Anda di halaman 1dari 11

Sasaran Pembangunan Milenium

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Sasaran Pembangunan Milenium dalam lambang Sasaran Pembangunan Millennium (bahasa Inggris : Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015 merupakan tantangan tantangan utama dalam pembangunan diseluruh dunia. Tantangan-tantangan ini sendiri diambil dari seluruh tindakan dan target yang dijabarkan dalam Deklarasi Milenium yang diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000. [1] Pada September 2000, Pemerintah Indonesia, bersama-sama dengan 189 negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. [2] Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sasaran

1.1 1. Pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim 1.2 2. Pemerataan pendidikan dasar 1.3 3.Mendukung adanya persaman jender dan pemberdayaan perempuan 1.4 4. Mengurangi tingkat kematian anak 1.5 5. Meningkatkan kesehatan ibu 1.6 6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya 1.7 7. Menjamin daya dukung lingkungan hidup 1.8 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan 2 Sasaran Pembangunan Milenium Indonesia 3 Kontroversi 4 Lihat pula 5 Referensi 6 Pranala luar

o o o o o o o o

[sunting] Sasaran
Deklarasi Millennium PBB yang ditandatangani pada September 2000 menyetujui agar semua negara:

[sunting] 1. Pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim

Target untuk 2015: Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS sehari dan mengalami kelaparan.

[sunting] 2. Pemerataan pendidikan dasar

Target untuk 2015: Memastikan bahwa setiap anak , baik laki-laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar.

[sunting] 3.Mendukung adanya persaman jender dan pemberdayaan perempuan

Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015.

[sunting] 4. Mengurangi tingkat kematian anak

Target untuk 2015: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun

[sunting] 5. Meningkatkan kesehatan ibu

Target untuk 2015: Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan

[sunting] 6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya

Target untuk 2015: Menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya.

[sunting] 7. Menjamin daya dukung lingkungan hidup

Target:
o

o o

Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh

[sunting] 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

Target:
o

o o

o o o

Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada diskriminasi. Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional. Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil. Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan. Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negara-negara berkembang. Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang. Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat penting yang terjangkau dalam negara berkembang Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.

[sunting] Sasaran Pembangunan Milenium Indonesia

Setiap negara yang berkomitmen dan menandatangani perjanjian diharapkan membuat laporan MDGs. Pemerintah Indonesia melaksanakannya dibawah koordinasi Bappenas dibantu dengan Kelompok Kerja PBB dan telah menyelesaikan laporan MDG pertamanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan rasa kepemilikan pemerintah Indonesia atas laporan tersebut. Laporan Sasaran Pembangunan Milenium ini menjabarkan upaya awal pemerintah untuk menginventarisasi situasi pembangunan manusia yang terkait dengan pencapaian sasaran MDGs, mengukur, dan menganalisa kemajuan seiring dengan upaya menjadikan pencapaian-pencapaian ini menjadi kenyataan, sekaligus mengidenifikasi dan meninjau kembali kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang dibutuhkan untuk memenuhi sasaran-sasaran ini. Dengan tujuan utama mengurangi jumlah orang dengan pendapatan dibawah upah minimum regional antara tahun 1990 dan 2015, Laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, pencapaiannya lintas provinsi tidak seimbang.[2] Kini MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai kendala, namun pemerintah memiliki komitmen untuk mencapai sasaran-sasaran ini dan dibutuhkan kerja keras serta kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, pihak swasta, dan lembaga donor. Pencapaian MDGs di Indonesia akan dijadikan dasar untuk perjanjian kerjasama dan implementasinya di masa depan. Hal ini termasuk kampanye untuk perjanjian tukar guling hutang untuk negara berkembang sejalan dengan Deklarasi Jakarta mengenai MDGs di daerah Asia dan Pasifik. [3] [4]

[sunting] Kontroversi
Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Sasaran Pembangunan Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs. Menurut Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Don K Marut Pemerintah Indonesia perlu menggalang solidaritas negara-negara Selatan untuk mendesak negara-negara Utara meningkatkan bantuan pembangunan bukan utang, tanpa syarat dan berkualitas minimal 0,7 persen dan menolak ODA (official development assistance) yang tidak bermanfaat untuk Indonesia [5]. Menanggapi pendapat tentang kemungkinan Indonesia gagal mencapai tujuan MDGs apabila beban mengatasi kemiskinan dan mencapai tujuan pencapaian MDG di tahun 2015 serta beban pembayaran utang diambil dari APBN di tahun 2009-2015, Sekretaris Utama Menneg PPN/Kepala Bappenas Syahrial Loetan berpendapat apabila bisa dibuktikan MDGs tidak tercapai di 2015, sebagian utang bisa dikonversi untuk bantu itu. Pada tahun 2010 hingga 2012 pemerintah dapat mengajukan renegosiasi utang. Beberapa

negara maju telah berjanji dalam konsesus pembiayaan (monetary consensus) untuk memberikan bantuan. Hasil kesepakatan yang didapat adalah untuk negara maju menyisihkan sekitar 0,7 persen dari GDP mereka untuk membantu negara miskin atau negara yang pencapaiannya masih di bawah. Namun konsensus ini belum dipenuhi banyak negara, hanya sekitar 5-6 negara yang memenuhi sebagian besar ada di Skandinavia atau Belanda yang sudah sampai 0,7 persen. [6]

