Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pengertian nyeri neuropatik menurut International Association for The Study of Pain (LASP) adalah nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf dan dapat disebabkan oleh kompresi atau infiltrasi dari nervus atau suatu tergantung dimana lesi atau disfungsi terjadi. Nyeri neuropati bisa didefinisikan sebagai nyeri abnormal baik yang terjadi akibat lesi pada sistem saraf perifer maupun sentral. Prevalensi nyeri neuropati adalah sekitar 1,5% dari seluruh populasi di Amerika Serikat. Banyak penyakit-penyakit umum yang dapat menyebabkan nyeri neuropati, seperti trigeminal neuralgia, diabetic neuropathy, spinal cord injury, kanker, stroke dan degenerative neurological disease.1

B. Rumusan Masalah Bagaimana patomekanisme nyeri neuropatik dan penanganannya?

C. Tujuan Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui patomekanisme nyeri neuropatik dan penanganannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Patomekanisme Nyeri Neuropatik Mekanisme patofisiologi yang telah ada, sebagian besar didapat dari hasil eksperimen terhadap hewan percobaan. Terdapat beberapa teori untuk hal tersebut.7

Sensitisasi Perifer Sensitisasi dan aktivitas ektopik pada primary afferent nociceptor. Sensasi nyeri normalnya diawali oleh aktivitas pada saraf afferent unmyelinated (C-) dan thinly myelinated (A-). Nosiseptor ini biasanya tidak akan tereksitasi tanpa adanya stimulasi dari luar. Akan tetapi, ketika terjadi lesi pada saraf perifer, neurons ini bisa menjadi sensitive yang abnormal dan mengembangkan aktivitas neurologi spontan yang patologis.7 Aktivitas ektopik spontan yang terjadi pada sel saraf yang rusak juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi m-RNA untuk voltage-gated
2

sodium channels. Kelompok sodium channel ini pada situs ektopik ini bertanggung jawab atas rendahnya ambang batas dari aksi potensial dan hiperaktivitas. Rendahnya ambang batas dari potensial aksi ini dapat menyebabkan sensitivitas terhadap rangsangan sehingga ketika ada

rangsangan yang normalnya belum menyebabkan nyeri, bisa langsung menyebabkan nyeri yang berlebihan.7 Lesi pada sel saraf akan menyebabkan regenerasi sel saraf dan tumbuhnya neuroma pada bagian proksimal sel saraf. Eksitasi abnormal dan discharge abnormal bisa muncul pada neuroma ini. Hal ini dapat menyebabkan nyeri abnormal yang spontan pada pasien neuropati.1,7 Inflamasi pada nyeri neuropati Setelah terjadi lesi pada sel saraf, makrofag yang telah aktif akan masuk dari endoneural blood vessel kedalam saraf dan DRG dan mengeluarkan sitokin. Mediator inflamasi ini akan menginduksi aktivitas ektopik pada sel saraf yang terluka dan juga sel saraf normal didekatnya. Pada pasien yang dengan inflammatory neuropathies akan mengalami nyeri yang sangat dalam.7 Sentral sensitisasi Sensititasi pada spinal cord Sebagai konsekuensi terhadap hiperaktivitas nosiseptor perifer, perubahan sekunder yang dramatis terjadi pada cornu dorsal dari medulla spinalis. Lesi pada saraf perifer akan meningkatkan kemampuan eksitasi pada multiresepsi pada neuron medulla spinalis (wide-dinamic-range neuron). Hipereksitasi ini bermanifestasi oleh karena meningkatnya aktivitas sel saraf sebagai respon terhadap stimulasi noxious, ekspansi lapangan neuronal receptive dan penyebaran hipereksitasi spinal ke segmen yang lain.7 Pada keadaan normal, neuron pada cornu dorsal akan menerima inhibisi kuat yaitu GABA (gamma-aminobutyric acid). Pada hewan percobaan, partial nerve injury akan menginisasi apoptosis dari GABA pada bagian superficial neuron pada cornu dorsal. Hal ini menambah rangsangan nyeri yang akan diterima oleh pasien neuropati.7

