Anda di halaman 1dari 10

[Home E-CASE] Artikel o Daftar Artikel o Daftar Topik Presus o Presus Home o Daftar Presus o Rangking Presus o Print

Forum o Forum Home Jadwal o Daftar Jadwal o Kalender Jadwal Galeri File o Daftar galeri Galeri Gambar o Daftar galeri

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI PERITONITIS POST TRAUMA PADA LAKI-LAKI 43 TAHUN
Dibuat oleh: Indra Primabakti,Modifikasi terakhir pada Tue 20 of Sep, 2011 [07:36 UTC] GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI PERITONITIS POST TRAUMA PADA LAKI-LAKI 43 TAHUN Abstraks Anestesi umum (general anestesia) adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Untuk mewujudkan trias anestesi berupa hipnotika, anestesia/analgesia, dan relaksasi dapat diberikan obat anestesi tunggal maupun kombinasi. Pada pasien ini dilakukan anestesi teknik inhalasi menggunakan pipa endotrakeal metode nafas kendali. Metode ini cocok untuk dilakukan pada operasi yang berlangsung lama, pada kasus ini laparotomi memakan waktu 1 jam 30 menit. Sebelum anestesi dilakukan, dilakukan

evaluasi dan persiapan. Penilaian dan persiapan pra anestesi dimulai dari anamnesis, yang meliputi riwayat penyakit sistemik yang diderita, yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh anestesi, riwayat pemakaian obat yang telah maupun sedang digunakan, riwayat operasi terdahulu, kebiasaan merokok, dan riwayat alergi. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiovaskular. Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anastesia yang setidaknya sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi atau pada fungsi ginjal. Dengan adanya renal impairment, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Terlebih lagi, efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Kata kunci : Anestesi umum, persiapan, fungsi ginjal

History Pasien laki-laki, 43 tahun post KLL 30 menit yang lalu datang dengan keluhan nyeri perut bagian bawah. Pasien sadar dan masih ingat kejadian Pasien merasakan sakit pada perutnya karena pada saat itu terbentur oleh benda tumpul. Pasien hanya merasakan mual tetapi tidak muntah. Pasien tidak merasa pusing. Terdapat luka robek pada pipi kanan, luka lecet pada lutut kanan. Pasien masih bisa kentut, BAB belum post KLL.Riwayat penyakit asma, diabetes mellitus, jantung, dan alergi obat disangkal. Belum pernah mengalami operasi sebelumnya.Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang mengalami sakit serupa. Riwayat penyakit asma, diabetes, dan hipertensi dalam keluarga disangkal. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum : Tampak lemah dan kesakitan, Kesadaran : Compos Mentis, Vital sign dbn Abdomen Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak tegang dan keras, Auskultasi: bising usus (+). Palpasi : defans muskuler (-), nyeri tekan (+), Perkusi : timpani PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah rutin : Kadau ureum : 64,5 dan kreatinin : 1,3 : lain-lain db DIAGNOSIS DAN TERAPI Diagnosis : Suspek peritonitis post trauma Terapi : - Infus RL 20 tetes/ menit

- Amoxsan 3 x 1 gr i.v - Ranitidin 3 x 1 i.v

- Ketorolac 1 x 1 A i.v (bila kesakitan) Rencana : Hb serial (tiap 4 jam) FOLLOW UP (esok harinya) Keluhan KU Px . Fisik Abdomen, I = Tampak distensi Au = Peristaltik (-) Pa = Defans muskuler (+), Nyeri Tekan (+) Pe = Redup Px. Penunjang Hb serial 14, 7 gr/ dl KESIMPULAN Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka: Diagnosis preoperative : : Pasien merasa kesakitan pada perutnya. Flatus (-), BAB (-) : CM, Tampak kesakitan, vital sign dbn

Peritonitis Perforasi Post Trauma Status operatif : ASA 2 E

TINDAKAN ANASTESI Keadaan pre-operative: Pasien mengalami program puasa selama 6 jam. Keadaan pasien tampak kesakitan, kooperatif, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 84 x/menit. Hb : 14,7 gr/ dl. Resiko kardiologi minimal. Jenis anestesi: Anestesi umum, semi closed, kontrol respirasi menggunakan pipa endotrakeal nomor 7,0.

Premedikasi yang diberikan: 10 menit sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan premedikasi berupa ondansentron 4 mg, ketorolac 30 mg, sulfas atropine 0,25 mg serta midazolam 2 mg secara intravena.