BAHAN MASUKAN UNTUK DEWAN PERWAKILAN DAERAH 6TH ASIAN WOMEN PARLIAMENTARIANS AND MINISTERS CONFERENCE ON FINANCING MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS MONGOLIA, 23-24 SEPTEMBER 2008 Poverty and Hunger

- Merujuk pada definisi kemiskinan dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) Indonesia, kemiskinan tidak dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi. Kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. - Hak-hak dasar tersebut meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. - MDGs menetapkan indikator penurunan proporsi penduduk dengan tingkat pandaptan di bawah US$1 (ppp) per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015. Di Indonesia, presentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (ppp) mengalami penurunan yang sangat berarti dari 20,60 % pada tahun 1990 menjadi 7,54 % pada tahun 2006. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan MDGs jauh sebelum tahun 2015. - Namun demikian, terdapat kekhawatiran dengan berkembangnya isu global lingkungan yang dapat mempengaruhi pencapaian target tersebut, khususnya dalam konteks ketahanan pangan, permasalahan penduduk miskin adalah daya beli yang rendah. Dari sisi peran gender, perempuan biasanya menjadi tumpuan harapan untuk dapat mengelola kondisi keuangan yang terbatas untuk berbagai kebutuhan keluarga tanpa meninggalkan kebutuhan pokok keluarga, antara lain1

yaitu pangan. Peran tersebut menyebabkan beberapa perempuan mengambil beberapa alternatif, seperti: pengurangan jumlah makanan, menunda kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan, berusaha bekerja untuk menambah penghasilan, dan mengolah bahan pangan alternatif bagi keluarganya. Selain itu, ketidaksetaraan relasi gender di dalam masyarakat dan khususnya dalam keluarga di mana perempuan lebih banyak berperan melayani kebutuhan semua keluarga, menyebabkan perempuan mengkonsumsi bahan pangan paling sedikit dibanding anggota keluarga lainnya. Beberapa solusi yang diambil seringkali menyebabkan kondisi keluarga miskin menjadi semakin buruk, misalnya gizi buruk pada anak dan ibu hamil, anak putus sekolah, depresi, bahkan dapat berujung kematian. - Rendahnya daya beli masyarakat antara lain disebabkan oleh terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, bagi laki-laki dan perempuan. Keterbatasan lapangan kerja, juga mendorong perempuan dan laki-laki untuk bermigrasi, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Dalam hal ini, karena penduduk miskin

umumnya berpendidikan dan memiliki keterampilan rendah, pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan non produktif, bersifat informal, dan minim/tanpa perlindungan. Para pekerja migran ini, khususnya perempuan dan anak perempuan, juga berpotensi untuk menjadi pekerja ilegal dan korban kekerasan, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Pekerja migran ilegal dan korban perdagangan orang, bukan hanya menjadi masalah bagi negara pengirim tapi juga bagi negara penerima. - Kerjasama internasional penghapusan perdagangan orang harus ditingkatkan dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat dalam proses rekruitmen dan penempatan. Pemantauan para pekerja migran, baik di negara pengirim, transit, dan penerima ditingkatkan. Negara pengirim berkewajiban meningkatkan keterampilan dan pendidikan warga negaranya agar dapat bersaing mengisi pekerjaan-pekerjaan produktif, bersifat formal, dan dengan upah yang kompetitif. - Terkait dengan kekerasan berbasis gender, WHO telah mencatat bahwa kesejahteraan dan program pengentasan kemiskinan tidak akan pernah berhasil jika masyarakat dan negara tidak dapat mengatasi berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran terhadap perempuan dan anak. Upaya-upaya untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu ditingkatkan, serta peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum juga harus dilaksanakan secara konsisten. - Dalam konteks sumber daya alam dan lingkungan hidup, pola pembangunan yang mengurangi, dengan skala lebih cepat daripada kemampuan melestarikan2 keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya menyebabkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini tentu saja menyebabkan pemiskinan dan bencana alam. Bersama dengan pemanasan global dan perubahan iklim akibat kerusakan lingkungan, perempuan mengalami dampak yang lebih hebat dibanding laki-laki. Salah satu contoh adalah kelangkaan air bersih dan bahan bakar, yang telah berkontribusi menambah beban waktu dan tenaga bagi perempuan, utamanya perempuan miskin. Contoh lainnya adalah pengolahan sampah dan limbah yang tidak bertanggungjawab, terutama yang terjadi di rumah tangga miskin, menambah peluang perempuan terpapar pada berbagai penyakit yang tidak mampu diobati. - Permasalahan perubahan iklim juga mempunyai dimensi gender, dimana perempuan miskin kembali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap permasalahan kerusakan lingkungan. Sebagai gambaran, kelompok masyarakat miskin, dimana perempuan mencapai 70%, merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terendah, namun paling rentan pada dampak yang diakibatkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok penduduk miskin, yang paling sedikit kontribusinya pada kerusakan lingkungan, menerima akibat terburuk karena mereka juga miskin informasi dan sumberdaya ekonomi untuk menangani dampak ini. Bahkan perempuan sering dimarginalkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangannya.