Perubahan pada otak Berdasarkan percobaan pada hewan, neuron yang tersensitisasi juga ditemukan pada thalamus dan korteks somatosensory. Berdasarkan

pemeriksaan dengan magneto-encephalography (MEG), positron emission tomography (PET) dan fMRI menunjukkan adanya perubahan mendasar pada somatosensory cortical dan kemampuan eksitasi pada pasien dengan phantom limb pain, CRPS dan central pain syndrome. 7

Pada gambar A. jalur aferen primer dan koneksinya di tanduk dorsal sumsum tulang belakang. Terlihat bahwa serabut C nosiseptif (merah) berakhir pada neuron proyeksi spinotalamikus di lamina atas (neuron kuning). Nonnociceptive serabut A ber-myelin ke lamina lebih dalam. Neuron proyeksi berikutnya adalah tipe WDR yang menerima masukan langsung dari terminal

sinaptik nociceptive dan juga masukan dari multisynaptic serabut A bermyelin (non-noxions informasi, biru neuron system). Interaksi dengan mikroglia (sel abu-abu) memfasilitasi transmisi sinaptik. Interneuron GABAergic (neuron hijau) biasanya mengerahkan masukan sinaptik penghambatan pada neuron WDR. Selanjutnya, descending modulatory systems synaps di neuron WDR (hanya proyeksi hambat, terminal descending hijau). Gambar B tampak perubahan periferal pada neuron aferen primer setelah lesi saraf parsial, menyebabkan sensitisasi perifer. Terlihat bahwa beberapa akson yang rusak dan merosot (akson 1 dan 3) dan beberapa masih utuh dan terhubung ke organ akhir perifer (kulit, akson 2 dan 4). Ekspresi saluran natrium meningkat pada neuron yang rusak (akson 3), dipicu sebagai konsekuensi dari lesi. Selain itu, produk-produk seperti faktor pertumbuhan saraf, terkait dengan degenerasi Wallerian dan dirilis di sekitar serat terhindar (panah), ekspresi memicu saluran dan reseptor (misalnya, saluran natrium, TRPV1 reseptor, adrenoreseptor) pada serat terluka. Gambar C. Aktivitas spontan di nosiseptor C menyebabkan perubahan sekunder dalam pengolahan sensorik pusat, menyebabkan hyperexcitability sumsum tulang belakang (sensitisasi sentral orde kedua neuron nociceptive, bintang di neuron kuning) yang menyebabkan masukan dari mechanoreceptive serabut A (sistem neuron biru, sentuhan ringan dan rangsangan punctuate) yang akan dirasakan sebagai rasa sakit (allodynia mekanik dinamis dan punctuate tanda +, menunjukkan gating di sinaps). Beberapa presynaptic (reseptor opioid, saluran kalsium) dan struktur molekul postsynaptic (reseptor glutamat, AMPA / reseptor kainate, reseptor sodium/5HT, reseptor GABA, saluran natrium) yang terlibat dalam sensitisasi sentral. Inhibitory interneurons dan descending modulatory control systems (neuron hijau) yang disfungsional setelah lesi saraf, menyebabkan disinhibisi atau fasilitasi neuron sumsum tulang belakang tanduk dorsal dan lebih lanjut, sentral sensitisasi. Gambar D. Cedera saraf perifer mengaktifkan sel-sel sumsum tulang belakang glial (sel abu-abu) melalui kemokin, seperti CCL2 pada reseptor kemokin.

Activated-mikroglia lebih meningkatkan rangsangan pada neuron WDR dengan melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan (misalnya, tumor necrosis fator , tulang-derived factor saraf) dan meningkatkan konsentrasi glutamat. Diadaptasi dari Baron, 1 dengan izin dari Grup Nature Publishing. WDR jangkauan dinamis yang lebar =. TRPV1 = reseptor transien potensial V1. CCL2 = kemokin (C-C motif) ligan 2. NE = norepinefrin. KA = kainite.8 Berikut ini adalah hipotesis kerja hiperalgesia neuropatik dan allodynia. Model ini menggambarkan mekanisme kemungkinan nyeri neuropatik setelah cedera saraf siatik parsial pada tikus dimana LPA terlibat dalam penyebab nyeri neuropatik.9