Anestesi yang diberikan: Induksi anestesi Pasien diberikan Propofol 120 mg IV (dosis 2-2,5 mg/kgBB). Setelah pasien masuk dalam stadium anestesi disusul dengan pemberian Scolin 60 mg IV (dosis 1 mg/kgBB) untuk memudahkan intubasi endotrakeal. Setelah itu pasien diberi O2 murni selama 1 menit, setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan intubasi dengan pipa endotrakeal nomor 7,0. Balon pipa endotrakeal dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan napas buatan dengan balon napas. Kemudian diyakinkan bahwa pipa endotrakeal ada dalam trakea dan tidak masuk ke dalam salah satu bronkus atau esophagus dengan mendengarkan suara paru-paru dengan stetoskop. Gerakan dinding dada harus simetris pada setiap inspirasi buatan. Kemudian orofaringeal tube dimasukkan mulut agar lidah tidak jatuh ke belakang, lalu difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi. Maintenance Status anestesi dipertahankan dengan Isoflurane 2 Vol %, Sevofluran 2 Vol %, O2 2 liter / menit dan N2O 2 liter / menit. Pada menit ke 30 setelah tindakan anestesi, diberikan Tracrium 30 mg IV untuk mempertahankan relaksasi otot dan ditambahkan 5 mg IV. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa dikontrol tiap 10 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 100 145 mmHg. Tekanan diastolik berkisar antara 60 80 mmHg. Infus RL diberikan pada pasien sebagai cairan rumatan. Keadaan post-operasi Operasi berlangsung selama 90 menit. Sesaat sebelum operasi selesai, pemberian Isofluran, Sevofluran dan N2O dihentikan, sedangkan O2 terus diberikan. Ekstubasi dilakukan setelah operasi selesai, kemudian rongga mulut dan trakea dibersihkan dengan suction untuk menghilangkan lendir yang dapat menghalangi jalan napas. Ruang Pemulihan Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1 (merespon bila nama dipanggil), aktivitas motorik 1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran <20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada pasien ini adalah 8 sehingga layak untuk pindah ke bangsal. Untuk pasien ini sementara dilakukan perawatan di ICU. Hal tersebut dilakukan untuk memonitor lebih ketat keadaan umum dan vital sign pasien.

Diskusi Pada kasus seorang laki-laki usia 43 tahun dilakukan operasi laparotomi emergency oleh karena peritonitis perforasi post trauma. Dilakukan anastesi umum dengan metode semiclosed intubation menggunakan pipa endotrakeal nomor 7. Anestesi umum (general anestesia) adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Untuk mewujudkan trias anestesi berupa hipnotika, anestesia/analgesia, dan relaksasi dapat diberikan obat anestesi tunggal maupun kombinasi. Teknik anestesi umum dapat berupa : anestesi umum intravena anestesia umum inhalasi anestesi imbang (kombinasi anestesi intravena dan inhalasi).

Pada pasien ini dilakukan anestesi teknik inhalasi menggunakan pipa endotrakeal metode nafas kendali. Metode ini cocok untuk dilakukan pada operasi yang berlangsung lama, pada kasus ini laparotomi memakan waktu 1 jam 30 menit. Sebelum anestesi dilakukan, dilakukan evaluasi dan persiapan. Penilaian dan persiapan pra anestesi dimulai dari anamnesis, yang meliputi riwayat penyakit sistemik yang diderita, yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh anestesi, riwayat pemakaian obat yang telah maupun sedang digunakan, riwayat operasi terdahulu, kebiasaan merokok, dan riwayat alergi. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiovaskular. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium penting untuk menilai status fisik pasien. Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Sementara pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan khusus lainnya bergantung pada kondisi pasien maupun penyakit sistemik yang diderita. Hal lain yang sangat mendukung adalah konsultasi dengan dokter spesialis atau dengan unit terkait, apabila ditemui gangguan fungsi organ, yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi anestesia dan pembedahan. Setelah dilakukan langkah-langkah diatas, hasil evaluasi kemudian disimpulkan untuk menentukan prognosis pasien perioperatif. The American Society of Anesthesiologists (ASA) membagi kriteria pasien kedalam lima kelas, yaitu: ASA I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai gangguan sistemik.

ASA II : Pasien dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. ASA III : Pasien dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat, yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.

ASA IV

: Pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.

ASA V : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal. Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E (emergency) dibelakang angka, misalnya ASA 1 E. Pada pasien ini dikarenakan adanya peningkatan nilai hasil laboratorium pada ureum, kreatinin, dan peningkatan minimal pada SGPT, serta pembedahan yang dilakukan secara darurat, maka status anestesi pasien adalah ASA 2 E. Seluruh pasien yang dijadwalkan operasi elektif dengan anesthesia harus dipuasakan untuk mencegah regurgitasi lambung. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi. Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi, diantaranya:Meredakan kecemasan dan ketakutan, Memperlancar induksi anesthesia, Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, Meminimalkan jumlah obat anestetik, Mengurangi mual-muntah pasca bedah, Menciptakan amnesia, Mengurangi isi cairan lambung, dan Mengurangi reflek yang membahayakan.