- Pola pembangunan yang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam dan dampaknya bagi generasi yang akan datang perlu ditingkatkan. Pemerintah, swasta, dan masyarakat sebagai pelaku pembangunan perlu menyadari bahwa kerusakan lingkungan adalah tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Kendala struktural dan kultural yang menghambat keterlibatan perempuan harus dihapus agar perempuan memiliki representasi yang seimbang untuk menyuarakan pendapatnya. - Untuk itu, berbagai upaya perlu dilakukan Pemerintah, antara lain: 1) memperdalam kajian tentang dampak krisis energi dan sumberdaya alam pada penduduk miskin menurut daerah tempat tinggal dan jenis kelamin. Kebutuhan masyarakat perkotaan dan perdesaan mungkin berbeda dan membutuhkan intervensi yang berbeda pula; 2) meningkatkan kajian sumber-sumber energi alternatif dan sosialisasinya pada masyarakat luas secara transparan; dan 3) mengupayakan pendidikan masyarakat tentang perubahan iklim, krisis energi, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan memperbaiki kerusakan lingkungan. 3

Education and Health

- Dalam konteks pendidikan dan kesehatan, meskipun sudah ada kemajuan berarti untuk menigkatkan partisipasi dan akses perempuan terhadap pendidikan, menurunkan buta aksara penduduk usia muda dan produktif dan meningkatkan rata-rata harapan hidup penduduk (sebagai indikator komposit capaian kesehatan), masih tertinggal catatan penting yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. -Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun) dan APM Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Trsanawiyah (13-15 tahun) dari tahun 1992 sampai tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik. Pada tahun 1992, APM SD/MI tercatat 88,7% dan pada tahun 2007 mencapai 93,75% (Susenas 2007). Sementara itu APM SMP/MTs thuan 1992 adalah 41,9% dan mencapai 66,64% pada tahun 2007 (Susenas2007). Jika kecenderungan ini mampu diperthanakan, maka Indonesia diperkirakan berhasil mencapai target MDGs pada tahun 2015. Sedangkan
Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan APK Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Trasnawiyah dari tahun 1993 sampai

tahun 2006 secara nasional menunjukan kecenderungan membaik. APK SD?MI sejak tahun 1992 sudah mencapai 102,0 %. Pada tahun 2006, angka ini menjadi 109,95%. Namun untuk tingkat SMP/MTs, APKnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan APK SD/MI. Pada tahun 1992 APK SMP/MTs masih berada di angka 55,6% dan pada tahun 2006 baru mencapai 88,68%. Indikator ini menginformasikan bahwa berbagai program SD?MI dan SMP/MTs non- reguler berhasil menjaring