Sejumlah studi farmakologi menunjukkan bahwa asam lysophosphatidic (LPA) dapat menyebabkan nyeri neuropatik dan demielinasi menyusul cedera saraf siatik parsial. LPA adalah salah satu dari metabolit lipid beberapa dirilis setelah cedera jaringan, serta dari berbagai sel-sel kanker. Reseptor LPA mengaktifkan jalur sinyal ganda dan beberapa G-protein. Stimulasi langsung ujung nociceptor perifer oleh LPA, melalui LPA 1 reseptor, juga menunjukkan peran dalam proses nociceptive. Dari catatan khusus, reseptor-dimediasi LPA sinyal melalui G 12/13 akan mengaktifkan GTPase RhoA kecil. Dalam keadaan aktif, Rho translokasi ke membran plasma dan dengan demikian relay sinyal ekstraselular ke efektor hilir beberapa, termasuk Rho-kinase atau ROCK, yang dapat dihambat oleh senyawa turunan piridin, Y-27632.

Penghambatan jalur Rho juga dapat dilakukan dengan selektif ADPribosylation dari RhoA, menggunakan botulinum exoenzyme C3 Clostridium (BoTN/C3). Keterlibatan Rho-ROCK sistem mekanisme nyeri neuropatik

awalnya ditunjukkan olehnya suntikan BoTN/C3 sebelum cedera saraf perifer pada tikus, yang diblokir pengembangan hiperalgesia. LPA dan reseptor LPA ekspresi reseptor gen mengaktifkan Rho dalam saraf perifer, yang menunjukkan bahwa patofisiologi reseptor LPA mungkin mengaktifkan Rho di nyeri neuropatik cedera saraf perifer. Sebuah studi yang menarik

digambarkan bahwa LPA menghambat filopodia dari kerucut pertumbuhan. LPA dapat terlibat dalam C-serat retraksi, yang merupakan pendukung hipotesis perubahan fungsional disebabkan oleh nyeri neuropatik. Bersamasama, temuan ini menyajikan LPA sebagai molekul sinyal yang menarik dalam pengembangan nyeri neuropatik.9

B. PENATALAKSANAAN Banyak jenis obat obat yang telah digunakan dalam mengobati nyeri neuropatik, termasuk diantaranya antiepilepsi spektrum luas (AEDs), misalnya karbamazepin, fenitoin, okskarbazepin, gabapentin, pregabalin, lamotrigin, penobarbital, fenitoin, topiramate, dan valproic bekerja dengan mengurangi loncatan listrik pada neuron melalui blokade dari voltage dependent sodium dan kalsium channel. Obat lainnya (mis, penobarbital, tiagabine, topiramate, vigabatrine, valproat) bekerja dengan meningkatkan inhibisi neurotransmitter atau secara langsung turut campur dalam transmisi eksitatorik.11 Anti Depresan Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin, desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga

secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.12,13 Anti Konvulsan Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkan kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. 12,13

Karbamasepin dan Okskarbasepin Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin, hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal.11

Lamotrigin Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek samping. Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.11 Duloxetine Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri neuropatik yang

berhubungan dengan dpn, walaupun mekanisme kerjanya dalam mengurangi nyeri belum sepenuhnya dipahami. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuannya untuk meningkatkan aktivitas norepinephrin dan 5-HT pada sistem saraf pusat, duloxetine umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dosis yang dianjurkan yaitu duloxetine diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun pada dosis 120 mg/hari menunjukkan keamanan dan keefektifannya, tapi tidak ada bukti yang nyata bahwa dosis yang lebih dari 60 mg/hari memiliki keuntungan yang signifikan, dan pada dosis yang lebih tinggi kurang dapat ditoleransi dengan baik.11 Gabapentin Gabapentine diindikasikan untuk penanganan PHN pada orang dewasa, molekulnya secara struktural berhubungan dengan neurotransmitter gammaamino butyric acid, namun gabapentin tidak berinteraksi secara signifikan dengan neurotransmitter yang lainnya, walaupun mekanisme kerja gabapentin dalam mengurangi nyeri pada PHN belum dipahami dengan baik, namun salah satu sumber menyebutkan bahwa gabapentin mengikat reseptor 2 subunit dari voltage-activated calsium channels, pengikatan ini menyebabkan pengurangan influks ca2+ ke dalam ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter, termasuk glutamat dan norepinephrin.11

