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskuler yang berat. Belum ada penelitian efek penggunaan brimonidin pada pasien dengan gangguan hepar dan ginjal. Brimonidin harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan depresi, insufisiensi serebral atau koroner, Raynaud's phenomenon, hipotensi ortostatik, atau thromboangiitis obliterans. Pada kehamilan, brimonidin termasuk kategori B.4

BAB 3

15

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang

ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.1 Obat adrenergik dapat digolongkan menjadi tiga yaitu berdasarkan mekanisme kerja. Menurut mekanisme kerja dapat dibagi menjadi : 1. Adenergik yang berefek langsung Golongan ini bekerja secara langsung, membentuk kompleks dengan reseptor khas. Contohnya epinefrin. 2. Adrenergik yang berefek tidak langsung Adrenergik ini bekerja dengan melepaskan katekolamin, terutama norepenefrin, dari granul- granul penyimpanan diujung saraf simpatetik atau menghambat pemasukan norepinefrin pada membran saraf. Contoh : amfetamin, etilamfetamin. 3. Adrenergik yang berefek campuran Adrenergik ini dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan adrenoreseptor dan melepaskan katekolamin dari tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan katekolamin. Contoh : efedrin, fenilpropanolamin. Berdasarkan efek farmakologis atau penggunaan terapi pada aspek klinik oftalmologik, obat adrenergik dapat digunakan sebagai :
1. Midriatik menyebabkan midriasis dengan cara menimbulkan kontraksi otot

pelebaran iris mata. Otot dilator pupil yang radial dan iris mengandung reseptor ; pengaktifan oleh obat seperti phenylephrine menyebabkan midriasis. Contoh: fenilefrin, hidroksiamfetamin, dan kokain.
2. Antiglaukoma menurunkan produksi humor akuos dan meningkatkan aliran

keluar humor akuos. Stimulan alfa dan beta juga mempunyai efek penting dalam tekanan intraokular. Bukti yang ada menunjukkan bahwa agonis

16

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

meningkatkan aliran keluar cairan bola mata, sementara antagonis menurunkan produksi cairan bola mata. Contoh : apraklonidin dan brimonidin.
3. Dekongestan mata menimbulkan efek vasokonstriksi di sekitar pembuluh

darah konjungtiva dan okular. Contoh : divefrin HCl, efedrin sulfat, epinefrin HCl, fenilefrin HCl, nafazolin HCl.1,5

DAFTAR PUSTAKA

17

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : RIZKI ANINDITA P MTD NIM : 080100016

1. Katzung, G., 2001. Farmakologi Dasar Obat-Obat Simpatomimetik. Dalam Katzung, G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika, 207-221.. 2. Hopkins, G., Pearson, R., 2007. Ocular Autonomic Innervation. In Ophtalmic Drugs Diagnostics and Therapeutic Uses Fifth Edition. England : Elsevier,33-41.
3. Duvall, B., Kerstiner, R., 2002. The Autonomic Nervous System. In

Duvall, B., Kerstiner, R.,

Ophtalmologic Medications and Pharmacology

Second Edition. SLACK Incorporated,15,18. 4. Riyanto, H., Nurwasis, Rahardjo, 2007. Penggunaan Brimonidin (Agonis Alfa-2 Adrenergik) Sebagai Terapi Glaukoma. Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol 5 No 1, 27-39.
5. Flach, A.J., Fraunfelder, F.W., 2004. Ophtalmologic Therapeutics . In

Vaughan ,D., Asbury,T., Riordan, E.P., General Ophtalmology USA : The McGraw-Hill Companies, 62-65.

Ed. 17th.

6. Garg, A., 2013. Mydriatic Adrenergic Agents. In Garg, A., et al Ocular Therapeutics Third Edition. Jaypee-Highlights Medical Publishers, 310-313.
7. Portello, J.K., 2008. Mydriatics and Mydriolytics. In: Bartlett, J.D.,

Jaanus, S.D., Clinical Ocular Pharmacology Fifth Edition. USA: Elsevier, 113-119. 8. Kanner, E.M., Savage, M.I., 2008. Adrenergic Agents. In: Netland, P.A., Glaucoma Medical Therapy Principles and Management Second Edition. New York: Oxford University Press, 79-95.
9. Bartlett, J.D., Fiscella, R.G., Jaanus, S.D., Barnebey, M., 2008. Ocular

Hypotensive Drugs. In: Bartlett, J.D., Jaanus, S.D., Clinical Ocular Pharmacology Fifth Edition. USA: Elsevier, 153-158 10. Khalil, A.K., 2013. Antiglaucoma Therapy. In Garg, A., et al Ocular Therapeutics Third Edition. Jaypee-Highlights Medical Publishers, 261-263.

18

Anda mungkin juga menyukai