kembali murid SD/MI dan SMP/MTs untuk menuntaskan masa belajar mereka di bangku SD/MI maupun SMP/MTs. Informasi ini juga menunjukkan bahwa dalam perjalanan mengikuti proses belajar megajar, ternyata masih banyak siswa SD/MI yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. - Capaian tingkat pendidikan secara langsung berkorelasi dengan tingkat kemiskinan. Sebagai contoh, statistik menunjukkan bahwa sebagian besar buta aksara terjadi pada kelompok keluarga miskin, masih ada sekitar 2,3 persen atau 5 juta penduduk kelompok umur 15-24 tahun dengan pengeluaran terbawah yang tidak dapat membaca dan menulis (Susenas 2006). Pada kelompok penduduk umur 15-24 tahun yang buta aksara dan miskin, kondisi ini diperburuk dengan terbatasnya lapangan kerja formal dan minimnya layanan dasar yang murah, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Hidup sehat menjadi prioritas kesekian karena pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, air bersih, dan makanan yang dapat dijangkau membuat mereka terpapar risiko tinggi terhadap penyakit- penyakit kronis, seperti kanker, TBC, demam berdarah, dan lain-lain. 4 - Dari aspek disparitas gender di capaian bidang pendidikan dan kesehatan, perempuan masih tertinggal dari laki-laki hampir di seluruh tingkatan pendidikan, terutama di tingkat menengah ke atas, dan masih banyak masalah-masalah kesehatan perempuan dan anak yang off track. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Oleh karena itu, rekayasa sosial dalam rangka mengubah mind set masyarakat tentang peran dan relasi laki-laki dan perempuan serta pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan bagi perempuan dan anak perempuan perlu diupayakan mengingat beberapa nilai sosial budaya yang mengakar di masyarakat menyebabkan perempuan dan anak perempuan belum seluruhnya memperoleh hak atas pendidikan yang setara dengan laki-laki dan hak kesehatan, khususnya hak kesehatan reproduksi. - MDGs menetapkan dua tujuan (ke-4 dan ke-5), untuk mengukur pencapaian pembangunan di bidang kesehatan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka kematian balita sebesar dua-pertiga dan angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga-perempat dalam kurun waktu 1990-2015. Angka kematian bayi (AKB) berhasil diturunkan dari 68 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1992 menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 (Bappenas, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian Indonesia on track dengan target yang ditetapkan MDGs. Kondisi yang berlawanan terjadi pada target pemerintah untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 mencatat angka kematian ibu sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Namun pada tahun 2002-2003 AKI hanya mampu diturunkan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk memenuhi target MDGs, maka pada tahun 2015 Indonesia harus mampu menurunkan AKI menjadi 102. Angka tersebut merupakan target yang sangat ambisius bagi Indonesia mengingat dalam kurun waktu 9 tahun dari tahun 1994 sampai dengan 2002-2003, Indonesia hanya mampu menurunkan AKI sebesar 83 per 100.000 kelahiran hidup. Indonesia masih memerlukan komitmen tinggi dan kerja keras semua pihak, pemerintah dan masyarakat untuk mampu mencapai angka yang ditargetkan dalam MDGs.

- Kematian ibu dalam proses kehamilan dan melahirkan serta kematian bayi dan balita dipengaruhi oleh banyak faktor di luar fasilitas kesehatan. Status gizi selama ibu hamil, kekerasan dan eksploitasi, beban majemuk akibat pembakuan peran gender, dan nilai sosial budaya adalah beberapa faktor yang secara empirik terbukti berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan bayi. Oleh karena itu, tindakan preventif adalah upaya strategis untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang dapat diambil adalah meningkatkan status kesehatan penduduk di seluruh kelompok umur (life cyclebased approach) dengan memperhatikan isu-isu kontemporer yang berkembang

dan kerentanan terhadap penyakit-penyakit baru atau re-emerging diseases. Hal 5

ini akan menghemat lebih banyak sumberdaya, sehingga investasi pemerintah dapat diarahkan pada upaya-upaya lain, seperti menciptakan tenaga kerja yang handal, kompetitif, dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Environmental Sustainability

- Kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan akan mempersulit kehidupan generasi yang akan datang. Pola pembangunan harus diubah menjadi pembangunan yang ramah lingkungan dengan landasan pemikiran bahwa sumberdaya alam yang tak terbarukan adalah pinjaman dari generasi yang akan datang. Perempuan sebagai agen perubahan dapat ditingkatkan perannya, di semua lini, untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Banyak gerakan- gerakan perempuan untuk lingkungan hidup di seluruh dunia menjadi titik awal perubahan pola hidup dan sosial lingkungan kemasyarakatan guna mewujudkan dunia yang lebih hijau, sehat, dan berkelanjutan untuk generasi yang akan datang. - Skala program-program, baik substansi, cakupan wilayah maupun pelaku pelestarian keanekaragaman hayati dan budaya perlu ditingkatkan agar memberikan dampak yang optimal dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan dan mencegah kerusakan alam. Hal ini mengingat bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan iklim lebih banyak diakibatkan oleh ulah manusia dibanding fenomena alam. - Penegakan hukum bagi pelaku pembangunan yang merusak dan/atau mencemari lingkungan hidup perlu ditingkatkan. Kerusakan lingkungan yang berkelanjutan akibat pola konsumsi energi yang berlebihan akan memperburuk tingkat kemiskinan suatu bangsa. Data terpilah menurut jenis kelamin dan wilayah tempat tinggal tentang penggunaan energi perlu disediakan dalam rangka mempelajari peluang energi alternatif yang tepat bagi setiap kelompok penduduk. - Rencana aksi penanggulangan dampak perubahan iklim perlu diperkuat dengan analisis dampak kerentanan dan kapasitas laki-laki dan perempuan mengadaptasi perubahan iklim.

Anda mungkin juga menyukai