Pada orang dewasa yang menderita PHN, terapi gabapentin dimulai dengan dosis tunggal 300 mg pada hari pertama, 600 mg pada hari kedua (dibagi dalam dua dosis), dan 900 mg pada hari yang ketiga(dibagi dalam 3 dosis). Dosis ini dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri sampai dosis maksimum 1800 hingga 3600 mg(dibagi dalam 3 dosis). Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan usia lanjut dosisnya dikurangi.11 Pregabalin Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri neuropatik untuk DPN dan juga PHN. Mekanisme kerja dari pregabalin sejauh ini belum dimengerti, namun diyakini sama dengan gabapentin. Pregabalin mengikat reseptor 2 subunits dari voltage activated calsium channels, memblok ca2+ masuk pada ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter. Pada penderita DPN yang nyeri, dosis maksimum yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari (300mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance 60 ml/min, dosis seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali sehari (150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi dari penderita. Dosis pregabalin sebaiknya diatur pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada penderita PHN, dosis yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 75 hingga 150 mg 2 kali sehari atau 50 hingga 100 mg 3 kali sehari (150-300 mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance 60 ml/min, dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50 mg 3 kali sehari (150 mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300 mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi penderita, jika nyerinya tidak berkurang pada dosis 300 mg/hari, pregabalin dapat ditingkatkan hingga 600 mg/hari.11

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Nyeri neuropatik adalah nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf. Ada beberapa masalah dalam bidang kedokteran paliatif yang menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri neuropatik, dan tak ada satupun hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya nyeri sehingga diperlukan pemahaman yang mendalam bagi dokter mengenai patomekanisme dan penanganan yang tepat pada pasien dengan nyeri neuropatik.

B. Saran Dalam membuat suatu diagnosa adanya nyeri neuropatik diperlukan anamnesis yang tepat tentang apa yang sedang dirasakan pasien, baik tipenya maupun derajat dari nyeri tersebut untuk mendapatkan hasil penanganan yang diharapkan.

11

DAFTAR PUSTAKA 1. Ro, Long-Sun;Chang, Kuo-Hsuan. Article: Neuropathic Pain: Mechanism and Treatments. Taipei: Chang Gung Memorial Hospital. 2005 2. Kasper, Dennis et al. Harrisons Principles of internal Medicine 16th edition. McGraw-Hill.2005. 3. Portenoy, Russel. Types of Pain. U.S.A.: Merck Sharp & Dohme Corp. 2011. 4. Purba, Jan Sudir. Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik. Jakarta: Dexa Media. 2006. 5. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The American Journal of Managed Care June 2006; 12: S256-S262. 6. Dupere D. Neuropathic Pain: An Option Overview. The Canadian Journal of CME February 2006; 79: 90-92. 7. Baron, Ralf. Mechanism of Disease: neurpathic pain-a clinical perspective. Nature Publishing Group. 2006 8. Baron, Ralf, et al. Neuropathic Pain: diagnosis, pathophysiological mechanism, and treatment. Lancelot Neural. 2010; 9: 807-19. 9. Ueda H. Peripheral mechanisms of neuropathic pain involvement of lysophosphatidic acid receptor-mediated demyelination. BioMedCentral. 2008, 1-13. 10. Manocha A, Tiruna S, Brander B. Neuropathic pain. Anaesthesia Tutorial of the Week August 2011; 1-10. 11. Gidal B, Billington R. New and Emerging Treatment Option for Neuropatic Pain.The American Journal of Managed Care Juni 2006; 12(9): S269-S278. 12. Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For Today's Clinical Practice. [homepage on the internet] 2002 [cited 2013Maret 26] : Available from: URL : http://www.medscape.org/viewarticle/453496

12

Anda mungkin juga menyukai