Dalam kasus ini, diberikan ondansentron 4 mg, ketorolac 30 mg, sulfas atropine 0,25 mg, dan midazolam 2 mg secara intravena. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah. Ketorolac merupakan analgetika non opioid yang selain bersifat analgetik juga bersifat antiinflamasi, antipiretik dan anti pembekuan darah. Kerja obat ini menghambat aktivitas enzim siklooksigenase, sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin sendiri dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah. Efek analgetik dari ketorolac dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang sesuai kebutuhan, namun penggunaannya dibatasi untuk 5 hari. Sulfas atropine pada dosis kecil (0,25 mg) diperlukan untuk menekan sekresi saliva, mukus bronkus dan keringat. Sulfas atropine merupakan antimuskarinik yang bekerja pada alat yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik. Midazolam merupakan sedatif golongan benzodiazepine. Selain sedasi, juga berefek hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikonvulsi. Dosis sedasi yang diberikan secara IV = 0,025-0,1 mg/kgBB.

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan. Pada kasus ini, digunakan propofol sebagai induksi anestesi. Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol. Berupa cairan berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena dapat menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Suksinilkolin merupakan muscle relaxant depolarisasi. Bekerjanya seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Dosisnya 1 mg/kg. pemberiannya untuk memudahkan pemasangan endotrakeal. Sebagai rumatan (maintenance) digunakan inhalasi dengan Isofluran 2 vol%, Sevofluran 2 vol%, O2 2 liter / menit dan N2O 2 liter / menit. Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 %. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, diberikan O2 selama 5-10 menit. Tracrium (Atrakurium Besilat/ Tramus) merupakan pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja sedang. Obat ini menghambat transmisi neuromuskuler sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Kegunaannya dalam pembedahan adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen sehingga manipulasi bedah lebih mudah dilakukan. Pada penggunaan bersama anestetik umum seperti eter, halotan, metoksifluran, isofluran, enfluran, siklopropan dan flureksen, dosis pelumpuh otot kompetitif harus dikurangi menjadi 1/3-1/2 kali dosis biasa (dosis = 1/31/2 x 0,4-0,5 mg/kgBB). Karena interaksi dengan obat-obat tersebut memperlihatkan efek stabilisasi membrane pasca sinaps, maka bekerja sinergistik dengan obat-obat penghambat kompetitif.

Pengelolaan Cairan: Maintenance : BB = 60 kg x 2 ml/kgBB/jam = 120 ml/jam Stress operasi : 8 x 60 = 480 ml/jam Perdarahan : 500 ml

Kebutuhan cairan total dalam 1 jam pertama : 120 + 480 + 300 = 900 ml/jam

EBV pada pria dewasa adalah 75 ml/kgBB sehingga pasien dengan BB = 60 kg, EBV = 4500 ml % EBV : 500 ml / 4500 ml x 100% = 11 % Karena perdarahan yang terjadi kurang dari 20 % EBV, maka pemberian cairan dengan cairan kristaloid. Pada pasien ini dapat diatasi dengan pemberian Ringer Lactat 5 kolf selama pembedahan.

PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGEN-AGEN ANASTESI Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anastesia yang setidaknya sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya renal impairment, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Terlebih lagi, efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.

AGEN INTRAVENA

Propofol & Etomidate

Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien hipoalbuminemia bisa mempercepat efekefek farmakologi.

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.

AGEN-AGEN ANTIKOLINERGIK Dalam dosis premedikasi, atropin dan glycopyrolate biasanya aman pada pasien gangguan renal karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang. Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

H2 BLOCKERS DAN AGEN-AGEN YANG BERHUBUNGAN Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Methoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal. Walaupun lebih dari 50% ondansetron diekskresikan di urin, tidak ada dosis yang disesuaikan yang di sarankan untuk 5 HT3 bloker pada pasien dengan insufisiensi ginjal.

MUSCLE RELAXANT

Succinylcholine

SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepolarisasi sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase pernah dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan signifikan dari blokade neuromuscular jarang terlihat.

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium

Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Perlamaan minor dari efek bisa diobservasi karena berkurangnya plasma pseudocholinesterase. Cisatracurium & atracurium didegradasi di plasma. Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal. Kesimpulan Pada pasien dilakukan laparotomi dengan general anestesi. Teknik yang digunakan harus tepat dan harus dilakukan monitor yang ketat selama jalannya operai. Selain itu, karena pada pasien ini terdapat gangguan fungsi ginjal, maka harus diperhatikan benar obat-obat maupun agen anaestesi yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 2004. Anestesi pada penyakit-penyakit ginjal, diambil dari : //http: anastesi.usu.ac.id/textbook-reading/14. html Penulis :

Indra Primabakti (20050310042) Program Studi Profesi Dokter, Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi, RSUD TIDAR MAGELANG

Komentar

Anda mungkin juga menyukai